• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mencipta Beragam Narasi Tragedi 1965

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 193-196)

TRAGEDI 1965 perlu dilihat sebagai konsekuensi permusuhan komunisme dengan Islam sejak 1948. Tahun 1965/1966 kelompok Islam bersekutu dengan Angkatan Darat menghancurkan PKI. Menurut Anthony Reid (Revolusi Nasional Indonesia, 1996), peristiwa Madiun 1948 penting bukan hanya karena jatuh korban cukup besar pada kedua pihak, tetapi karena warisan kebencian yang ditinggalkan antara kelompok kanan (santri) dan kiri (abangan).

PERSIAPAN menyongsong Pemilu 1955 memperuncing keadaan. Fatwa komunisme identik dengan ateisme dikeluarkan Masyumi akhir 1954 di Surabaya. Sebelumnya, Isa Anshary membentuk Front Anti Komunis di Jawa Barat (Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal, 2004).

Tahun 1960-an kekuasaan terpusat pada tiga pilar: PKI, Angkatan Darat, dan Soekarno di puncak piramida. PKI kian di atas angin. Kiprah politik mereka dilukiskan Arbi Sanit dalam buku Badai Revolusi, Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur (2000). Konflik budaya tampak pada buku DS Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya (1995). Sementara "aksi sepihak" diuraikan Aminuddin Kasdi (Kaum Merah Menjarah, Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965, 2001), Soegianto Padmo (Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1960-1965, 2000), dan Fadjar Pratikto (Gerakan Rakyat Kelaparan di Gunung Kidul, 2000).

Pada akhir era demokrasi terpimpin, ada upaya menulis sejarah dari perspektif kiri. Untuk mengantisipasi ini, tahun 1964 AH Nasution membentuk Biro Chusus Sejarah Staf Angkatan Bersenjata, cikal bakal Pusat Sejarah ABRI.

Pada 30 September 1965 meletus gerakan kecil yang berdampak sangat besar. Sejak 1 Oktober 1965, Yoga Soegomo sudah yakin ini pemberontakan PKI. Menurut hemat saya, tragedi 1965 merupakan trilogi: saat G30S, pasca-G30S di mana terjadi pembantaian setengah juta jiwa, dan pembuangan ke Pulau Buru (1969-1979). Mengenai peristiwa G30S hanya versi tunggal yang diajarkan sekolah. Buku-buku lain dilarang, seperti terbitan ISAI, Bayang-Bayang PKI (1995). Selain PKI dan "Biro Chusus", dalang lainnya adalah Angkatan Darat, pihak asing (CIA dan lain-lain), serta Soekarno dan Soeharto (disebut sebagai kudeta merangkak).

Buku-buku terlarang itu beredar pasca-Soeharto, seperti Cornell Paper (Ben Anderson dkk). Selain disertasi Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, juga terbit suntingan Robert Cribb, Pembantaian PKI di Jawa/Bali 1965/1966. Tentang Pulau Buru selain Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya Ananta Toer, terdapat beberapa kesaksian, yang terakhir adalah Memoar Pulau Buru karya Hersri Setiawan.

Selain melalui pendidikan-dengan Buku Putih dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto-untuk legitimasi kekuasaan, militer juga memanfaatkan monumen dan museum seperti diungkap disertasi Kate McGregor, Universitas Melbourne, 2002. Tidak ketinggalan media film untuk memuja Soeharto seperti ditulis Budi Irawanto, Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia (1999). Sejarah korban

Sebelumnya, sejarah ditulis dari sudut penguasa. Kini muncul tulisan dari perspektif korban. Dalam hal ini sejarah lisan sangat berperan karena membuat korban bersuara. Dua buku paling menonjol adalah Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Menghayati Pengalaman Korban 1965, dan Menembus Tirai Asap, Kesaksian Tahanan Politik 1965.

Buku pertama sangat monumental, 260 orang dari seluruh Indonesia bersaksi melalui metodologi sejarah lisan yang ketat. Maka terungkaplah pola penangkapan/pembantaian setelah 1 Oktober 1965. Seluruhnya melanggar hukum, tidak satu pun dilengkapi surat perintah resmi. Tidak terbayang derita batin para korban. Perempuan mendadak jadi kepala keluarga dan tak luput dari pemerkosaan bergilir. Puluhan sketsa menggambarkan siksaan sadis di penjara.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004

17

Buku kedua sangat menyentuh perasaan. Kehancuran keluarga menimpa hampir semua korban. Selain itu, ada buku tipis, Usaha untuk Tetap Mengenang, Kisah-kisah Anak- anak Korban Peristiwa 65. Tema ini juga menjadi bahan skripsi di Universitas Indonesia (Toeti Kakiailatu, 1984), Universitas Gadjah Mada (Sriwahyuntari, Kromo Kiwo, 2004), dan Universitas Diponegoro (Triyana, Kasus Pembantaian Massal PKI di Grobogan, 2004).

Karya pengarang kiri banyak beredar, antara lain diterbitkan Pustaka Jaya. Ratna Sarumpaet mementaskan drama Anak Kegelapan, dilengkapi dengan VCD. Berita terbaru, Leontin Dewangga, kumpulan cerpen Martin Aleida-sebagian tentang derita korban 1965-menerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra Pusat Bahasa 2004 pada 1 Oktober 2004.

Komunisme dan Islam

Disertasi Budiawan di National University of Singapore diterbitkan dengan judul Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto. Rekonsiliasi lebih mudah apabila kelompok kiri mengingat juga peristiwa sebelum G30S (aksi sepihak dan lain-lain) dan sebaliknya kalangan Islam mengingat pula peristiwa sesudah G30S (termasuk pembantaian massal 1965/1966, dan seterusnya). Selama ini kedua pihak hanya mengenang hal-hal yang merugikan mereka. Budiawan sengaja mengulas dua memoar tokoh Islam kiri, Hasan Raid (Pergulatan Muslim Komunis) dan Haji Ahmadi Mustahal (Dari Gontor ke Pulau Buru). Sebelumnya telah terbit dua skripsi tentang tokoh Digulis Haji Misbach serta pemberontakan Komunis-Islam di Banten karya Michael Williams dan di Silungkang karya Mestika Zed.

Peristiwa Kanigoro, Kediri, dikisahkan dalam Membuka Lipatan Sejarah, Menguak Fakta Gerakan PKI (1999). Tidak ada yang terbunuh dalam kasus ini, demikian pula tidak ada Al Quran yang diinjak seperti rekayasa Museum Pengkhianatan PKI yang diresmikan Soeharto tahun 1990. Tahun 1996 terbit buku Agus Sunyoto dan kawan-kawan, Banser Berjihad Menumpas PKI. Akbar Tandjung mensponsori penerbitan buku Fath Zakaria, Geger Gerakan 30 September 1965, Rakyat NTB Melawan Bahaya Merah (1997).

Wacana rekonsiliasi dengan korban 1965 yang dilontarkan Abdurrahman Wahid (Gus Du) disambut hangat kelompok muda Syarikat yang melakukan rekonsiliasi tingkat akar rumput antara anggota Banser Nahdlatul Ulama (NU) dan korban PKI di seantero Pulau Jawa. Chandra Aprianto menulis artikel Paramiliter Banser dalam Tragedi 1965-1966 di Jawa Timur. Beberapa buku diterbitkan Syarikat, juga buletin Ruas. Buku terakhir mereka berjudul Menelusuri Luka-Luka Sejarah 1965-1966 di Blora. Kelompok muda NU yang lain, Desantara, menerbitkan Syir’ah yang dianggap menyaingi majalah Sabili. Sementara kelompok penerbit muda NU, LKiS, menerbitkan buku Kasiyanto Kasemin, Analisis Wacana Pencabutan TAP/MPRS/XXV/1966.

Terjadi kesenjangan besar antara NU dan Muhammadiyah. Dari kalangan terakhir jarang terdengar nada rekonsiliasi. Padahal, Kokam Muhammadiyah juga terlibat dalam pembantaian 1965. Ini berdasarkan keputusan Muhammadiyah di Jakarta, 9-11 November 1965, bahwa jihad melawan PKI adalah ibadah, bukan sunah, melainkan wajib ain (Hasan Ambary, 2001: halaman 14).

Tidak merata sikap elite NU terhadap rekonsiliasi. Gus Dur paling mendukung. Mereka yang keras menolak adalah Jusuf Hasyim. Salahuddin Wahid setuju kebijakan diskriminatif terhadap keluarga kiri dihapus, sedangkan Hasyim Muzadi agak ambivalen dengan menyatakan, "rehabilitasi terhadap orang PKI harus dilakukan secara bertahap. Jika orang PKI itu terlampau banyak direhabilitasi, dengan adanya kemiskinan massal bukan tidak mungkin mereka mengeksploitasi kemiskinan massal itu untuk menghidupkan kembali komunisme".

Yang baru dan akan terbit

Presiden Megawati Soekarnoputri meminta Mendiknas untuk membuat buku tentang 1965 yang selanjutnya menunjuk Taufik Abdullah dengan beranggotakan 25 penulis. Bab yang dibahas: kronologi G30S, refleksi tentang peralihan kekuasaan, serta bibliografi 1965. Malam penculikan para jenderal 30 September 1965 konon dijuluki "Malam Jahanam". Dalam kronologi disebutkan Letkol Heru Atmodjo

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004

18

menjemput Aidit dari rumahnya ke Halim Perdanakusuma pukul sepuluh malam. Hal ini bertentangan dengan kesaksian Heru Atmodjo yang bakal terbit dalam bentuk buku.

Penyair Taufiq Ismail terus berteriak tentang "bahaya laten komunisme" dengan meluncurkan buku Katastrofi Dunia, mengenai empat bahaya yang mengancam dunia: marxisma, leninisma, stalinisma, maoisma, dan narkoba. Buku lainnya yang layak dibaca karya Kerstin Beise yang komprehensif, Apakah Soekarno Terlibat G30S? Kesaksian tentang penjara khusus perempuan tahanan politik 1965 di Plantungan, Kendal, pun sudah ditulis.

Yang tak kalah menarik, buku John Roosa akan terbit di Michigan University Press, berjudul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Soeharto’s Coup d’Etat in Indonesia. Analisis dokumen Supardjo dan wawancara mendalam dengan elite PKI dilakukan Dr John Roosa untuk menguak tabir G30S. Keanehan dekrit kedua Untung tentang Dewan Revolusi dijelaskan dalam buku ini, juga disebutkan pengetik dokumen itu.

Akhirnya pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) diharapkan membantu meluruskan sejarah dengan menginvestigasi peristiwa Madiun 1948 dan pembantaian 1965. Semua ini merupakan upaya menciptakan beragam narasi tentang tragedi 1965 dan dengan harapan dapat bermuara kepada rekonsiliasi. Percayalah bahwa meluruskan sejarah tidak merusak akidah.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004

19

Majalah Tempo, No. 34/XXXIV/18 - 24 Oktober 2004 Hukum

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 193-196)