• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketika Pengadilan Tak Kuasa Mengungkap Kebenaran

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 71-80)

Usai palu diketok hakim, keempat terdakwa langsung mengucapkan terima kasih. "Terima kasih ibu hakim yang berhati mulia. Saya mengucapkan terima kasih," ucap Rahimi Ilyas alias Buyung.

Ucapan terima kasih kemudian juga terucap secara berturut-turut dari mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya Kolonel Budi Purnama, mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya Kapten Suharto, dan Mochammad Tandjung. Mereka adalah para terdakwa dalam kasus penyerbuan Kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996.

Persidangan itu seakan menjadi antiklimaks. Majelis hakim koneksitas yang diketuai Rukmini hanya menghukum Jonathan Marpaung dengan hukuman 74 hari. Marpaung dinyatakan terbukti menipu massa dan ikut melempar batu ke Kantor DPP PDI.

Bangunan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro menjadi saksi bagaimana aparat keamanan rezim Soeharto menyerbu dan mengambil alih gedung yang masih dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri.

Gedung hancur. Sebagian terbakar. Asap hitam membubung tinggi. Amarah massa memuncak dan membakar apa saja yang ditemui. Sebagian wilayah Jakarta terbakar. Komnas HAM menyebut lima orang meninggal dunia, 149 luka-luka baik sipil maupun militer. Sejumlah orang dilaporkan hilang.

Peristiwa itu membawa dampak ekonomi begitu besar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 20.57 poin. Nilai rupiah merosot dan sejumlah investor asing membatalkan niat menanam modal di Indonesia. Rezim Orde Baru menuding pembakaran Jakarta didalangi komunis.

Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) diadili dan dijebloskan ke penjara. Namun, dalam persidangan tak pernah bisa dibuktikan keterlibatan aktivis PRD mendalangi pembakaran. Sejumlah petinggi militer, Kasum ABRI Letjen Soeyono, Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar, dan Wakil Kepala BIN Achdari dicopot dari jabatannya.

TUJUH tahun kemudian, ketika Megawati Soekarnoputri, sosok korban yang kini berkuasa, mencoba mengungkap kasus itu. Namun, apa yang dilakukan Megawati terkesan hanyalah sebuah langkah simbolik sekadar membuka persidangan. Itu tampak dari politik penyelidikan dan penuntutan yang diwarnai kompromi politik dengan tentara.

Paling tidak itu ditunjukkan dengan dukungan Megawati dan PDI Perjuangan terhadap mantan Pangdam Jaya Sutiyoso untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta. Kemudian, mantan Komandan Satgas PDI Agung Imam Sumanto pada saat peristiwa 27 Juli meletus, malah diangkat sebagai Ketua DPRD DKI Jakarta.

"Secara politik kasus 27 Juli tereliminasi dengan terpilihnya Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta atas dukungan PDI-P," kata Roy BB Janis, salah seorang Ketua PDI-P.

Mereka yang menjadi korban kasus 27 Juli hanya bisa menerima pasrah kompromi dari elite PDI-P. "Kami sudah kecewa sejak persidangan digelar," kata Suryadi (47), korban kasus 27 Juli yang masih menempati Kantor DPP PDI, karena rumahnya di belakang Plaza Semanggi digusur aparat.

Suryadi adalah salah seorang korban yang tak lagi memedulikan putusan tersebut. "Terus terang kami tidak tahu apa putusan hakim atas terdakwa. Kami melihat, terdakwa yang dihadirkan dalam persidangan kasus 27 Juli lebih baik dibebaskan. Justru berdosa kalau hakim menghukum mereka. Mereka bukan pelaku utama penyerbuan. Saya tahu persis siapa pelakunya dan saat ini tetap dibiarkan berkuasa," ujar Suryadi.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 2

Desakan agar pengadilan menghadirkan pelaku utama penyerbuan Kantor DPP PDI kendor, saat anggota Forum Komunikasi Korban Kasus 27 Juli pergi satu per satu. Saat ini, tidak ada lagi kontak di antara ratusan korban yang rata-rata sudah kembali ke daerah masing-masing. "Dengan begitu banyaknya hal yang melukai, kami tetap berusaha menerima. Perih memang. Tetapi itulah kebijakan partai," ujar Suryadi yang kini Sekretaris II Pengurus Anak Cabang Setiabudi.

"Pengungkapan kasus 27 Juli lebih terkait masalah politik dibandingkan hukum. Kami taat pada kebijakan partai meskipun dalam hati tidak bisa menerima. Untuk para korban yang tewas, cacat, dan terpenjara, kebijakan ini menyakitkan. Tetapi sudahlah," ujarnya.

SURYADI boleh jadi merupakan salah satu dari korban kasus 27 Juli yang bersikap nrimo atas kebijakan partainya. Ia pun menerima ketika pengadilan koneksitas tak mampu untuk mengungkap kebenaran apa sebenarnya yang terjadi dalam penyerbuan Kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996.

Buku Soeyono Bukan Puntung Rokok yang ditulis Benny Butarbutar dan sejumlah dokumen sekunder lain paling tidak memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa kasus 27 Juli tidaklah sesederhana sebagaimana yang diungkap pengadilan. Liputan media massa pada era reformasi sedikit banyak memberikan perspektif baru mengenai peristiwa itu. Ada upaya meredam emosi korban. Ada upaya untuk memberikan korban pada posisi struktural atau jabatan di eksekutif. Ada upaya berkompromi dengan militer.

Soeyono meyakini bahwa peristiwa 27 Juli merupakan dampak dari rivalitas dua srikandi kembar-Megawati Soekarnoputri dan Siti Hardijanti Rukmana-di panggung politik. Rivalitas ini lalu berdampak pula pada polarisasi di tubuh militer untuk berlomba mendekati Cendana. Ada militer yang mendukung Megawati. Tapi ada pula yang mendekat ke Siti Hardijanti.

Polarisasi di tubuh militer itu paling tidak tampak dari sikap militer yang kemudian saling menuding dan melempar tanggung jawab. (Lihat grafis). Sayang memang fakta baru itu sama sekali tak bisa diungkap pengadilan koneksitas. "Itu seharusnya dijadikan bahan penyelidikan lebih jauh oleh tim koneksitas," kata Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara.

Pengadilan koneksitas terjebak pada pembuktian formal, sangat jauh dari apa yang sebenarnya terjadi di panggung politik nasional menjelang tahun akhir kejatuhan Orde Baru. Korban pun mulai melupakan peristiwa yang telah meningkatkan popularitas partai dan ikut mendorong ke tampuk kekuasaan sekarang.

Pengungkapan kebenaran merupakan sebuah elemen penting untuk rekonsiliasi. Pengungkapan kebenaran adalah sesuatu yang penting untuk mencegah terjadinya apa yang disebut kejahatan kebisuan (the crime of silence). Perjuangan para korban seharusnya adalah perjuangan untuk melawan upaya pelupaan paksa yang tak kenal henti. Masalahnya adalah bagaimana kebenaran akan bisa diungkapkan ketika semua elemen masyarakat, termasuk korban, tak mau lagi memedulikan masa lalu. Peristiwa 27 Juli tetap merupakan sebuah lembaran hitam dalam sejarah politik Indonesia yang masih terpendam. (Wisnu Nugroho/ budiman Tanuredjo)

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 3

Kompas, Senin, 02 Februari 2004

Partai Patriot Pancasila Tawarkan Rekonsiliasi

Jakarta, Kompas - Partai Patriot Pancasila berpandangan bahwa bangsa Indonesia memerlukan rekonsiliasi nasional sebagai alternatif mengatasi krisis politik berkepanjangan akibat konflik antarkelompok kepentingan. Rekonsiliasi itu diharapkan dapat mempertemukan berbagai pandangan untuk bersama-sama membangun bangsa.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Patriot Pancasila Max Boboy kepada pers di sela-sela seminar "Pembekalan Caleg/Jurkam Partai Patriot Pancasila" di Jakarta, Jumat (30/1). "Selama kita masih terus bertikai, bangsa ini akan terpuruk. Kalau mau mengangkat harkat bangsa ini, kita harus duduk bersama, mempertemukan berbagai pandangan untuk mengatasi masalah yang ada. Rekonsiliasi penting sebagai jalan tengah," katanya. Ia menambahkan, rekonsiliasi perlu diwacanakan tidak hanya sebagai jargon politik, tetapi tindakan nyata. "Rekonsiliasi itu tidak bisa dilakukan di mulut saja, tapi dalam tindakan kita main hujat-hujatan. Rekonsiliasi harus dilakukan dengan total, tulus, dan dilandasi tekad bulat. Kita harus punya keberanian untuk mengakhiri segala pertikaian ini," katanya.

Max mengakui bahwa partainya belum memutuskan detail konsep rekonsiliasi, tetapi dia ingin menanamkan semangat belajar pada proses rekonsiliasi di Afrika Selatan. "Nelson Mandela pernah dipenjara selama 27 tahun. Namun, setelah bebas dan menjadi Presiden Afsel, Mandela malah mengangkat mantan Presiden FW de Klerk yang telah memenjarakannya sebagai wakil presiden. Sipir penjara pun hadir di sisinya ketika pelantikan presiden. Itu langkah luar biasa," katanya.

Seharusnya bangsa Indonesia juga bisa menghilangkan semua perbedaan, diskriminasi, dendam, dan segala bentuk permusuhan. "Kita tidak bisa menyamakan visi dengan melihat sisi buruk dari kelompok lain. Cobalah kita lihat kebaikannya. Misalnya, apa yang dilakukan Orde Baru selama 32 tahun tidak semuanya buruk karena ada juga yang baik, seperti pembangunan berbagai fasilitas umum. Hasil yang baik ini yang perlu dipelihara," katanya. (K07)

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 4

Harian Suara Pembaruan, 07 Februari 2004

Belajar Menyelesaikan Konflik Agraria dari Afsel

Dalam masalah pembaruan agraria, Indonesia dan Afrika Selatan memiliki berbagai kesamaan, yaitu mewarisi ketimpangan dalam distribusi dan penguasaan dari rezim sebelumnya. Indonesia, terutama, mewarisi rezim Soeharto, dan Afsel mewarisi rezim diskriminatif Apartheid. Keduanya juga mempunyai pengalaman masa transisi menuju demokrasi yang relatif sejajar yang mewarnai usaha pembaruan agraria.

Tantangan untuk menghadapi persoalan itu juga dijawab oleh kedua negara dengan program reformasi agraria. Perbedaannya bahwa Afrika Selatan telah bergerak begitu jauh, sementara di Indonesia program ini masih sekadar "program ludah" alias masih tahap dibicarakan. Payung hukum (Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam) telah ada, tetapi belum ada tanda-tanda akan diimplementasikan.

Oleh karena itu, sebelum Komnas HAM, HuMA, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Pokja Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA-PSDA) menyelenggarakan lokakarya tentang Komisi Nasional Penyelesaian Konflik Agraria beberapa waktu lalu di Carita, Banten, ada upaya untuk melakukan studi di Afsel. Dianto Bachriadi dari KPA yang ikut ke Afsel mengungkapkan bahwa ada baiknya Indonesia juga mengambil pengalaman negara di ujung bawah benua tersebut.

Agrarian and Land Reform Programme di Afsel ditopang oleh tiga program, yaitu Land Restitution, Land Distribution, dan Tenure Reform. Dalam proses penyelesaian konflik agraria yang bertujuan memulihkan hak seseorang atau kelompok atas mereka dijalankan dalam program Land Restitution.

Rezim Apartheid di Afsel telah menerapkan kebijakan diskriminatif rasial yang membedakan masyarakat ke dalam golongan orang kulit putih (whites), orang kulit berwarna (colored), orang Asia (Asian), dan orang kulit hitam (black). Akses terhadap tanah dibatasi dengan peraturan, seperti Native Land Act, tahun 1913.

Diskriminasi itu berkembang dengan penetapan alokasi wilayah (tinggal dan tempat bekerja) berdasarkan kelompok ras yang dituangkan dalam Group Areas Act tahun 1950.

Aturan itu bahkan menetapkan penduduk berkulit hitam yang merupakan penduduk asli dan mayoritas hanya diberi hak atas tujuh persen dari seluruh wilayah Afsel. Sisanya (97 persen) merupakan bagian orang kulit putih. Kelompok ras lainnya bisa memiliki tanah dengan membeli dan memenuhi berbagai persyaratan. Pada tahun 1936 perubahan Native Land Act (1936) memberi ruang yang sedikit lebih luas untuk kulit hitam menjadi 13 persen.

Aturan ini mendorong terjadinya penggusuran besar-besaran terhadap orang kulit hitam sebagai pemandangan sehari-hari. Sejak 1913 ribuan kasus penggusuran terjadi di negeri itu. Begitu parahnya masalah agraria ini, program pembaruan agraria juga menjadi simbol bagi gerakan kemerdekaan Afsel yang dimotori oleh Kongres Nasional Afrika (ANC), bahkan program ini dijamin dengan konstitusi baru mereka.

Land Restitution di Afsel

Dianto Bachriadi mengungkapkan bahwa selama kebijakan diskriminatif itu, terdapat sekitar 3,5 juta orang dan keturunannya yang menjadi korban penggusuran. Ini membuat program restitusi tanah sangat strategis dalam program penyembuhan sosial dan rekonsiliasi di negara itu.

Program ini mulai bekerja tahun 1994 setelah keluar Restitution of Land Rights Act 22/ 1994. Dalam program ini ada pihak yang mengajukan tuntutan (rakyat), pemerintah yang dituntut, komisi restitusi yang pemroses tuntutan dan memberi penilaian atas bentuk ganti rugi, dan Pengadilan Tanah yang memberi putusan dengan kekuatan hukum. Meskipun pemerintah yang dituntut dan memberi ganti rugi menunjukkan ada pergantian kekuasaan yang relatif damai, pihak lain yang diuntungkan dalam penindasan di masa lalu tidak dikenai hukuman apa pun. Perkecualian dilakukan, jika yang bersangkutan terlibat dalam pelanggaran lain yang terkait dalam bidang yang dikerjakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Proses restitusi ini melalui tahap pengajuan dan registrasi klaim, seleksi dan kategorisasi klaim, penentuan kualifikasi dan tuntutan, proses negoisasi, pengambilan keputusan dan pelaksanaan keputusan. Keputusan yang terjadi bisa berupa pengembalian tanah terhadap pihak yang menuntut, memberikan tanah di lokasi lain sebagai ganti, memberi ganti berupa uang, atau pemberian lain yang menyertai tiga ganti rugi tersebut. Harga tanah disesuaikan dengan harga pasar.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 5

Klaim-klaim yang bisa diajukan dalam program restitusi ini dibatasi pada kasus yang terjadi setelah 19 Juni 1913. Kasus sebelum itu tidak bisa diajukan dalam program ini. Alasannya, kejadian penghilangan hak atas tanah yang bisa diajukan adalah yang terjadi sebagai akibat peraturan perundang-undangan yang diskriminatif. Dan tanggal tersebut merupakan awal berlakunya Native Land Act.

Pada tiga tahun pertama program ini berjalan sangat lambat. Tercatat ada sekitar 16.000 klaim yang masuk, hanya ada lima klaim yang bisa diproses ke pengadilan tanah, dan itu pun hanya satu klaim yang bisa

diratifikasi oleh pengadilan. Hasil yang mengecewakan ini mendorong perubahan hubungan kerja antara Komisi Restitusi dan Departemen Pertanahan (Department of Land Affairs). Namun dalam satu tahun berikutnya juga hanya ada delapan klaim yang bisa diselesaikan.

Masalah ini kemudian mendorong dibentuknya National Land Committee yang mendorong perubahan kebijakan. Tahun 2000 diputuskan menteri Land Affairs berwenang mengambil keputusan hukum atas hasil kerja komisi restitusi. Keberatan-kebenaran atas keputusan itu bisa diajukan sebagai banding ke pengadilan tanah atau selanjutnya ke pengadilan tertinggi, mahkamah konstitusi.

Perubahan ini memberikan hasil yang lebih baik dari sebelumnya, dan sekitar 45.000 klaim bisa diselesaikan hingga November 2003 dari sekitar 68.000 klaim. Klaim tanah di perkotaan mencapai 39.000 lebih, sebanyak 22.500 lebih memperoleh penggantian berupa uang, dan sekitar 14.150 yang mendapat ganti tanah. Klaim tanah pedesaan mencapai 5.900 lebih, yang diganti tanah sekitar 2.600, dan ganti uang sekitar 3.300 klaim.

Terlepas dari Land Reform

Program restitusi di Afsel ini memang telah membuahkan banyak hasil, namun bukan berarti bahwa program ini bebas dari catatan yang mengkritik. Sebagai program mandiri dalam upaya menyelesaikan konflik, program ini memang menunjukkan hasil yang lumayan besar. Namun sebagai salah satu kaki dari tiga kaki untuk tumpuan Agrarian and Land Reform Programme, apa yang dicapai belum sepenuhnya memenuhi sasaran.

Tujuan program ini sendiri mempunyai dua hal yang penting, yaitu memulihkan atau mengembalikan hak atas tanah orang atau kelompok orang yang tergusur sejak 1913, dan yang kedua mendorong terciptanya keadilan dan rekonsiliasi. Kalau dilihat lebih cermat bahwa ternyata lebih banyak konflik agraria diselesaikan dengan ganti rugi berupa uang, khususnya di perkotaan. Mungkin proses ini dinilai lebih mudah dibanding dengan penggantian berupa tanah. Tetapi hal itu menunjukkan bahwa perubahan menuju keadilan dalam penguasaan tanah tidak banyak dicapai.

Kenyataannya dalam prosesnya program restitusi ini juga tidak semata-mata untuk menegakkan keadilan sosial, dan terjadinya redistribusi hak atas tanah, tetapi justru terutama ditujukan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi.

Menurut Dianto, program restitusi tanah di Afsel memang membuahkan hasil dengan cukup banyak konflik agraria bisa diselesaikan. Namun masalahnya program ini seperti kehilangan hubungannya dengan land reform

yang bertujuan menata ulang penguasaan atas tanah. Sebab tanah tetap dikuasai oleh mereka yang berkuasa sebelum program ini dijalankan, karena sebagian besar penggantiannya berupa uang. Penetapan harga disesuaikan dengan harga pasar juga tidak mencerminkan usaha penataan ulang atas tanah untuk mencapai keadilan sosial.

Apa yang terjadi di Afsel tampaknya lebih banyak upaya untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi pada rezim Apartheid. Pemberian ganti rugi kepada pemegang hak yang dulu dirampas dinilai menyelesaikan konflik, tetapi proses transformasi, berupa land reform atau land distribution tidak cukup menonjol. Tampaknya hal ini terjadi karena kuatnya tekanan pebisnis, dan globalisasi ekonomi, dan sekaligus menunjukkan bahwa Afsel yang berusaha menerapkan paradigma traditional justice dan menghadapi kekakuan hukum, memang menghadapi tantangan yang besar. Pembaruan/Sabar Subekti Last modified: 5/2/04

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 6

Kompas, Sabtu, 14 Februari 2004 Keadilan dan Rekonsiliasi Oleh Abdurrahman Wahid

MINGGU lalu di bilangan Kramat V, Jakarta, penulis meresmikan sebuah panti jompo milik sebuah yayasan yang dipimpin orang-orang eks tapol dan napol, kasarnya orang-orang Partai Komunis Indonesia yang sudah dibubarkan. Mereka mendirikan sebuah panti jompo di gedung bekas kantor Gerakan Wanita Indonesia, yang dianggap sebagai perempuan PKI.

Peresmian yang diminta mereka secara apa adanya pada pagi yang cerah itu disaksikan antara lain oleh SK Trimurti, salah seorang pejuang kemerdekaan kita. Ini penulis lakukan karena solidaritas terhadap nasib mereka, yang sampai sekarang masih mengalami tekanan-tekanan dan kehilangan segala-galanya. Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan karena mereka dituduh "terlibat" dan bahkan memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat menyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak memiliki hak-hak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam pemilihan umum. Rumah-rumah dan harta benda mereka dirampas. Sementara stigma (cap) mereka adalah pengkhianat bangsa tetap melekat pada diri mereka hingga saat ini.

Dipimpin oleh dr Tjiptaning Proletariati, mereka membentuk Pakorba (Paguyuban Korban Orde Baru) yang memiliki cabang di mana-mana, walhasil gerakan mereka berskala nasional. Namun karena perikemanusiaan jugalah penulis mempunyai solidaritas yang kuat dengan mereka, seperti halnya solidaritas penulis kepada mantan anak buah Kartosuwiryo, yang disebut DI/TII (Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia).

Padahal waktu turut "berkuasa", PKI pernah berturut-turut memberikan cap pemberontak secara keseluruhan kepada (mantan) orang-orang DI/TII itu. Penulis pernah menyebutkan dalam sebuah tulisan bahwa orang-orang itu tadinya direkrut oleh Kartosuwiryo dengan menggunakan nama DI/TII tersebut karena ia diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Perekrutan dilaksanakan guna menghindarkan kekosongan di Jawa Barat, yang ditinggalkan TNI untuk kembali ke Jawa Tengah (kawasan RI) akibat perjanjian Renville yang

mengharuskan terjadinya hal itu.

Seorang pembaca menyanggah "catatan" penulis itu karena di matanya tidak mungkin Kartosuwiryo menjadi "penasihat militer" Jenderal Soedirman karena lebih pantas kalau ia adalah penasihat politik. Pembaca itu tidak tahu bahwa penasihat politik Jenderal Sudirman adalah ayah penulis sendiri KH A Wahid Hasyim. Karena itu, simpati penulis kepada mereka juga tidak kalah besarnya dari simpati kepada mantan orang-orang PKI.

DI sini penulis ingin menekankan bahwa konflik-konflik bersenjata di masa lampau dapat dianggap selesai, apa pun alasannya, karena kita sekarang sudah kuat sebagai bangsa dan tidak usah menakuti kelompok mana pun. Justru keadilan yang harus kita tegakkan, sebagai persyaratan utama bagi sebuah proses demokratisasi. Kita adalah bangsa yang besar dengan penduduk 205 juta lebih saat ini. Kita harus mampu menegakkan keadilan dan tidak "menghukum" mereka yang tidak bersalah.

Seperti pembelaan (pledoi) Amrozi di muka Pengadilan Negeri Denpasar bahwa ia merakit bom kecil saja, sedangkan ada orang lain di balik pengeboman Bali itu dengan bom besar yang membunuh lebih dari 200 jiwa. Pernyataan Amrozi ini seharusnya mendorong kita memeriksa "pengakuan" tersebut. Namun, hal ini tidak dilakukan. Karena itu, hingga saat ini kita tetap tidak tahu adakah pendapat Amrozi itu sendiri fakta atau tidak. Demikian juga, kita tetap tidak tahu siapa yang meledakkan bom di Hotel Marriott Jakarta beberapa waktu kemudian.

Begitu banyak rahasia menyelimuti masa lampau kita sehingga tidak layak jika kita bersikap congkak dengan tetap menganggap diri kita benar dan orang lain salah. Diperlukan kerendahan hati untuk melihat semua yang terjadi itu dalam perspektif perikemanusiaan, bukannya secara ideologis. Kalau kita menggunakan kacamata ideologis saja, maka sudah tentu akan sangat mudah bagi kita untuk menganggap diri sendiri benar dan orang lain bersalah. Ini bertentangan dengan hakikat kehidupan bangsa kita yang demikian beragam. Kebhinnekaan atau keragaman justru menunjukkan kekayaan kita yang sangat besar. Karena itu, kita tidak boleh menyalahkan siapa-siapa atas kemelut yang masih menghinggapi kehidupan bangsa kita saat ini.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 7

Sebagai contoh dapat dikemukakan Abu Bakar Ba’asyir yang dianggap sebagai "biang kerok" terorisme di negeri kita saat ini. Pengadilan pun lalu menjatuhkan hukuman empat tahun penjara, yang sekarang sedang dijalaninya di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang di Jakarta Timur. Memang pengadilan menetapkan ia bersalah, tetapi kepastian sejarah belum kita ketahui, mengingat data-data yang "tidak pasti" (unreliable) digunakan dalam mengambil keputusan.

Ini juga terjadi karena memang pengadilan-pengadilan kita memang penuh dengan "mafia peradilan", maka kita tidak dapat diyakinkan oleh "kepastian hukum" yang dihasilkannya. Seperti halnya kasus Akbar Tandjung, jelas keputusan Mahkamah Agung terus "diragukan" apa pun bunyi keputusan itu. Tidak heranlah sekarang kita mengalami "kelesuan" dalam menegakkan kedaulatan hukum. Inilah rahasia mengapa tidak ada investasi dari luar negeri karena langkanya kepastian hukum tadi.

SEBUAH kasus lain cukup menarik untuk dikemukakan di sini. Kyai Mahfud Sumalangu (Kebumen) adalah pahlawan yang memerangi bala tentara pendudukan Belanda di Banyumas Selatan. Ketika kabinet Hatta memutuskan "rasionalisasi" TNI atas usul Jenderal Besar AH Nasution, antara lain berupa ketentuan bahwa komandan batalyon TNI haruslah berijazah dan ijazah hanya dibatasi pada keluaran beberapa lembaga

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 71-80)