• Tidak ada hasil yang ditemukan

Megawati Pertanyakan Perlunya Rekonsiliasi

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 173-178)

Bitung, Kompas - Presiden Megawati Soekarnoputri mempertanyakan keinginan sejumlah pakar agar berlangsung rekonsiliasi antara pihaknya dan kelompok presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono. Megawati juga mengusulkan ahli politik untuk membahas pengertian rekonsiliasi sehingga ada sebuah kesepakatan mengenai perlu tidaknya langkah itu diambil.

"Saya sering bertanya-tanya kepada diri sendiri, rekonsiliasi itu untuk apa?" kata Megawati ketika ditanya wartawan seusai meresmikan pengoperasian terminal peti kemas di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara, Selasa (12/10).

Menurut Megawati, rekonsiliasi itu baru dilakukan jika ada beberapa kelompok yang mengalami benturan fisik dan kemudian sepakat melakukan perundingan. "Mereka berunding untuk mencapai kesepakatan demi

rekonsiliasi," paparnya.

Oleh karena itu, Megawati mengusulkan agar para ahli politik dan juga budaya membahas pengertian kata rekonsiliasi sehingga tercapai kesepakatan soal perlu tidaknya tindakan itu dilakukan.

Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono dalam sebuah kesempatan-ketika berbicara soal transisi kekuasaan-mengatakan, ia menginginkan agar babak baru dalam tradisi politik Indonesia dimulai. "Dengan transisi kekuasaan yang damai, demokratis, penuh nilai-nilai budaya dan etika politik yang baik, Indonesia mengukir sejarah. Ini merupakan babak baru dalam mengarungi abad ke-21. Saya ingin regularitas dan kontinuitas pengelolaan negara berlangsung dengan baik. Setelah 20 Oktober 2004, siapa pun harus menjadi satu setelah selama delapan bulan berkompetisi sebagai bagian dari keharusan demokrasi," kata Yudhoyono (Kompas, 28/9).

Menurut Andi Mallarangeng-yang kini berperan sebagai juru bicara Yudhoyono- rekonsiliasi itu mengacu pada pidato politik Yudhoyono yang bicara bahwa untuk masa berkompetisi sudah selesai dan kini saatnya bersatu kembali. Yudhoyono ingin semangat untuk bersatu setelah dalam pemilu masyarakat terpisah-pisah mendukung calonnya. "Seusai pemilu presiden, yang terpilih harus jadi presiden semua. Karena itu, dibutuhkan dukungan semua juga," katanya.

Ia menambahkan, ajakan rekonsiliasi itu bukan dalam arti ada konflik, tetapi bagian dari ajakan bersatu. Itu merupakan bagian, juga dari upaya transisi pemerintahan lama ke baru sehingga tidak ada gap.

Persepsi beda

Budayawan Romo Benny Susetyo melihat reaksi Megawati terhadap isu rekonsiliasi terjadi karena istilah rekonsiliasi dipersepsikan secara berbeda. "Sebenarnya akan lebih baik kalau istilah perjumpaan dua tokoh bangsa, Megawati dan Yudhoyono, untuk membicarakan masa depan bangsa," ujar Benny.

Reaksi Megawati yang mempertanyakan perlunya rekonsiliasi menunjukkan masih adanya hambatan psikologis antara Megawati dan Yudhoyono. "Saya kira masih perlu waktu untuk sebuah pertemuan dua anak bangsa itu," ujar Benny.

Ketua Aliansi Masyarakat untuk Perubahan Bara Hasibuan menyarankan agar Presiden Megawati merespons permintaan presiden terpilih Yudhoyono berkaitan dengan proses transisi yang sekarang sedang berlangsung sampai dilantiknya presiden terpilih. "Presiden Megawati mempunyai tanggung jawab politik dan kewajiban konstitusional untuk menjamin proses transisi pemerintahan Megawati ke pemerintahan Yudhoyono," kata Bara.

Dalam Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sudah disetujui Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 104

Berbudaya

Saat memberikan sambutan dalam peresmian pengoperasian Dermaga Peti Kemas Pelabuhan Bitung, Presiden Megawati juga mengharapkan agar proses pergantian pemerintahan dapat berjalan dengan baik, beradab, dan berbudaya. Proses yang baik itu hendaknya dipelihara dan menjadi tradisi demokrasi di Tanah Air.

"Saya melihat begitu akan ada pergantian, lalu orang buru-buru melangkah untuk menjauh dari orang yang tidak mengalami kemenangan. Hal seperti ini saya harapkan tidak menjadi satu budaya atau tradisi dari bangsa kita. Kalau kita memang mau mendewasakan diri, kita harus juga mengetahui bahwa hal seperti ini harus berjalan dengan baik, beradab, dan berbudaya," ujarnya.

Menurut Megawati, ia tetap menjadi presiden dan melaksanakan tugas kenegaraan sampai pelantikan presiden terpilih tanggal 20 Oktober. "Hari-hari ini banyak yang bertanya dan merasa ketidakpastian, tetapi saya bilang, saya tetap menjadi presiden sampai pelantikan presiden terpilih. Ini kan kabinet presidensial," katanya. Megawati berharap masyarakat menghormati proses demokrasi. "Bukan malah buru-buru bersikap

meninggalkan kelompok yang kalah. Yang kalah dan menang kita hormati sebagai bagian dari demokrasi," ucapnya. Ketika berjalan melihat foto proyek dan dicegat wartawan dengan pertanyaan, apakah Megawati merasa ditinggalkan, ia hanya tersenyum.

Proyek dermaga di Bitung yang berstandar internasional itu merupakan proyek terakhir yang diresmikan Megawati di masa pemerintahannya. Menurut Wali Kota Bitung Milton Kansil, peresmiannya dijadwalkan sejak Februari, tetapi beberapa kali tertunda karena kesibukan Kepala Negara.

Rapat PDI-P

Sepulang dari Manado, Megawati Soekarnoputri dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) langsung memimpin rapat di Kantor DPP PDI-P Lenteng Agung, Jakarta. Rapat dari pukul 19.30 hingga 22.30 itu dihadiri antara lain Sutjipto, Roy BB Janis, Mangara Siahaan, Pramono Anung, Theo Syafei, dan Jakobus Kamarlo Mayangpadang.

Menurut Roy BB Janis, pertemuan itu antara lain membahas soal sikap PDI-P tentang pengunduran Panglima TNI. "Sampai sekarang PDI-P belum mengambil sikap, apakah Panglima harus berhenti pada periode sekarang atau nanti pada periode presiden baru," kata Ketua DPP PDI-P itu.

Mengenai persoalan Panglima TNI itu, Megawati menjelaskan sudah menerima surat pengunduran dari

Panglima TNI dan memang telah diteruskan di DPR. "Cuma gitu saja diributkan," kata Megawati seperti dikutip Mayangpadang.

Dalam rapat itu dibahas pula soal personalia Fraksi PDI-P di DPR, antara lain disebut-sebut nama Cahyo Kumolo, Roy Yanis, Pramono Anung, dan Panda Nababan.

Megawati lalu meninggalkan lokasi setelah menerima tamu seorang ibu tua dari Aceh, yang telah menunggunya selama 10 hari di Kantor DPP PDI-P. (Ant/inu/zal/bdm/osd)

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 105

Kompas, Kamis 14 Oktober 2004

Rekonsiliasi

Oleh AB Susanto

GEGAP gempita pemilihan para petinggi wakil rakyat kali ini agak berbeda karena disertai kekhawatiran munculnya "pertarungan" eksekutif-legislatif seperti terjadi di era Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dari "pertarungan" itu, yang kena getahnya adalah bangsa. Rakyat yang amat berharap mekanisme demokrasi akan melahirkan situasi yang lebih baik harus menelan lagi pil pahit.

Perbedaan "penguasa" di lembaga legislatif dan eksekutif sebenarnya hal wajar dalam demokrasi. Bukankah ini merupakan penerapan Trias Politika yang menjadi esensi negara demokrasi? Bahkan, dengan situasi ini, sebenarnya justru mekanisme check and balances dapat berjalan efektif. Masalah yang dikhawatirkan banyak pihak apakah budaya politik kita sudah siap, dan mekanisme "penyeimbang" tidak akan menjadi mekanisme "pengganjalan" atau bahkan "penjegalan". Pesta demokrasi yang sukses saja belum memadai untuk membentuk pemerintahan demokrasi yang efektif. Sportivitas, termasuk sikap menerima kekalahan, merupakan prasyarat agar demokrasi berjalan efektif. Kekhawatiran ini pula yang mengeluarkan wacana rekonsiliasi, yang

menyembul saat kampanye pemilihan presiden berlangsung. Tujuannya menepis kekhawatiran ini dan berharap pemerintahan berjalan efektif.

Rekonsiliasi mungkin mengandung banyak makna. Jika yang dimaksud seperti itu, bisa dikatakan sebagai rekonsiliasi pragmatis. Dalam arti rekonsiliasi ini tidak terlalu dalam merunut akar historis mereka yang berseteru.

Barangkali perseteruan ini hanya bersumber pada conflict of interest. Kita tidak perlu menengok ke belakang terlalu jauh dan hanya bertumpu pada menang kalah. Orientasinya pun hanya bersifat jangka pendek, dan jika mau jujur lebih merupakan persoalan di lingkungan elite, sehingga penyelesaian yang melandasi rekonsiliasi lebih menekankan bagaimana agar pesta demokrasi yang baru saja berlangsung tidak menjadi zero sum conflict, di mana winner takes all.

Sebenarnya, makna rekonsiliasi yang lebih umum acap bersifat historis, yang memasuki lorong waktu jauh ke belakang. Dan ini tidak bersifat temporer, tetapi relatif lebih permanen karena sumber konfliknya berasal dari perbedaan nilai. Jika pendekatan historis ini dipakai sebagai sarana untuk menganalisis, harus merunut akar persoalannya dalam kurun waktu lama. Mungkin bagi kita bangsa Indonesia akan mengaduk-aduk kesadaran sejak peristiwa 1965, Tanjung Priok, Lampung, DOM Aceh, Timor Timur, sampai kasus Trisakti. Pendekatan ini tentu memerlukan energi besar, waktu lama, dan perhatian amat serius. Selain itu, upaya ini akan melelahkan sekaligus menyakitkan. Upaya inilah yang sebenarnya dulu ingin dilakukan Gus Dur.

Namun, dalam alam Indonesia Baru yang diwarnai demokrasi, rekonsiliasi menjadi menu wajib. Kasus-kasus konflik horizontal, seperti Ambon, Sambas, dan Poso, harus diselesaikan tuntas. Karena konsekuensi dari demokrasi adalah ditinggalkan cara-cara represif. Pada masa lalu cara-cara ini efektif dalam memadamkan api konflik meski masih meninggalkan bara dalam sekam. Ketika represi ditiadakan, bara konflik meletup menjadi tindak kekerasan.

Manajemen rekonsiliasi

Dalam kebinekaan bangsa, konflik horizontal mempunyai potensi besar untuk merobek kedamaian dan mengoyak stabilitas. Konflik ini diwarnai dominannya faktor kesukuan, agama, atau keduanya sekaligus yang muncul sebagai pembentuk identitas personal masing-masing pihak yang berkonflik. Konsekuensinya perasaan in group dan out group menguat, disertai asumsi dalam menyikapi suatu masalah yang melibatkan kedua pihak: anggota kelompok harus dibela karena jika mengalami masalah, ia juga akan dibela kelompoknya.

Ketidaksalingpercayaan juga muncul dalam komunitas, memperkuat diskriminasi rasial dan prasangka (prejudice). Konflik ini kian parah jika ternyata ada perbedaan tingkat kesejahteraan pada tiap kelompok. Perbedaan tingkat kesejahteraan sering menjadi justifikasi prasangka dan perilaku diskriminatif.

Dalam memanajemen rekonsiliasi perlu dilakukan langkah- langkah sistematis yang dituangkan dalam aneka program. Manajemen rekonsiliasi harus didahului analisis dengan melakukan diagnosis terhadap konflik yang terjadi. Akar-akar konflik harus diidentifikasi jelas. Konflik yang terjadi mungkin berasal dari aneka peristiwa

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 106

yang terjadi sekian tahun bahkan puluhan tahun lalu. Akar konflik ini perlu ditelusuri mendalam guna mengetahui latar belakang dan sejarah konflik sebagai bagian untuk mencari solusinya. Dalam menganalisis konflik harus dilakukan dengan cermat karena tahap ini merupakan landasan bagi penyusunan strategi dalam melakukan langkah-langkah rekonsiliasi yang amat menentukan keberhasilannya.

Langkah berikut adalah melakukan intervensi langsung yang bertujuan melakukan mediasi terhadap konflik yang mengakar dalam komunitas. Keberhasilan intervensi ini amat bergantung pada ketajaman dalam menganalisis latar belakang konflik, pemahaman terhadap struktur komunitas, serta identifikasi faktor-faktor kultural yang menunjang maupun yang menghambat proses mediasi. Persepsi masing-masing pihak atas masalah yang dihadapi dan terhadap pihak lain harus dipahami dengan baik.

Intervensi pihak ketiga yang berfungsi untuk memfasilitasi komunikasi dalam kerangka penyelesaian konflik harus memelihara citra sebagai pihak yang netral dan nonpartisan. Citra ini amat penting karena kedua pihak sedang dipenuhi rasa saling curiga amat tinggi. Sekali citra memihak muncul dari salah satu pihak, fungsi mediasi tidak akan efektif lagi. Peran mediator adalah sebagai pihak ketiga yang dipandang netral, dengan tujuan utama menemukan solusi menang-menang yang mengakomodasi kepentingan kedua pihak. Mediator tidak diperkenankan untuk menyatakan siapa yang salah dan siapa yang benar karena sebenarnya tugas mediator adalah "tugas untuk menghadapi masa depan", bukan "menjadi wasit" atas kesalahan masing- masing pihak dengan mengorek masa silam.

Selanjutnya diperlukan upaya pemberdayaan dalam menangani konflik secara konstruktif. Pemberdayaan ini diawali dengan pemberian bekal berupa keterampilan dalam melakukan mediasi bagi para sukarelawan yang mempunyai posisi netral. Anggota komunitas dibekali keterampilan dalam menyelesaikan konflik secara damai. Selanjutnya juga harus dilakukan supervisi untuk membantu penerapan keterampilan resolusi konflik.

Pelembagaan penting untuk dilakukan karena rekonsiliasi merupakan proses. Seperti proses munculnya konflik yang acap berlangsung lama, rekonsiliasi juga merupakan proses yang kelangsungannya harus dijaga.

Pelembagaan ini bertujuan membantu hadirnya struktur organisasi yang mempromosikan dan menangani resolusi konflik secara efektif dalam komunitas lokal. Pelembagaan ini juga berfungsi agar program ini bergulir luas, yang akan membantu pengembangan kapasitas (capacity building).

Pemantauan dan evaluasi berkelanjutan harus dilakukan. Selain memantau kemajuan program, fungsinya juga untuk mengidentifikasi riak-riak konflik yang mungkin muncul dan berpotensi merusak langkah rekonsiliasi yang dilakukan.

Manajemen rekonsiliasi ini sebaiknya menjadi program yang bersifat permanen dalam agenda pemerintah mendatang meski tidak selalu harus ditangani langsung oleh perangkat pemerintah. Di wilayah yang masih mempunyai potensi konflik yang penyelesaiannya belum tuntas, seperti di Ambon, Sambas, atau Poso, perlu dilembagakan mekanisme rekonsiliasi. Inilah tugas pemerintah yang kian jauh melangkah dalam alam demokrasi: stabil, damai, tetapi tidak represif.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 107

Republika, Kamis, 14 Oktober 2004

'Rekonsiliasi Penting untuk Silaturahmi'

Laporan : uba/cho

JAKARTA -- Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hidayat Nur Wahid, mengatakan meski tidak terjadi benturan antara para pendukung calon presiden, namun rekonsilasi itu tetap perlu dilakukan. Paling tidak, kata dia, antara masyarakat akan terbangun sebuah sikap saling menghargai, mengakui, dan saling menyapa.

''Rekonsilasi yang saya pahami hakekatnya bukan berada karena tidak adanya benturan dua massa pendukung presiden. Rekonsilai menjadi penting terutama dalam tingkat hadirnya kondisi silaturahmi,'' kata Hidayat, di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, kemarin (13/10).

Menurut Hidayat, bagaimana pun sampai menjelang diselanggarakan serah terima jabatan presiden yang akan dilakukan pada 20 Oktober nanti, kondisi bangsa yang kondusif seharusnya tetap saja dapat dihadirkan. Bila suasana seperti ini tetap terjadi, kata dia, maka sebenarnya yang diuntungkan adalah para pemimpin itu sendiri.

''Silaturahmi yang nanti diperlihatkan dalam rekonsilasi menjadi bagian pentingnya. Ibu Megawati akan dikenang sebagai tokoh yang manusiawi dan apresiatif. Jadi saya kira kalau beliau bersedia memberi ucapan selamat maka itu baik-baik saja,'' ungkap Hidayat.

Hidayat menambahkan, segenap lapisan bangsa hendaknya memberikan dukungan penuh kepada presiden terpilih untuk melaksanakan segala janji-janjinya dahulu. Apalagi, ungkapnya, SBY-Kalla sudah terpilih dalam sebuah pemilihan umum yang sangat demokratis dan aman itu. Sementara itu, anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), Fery Tinggogoy, mengatakan rekonsilasi itu bukan diartikan hanya dilakukan setelah terjadi benturan antar massa. Tetapi harus dilihat sebagai upaya pengembalian kehidupan bersama dalam politik.

''Kalau dilihat bagaimana bentuk rekonsilasi itu, maka itu terserah saja modelnya. Dalam hal ini kita juga memang harus memberikan apresiasi khusus kepada kepemimpinan Megawati. Berkat dialah maka ada peletakan dasar kehidupan masyarakat secara lebih baik,'' kata Ferry. Menurutnya, selama ini memang belum ada pengertian yang sama antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. Dengan demikian menjadi tidak tepat bila secara dini sudah dikatakan Megawati tidak bersedia melakukan rekonsilasi.

Pihak SB Yudhoyono-Kalla sendiri tampaknya tidak terlalu berharap Megawati mau melakukan rekonsiliasi. ''Pak SBY tidak memberikan komentar soal pernyataan Presiden Megawati tentang rekonsiliasi. Konsentrasi SBY pada kabinet, struktur, dan program kerja. Di luar itu tidak memberikan komentar,'' kata Andi A Mallarangeng, juru bicara SBY-Kalla, di Cikeas, Bogor, kemarin.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004

1

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 173-178)