• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bola Rekonsiliasi di Megawati atau Yudhoyono? Apabila tidak ada aral melintang, Rapat Paripurna DPR, Selasa, 7 September 2004, menyetujui Rancangan

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 143-146)

Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Jika itu terjadi, "bola" rekonsiliasi pun akan berpindah dari kendali legislatif ke eksekutif. Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono sama-sama mempunyai peluang untuk menggelar dan mengendalikan rekonsiliasi. Tergantung siapa yang mendapat mandat rakyat pada pemilu 20 September 2004.

Mencermati naskah rancangan undang-undang (RUU) yang disetujui seluruh fraksi dalam Rapat Kerja Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat bersama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Senin (30/8), terlihat bahwa presiden masih memiliki peran besar bagi terciptanya rekonsiliasi antara pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu. Hal itu terlihat dari peranannya dalam pembentukan panitia seleksi calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR); tata cara pemberian amnesti, kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi; maupun pembuatan peraturan pemerintah.

Perubahan UUD 1945 Pasal 14 Ayat (1) sendiri menyebutkan, presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Kemudian, pada Ayat (2) disebutkan, Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR.

RUU KKR bertujuan untuk membuka tabir berbagai pelanggaran HAM berat masa lalu. Butir pertama konsideran menimbang dalam UU itu menyatakan secara tegas bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM harus ditelusuri kembali untuk mengungkapkan kebenaran. Dengan adanya penelusuran tersebut diharapkan kebenaran dapat diungkap, keadilan dapat ditegakkan, dan terbentuk budaya menghargai HAM sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan

Berbeda dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tahun 2000, penyelesaian pelanggaran HAM berdasarkan UU KKR ini tak dilakukan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc, tetapi melalui sebuah lembaga ekstra yudisial. RUU ini mengatur langkah konkret pembentukan sebuah komisi khusus. Komisi itu bernama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Komisi bertugas menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau keluarga korban; menyelidiki dan mengklarifikasi; memberikan rekomendasi kepada presiden dalam hal permohonan amnesti; menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah dalam hal pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi; serta menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada presiden dan DPR dengan tembusan kepada MA.

Dalam RUU KKR yang dimaksudkan dengan korban adalah perseorangan atau kelompok orang yang

mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak dasarnya sebagai akibat langsung dari pelanggaran HAM berat.

Sementara itu, kompensasi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan negara kepada korban atau ahli waris untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental, yang disesuaikan dengan kemampuan negara. Sedangkan, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau ahli warisnya. Rehabilitasi adalah pemulihan harkat dan martabat yang diberikan

menyangkut kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.

Komisi beranggotakan 21 orang dengan susunan 3 orang pimpinan; 9 anggota subkomisi penyelidikan dan klarifikasi; 5 anggota subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi; serta 4 anggota subkomisi pertimbangan amnesti.

Masa kerja dari KKR ini berbeda dengan komisi lainnya, memiliki limitasi, yaitu lima tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah dan janji. Apabila dalam lima tahun belum menyelesaikan tugasnya dapat diperpanjang dua tahun.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 74

Pembentukan dari komisi ini dilaksanakan paling lambat enam bulan terhitung sejak tanggal undang-undang diundangkan. Dengan demikian, seandainya pada 7 September 2004 UU ini disetujui dan UU ini diundangkan paling lambat pada 7 Oktober 2004, maka komisi ini akan terbentuk paling lambat pada 7 April 2005.

Mencermati batang tubuh RUU KKR, peran eksekutif, khususnya presiden, dalam menentukan keberhasilan komisi besar. Presiden selaku kepala pemerintahan ikut dalam perekrutan anggota komisi maupun selaku kepala negara dalam tata cara penyelesaian permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan amnesti.

Keterlibatan presiden dalam perekrutan anggota komisi sedemikian kuat terlihat mulai dari proses di hulu, yaitu pembentukan panitia seleksi. Pasal 32 Ayat (2) RUU menyebutkan bahwa Presiden membentuk panitia seleksi. Keanggotaan panitia seleksi itu terdiri dari lima orang dengan susunan dua orang berasal dari unsur pemerintah dan tiga orang berasal dari unsur masyarakat. Namun, mengenai ketentuan tentang susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota komisi-dalam Pasal 32 Ayat (5) RUU KKR-diatur dengan peraturan presiden.

Dalam Pasal 33 RUU KKR juga diatur bahwa panitia seleksi mengusulkan 42 calon yang telah memenuhi persyaratan kepada presiden. Selanjutnya, yang memilih 21 orang dari 42 calon anggota komisi yang diajukan oleh panitia seleksi tersebut dilakukan kembali oleh presiden.

Pada Pasal 34 Ayat (3) RUU KKR memang DPR diberi peluang untuk tidak memberikan persetujuan terhadap seorang atau lebih calon yang diajukan presiden. Apabila hal itu terjadi, presiden pun diharuskan mengajukan calon pengganti. Namun, calon pengganti tersebut tetap berasal dari 42 calon yang diusulkan panitia seleksi. Selanjutnya, dalam Pasal 34 Ayat (4) ditegaskan, apabila presiden telah mengajukan calon pengganti, DPR wajib memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon pengganti tersebut.

Pasal 35 Ayat (2) memberi kewenangan kepada presiden untuk mengangkat dan memberhentikan anggota komisi dikarenakan hal itu dilakukan dengan keputusan presiden. Anggota komisi itu sendiri dapat

diberhentikan, salah satunya, karena dianggap melakukan perbuatan tercela atau hal-hal lain yang berdasarkan keputusan Sidang Komisi harus diberhentikan karena telah mencemarkan martabat dan reputasi atau

mengurangi kemandirian dan kredibilitas komisi.

Dengan dasar itu semua, terlihat jelas bahwa seberapa besar political will Megawati-Hasyim atau Yudhoyono-Kalla dalam melakukan rekonsiliasi akan memberi pengaruh besar.

Dalam hal pemberian amnesti, kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi, peranan presiden besar. Presidenlah yang membuat keputusan mengenai mengabulkan atau menolak permohonan amnesti. Akan tetapi, dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal rekomendasi diterima, presiden wajib meminta

pertimbangan amnesti kepada DPR.

DPR wajib memberi pertimbangan amnesti kepada presiden dalam jangka waktu 30 hari kemudian. Selanjutnya, paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal pertimbangan amnesti DPR diterima, presiden kemudian membuat keputusan mengabulkan atau menolak.

Melihat proses pengambilan keputusan tingkat I, Senin kemarin, di mana fraksi-fraksi telah sepakat secara bulat, berarti kecil kemungkinan terjadinya perubahan signifikan dari naskah RUU KKR ini.

Kini, kita tinggal menimbang-menimbang mana pasangan capres yang pro-KKR dan mana yang tidak. Seperti halnya pemberantasan korupsi, budaya pejabat hidup hemat, dan lainnya, terlepas dari besarnya kewenangan, keberhasilan mewujudkan rekonsiliasi juga ditentukan oleh figur presiden.

Dengan tidak salah pilih presiden, bukan tidak mungkin, setelah kita berhasil menyelenggarakan pesta demokrasi terbesar di dunia yang bisa jadi mengalahkan Amerika Serikat itu, kita juga akan berhasil menegakkan HAM dan melakukan rekonsiliasi terbesar di dunia mengalahkan Afrika Selatan, terlepas dari kekurangsempurnaan RUU KKR ini. (sutta dharmasaputra)

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 75

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 76

Kompas, Jumat 03 Sep. 04

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 143-146)