• Tidak ada hasil yang ditemukan

Visi Parpol dan Penyelesaian Masa Lalu Bangsa

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 80-103)

PEMEO Jawa mikul dhuwur, mendhem jero yang sering dikutip para penguasa tidak berlaku dalam

penyelesaian masa lalu bangsa. Kalimat yang berarti "memikul tinggi dan memendam dalam" itu bisa diartikan sebagai "memaafkan dan melupakan" berbagai pelanggaran berat hak asasi manusia di negeri ini pada masa lalu.

SUATU bangsa tak bisa berjalan dengan luka-luka yang terus menganga. Impunity dan penyangkalan akan menyebabkan pola kekejaman yang sama cenderung berulang karena pelakunya dimungkinkan bebas tanpa proses pengadilan. Penyangkalan juga membuat bangsa ini tak bisa melangkah ringan ke depan dan besar kemungkinan semakin sulit tegak sebagai bangsa yang sehat.

Demikian benang merah perbincangan dengan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Salahuddin Wahid; Hakim Ad Hoc Pengadilan HAM Timor Timur, Rudi Rizki SH LLM, dan Dr Daniel Sparringa dari Departemen Sosiologi Fisip, Universitas Airlangga, Surabaya.

Seperti pernah dikemukakan oleh Prof Bernard T Adeney-Risakotta, ahli etika dari Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, "warisan" yang paling besar mungkin adalah peristiwa G30S tahun 1965. Kesalahan ini harus diakui, bukan untuk membenarkan PKI, tetapi untuk mengakui bahwa pernah dilakukan kekejian yang luar biasa terhadap bangsa sendiri.

Mengakui kekejaman di masa lalu dan memberikan keadilan semaksimal mungkin serta mengembalikan hak-hak hidup korban dan keluarganya merupakan jalan keluar yang ditawarkan oleh Sparringa, Rizki, dan Wahid. Artinya, menurut Wahid, penyelesaiannya tidak bisa parsial, tetapi menyeluruh secara politik, hukum, ekonomi, sosial, dan psikologis.

"Pada banyak korban, hukuman sosial telah ditimpakan dan harus terus dipanggul sepanjang hidup," ujar Wahid. Misalnya, meski Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan eks tapol G30S boleh jadi caleg, stigma buruk eks tapol dan keluarganya di masyarakat tidak hilang begitu saja.

Mekanisme penyelesaian itu dibangun dengan mempertimbangkan contoh-contoh di negara yang menjalani transisi menuju demokrasi. Tidak ada satu pun mekanisme atau pola yang bisa diadopsi begitu saja karena tingkat korupsi dan perbedaan-perbedaan tajam, baik di bidang politik maupun budaya, serta seluruh latar belakang pelanggaran berat HAM.

SAYANGNYA, sebagian parpol tampak tidak memahami keterkaitan masa lalu dengan masa depan suatu bangsa. Ada yang mencoba mereduksi pelanggaran berat HAM masa lalu dengan membandingkannya dengan negara lain dan menyatakan Indonesia masih "jauh lebih baik". Seorang pemimpin partai politik bahkan tidak tahu apa yang dimaksud dengan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Hal ini tampak dengan jelas dalam diskusi publik mengenai HAM yang diselenggarakan oleh Komnas HAM.

Padahal, peristiwa 1965- 1966, misalnya, seperti dikutip dari Jurnal Afkar (edisi No 15 Tahun 2003) yang diterbitkan oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU, merupakan tragedi kemanusiaan yang paling kelam dalam sejarah modern Indonesia.

Jumlah korban jiwa peristiwa itu masih gelap. Angka yang mengemuka adalah antara 500.000 (hasil investigasi tim Oey Tjoe Tat alm) dan 2 juta (angka yang pernah dituturkan oleh Jenderal Sarwo Edhie alm). Selain itu juga penahanan aktivis politik di kamp Pulau Buru (1969-1979).

Yang banyak menjadi korban adalah rakyat yang sama sekali tak punya kaitan dengan PKI. "Kalaupun PKI, adakah untuk menghabisi, menyiksa, menghukum tanpa proses pengadilan dan kemudian merampas hak hidup mereka dan keluarganya?" begitu kerap diungkapkan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Asvi Warman Adam.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 11

Pola kekejaman yang sama dilakukan terhadap para korban pelanggaran berat HAM lainnya yang terjadi tahun 1965-1998. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mencatat peristiwa pembunuhan dan

penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas di Aceh dan Irian Jaya (1976-1983); pembunuhan misterius terhadap kaum kriminal di berbagai kota (1983-1986).

Kemudian, peristiwa Tanjung Priok (korban kelompok Muslim, Jakarta, 1984); penangkapan dan penyiksaan Kelompok Usro (korban aktivis Muslim, 1985-1988, terutama di Jawa); peristiwa Lampung (korban kelompok Muslim, Lampung, 1989); penyiksaan dan pembunuhan terhadap jemaat HKBP (korban kelompok Kristen, 1992-1993); Haor Koneng, Majalengka, Jawa Barat (korban kelompok Muslim, 1993); pembunuhan petani Nipah (Madura, 1993); Operasi Militer II di Aceh (1989-1998); pembunuhan di Irian Jaya (1994-1995). Selanjutnya adalah peristiwa 27 Juli (korban simpatisan dan warga PDI, 1996, khususnya di Jakarta); kerusuhan Mei (1998, korban rakyat sipil, khususnya warga Tionghoa); Tragedi Trisakti (1998, mahasiswa), Tragedi semanggi I dan II (mahasiswa dan rakyat sipil), kasus Timor Timur (korban rakyat sipil), serta pelanggaran berat HAM yang terus terjadi di Aceh dan Papua hingga saat ini.

Karena itu, visi parpol mengenai masa lalu, menurut Wahid, sangat penting. "Dalam Pasal 43 UU No 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan HAM dinyatakan, kasus-kasus yang masuk ke pengadilan HAM harus dimintakan persetujuan DPR," ujarnya. Anggota DPR adalah perwakilan rakyat melalui partai politik.

Beragamnya kelompok korban sebenarnya merupakan kekuatan bersama untuk menegakkan kebenaran dari versi korban dan menuntut keadilan. Akan tetapi, ternyata kecenderungan partai politik untuk memandang korban dari cara pandang yang bias kelompok dan agama belum bisa dihapus.

Ini mengemuka dalam diskusi publik tersebut. Martono dari Universitas Surabaya, Jawa Timur, yang menjadi salah satu pembahas dari pemaparan visi parpol mengenai HAM, menyesalkan tanggapan dingin pengurus cabang suatu partai politik di Papua menanggapi pelanggaran berat HAM di wilayah itu. "Tidak ada kelompok kami yang menjadi anggota GPK," ujar Martono menirukan ucapan pengurus parpol dan menujukannya langsung kepada perwakilan parpol yang sama.

DANIEL Sparringa yang dihubungi secara terpisah menambahkan, pijakan politik parpol mengenai pelanggaran HAM masa lalu sangat menyedihkan. Situasi ini sebenarnya merefleksikan apa yang terjadi di dalam

masyarakat.

Masyarakat, menurut Sparringa, untuk waktu yang lama dihilangkan kemampuannya untuk secara reflektif melihat sejarah sebagai pengalaman kolektif bangsa karena proses hegemoni yang luar biasa. "Ada jurang yang sangat dalam antara sejarah yang dikonstruksikan oleh Orde Baru dengan sejarah yang didasari oleh

pengalaman hidup korban," ujar Sparringa. "Sejarah korban tak hanya didevaluasi, dimarjinalisasi, tetapi bahkan dibisukan. Itu yang menyebabkan banyak parpol menganggap pelanggaran berat HAM masa lalu itu tidak pernah terjadi."

Dengan situasi seperti itu, maka ketika terbuka ruang bagi elemen civil society-di antaranya adalah parpol-untuk mewarnai politik negara, mereka mengalami disorientasi, bahkan dislokasi tentang masa lalu. Akibatnya, parpol tidak mampu mengonstruksikan masa depan melalui visi dan misinya berdasarkan sejarah kolektif (korban) dan implikasinya.

Pelanggaran berat HAM yang tidak mendapat perhatian, menurut Sparringa, merupakan petaka karena tanpa disadari dapat mereproduksi apa yang buruk dari masa lalu dan tidak bisa menjamin terwujudnya "the future of never again". "Tidak membuat jera," sambung Solahudin Wahid. "Siap-siap saja akan terjadi lagi," ujar Rudi Rizki.

Hal lain yang berbahaya dari situasi ini, menurut Sparringa, adalah, "Ikatan yang paling sentimental tentang identitas kebangsaan terus terancam," ujarnya. Ia menyebut Aceh dan Papua sebagai contoh yang paling jelas. Semua ini, sambung Sparringa, menyebabkan gambaran sebagian parpol tentang "Indonesia Baru" tidak menyentuh sebagian rakyat di negeri ini karena gambaran itu tidak merefleksikan pengalaman kolektif mereka. "Walaupun kelihatannya lupa, sebenarnya mereka tidak pernah melupakan pengalaman itu. Mereka bersikap

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 12

seakan-akan lupa karena tidak bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan ’mengapa’ yang terus bermunculan akibat pengalaman pahit mereka," ujarnya

Ketika banyak orang berusaha melupakan peristiwa pahit yang pernah terjadi, yang muncul adalah fenomena patologis, yang secara sosial mengakibatkan dis-ilusi. "Dan itu disebabkan oleh luka-luka yang tak

tersembuhkan," lanjutnya.

Rudi Rizki menambahkan, pembentukan KKR dan Pengadilan HAM merupakan instrumen untuk

menyelesaikan persoalan masa lalu secara politik dan hukum, namun Pengadilan HAM juga bukan hal yang mudah. "Mengadili pelaku yang masih punya keterkaitan dengan kekuasaan pada masa transisi jelas tidak mungkin," tutur Rizki.

Pengungkapan kebenaran juga tidak mudah. "Banyak orang berkeberatan dengan pengungkapan kebenaran. Padahal, itu penting bagi suatu bangsa untuk bercermin," ungkap Rudi Rizki. Keengganan mengungkap kebenaran-dan menyandarkan penyelesaian masa lalu hanya pada rekonsiliasi-juga tercermin dari pernyataan Wahid, "Rekonsiliasi harus dimulai. Tapi pengungkapan kebenaran sulit," katanya.

Sosialisasi yang tidak arif mengenai KKR memang berisiko memunculkan tiga penyangkalan baru, yakni penyangkalan kebenaran, penyangkalan melakukan tindak kekejaman, dan penyangkalan terhadap keadilan. Karena itu, yang sangat penting, menurut pandangan Rizki adalah pendidikan publik yang terus-menerus dengan merevisi sejarah nasional dan penulisan sebanyak mungkin buku, pembuatan film serta dokumen dari perspektif korban untuk menetralisasi ingatan yang dipenuhi sejarah ciptaan rezim Orde Baru. "Seperti

rangkuman kesaksian korban dalam Nunca Mas yang ditulis novelis Ernesto Sabato dari Brasil dan menjadi best seller," ujarnya. (Maria Hartiningsih)

Kompas,Senin, 08 Maret 2004 Dua Tonggak Menuju Rekonsiliasi

TANPA terasa, di tengah hiruk-pikuk pemilu, sebagian anak bangsa mulai menancapkan dua tonggak besar. Dua tonggak untuk menuju apa yang disebut elite politik sebagai rekonsiliasi nasional. Dua tonggak tersebut, yakni dikokohkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 24 Februari 2004 dan ikrar perdamaian anak bangsa, Jumat 5 Maret 2004. Menariknya, dua tonggak besar itu diprakarsai langsung oleh anak bangsa, tanpa ada keterlibatan elite politik, yang kini sedang bersiap-siap berkampanye.

KEDUA peristiwa itu memang menimbulkan perasaan yang berbaur. Ada yang pro. Ada yang kontra. Putusan sembilan hakim konstitusi-seorang hakim konstitusi Letjen (Purn) Achmad Rustandi tidak sependapat- telah memulihkan hak konstitusional eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menjadi calon anggota legislatif. Dua organisasi besar Islam, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menyambut baik putusan

Mahkamah Konstitusi (MK) itu. Putusan itu merupakan terobosan besar bagi bangsa untuk menuju rekonsiliasi. Meski demikian, ada beberapa komponen bangsa yang mengecam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Peristiwa kedua adalah ikrar perdamaian anak-anak bangsa. Ikrar perdamaian yang diprakarsai Forum

Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) ini telah menyatakan ikrar perdamaian sesama anak bangsa. Ikrar perdamaian itu disampaikan Amelia A Yani (putri dari pahlawan revolusi Jenderal Ahmad Yani), Ilham Aidit (putra dari Ketua Komite Sentral PKI DN Aidit), Sarjono Kartosuwirjo (putra Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo), Perry Omar Dani (putra Marsekal Omar Dani), Ahmad Zahedi (cucu Teungku M Daud Beureuh), Mochamad Basyir (cucu HOS Tjokroaminoto), dan Yap Hong Gie (putra Yap Thiam Hien).

"Kami berikrar menghargai kesetaraan di antara kami dan di antara segenap warga negara Indonesia," kata Sarjono Kartosuwirjo membacakan ikrar. Melalui FSAB, ia dan teman-teman yang selama ini terpinggirkan merasa mendapatkan tempat.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 13

Direktur FSAB Suryo Susilo merasa bahagia dengan ikrar dan terbentuknya forum yang mewadahi dan mempersatukan keluarga TNI, PKI, Darul Islam, dan komunitas Tionghoa. "Beberapa tahun lalu, hampir tidak mungkin kita membayangkan pertemuan dan persatuan mereka yang secara ideologis bertentangan," kata Suryo.

Rekonsiliasi akar rumput ini sungguh mengejutkan. Mayjen (Purn) Salamun yang mengaku ikut menguber dan mengawal anggota PKI ke Pulau Buru merasa terperangah. "Saya tak membayangkan ini bisa terjadi. Ini adalah permulaan dan jangan sampai berhenti," kata Salamun yang hadir dalam ikrar tersebut.

Meskipun tak ada elite parpol yang terlibat, sebagaimana diakui Suryo, ikrar perdamaian diucapkan terkait dengan kerinduan FSAB menyaksikan proses Pemilu 2004 yang jauh dari konflik dan kekerasan. "Jangan lagi mewariskan dendam dan konflik. Kami juga bertekad untuk tidak membuat konflik baru," ujar Suryo. AKTIVIS hak asasi manusia (HAM) dari Imparsial, Rachland Nashidik, melihat dua peristiwa itu sungguh merupakan perkembangan positif dalam penyelesaian masa lalu bangsa. Dengan dua peristiwa itu, patron Afrika Selatan sebagai model penyelesaian yang selama ini diyakini elite politik Indonesia perlu dipertimbangkan kembali.

Dari putusan MK 24 Februari 2004 menunjukkan bahwa untuk mendapatkan kembali hak-hak korban (rehabilitasi, restitusi, dan reparasi) tidak perlu harus didahului dengan hak korban atas keadilan (right to justice) dan hak korban untuk mengetahui (right to know). Korban terbukti bisa berjuang sendiri untuk mendapatkan kembali hak konstitusionalnya.

Putusan MK tersebut bisa ditempatkan sebagai constitutional justice. Putusan MK itu telah mengoreksi ketidakadilan konstitusional yang diderita eks anggota PKI untuk menjadi calon anggota legislatif. "Jadi, hak konstitusional korban telah bisa diperoleh tanpa harus melalui pengungkapan kebenaran dan pemberian amnesti," kata Rachland.

Putusan MK itu seakan mematahkan tesis yang selama ini diyakini bahwa rekonsiliasi baru bisa dilakukan setelah ada pengungkapan kebenaran, pemberian keadilan, dan pemberian amnesti, sebagaimana yang terjadi di Afrika Selatan. "Model Afrika Selatan terbukti tidak berjalan di Indonesia," kata Rachland yang banyak mendalami soal-soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Ikrar perdamaian antar-anak bangsa, menurut Rachland, juga juga menunjukkan kearifan anak bangsa yang sama-sama menjadi korban untuk menghentikan permusuhan. "Itu adalah rekonsiliasi sesama korban. Pertemuan itu seakan memberikan definisi rekonsiliasi sebagai pemulihan kesalahpahaman antarsesama masyarakat menuju masyarakat baru.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Abdul Hakim Garuda Nusantara saat

menyampaikan sambutan dalam acara FSAB mengatakan, rekonsiliasi adalah sebuah usaha besar secara sadar untuk berhadapan dan bahkan masuk mengolah masa lalu sebuah bangsa yang traumatik. Suatu usaha untuk menghubungkan antara politik memori dan pertanggungjawaban. "Sayangnya, konsep rekonsiliasi dipergunakan dengan pengertian yang amat harfiah, untuk kepentingan politik sesaat, sehingga justru sarat dengan pengertian yang bagi korban khususnya korban kekerasan masa lalu, sangat mencurigakan," kata Abdul Hakim.

Bahkan, saat ini, menurut Abdul Hakim, rekonsiliasi diartikan melupakan masa lalu, membiarkan tidak adanya pertanggungjawaban dan menyangkal adanya kekerasan pada masa lalu.

BERANGKAT dari peristiwa itu, menurut Rachland, paradigma restorative justice yang dikembangkan draf Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR), seyogianya disesuaikan. Paradigma restorative justice mengedepankan perlunya harmoni sosial dan mengebelakangkan sosial dan legal justice.

Dengan adanya dua peristiwa itu, kata Rachland, RUU KKR harus diarahkan menuju terpenuhinya hak korban untuk mengetahui dan hak korban untuk mendapatkan keadilan. KKR harus mampu mengungkapkan kebenaran dalam sebuah peristiwa. Korban mempunyai hak untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dan siapa

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 14

sebenarnya yang harus bertanggung jawab. Setelah korban mengetahui, dia bisa memberikan maaf dan ampun. Dan setelah ada pengungkapan kebenaran, kita bisa menatap ke masa depan.

Dalam perspektif Rachland, RUU KKR yang sedang dibahas DPR-namun tak tahu kapan akan selesai karena DPR reses dan segera dilangsungkan pemilu-seharusnya menggunakan paradigma retributive justice. Paradigma ini mendorong terbentuknya moral society yang mampu melakukan upaya-upaya agar pelanggaran HAM tidak terjadi lagi di masa depan. Dalam konteks itu, pemberian keadilan kepada korban harus menjadi yang utama. Bagi Rachland, pengungkapan kebenaran adalah hal yang esensial yang penting. "Memang kita harus menyimpan masa lalu ke belakang dan menerimanya sebagai bagian dari sejarah. Akan tetapi, kita harus tahu apa sebenarnya yang terjadi pada masa lalu guna menata masa depan yang lebih baik," kata Rachland. Ingatan sosial itu sangat penting. Sebagaimana ditulis Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan, sebuah bangsa tanpa ingatan sosial adalah sebuah bangsa tanpa masa depan. Melanggengkan ingatan sosial adalah upaya untuk mencegah repetisi kekerasan.

Menghidupkan ingatan sosial berarti membangun bersama proyek perdamaian dan berusaha tidak mengulangi kekeliruan masa lampau yang tragis dan melukai ingatan sosial.

Untuk itu, monumen-monumen untuk melanggengkan ingatan bangsa diperlukan agar generasi baru bangsa mengetahui sejarah bangsa ini.

Sebagaimana dikatakan Abdul Hakim, tidak melupakan bukan berarti meminta korban untuk meratapi kepedihan akibat kekerasan masa lalu. Tidak melupakan berarti menghargai keyakinan korban bahwa sesuatu memang terjadi pada masa lalu. Sebaliknya, mengajak korban melupakan masa lalu, berarti memperlakukan mereka seolah-olah tidak ada kesalahan besar di masa lalu.

Generasi baru bangsa harus mengetahui bahwa di Tanah Air ini pernah terjadi pembantaian pada tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok 1996, kerusuhan Mei 1998, yang telah memakan ribuan korban jiwa. Pengetahuan itu bukan untuk membuka luka lama, tapi justru untuk mencegah agar peristiwa serupa tak terulang di masa mendatang. (Budiman Tanuredjo)

Gusdur.net-Jumat 12 Maret 2004 Rekonsiliasi Mengapa Tak Mau? Oleh: Tom S.Saptaatmaja

Bagi siapapun yang mencintai kemanusian dan kerukunan antar sesama warga bangsa, tentu bahagia melihat beberapa perkembangan terakhir, seperti keputusan Mahkamah Konstutusi yang Rabu (25/2) menyatakan Pasal 60(g) UU Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 tidak lagi berlaku. Kita juga bangga mendengar niat Komnas HAM untuk mengajukan uji materi (judicial review) terhadap seluruh peraturan perundangan yang diskriminatif, seperti TAP MPRS No XXV Tahun 1966.Kita juga layak menyambut gembira pertemuan Amelia Yani, putri mendiang Jendral Ahmad Yani dengan Ilham Aidit dkk yang tergabung dalam Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB) di Hotel Hilton Jakarta (5/3).

Sayang sekali, masih ada pihak yang justru tidak gembira melihat beberapa perkembangan terakhir ini. Ketua Paguyuban Korban Orde Baru dr Ribka Tjiptaning Proletariyati menilai keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai keputusan terlambat.Ketika mengomentari rencana Komnas HAM, anggota Panitia Ad Hoc (PAH) II MPR Hajriyanto Y.Tohari berkomentar MPR tidak akan mengagendakan pencabutan TAP MPRS No XXV Tahun 1966. KH Jusuf Hasyim malah berniat menggalang kekuatan menolak caleg eks PKI.

Nah, respons seperti itu jelas megindikasikan bahwa ternyata masih ada persoalan masa lalu yang belum tuntas diselesaikan sampai saat ini. Padahal dalam opini “Keadilan dan Rekonsiliasi”, Abdurrahman Wahid

menekankan :”Konflik-konflik bersenjata di masa lampau dapat dianggap selesai, apapun alasannya, karena kita sekarang sudah kuat sebagai bangsa dan tidak usah menakuti kelompok manapun”(Kompas 14/2).

Ternyata memang harus diakui sebagai bangsa kita masih belum begitu kuat benar, karena masih terus terbelenggu oleh persoalan masa lalu. Buktinya lagi, sampai saat ini yang namanya rekonsiliasi (ishlah) masih

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 15

menjadi ide yang melayang-layang di meja DPR, padahal para anak korban atau pelaku dari masa lalu yang tergabung dalam FSAB sudah memberi contoh. ”Jika kita bisa berdamai, mengapa yang lain tidak bisa”, kata mereka seperti dikutip Kompas (6/3). Sampai saat ini baru delapan Fraksi siap membahas Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Yang memprihatinkan, tak jarang gagasan untuk rekonsiliasi itu sendiri justru dicurigai baik oleh pihak yang merasa sebagai ‘korban’, maupun oleh pihak yang dianggap sebagai pelaku peristiwa masa lalu. Sastrawan kelas dunia Pramoedya Ananta Toer misalnya bertanya “Untuk apa rekonsiliasi? Tak ada gunanya”. Malah ketika menjabat presiden, Abdurrahman Wahid yang merupakan pejuang HAM sejati pernah ditertawakan, karena meminta maaf pada para korban akibat peristiwa 30 September 1965 (Dalam acara Secangkir Kopi Dengan Gus Dur TVRI 12/3/2000). Jadi agaknya ada dilema besar untuk mewujudukan rekonsiliasi. Masing-masing pihak merasa jadi korban dan kesalahan tidak terjadi pada pihak ‘saya’.

Tapi apa sebenarnya yang menjadi ‘raison d’etre’ sampai kita begitu susah untuk rekonsiliasi, padahal kalau kita tilik sebagian besar dari kita mengklaim sebagai umat beragama. Sepertinya ada diskrepansi antara kemulian ajaran agama dengan praksis hidup umat beragama. Sementara agama manapun mengajarkan nilai-nilai cinta untuk sesama, sedangkan dalam praksis hidup, kita tidak percaya pada kekuatan cinta. Sebaliknya, lebih banyak yang tertarik dengan filosofi eksistensialis Prancis JP Sartre bahwa “l’enfer, c’est l’autret” atau “orang lain adalah neraka”. Memang Sartre menyadari bahwa setiap orang dalam hidupnya pasti mengenal cinta. Tetapi cinta-dalam hemat Sartre- tak beda dengan modus operandi licik demi menguasasi kemerdekaan orang lain dalam bentuk yang sangat halus. Cinta dalam perspektif Sartre tak beda jauh dengan masokisme demi membelenggu kemerdekaan orang lain dan diri sendiri mereguk nikmat. Itu agaknya yang diyakini Pram atau siapapun yang enggan diajak rekonsiliasi.

Budayawan dan jurnalis gaek Mochtar Lubis juga berpendapat bahwa pada dasarnya mentalitas orang Indonesia itu suka membenci dan mendendam. Di bawah garis pemikiran Sartre, kiranya mudah dipahami bahwa

semangat membenci dan mendendam yang berwujud dalam kegemaran akan konflik dan anti rekonsiliasi memang merupakan definisi hubungan antar manusia di negri ini; tiap orang selalu berusaha membinasakan orang lain seperti terjadi dalam Tragedi 1965. Malah menurut sejarawan Anhar Gonggong, dalam talkshow Bincang Sabtu bertajuk “Kembalinya Para Politisi Eks PKI” (Trijaya Network 28/2) ternyata sepanjang 58 tahun ini, masing-masing komponen bangsa, juga antara pemerintah dengan rakyat Indonesia bisanya cuma saling menyakiti.

Sebenarnya dalam konteks Indonesia yang masih paternalistik, warga kebanyakan tidak mutlak bisa dipersalahkan, mengingat mereka sering hanya menjadi figuran saja dalam permainan berbahaya bernama konflik sosial seperti Tragedi 1965. Karena sebenarnya menurut Dr.Haryatmoko, pengajar filsafat UI dan IAIN Sunan Kalijaga Yogya, yang lebih bertanggungjawab dan layak dipersalahkan dalam hal ini adalah para ‘demagog’ kebencian. Demagog berasal dari kata Prancis “demagogue” yang berarti orang yang suka menghasut, lalu mempermainkan emosi massa sambil menyebarkan kebencian demi kepentingannya sendiri. Dengan menciptakan beragam argumentasi, para demagog kebencian itu selalu bisa menciptakan kambing hitam untuk bisa dijadikan sasaran. Yang memprihatinkan, jika agama yang suci diperalat untuk memberi landasan ideologis dan pembenaran simbolis. Akibatnya seperti dikatakan Goenawan Mohamad, orang ingin masuk surga tetapi justru dengan menciptakan neraka bagi sesama. Para demagog tentu saja akan senang jika cita-cita akan harmoni dan kasih sayang antar sesama di negri ini tidak terwujud. Mereka mencoba beragam

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 80-103)