• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformasi Versus Kepastian Hukum

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 157-160)

APA yang terjadi di Tanah Air setelah reformasi. Benarkah telah terjadi perbaikan? Benarkah rakyat mulai menikmati arti kemerdekaan dan rasa aman? Benarkah rakyat mulai menikmati makna kedaulatan berada di tangan rakyat?

KETUA Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Abdul Hakim Garuda Nusantara melontarkan hal itu. Ditemui di ruang kerjanya, Kamis (9/9) sore, tujuh dari 14 bersaudara pasangan Badjoeri-Mariam ini, yang namanya berkibar setelah menangani beberapa kasus seperti kasus Kedung Ombo (1989-1991), Petani Garam Sumenep, Madura (1988-1989), dan kasus masyarakat Suku Amungme melawan Freeport di Timika (1995-1996), mengakui, pemerintahan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri telah melakukan berbagai perbaikan.

"Memang terkesan lamban. Tapi tolong dipahami, terlalu banyak ’utang’ dan ’dosa’ negara di masa lalu terhadap bangsa, sementara di sisi lain sistem dan personel birokrasi kita belum berubah," kata ayah tiga anak- Amanda Kasih Hanna Mariam (13), Stevii Benjamin Pramudita (11), serta Arafat Garcia Mariam (10)-itu. Mereka yang bisa memanfaatkan iklim kebebasan pun baru sebatas elite. Celakanya, mereka memanfaatkannya untuk kepentingan mereka sendiri dengan cara yang justru bertentangan dengan moral agama mereka. Rakyat menanggapi hal ini dengan sikap anarkis.

"Itu karena reformasi tidak diikuti dengan usaha penegakan hukum. Akibatnya, Indonesia diliputi

ketidakpastian hukum. Korupsi, tindak kekerasan, dan teror merajalela," tegas pelahap makanan laut minus udang itu.

Meski demikian, lanjut Abdul Hakim, "Belakangan kan polisi mulai rajin membawa ke pengadilan para wakil rakyat atau mantan wakil rakyat. Kita tidak boleh menafikan usaha ini."

Berikut pandangan dia mengenai tanggung jawab negara terhadap rasa aman masyarakat, penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu, serta Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Era reformasi yang ditandai kebebasan bersuara, berekspresi, dan berserikat ternyata berjalan seiring dengan semakin tipisnya rasa aman masyarakat. Sejauh mana tanggung jawab negara terhadap hal ini?

Elemen negara itu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan segala kekurangannya, eksekutif dan legislatif, dalam hal ini pemerintah dan DPR, sudah melakukan berbagai perbaikan meski masih dinilai jauh dari harapan. Ada Mahkamah Konstitusi, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), lembaga ombudsman, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan yang dulu tidak kita kenal.

Bahwa lembaga-lembaga itu dinilai belum maksimal, ada benarnya, tapi kan usaha ke arah itu tidak berhenti? Tugas DPR menyempurnakan aturan mainnya. Tugas pemerintah menyiapkan fasilitas dan dana yang memadai dan tugas lembaga-lembaga bersangkutan mengelola lembaga agar produktif, transparan, dan makin mandiri. Yang masih menjadi ganjalan di eksekutif mungkin soal pemberdayaan polisi dan jaksa yang langsung berkaitan dengan usaha penegakan hukum. Apalagi dengan masih rendahnya prestasi lembaga-lembaga yudikatif dibandingkan dengan eksekutif dan legislatif. Merekalah yang secara langsung bertanggung jawab memelihara rasa aman masyarakat.

Sebenarnya enam tahun belakangan ini iklim sosial politik kita sudah semakin membaik. Kebebasan sipil meningkat.

KEBEBASAN sipil meningkat. Lalu bagaimana dengan kasus majalah Tempo? Kasus Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok? Kasus Trisakti-Semanggi, kasus pembakaran seni instalasi? Masih enggannya militer

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 88

meninggalkan panggung politik sipil? Masih berlangsungnya tindakan anarkis masif yang dicurigai digerakkan oleh elite sipil dan militer?

Betapapun, kasus-kasus tersebut tidak menafikan meningkatnya kebebasan sipil. Memang masih terjadi berbagai tindak kekerasan, teror, intimidasi, represi, yang lalu bermuara dalam tindakan pelanggaran HAM, bahkan pelanggaran HAM berat, seperti masih terjadi di Aceh, Poso, dan Papua.

Ini terjadi karena sebagian usaha penegakan hukum masih banyak dipengaruhi oleh variabel politik, dan sebagian lain karena masih miskinnya sumber daya manusia di lingkungan yudikatif. Variabel politik yang saya maksud misalnya sikap kekanak-kanakan elite sipil terhadap elite militer. Praktik dagang sapi di antara mereka serta tindakan tidak bermoral lain di antara sebagian mereka dalam rangka menjalankan fungsi legislasi dan kontrol terhadap pelaksanaan aturan main yang ada.

Hal serupa terjadi di lingkungan yudikatif. Sikap mereka terhadap otoritas politik, dalam hal ini eksekutif dan legislatif, terlalu berlebihan sehingga mereka rendah diri untuk mandiri dan menolak intervensi politik. Belum lagi soal profesionalisme, sistem, kesejahteraan pegawai, dan kualitas pelayanan publik. Masih jauh dari memadai. Hal ini misalnya ditandai dengan maraknya praktik mafia peradilan.

Suburnya praktik mafia peradilan ini kan cermin belum mandirinya lembaga yudikatif? Saya melihat, lembaga yudikatif masih belum bebas dari soal uang dan kekuasaan, kalau tidak mau disebut justru bergantung pada kedua hal itu. Memprihatinkan memang.

Sekarang jelas bukan? Yang terjadi sebenarnya adalah kebebasan sipil masih terdistorsi oleh usaha penegakan hukum. Harapan adanya kepastian hukum menjadi pupus. Masyarakat lalu menjadi anarkis, sementara elitenya menjadi makin korup, makin sewenang- wenang. Keadaan ini membuat kita semakin sulit membangun social trust di antara kita sendiri. Inilah yang membuat keadaan negara makin rawan. Kebebasan tanpa kepastian hukum membuka peluang terjadinya disintegrasi. Tapi jawabnya tentu saja bukan dengan tindakan otoritarian militeristik, tapi dengan mendorong pemberdayaan yudikatif.

SOAL penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu?

Saya akui, soal ini masih seperti benang kusut karena Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM belum mengatur secara jelas kewenangan penyelidikan oleh Komnas HAM. Juga soal mekanisme kerja Kejaksaan Agung, Komnas HAM, dan DPR.

Namun sebenarnya, sambil menunggu revisi undang-undang ini, Komnas HAM sudah berinisiatif mencari jalan keluarnya. Saya sudah beberapa kali menawarkan pihak Kejaksaan Agung dan DPR untuk duduk bersama menyamakan persepsi dahulu tentang mekanisme kerja tersebut. Harapan saya, ketiga pihak bisa menyusun bersama pedoman kerja sementara sambil menunggu revisi undang-undang tadi.

Saya mengusulkan agar DPR tidak mengintervensi usaha Komnas HAM dengan membentuk sendiri tim penyelidik. Ini karena DPR tidak memiliki kewenangan judicial dalam menentukan ada tidaknya pelanggaran HAM. Tugas DPR cuma memutuskan, dugaan sementara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung mengenai ada tidaknya pelanggaran HAM itu bisa dilanjutkan dengan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc atas

rekomendasi presiden.

Kepada Kejaksaan Agung, saya juga sudah mengusulkan agar bila terjadi perbedaan pendapat mengenai ada tidaknya dugaan pelanggaran HAM, sebaiknya baik Komnas HAM maupun Kejaksaan Agung bersikap transparan dengan menyampaikan alasan-alasannya kepada publik. Biarlah kemudian masyarakat dan para wakil rakyat yang menilai sendiri.

Saya khawatir, kalau keadaannya masih seperti sekarang, belum berubah, usaha penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu akan gagal. Betapapun maksimal usaha Komnas HAM, Komnas HAM ini kan cuma subsistem dari sebuah sistem yang lebih besar.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 89

Maksudnya?

Ada sebagian masyarakat, terutama korban dan keluarga korban, menganggap undang- undang tersebut lebih memihak pelaku ketimbang korban.

Kekhawatiran itu memang ada. RUU bisa menjadi alat pengampunan bagi para pelanggar HAM. Padahal tidak demikian, karena dalam proses, butuh tanda tangan presiden. Dan sebelum menandatangani amnesti tersebut, presiden harus berkonsultasi dulu dengan DPR. Korban yang keberatan terhadap amnesti pun masih bisa mengajukan gugatan ke pengadilan atas keputusan itu.

Saya belum bisa banyak mengomentari masa depan Undang-Undang KKR ini. Saya masih harus melihat dulu praktiknya di lapangan. Kalau dalam dua kasus saja ternyata KKR ini memang cuma menjadi alat pengampunan bagi elite, ya harus diubah.

Ini kan bukan cuma soal undang-undang, tapi juga soal komitmen moral presiden dan para wakil rakyat di DPR. Menjadi subyektif memang, tapi toh rakyat masih bisa menghukum mereka lewat mekanisme pemilu.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 90

Kompas, Selasa 14 Sep. 04

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 157-160)