• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUU KKR Masih Terfokus ke Pelaku, Bukan pada Korban

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 50-53)

Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang disetujui Panitia Khusus DPR dan pemerintah telah mengalami banyak perbaikan dibandingkan dengan naskah awal. Namun, rancangan itu masih terfokus pada pelaku ketimbang korban.

Demikian dikatakan Koordinator Tim-tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Peristiwa ’65 Witaryono S Reksoprodjo kepada Kompas di Jakarta, Jumat (3/9). Witaryono menyebut Pasal 27 RUU KKR yang menyatakan kompensasi dan rehabilitasi bagi korban baru dapat diberikan jika permohonan amnesti pada pelaku telah dikabulkan. Jika pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu itu ternyata dilakukan negara, proses pemberian amnesti akan sulit. "Harusnya, setelah komisi mengungkap kebenaran dan pelaku mengaku melanggar HAM, maka rehabilitasi dan kompensasi korban segera diberikan agar nasib mereka tak terkatung-katung," ujar Witaryono, anak mantan Menteri Listrik dan Ketenagaan Kabinet Dwikora pada era Soekarno yang sempat ditahan 12 tahun tanpa diproses hukum. Namun, Wakil Ketua Pansus RUU KKR Akil Mochtar menyatakan Pasal 27 tidak dimaksudkan untuk menggantung hak-hak korban pelanggaran HAM. Sebab, rekonsiliasi baru terjadi bila pelaku sudah mengakui pelanggaran HAM dan korban memaafkan. "Kalau rehabilitasi dan kompensasi sudah diberikan sebelum amnesti, artinya tidak terjadi rekonsiliasi. Jika kebenaran sudah terungkap, pelaku mengakui dan korban memaafkan, tapi negara menganggap pelanggaran HAM terlalu berat dan amnesti tidak diberikan, maka kasus itu dapat dilimpahkan ke Pengadilan HAM Ad Hoc, termasuk rehabilitasi dan kompensasi," ujarnya.

Anggota Pansus dari Fraksi TNI/Polri, Mayjen TNI Djasri Marin, berpendapat pasal tersebut juga untuk menghindari persekongkolan antara korban dan pelaku guna mendapatkan dana kompensasi. "Bisa saja antara korban dan pelaku saling akal-akalan untuk mendapat uang," tandas Akil. (sut)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

51

Kompas, Selasa 07 September 2004

Meski Dinilai "Pincang", RUU KKR Akan Disahkan

Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, menurut rencana dalam rapat paripurna hari Selasa (7/9) ini akan disetujui DPR untuk disahkan menjadi UU. Undangan soal itu telah diedarkan.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) memegang peranan strategis untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Rancangan UndangUndang (RUU) KKR tersebut tak memberikan batas waktu sampai kapan pelanggaran HAM masa lalu bisa ditelusuri kebenarannya. Sebelumnya, sempat dinyatakan bahwa pengungkapan kebenaran dilakukan sejak 17 Agustus 1945 hingga tahun 2000.

Direktur Program Imparsial Rachland Nashidik dan korban pelanggaran HAM menilai, substansi RUU KKR lebih banyak memberikan perlindungan kepada pelaku daripada mengedepankan keadilan bagi korban.

"RUU ini masih pincang. Kalau pelaku sudah mengakui dan korban tidak memaafkan, komisi dapat memberi amnesti kepada pelaku. Sedangkan kalau pelaku tidak mengakui dan akhirnya amnesti tidak diberikan, komisi tidak dapat memberi rehabilitasi dan kompensasi kepada korban," kata Judilherry Justam dari Komite Waspada Orde Baru.

Rachland menambahkan, yang lebih substansial sebenarnya apakah keadilan bagi korban bisa diberikan tanpa harus digantungkan pada apakah korban memberi maaf atau tidak, serta pelaku mengakui dan menyesali perbuatannya atau tidak.

Dalam naskah RUU KKR, yang direncanakan disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), itu memang terdapat klausul yang mensyaratkan pemberian kompensasi dan rehabilitasi setelah amnesti dikabulkan. Hal itu tertuang dalam Pasal 27 RUU KKR. Bunyinya, "Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal (19) dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan."

Witaryono S Reksoprodjo, Koordinator Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan dan Advokasi Korban ’65, yang dihubungi terpisah, menyatakan, rumusan yang tertuang di Pasal 27 itu dikhawatirkan akan kembali memperpanjang penderitaan korban.

Soalnya, apabila tidak ada satu pun pelaku yang mau mengakui pelanggaran HAM, praktis seluruh kasus dilimpahkan ke Pengadilan HAM Ad Hoc yang prosesnya masih panjang. Implikasinya, korban yang selama ini hak-haknya telah direnggut pun tidak bisa segera mendapat rehabilitasi dan kompensasi. "Di Afrika Selatan memang ada banyak jenderal yang mau mengakui pelanggaran HAM yang telah dilakukan mereka. Di sini bisa tidak ada satu jenderal pun yang mau mengakui," kata Witaryono. Oleh karena itu, dia juga mengharapkan kepada fraksi-fraksi di DPR agar pada Pasal 29, yang terdiri dari tiga ayat, ditambah satu ayat lagi. Bunyi ayat dimaksud adalah "Dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka komisi memutus

memberikan rekomendasi rehabilitasi dan kompensasi secara mandiri dan obyektif.

Judilherry juga mengharapkan DPR selain memerhatikan aspek legal, juga memerhatikan aspek

kemanusiaan. "Rehabilitasi dan kompensasi kepada pelaku jangan lagi ditunda-tunda. Selama ini saja hak-hak mendasar mereka sudah dirampas. Menunda rehabilitasi kompensasi berarti memperpanjang

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

52

Panglima TNI

Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Endriartono Sutarto yang ditemui di sela-sela rapat kerja dengan Komisi I DPR menyatakan akan menerima semua putusan yang telah ditetapkan melalui proses politik di DPR.

"Silakan saja nasional yang memutuskan. Karena itu berkaitan dengan kepentingan nasional, masalah rekonsiliasi, apa pun yang sudah disepakati wakil rakyat, ya kami patuh dan kami laksanakan," ucapnya. Demikian pula dengan adanya klausul yang tertuang dalam Pasal 29 (3) yang menyatakan, "Dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka pelaku pelanggaran HAM yang berat tersebut kehilangan hak mengajukan amnesti dan diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc."

"Kalau itu memang sudah menjadi keputusan yang mesti dijalankan, masa enggak," ujarnya.

Rachland menilai dalam RUU KKR dicampurkan antara domain privat dan domain publik. "Penegakan hukum dan keadilan seharusnya tak perlu dikaitkan dengan variabel adanya pemaafan korban atau penyesalan dari pelaku."

Ia menilai praktik impunity tampaknya terus langgeng dalam sistem politik di Indonesia. "Ini hanyalah bagian dari permainan politik," ujar Rachland.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR Sidharto Danusubroto dan Wakil Ketua Pansus Akil Mochtar optimistis, pengambilan keputusan RUU KKR akan berjalan mulus hari ini. "Kalaupun ada

ketidaksempurnaan, hal itu wajar dalam proses politik. Memang sulit memuaskan semua pihak," kata Sidharto. (sut/bdm)

kliping

ELSAM

KLP: Pansus KKR 2004-hal.

53

Koran Tempo, Selasa, 7 September 2004

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 50-53)