• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bersinergi atau Saling Meniadakan?

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 187-190)

KISAH menarik dari usaha sejumlah negara dalam menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu lewat rekonsiliasi nasional telah menginspirasi masyarakat sipil di Tanah Air. Melalui desakan para praktisi hukum, pemuka masyarakat, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang terkesan dengan pergulatan bangsa lain dalam menyelesaikan masa lalunya nan pahit, pemerintah akhirnya membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan lahir belakangan.

DI Afrika Selatan (Afsel), kisah sukses rekonsiliasi nasional dipelopori presidennya, Nelson Mandela, dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dipimpin Uskup Desmond Tutu. Komisi itu bertugas memetakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat selama 34 tahun Rezim Apartheid Afsel berkuasa.

Lembaga ini menghimpun seluruh kisah duka para korban pelanggaran HAM berat dalam laporan lima jilid berjudul, "The Report of The Truth and Reconciliations Commission".

Kerja lembaga ini mendapat dukungan penuh elite sipil dan militer. Proses pemeriksaan terhadap mantan Presiden Afsel FW De Clerk, Wakil Presiden PW Botha, Panglima Angkatan Bersenjata Afsel Magnus Malan serta sejumlah mantan petinggi Rezim Apartheid lainnya pun berjalan lancar.

Sikap ksatria para petinggi Rezim Apartheid ini pun dibalas dengan ketulusan hati Mandela dan rakyat Afsel yang memilih rekonsiliasi ketimbang pengadilan HAM. Hal serupa terjadi di Korea Selatan semasa Presiden Kim Young-sam (1993-1998). Di masa transisi dan krisis ekonomi 1997, ia bukan hanya berhasil melakukan langkah rekonsiliasi, tetapi juga meningkatkan perekonomian nasional dan kehidupan demokrasi. Luar biasa!

Di Argentina, Conadep (Comision Nacional Para La Desaparacin de Personas/Komisi Nasional untuk Orang Hilang, Lembaga KKR di Argentina) dibentuk Presiden Raul Alfonsin lewat dekrit presiden tahun 1983. Komisi ini mengungkap modus penculikan yang dilakukan militer untuk merepresi sipil, antara lain dengan ditemukannya 340 tempat penyekapan rahasia. Modus penculikan ini nyaris berujung pada usaha kudeta militer. Pengadilan militer kemudian secara terbuka menghukum 365 personel militer. Kisah ini diakhiri dengan laporan Conadep berjudul "Nunca Mas!" ("Tidak Lagi!"). Laporan ini lalu menjadi referensi KKR di banyak negara.

Rangkaian kisah nyata yang dihiasi oleh keringat, darah, dan air mata ini kemudian mendorong terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan KKR di Tanah Air. Kedua lembaga ini diharapkan mampu bersinergi satu sama lain. Harapannya, masalah pelanggaran HAM yang berat, yang bukti dan saksinya dinilai cukup, bisa segera dibawa ke pengadilan HAM Ad Hoc lewat Komnas HAM, sedangkan yang bukti dan saksinya tidak memadai diselesaikan lewat mekanisme KKR.

Lewat KKR dan Komnas HAM, negara bisa "membayar dosa-dosa" masa lalunya terhadap rakyatnya sendiri, sekaligus memperbaiki sistem di lingkungan militer dan polisi agar dosa masa lalu tersebut tidak terulang lagi.

SELANCAR dan semudah itukah mewujudkan impian indah itu? Reaksi awalnya justru negatif. Tiga organisasi Islam-Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) menolak lahirnya KKR. Ketiga lembaga itu menilai, selain tidak bermanfaat, KKR tidak akan bisa menjamin adanya rekonsiliasi nasional karena UU KKR dianggap tidak realistis. Yang muncul justru kekhawatiran bahwa KKR bakal menjadi sumber konflik baru. "Apa yang ada dalam UU KKR tidak memberi jaminan menuju ke arah terwujudnya rekonsiliasi. Yang diatur dalam UU KKR justru membuat di antara kita bertikai dalam mencari proses kebenaran. Kondisi ini justru akan melahirkan luka baru," kata Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi waktu itu.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004

11

Ketiga lembaga lebih menghendaki pendekatan kultural dalam rekonsiliasi, sementara sejumlah lembaga swadaya masyarakat, korban, dan keluarga korban menuduh UU KKR dibuat justru membuat pelaku tak terjerat hukum. Tak heran bila mereka kemudian mencurigai UU KKR lebih memihak pelaku daripada korban.

Wakil Ketua dan salah seorang anggota Komnas HAM, masing-masing Zoemrotin dan MM Billah, bahkan mencurigai kehadiran KKR nanti justru menjadi ancaman bagi Komnas HAM, terutama menyangkut wewenang penyelidikan.

Billah dan Zoemrotin berpendapat, apa yang diatur dalam UU KKR mengenai wewenang penyelidikan juga diatur dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kewenangan penyelidikan KKR dalam UU KKR disebutkan dalam Pasal 7, a-b-c-d, dan Ayat dua "e", sedangkan kewenangan penyelidikan oleh Komnas HAM disebutkan di UU No 39/1999 Pasal 89 Ayat tiga a-b-c, dan Pasal 95, serta UU No 26/2000 Pasal 18.

Persoalannya, kalau ketiga UU tersebut memberi hak yang sama kepada KKR maupun Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan, lalu lembaga mana yang menjadi "pintu pertama" penyelidikan? "Soalnya pemeriksaan kepada korban maupun pelaku tidak boleh terjadi dua kali," kata Billah. Zoemrotin menganggap Komnas HAM-lah pintu pertama penyelidikan. Komnas HAM-lah yang pertama kali menentukan kasus yang diduga diwarnai pelanggaran HAM berat mana saja yang akan dibawa ke Kejaksaan Agung untuk kemudian dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc atas rekomendasi DPR dan presiden serta mana yang akan dilimpahkan ke KKR karena tak cukup bukti dan saksi. Zoemrotin mengimbau sebaiknya kasus yang diduga mengandung unsur pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, yang sudah direncanakan Komnas HAM sebelum terbentuknya KKR, diselesaikan Komnas HAM. Rapat Paripurna Komnas HAM belakangan memutuskan pembentukan dua tim penyelidik kasus penghilangan orang secara paksa yang terdiri dari Tim Kasus Daerah Operasi Militer Aceh, Tim Kasus Kerusuhan Mei, dan Tim Kasus Penculikan Aktivis Mahasiswa oleh Tim Mawar tahun 1998.

Tim berikutnya adalah tim kasus mantan Presiden Soeharto yang terdiri dari Tim Kasus Penembakan Misterius 1980, Kasus Pulau Buru, Kasus Korban PKI, serta Kasus Fitnah PKI. "Biarlah Komnas HAM yang bekerja dulu menyelidiki kasus-kasus ini. Biarlah Komnas HAM yang menyerahkan berkas sebagian kasus ke KKR dan sebagian lagi ke Kejaksaan Agung," tutur Zoemrotin.

Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR Akil Mochtar, seperti dikutip Harian Suara Pembaharuan (7/9), berpendapat sebaliknya. Merujuk Pasal 29 Ayat (3) UU KKR dan bagian penjelasan UU tersebut dia berpendapat, KKR-lah pintu pertama penyelidikan. Kalau pelaku tidak mengakui perbuatannya, dia bisa diajukan ke Pengadilan HAM. Demikian juga kalau presiden menolak memberikan amnesti. Kasusnya kemudian bisa di bawa ke pengadilan.

Pasal 29 Ayat (3) UU KKR menyebutkan: Dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya, serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka pelaku pelanggaran HAM yang berat tersebut kehilangan hak mendapat amnesti dan diajukan ke pengadilan HAM Ad Hoc.

Bagian penjelasan UU KKR menyebutkan: Apabila permohonan amnesti beralasan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan kepada korban harus diberikan kompensasi dan atau rehabilitasi. Apabila permohonan amnesti ditolak, maka kompensasi dan atau rehabilitasi tidak diberikan oleh negara, dan perkaranya ditindaklanjuti untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Untuk menghindari silang pendapat ini, baik Zoemrotin maupun Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim mengusulkan adanya kesepakatan bersama antara KKR dan Komnas HAM. Bedanya, kalau Zoemrotin menghendaki kesepakatan tersebut dibuat di awal

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004

12

terbentuknya KKR, Ifdhal memilih kesepakatan dibuat bila terjadi sengketa antara kedua lembaga tersebut.

TERTUTUPKAH peluang sengketa antara KKR dan Komnas HAM bila kesepakatan tersebut dibuat? Ifdhal mengakui, "tidak ada jaminan". Lebih-lebih bila melihat resistensi militer terhadap pengadilan HAM. "Sepengamatan saya, hanya sekali tidak terjadi pembangkangan militer terhadap usaha pengadilan HAM, yaitu di awal penyelidikan Kasus Timor Timur," ujarnya.

Ia berpendapat, penyelesaian kasus yang diduga sarat dengan pelanggaran HAM berat di masa lalu-baik lewat rekonsiliasi maupun pengadilan HAM Ad Hoc-tergantung dari tiga hal. Pertama, komitmen politik presiden. Kedua, tingkat tekanan internasional, dan terakhir, perhatian publik dalam hal ini masyarakat Indonesia.

Hubungan KKR dan Komnas HAM akan bersinergi atau justru saling meniadakan pun tergantung dari ketiga hal tersebut. Itu bedanya kisah rekonsiliasi di Afsel, Argentina, atau Korea Selatan dengan di Indonesia. (WINDORO ADI)

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004

13

Kompas, Selasa 12 Oktober 2004

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 187-190)