• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tragedi Semanggi I

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 122-125)

"Kebenaran" Versus "Kebenaran"

Kampanye belum dimulai. Tanggal 31 Mei 2004, di sebuah ruangan di Hotel Sahid, Jakarta, berlangsung diskusi interaktif "Mengungkap Peristiwa Penculikan 1997/1998" yang membahas buku Politik Huru Hara Mei 1998. Diskusi yang diselenggarakan Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) itu menghadirkan pembicara Fadli Zon, penulis buku yang juga sahabat karib mantan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI AD

(Pangkostrad) Letjen (Purn) Prabowo Subianto. Hadir juga Usman Hamid (Koordinator Kontras).

Banyak orang hadir di situ, di antaranya mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Saat berbicara, Kivlan membuat penuturan yang memojokkan mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto, yang dulu atasannya. Kivlan menyebutkan pengerahan Pamswakarsa-elemen masyarakat sipil pendukung Sidang Istimewa (SI) MPR November 1998-adalah atas perintah Wiranto.

"Perintah Wiranto begini, kok semuanya anti-Sidang Istimewa, coba kerahkan massa pendukung dan pengaman Sidang Istimewa. Supaya Mabes ABRI tidak langsung berhadapan dengan massa, seperti terjadi pada peristiwa Semanggi (mungkin maksudnya peristiwa Trisakti), maka dibuat massa berhadapan dengan massa dan agar jangan sampai massa yang menolak Sidang Istimewa MPR tembus ke MPR," kata Kivlan.

Kivlan mengaku dibutuhkan biaya Rp 7 miliar-Rp 8 miliar untuk pengerahan massa-yang kemudian disebut Pamswakarsa. Namun, ia kecewa karena belum semua uang itu dibayar. Ia mengaku baru menerima bayaran Rp 1,25 miliar yang diterimanya dari staf Wakil Presiden Jimly Asshiddiqie. Upayanya untuk mengejar sisa uang itu belum juga berhasil.

Pengakuan Kivlan tentu memojokkan Wiranto, kandidat presiden dari Partai Golkar yang sedang berjuang untuk meraih mandat rakyat pada pemilu 5 Juli 2004. Wiranto terpilih sebagai calon presiden (capres) dari Partai Golkar melalui mekanisme konvensi menyisihkan Akbar Tandjung (Ketua Umum Partai Golkar) dan Letjen (Purn) Prabowo Subianto (mantan Pangkostrad) yang sering disebut berseberangan dengan dirinya. Namun, Wiranto enggan menanggapi serangan dari Kivlan. "Biar diatasi teman-teman seangkatannya saja. Misalnya, Pak Suaidy dan Pak Fachrul Razi. Kalau saya komentar juga, nanti ada kopral ngomong apa, saya juga diminta ngomong. Saya kan Panglima, masak mengomentari omongan anak buah. Biar temannya saja," kata Wiranto sebagaimana dikutip Gatra, 12 Juni 2004.

Sehari setelah penuturan Kivlan dimuat media massa, Suaidy menggelar jumpa pers. Bukannya menjelaskan persoalan seputar pengerahan Pamswakarsa, Suaidy balik menuding bahwa tudingan Kivlan ke Wiranto bermotif politik dan uang. Suaidy yang juga tim sukses Wiranto ini menuduh ada orang lain di belakang Kivlan yang memainkan isu itu.

Saat berada di Mataram, Suaidy menjelaskan, tim hukum Wiranto akan mengadukan Kivlan Zen ke polisi karena telah mencemarkan nama baik Wiranto. "Menurut tim hukum kami, itu sudah masuk kategori

pencemaran nama baik, sekarang pengaduan sedang diproses," kata Suaidy. Sebelum diadukan ke polisi, somasi akan dilayangkan.

PERANG terbuka antarpensiunan jenderal ini cukup mencengangkan. "Bagaimana tidak, militer yang selama ini selalu bersikap siap dan siap, bisa perang pernyataan secara terbuka," ujar seorang kandidat presiden lain. Ahli hukum tata negara Satya Arinanto menilai perseteruan terbuka sebagai hasil dari reformasi TNI meski konflik seperti itu bukan pertama kalinya. Satya mendukung langkah Tim Sukses Wiranto melaporkan Kivlan ke polisi. "Saya kira itu baik, polisi biar membuktikan apakah Kivlan mencemarkan nama baik Wiranto atau Kivlan sedang mengungkap kebenaran terhadap sebuah peristiwa," kata Satya.

Bagi Satya, pengungkapan kebenaran atas sebuah peristiwa adalah amat penting. Terlepas dari motif politik dan ekonomi, Kivlan telah mencoba mengungkap kebenaran versi dia. "Kebenaran" versi Kivlan berbeda dengan "kebenaran" versi Wiranto yang telah lebih dahulu ditulisnya dalam buku Bersaksi di Tengah Badai.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 53

Dalam bukunya, Pamswakarsa adalah adanya pengorganisasian di tingkat masyarakat untuk mendukung Sidang Istimewa MPR sebagai reaksi atas kelompok masyarakat yang menentang SI MPR.

Dalam buku tersebut, Wiranto justru mengkhawatirkan terjadinya bentrokan antarkelompok massa sehingga ia memerintahkan kodam dan polda untuk mencegah bentrok antarkedua kelompok itu. Bentrokan tetap terjadi sehingga Wiranto kemudian meminta polda membubarkan kelompok masyarakat pendukung SI MPR. Sejumlah korban berjatuhan pada saat berakhirnya SI MPR, 13 November 1998. Secara keseluruhan 14 orang meninggal dunia, 195 orang luka-luka, dan 239 orang luka yang langsung diperbolehkan pulang. Presiden BJ Habibie dalam pidato yang disiarkan radio dan televisi, 16 November 1998, berjanji agar peristiwa itu diusut demi tegaknya hukum. Habibie sendiri menuduh ada kelompok yang akan melakukan makar. Sejumlah orang sempat diperiksa, namun prosesnya tak diteruskan.

Dalam konteks pengerahan Pamswakarsa, ada dua versi "kebenaran". Bagi pegiat HAM Rachland Nashidik, Wiranto seharusnya memberikan tanggapan serius atas tuduhan bekas anak buahnya karena tuduhan Kivlan itu akan mempengaruhi persepsi orang atas integritas Wiranto. "Jangan dijawab, biar anak buah saya yang menjawab. Itu kan tidak menjelaskan persoalan," kata Rachland.

Namun, Rachland mendukung langkah tim hukum Wiranto untuk mengadukan Kivlan ke polisi. "Ya, biarlah agar kebenaran sedikit demi sedikit akan terkuak," katanya. Bagi Rachland, Kivlan baru memulai untuk mengungkap kebenaran, namun kebenaran itu masih belum utuh.

Bagi Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Abdul Hakim Garuda Nusantara, konflik antara Wiranto dan Kivlan memang harus diselesaikan secara hukum sehingga akan lahir sebuah kebenaran yang telah diverifikasi secara hukum. "Bukan kebenaran versi Wiranto atau versi Kivlan. Kalau begitu akan terus terjadi kontroversi," ujarnya.

Lalu, siapa yang harus mengambil prakarsa, Abdul Hakim mengatakan, "Negara". Tapi, ketika negara sedang invalid dan tak mampu menyelesaikan masa lalunya, maka kontroversi demi kontroversi akan terus terjadi. Bagi Rachland, perseteruan antara Wiranto dan Kivlan makin menunjukkan betapa pentingnya bagi bangsa menyelesaikan masa lalunya. Akan tetapi, sayangnya bangsa ini dan terutama elitenya tak menempatkan masa lalu sebagai prioritas masalah yang harus diselesaikan.

Elite bangsa ini terlalu cepat terjerumus pada pragmatisme kekuasaan. Enam tahun sudah sejak jatuhnya Soeharto bangsa ini belum mempunyai kesepakatan bagaimana mau menyelesaikan masa lalu.

REKONSILIASI memang disuarakan oleh para capres. Namun, apakah rekonsiliasi bisa terjadi tanpa

pengungkapan kebenaran? Bagi Priscilla Hayner dalam buku Unspeakable Truths Confronting, State Terror and Atrocity (2001), rekonsiliasi memiliki implikasi membangun kembali hubungan yang tidak lagi dihantui konflik dan kebencian masa lalu. Ada tiga ukuran yang diajukan Hayner untuk melihat apakah rekonsiliasi sudah berlangsung.

Pertama, bagaimana sikap terhadap masa lalu di ruang publik? Konflik terbuka antara Kivlan dan Wiranto serta tanggapan korban Semanggi I yang belum menemukan keadilan paling tidak menunjukkan bahwa masa lalu masih dirasakan sebagai kepahitan.

Kedua, bagaimana hubungan antara pihak yang dahulunya bertikai? Jika ditempatkan dalam perspektif ini, konflik antara Kivlan dan Wiranto menjadi menarik. Apakah Kivlan sebagai korban dari masa lalu? Pertikaian justru terjadi antara pelaksana dan "pemberi tugas", sementara korban justru menonton konflik tersebut. Ketiga, apakah ada banyak versi tentang masa lalu. Menurut Hayner, melakukan rekonsiliasi tidak semata-mata mengembalikan hubungan baik, namun juga "mendamaikan" fakta-fakta atau kisah yang bertentangan.

Membuat fakta atau pernyataan yang yang bertentangan menjadi konsisten dan kompatibel. Bagaimana dalam kasus Semanggi I? Kebenaran ternyata masih saling berbantahan.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 54

Apa yang terjadi dalam peristiwa Semanggi, 11-13 November 1998, tetap merupakan kabut gelap yang belum bisa dijawab. Apakah betul ada kelompok radikal yang berniat makar seperti dituduhkan BJ Habibie? Mengapa pula prajurit ABRI begitu membabi buta menembaki mahasiswa yang bertahan di Kampus Universitas Atma Jaya? Siapa pula sebenarnya yang mengambil prakarsa pengerahan Pamswakarsa yang menimbulkan konflik horizontal? Dan, siapa pula yang harus bertanggung jawab atas jatuhnya korban jiwa tersebut?

Rekonsiliasi dalam arti luas adalah tutup buku tentang masa lalu. Satu elemen penting dalam proses ini adalah penghentian siklus menuduh-membantah-balas menuduh yang memecah-belah. Bukan dengan melupakannya, namun dengan menyelesaikannya melalui proses evaluasi, sebagaimana akuntan menyelesaikan proses pembukuan.

Masa lalu memang harus diselesaikan dan itu menjadi tanggung jawab negara. Penyelesaian masa lalu memang masalah pelik yang tak mudah diselesaikan. Samuel Huntington mengidentifikasi ada dua masalah pelik dalam proses transisi politik. Pertama, bagaimana pemerintahan baru mengatasi masalah si penyiksa dan bagaimana mengatasi masalah praetorian, yakni mengurangi keterlibatan militer dalam politik.

Bagaimana di Indonesia?

Kita menyaksikan sendiri masa lalu masih belum disentuh. Kebenaran masih belum bisa diungkap. Korban masih tetap membisu meskipun mereka terus berupaya menuntut. Yang justru menarik adalah konflik di kalangan pemberi perintah.

Apakah pengakuan Kivlan mempunyai motif politik, hanya Kivlan yang tahu pasti. Yang pasti, pengakuan Kivlan dimuat secara panjang lebar dalam majalah Medium, di mana Mahadi Sinamebela, salah seorang Ketua Golkar, menjabat Pemimpin Umum/Pemimpin Perusahaan.

Dan kini, tiga pensiunan tentara tampil lagi dalam kancah politik nasional untuk menjadi RI-1. (Budiman Tanuredjo)

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 55

Kompas, Sabtu, 26 Juni 2004

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 122-125)