• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masa Lalu Tak Selesai, Demokrasi Jadi Semu

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 138-141)

Jakarta, Kompas - Pemerintah baru yang terbentuk seharusnya segera menyelesaikan persoalan masa lalu. Sebab, jika tidak, akan timbul sinisme di masyarakat terhadap pemerintah dan muncul persepsi negatif terhadap pemerintah yang menganggap seolah demokrasi tidak berharga. Tidak kunjung dituntaskannya persoalan-persoalan masa lalu hanya akan menghasilkan demokrasi semu dan tidak sebenarnya.

Demikian pendapat Senior Associate The International Center for Transitional Justice (ICTJ) Eduardo Gonzalez dalam peluncuran buku Demi Kebenaran: Pemetaan Upaya-upaya Pencarian Keadilan dalam Masa Transisi di Indonesia yang digelar Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat di Perpustakaan Nasional, Senin (23/8). Pembicara lain dalam diskusi itu adalah Kepala Litbang Harian Kompas Daniel Dhakidae dan dosen Universitas Atmajaya, Nani Nurachman.

Gonzalez menjelaskan, dalam proses transisi yang terpenting adalah penegakan hukum dengan cara

menghilangkan kroniisme dan membuat pertanggungjawaban atas peristiwa-peristiwa masa lalu. Masalahnya, pertanggungjawaban masa lalu sangat sulit karena mendudukkan elite pada dilema. "Kalau elite-elite baru tidak mengurus masa lalu maka akan timbul sinisme dan persepsi negatif di masyarakat seolah pemerintah tidak menganggap demokrasi berharga," ujar Gonzalez.

Ia menjelaskan, hal itu tertangkap saat UNDP melakukan jajak pendapat terhadap masyarakat di Amerika Latin. Jawaban masyarakat atas jajak pendapat UNDP itu sungguh mengejutkan karena masyarakat ternyata tidak peduli apakah akan kembali ke rezim otoriter atau tidak. Hal ini karena tidak tuntasnya penyelesaian masa lalu sehingga menyebabkan timbulnya demokrasi semu atau demokrasi yang tidak sebenarnya.

Daniel Dhakidae menjelaskan, tidak ada yang serius menangani transisi politik tahun 1998. Saat itu terjadi dilema besar tentang nilai-nilai demokratik dan nilai republikan, tetapi tidak pernah diputuskan. Di dalam demokratik, persamaan dan kesejajaran menjadi hal penting, sedangkan nilai-nilai republikan yang menjadi penting adalah pembenahan institusi, barulah demokrasi. Institusi-institusi terpenting dan seharusnya mengalami perubahan besar, seperti militer, polisi, Mahkamah Agung, Departemen Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung, nyaris tidak mengalami perubahan.

Hal lain yang juga menjadi persoalan adalah pandangan akan lebih pentingnya konsekuensi atau akibat daripada sebab terjadinya suatu peristiwa. "Yang terjadi adalah persekongkolan gerakan oligarki sehingga politik

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 69

Kompas, Senin 30 Aug. 04

"Quo Vadis" Kebenaran?

Oleh Fadjar I Thufail

SEBUAH berita datang dari Senayan. Setelah ditunggu dengan penuh harap oleh para aktivis hak asasi manusia, Pansus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akhirnya mengumumkan bahwa tim perumus telah

merampungkan naskah RUU KKR, dan RUU itu akan segera dijadikan undang-undang (Kompas, 28/7/2004). Indonesia akan segera memiliki sebuah Komisi Nasional yang bertugas untuk menyelesaikan warisan kekerasan dan pelanggaran HAM di masa lalu.

Sayangnya salah seorang anggota pansus bulan lalu pernah mengatakan, "Kalau semuanya diungkap, jauh dari rujuk karena akan ada pengadilan. Mari kita kubur masa lalu dan menuju masa depan" (Kompas, 20 Juli 2004). Kebenaran dikalahkan demi tercapainya rekonsiliasi. Pernyataan ini seolah-olah seirama dengan pandangan para calon presiden saat mereka ditanya apa yang akan dilakukan berkaitan dengan peristiwa kekerasan masa lalu yang sampai saat ini belum diteliti secara mendalam dan diselesaikan. Kesamaan yang barangkali tak disengaja, tetapi secara jelas memperlihatkan bentuk dan arah imajinasi politikkultural di kalangan elite politik kita.

Barangkali agak aneh dan ironis saat para elite politik dan berbagai pengamat melontarkan hujatan kepada pengaruh dunia Barat, dalam diskursus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mereka memakai pemikiran yang bersumber dari filsafat pencerahan Barat untuk memaknai sebuah konsep yang dinamakan "kebenaran". Dalam tradisi ini, kebenaran adalah sebuah epistemologi atau cara berpikir berdasarkan kesesuaian antara pernyataan dan sesuatu hal yang dinyatakan. Kebenaran (Truth, dengan T besar) adalah situasi ideal yang dicapai saat sebuah pernyataan memiliki referensi dengan dunia nyata yang dituturkan dalam pernyataan tersebut. Persoalannya, bagaimanakah kesesuaian logika itu dicapai dan apakah hubungannya dengan KKR? NASKAH Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU) KKR-yang mudah-mudahan saat ini telah diubah-memberikan kesan bahwa komisi ini memiliki fungsi yang mirip dengan

Pengadilan HAM. Komisi bertugas mengambil alih tugas pengadilan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang tak mungkin, atau tak dapat, dibawa ke Pengadilan HAM Ad-Hoc. Dengan kata lain, "Kebenaran" dalam draf itu dimaknai sebagai kebenaran hukum, dan pengungkapan kebenaran diberi arti setara dengan proses peradilan meskipun dalam diskursus KKR "proses peradilan" ini tidak serta-merta memanfaatkan lembaga pengadilan. Dengan demikian, RUU KKR memberikan sebuah mandat yang besar kepada Komisi untuk mencari

"kebenaran" tentang peristiwa kekerasan, artinya sebuah "kebenaran" yang tunggal dan mutlak untuk mencapai sebuah pemahaman tak terbantahkan tentang kesesuaian antara kesaksian yang disampaikan dan peristiwa yang terjadi.

Dalam logika Pencerahan-dan ini yang menjadi dasar logika hukum-"Kebenaran" (dengan K besar) semacam ini- lah yang mendasari segala proses interaksi sosial dan politik. Ini pula barangkali yang menjadi landasan berpikir yang dipakai oleh Pansus KKR saat mengatakan bahwa ada kekhawatiran bahwa "Kebenaran" yang diungkap justru akan menimbulkan "persoalan" baru.

Di pihak lain, agak mengherankan bila kerja KKR serupa yang ada di negara lain justru tidak pernah memaknai "kebenaran" seperti yang dimaknai oleh pansus dan para tokoh politik kita. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Amerika Latin, Afrika Selatan, dan Timor Leste tidak pernah dimaksudkan sebagai pengganti Pengadilan HAM. Makna "kebenaran" yang diungkap dan diajukan ke depan Komisi adalah kebenaran "naratif", bukan kebenaran "yuridis", apalagi kebenaran "positivistik".

Tentang kebenaran naratif ini Paul Ricoeur pernah mengatakan bahwa sebuah pernyataan menjadi benar bukan karena adanya kesesuaian antara pernyataan itu dengan realitas dunia nyata, tetapi menjadi benar karena narasi itu menjadi wadah pengalaman orang yang menceritakan. Kerja KKR menjadi penting bukan karena ia melakukan investigasi pelanggaran HAM, tetapi karena ia memberi kesempatan agar kebenaran naratif itu bisa muncul ke ruang publik, setidak-tidaknya ruang publik terbatas di hadapan Komisi. Kebenaran dimaknai dalam konteks pengalaman seorang pelaku, korban, dan saksi pelanggaran HAM, dengan demikian jauh dari prinsip rasionalitas yuridis dan positivistik yang biasanya berlaku dalam proses peradilan.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 70

Pemaknaan "kebenaran" yang dijadikan landasan filosofis Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi seharusnya ditafsirkan sejalan dengan makna "kesaksian" (testimony). Kisah kesaksian (testimonial account) pada mulanya dipakai sebagai sarana terapi mereka yang lolos dari kekejaman holocaust Nazi Jerman. Untuk menangani trauma para survivor itu, mereka diminta menceritakan kembali pengalaman saat mereka berada di dalam kamp konsentrasi. Kemudian dari beragam kesaksian itu muncullah berbagai tulisan pengalaman pribadi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah kekejaman Nazi dan usaha pemulihan pengalaman traumatik mereka.

Salah satu yang terkenal dan menjadi pelopor literatur kesaksian (testimonial literature) ini adalah buku harian Primo Levi. Meskipun di Jerman tak pernah dibentuk secara resmi sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, penelusuran makna kebenaran selalu bertitik tolak dari kesaksian para survivor tersebut. Rekonsiliasi-dalam arti penghapusan dendam antara korban dan pelaku (antara kaum Yahudi dan mantan pendukung Nazi)-selalu didahului oleh kemauan korban menceritakan kembali pengalaman mereka.

DI Amerika Latin, Afrika Selatan, dan Timor Leste, kesaksian diberi makna sebagai kesediaan untuk mengakui kesalahan seseorang. Pengertian kebenaran diperoleh bukan dari pembuktian tentang sebuah peristiwa, tetapi dari pengakuan bahwa seseorang pernah terlibat dalam peristiwa itu, entah sebagai korban ataupun pelaku. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak bertugas mencari dan membuktikan siapa yang salah atau benar, tetapi bertugas menyediakan ruang publik bagi seseorang yang ingin maju ke depan dan mengakui apa yang pernah ia lakukan. Penilaian tentang kebenaran yuridis menjadi wilayah tanggung jawab pengadilan, bukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Keberatan Pansus KKR terhadap aspek "kebenaran" dalam RUU KKR sebenarnya dapat ditafsirkan dalam beberapa sudut pandang. Pertama, RUU itu sendiri tidak memaknai kebenaran dalam arti luas. Kebenaran semata-mata ditafsirkan sebagai kebenaran hukum yang bersifat positivistik karena didasari oleh asas

pembuktian. Akibatnya, pemahaman "kebenaran" sebagai kebenaran naratif memang tak pernah dipakai sebagai landasan prinsip penyusun draf RUU KKR mau- pun dipakai sebagai acuan dalam sidang pembahasan RUU tersebut.

Kedua, kesaksian memang belum menjadi tradisi diskursus ruang publik di negara ini. Kemauan untuk maju dan menceritakan pengalaman seseorang hanya dibatasi pada pengalaman yang "baik-baik" saja dan mendukung citra diri orang tersebut. Seringkali politik biografi tak lebih dari sekadar propaganda dan pembelaan citra diri, bukan dalam artian narasi sebuah kisah kesaksian.

Mungkin sudah terlambat untuk meminta Pansus KKR menafsirkan kembali pengertian "kebenaran" yang mereka pegang. Tetapi, barangkali belum terlambat untuk mengajak siapa pun saja menuliskan dan menceritakan kembali pengalaman mereka ketika berhadapan dengan kekerasan. Rekonsiliasi akan lebih bermakna apabila kita memiliki kesempatan belajar bahwa setiap orang bisa melakukan kesalahan. Rekonsiliasi adalah pengalaman sejarah, demikian pula halnya dengan pengalaman menjadi pelaku dan korban. Ini- lah makna kebenaran sebagai sebuah bentuk kesaksian. Kesemuanya harus diceritakan dan, tentunya, didengar. Fadjar I ThufailRockefeller Fellow di University of Washington-Seattle, Kandidat PhD di Department of Anthropology, University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 71

Kompas, Senin 30 Aug. 04

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 138-141)