• Tidak ada hasil yang ditemukan

KKR dan Berlanjutnya Kejahatan Diam

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 170-173)

Oleh Mustofa Muchdhor

PELUANG menyelesaikan persoalan masa lalu, khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat oleh negara (gross violation of human rigths), sejatinya menemukan momentumnya sejak rezim Soeharto berhasil ditumbangkan pada 21 Mei 1998 silam.

Berbagai keburukan dan kezaliman yang terjadi dan diduga dilakukan rezim Orde Baru ini terentang panjang-dari pembunuhan massal (genosida), penculikan, penganiayaan, pemerkosaan, perusakan, dan perampasan harta benda. Laku represif atas publik yang dilakukan rezim militer ini bertumpuk menjejali lanskap sejarah

perjalanan bangsa. Tidak berlebihan jika dikatakan, sejarah bangsa kita dibangun di atas kekerasan negara atas masyarakat.

Publik berhak mengetahui kejadian yang sebenarnya, mengapa dan bagaimana peristiwa itu terjadi, dan siapa pelakunya, misalnya. Selain hal-hal ini, korban juga berhak mengetahui mengapa ia dijadikan korban. Ia pun berhak memberikan kesaksiaannya ihwal siapa pelaku yang telah menjadikannya sebagai korban.

Hak korban untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi (victim's rights for compensation, restitution, and rehabilitation), dan hak korban akan jaminan tidak terulangnya lagi kekerasan (victim's rights at guaranteeing non recurrence violation) akan lebih mudah dipenuhi jika penguasa serius mengurus masa-masa kelam itu.

Akan jauh lebih memuramkan dan menistakan harkat dan martabat korban dan kemanusiaan jika tragedi itu dibiarkan berlalu tanpa diketahui siapa dalang (aktor intelektual) dan pelaku dari tragedi getir itu. Pemerintah dan anggota parlemen akan terjerembab pada apa yang disebut Bertrand Russell sebagai kejahatan diam (the crime of silent) jika akhirnya mereka terlibat persekongkolan untuk melindungi para pelaku.

Penyelesaian

Persekongkolan politik itu sudah terlihat saat DPR menyatakan kasus Trisakti dan Semanggi I-II bukan pelanggaran HAM berat.

Upaya menyelesaikan persoalan masa lalu itu bukan tidak ada, namun saat upaya itu hendak diwujudkan, misal dalam pembuatan undang-undang, selalu saja menemui hambatan, nyaris jalan buntu.

Dalam konteks menyelesaikan masa lalu, Rancangan Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR), yang merupakan amanat TAP MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, dapat dijadikan misal.

TAP ini menugaskan presiden dan DPR untuk antara lain membuat RUU KKR. RUU yang diajukan pemerintah ke DPR pada 26 Mei 2003 ini makin menemukan relevansinya mengingat Pengadilan HAM ad hoc yang digelar-dalam kasus Timtim dan Tanjung Priok--tak menghasilkan keputusan hukum yang memuaskan, baik bagi korban maupun publik luas. Implikasinya, impunity akan terus terjadi dan terlestarikan di republik yang aparat dan pejabatnya hafal benar sila-sila Pancasila ini. Namun sayang, rantai impunity akan terus memanjang jika melihat tarik-ulur yang menyertai usulan/pengajuan dan pembahasan RUU tentang KKR. Semakin hari substansi RUU ini makin mengkhawatirkan.

Beberapa waktu lalu salah satu fraksi di DPR (Fraksi TNI/Polri) menginginkan agar nama RUU ini diubah, yaitu dengan menghapus kata "kebenaran". Tampak jelas bahwa kekuatan konservatif masih belum rela jika dosa-dosa masa lalu disingkap secara jujur hingga kebenaran terkuak dan keadilan bagi korban terpenuhi. Permintaan itu secara implisit mengakui bahwa institusinya memang pernah melakukan pelanggaran HAM berat. Dengan menghilangkan kata "kebenaran", maka pihak ini hanya menginginkan rekonsiliasi.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 101

Padahal rekonsiliasi yang sejati tidak pernah berhasil diwujudkan jika kebenaran tidak diungkap. Hanya dengan bersusah-payah mengungkap kebenaranlah, rekonsiliasi antarsesama anak bangsa bisa diwujudkan. Apakah fraksi ini tidak memahami makna rekonsiliasi?

Jika di ranah RUU saja terjadi tarik-menarik, dan beragam kepentingan sektoral dan subjektif mencuat begitu kuat, dapat dibayangkan betapa rumitnya kelak jika RUU itu sudah disetujui menjadi UU dan akan

dilaksanakan.

Jika secara teoritis KKR dipersepsi sebagai pengakuan negara atas ketidakmampuan pemerintahan transisi memenuhi hak-hak korban secara utuh-penuh sesuai standar HAM, kita patut pesimis akan masa depan KKR ini jika sudah terbentuk dan bekerja.

Sangat mungkin akhirnya hak-hak korban tetap tak bisa terpenuhi dan "kebenaran" tetap bertengger di "pulau entah". Itu artinya bangsa kita akan terus terbebani masa lalu saat menghadapi hari ini dan menyongsong masa depan. Itu berarti korban dan keluarganya akan terus hidup di bawah bayang-bayang ketidakadilan dan kedzaliman.

Berbagai kerumitan itu muncul karena rezim terdahulu sukses membangun struktur politik yang sarat piuh dan mewariskan aparat pemerintahan yang bobrok. Sayangnya publik masih memberikan kepercayaan dan mandatnya terhadap kelompok masa lalu ini untuk mengurus negara dan menjadi wakil mereka di parlemen. Akibatnya jelas, setiap upaya untuk mengurai persoalan masa lalu-termasuk penjarahan uang rakyat-kerap mentok oleh vested interest para penyembah status quo yang masih tersisa kuat. Arah kehidupan berbangsa dan bernegara pun tak jelas ke mana hendak menuju. Kontroversi dan silang pendapat seputar RUU KKR beberapa waktu lalu membuktikan itu.

Keadaan demikian tentu tak kondusif bagi pemulihan harkat dan martabat bangsa. Bahkan pelbagai kasus seperti kasus Tanjung Priok, Semanggi I dan II dan Trisaksi, dan kasus Timor Timur menunjukkan adanya tarik-menarik yang kuat antara kekuatan reformasi dan pro- status quo (atau malah si pelanggar HAM itu sendiri).

Prasyarat Penting

Berbagai pihak yang diduga kuat terlibat dalam pelanggaran HAM malah merasa bersih tak berdosa. Beberapa di antara mereka bahkan dibebaskan, tentu setelah ada yang dikorbankan atau dijadikan kambing hitam. Padahal penyelesaian dan penuntasan kasus-kasus kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity) yang terjadi di masa lalu merupakan prasyarat penting untuk mengantarkan bangsa kita menuju masa depan republik yang adil, beradab (civilized) dan berperadaban (civility).

Penyelesaian kasus-kasus kejahatan HAM tersebut dimaksudkan untuk menyingkap kebenaran yang sesungguhnya atas suatu kejadian dan memutus hubungan di masa lalu terhadap berbagai tindakan kejahatan HAM dalam rangka mendorong rekonsiliasi nasional sehingga memungkinkan masyarakat untuk belajar dari masa lalunya dan mencegah terulangnya tindakan kekerasan semacam itu di masa yang akan datang.

Substansi penting dari upaya ini adalah, kejahatan terhadap kemanusiaan sama sekali tidak bisa ditoleransi dan harus dicegah kemungkinan berulang di masa datang. Telah menjadi kesepakatan universal sejak berakhirnya perang dunia ke-II, bahwa kejahatan-kejahatan internasional harus diperangi dan pelakunya sedapat mungkin harus diadili dan jika terbukti bersalah harus dihukum. Upaya ini memang bertujuan untuk memenuhi keadilan publik dan hak-hak korban.

Kendati KKR merupakan model penyelesaian yang cukup ideal, namun dalam rangka penerapannya di

Indonesia, sejumlah hal dipastikan menimbulkan polemik dan kontroversi. Misalnya mengenai penentuan batas penyelesaian kasus-kasus kejahatan HAM di masa lalu dan soal reparasi.

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 102

Penentuan batas penyelesaian di masa lalu dapat dipastikan sarat dengan berbagai kepentingan politik. Dan pada titik inilah pertarungan politik sangat mungkin berlangsung sengit. Sedangkan yang berkaitan dengan

pelaksanaan reparasi sangat ditentukan oleh ketersediaan dana pemerintah.

Belum lagi perdebatan substansial seperti apa makna kebenaran, rekonsiliasi, dan bagaimana semua itu bisa memenuhi hak-hak korban. Juga soal siapa yang pantas duduk dalam komisi ini, berapa anggaran yang dibutuhkan, adakah pasal-pasal yang merugikan (keluarga) korban, dan seterusnya.

Kini pilihan di depan mata memang tak banyak. RUU itu sudah disetujui DPR awal bulan ini. Banyak hal masih belum memuaskan, khususnya bagi korban. Apa boleh buat, karena RUU ini diselesaikan secara kurang serius, maka hasilnya pun jauh dari ideal.

Penulis adalah analis politik pada Forum Anak Bangsa Jakarta Last modified: 30/9/04

kliping

ELSAM

KLP: Wacana KKR 2004---

Hal. 103

Kompas, Rabu 13 Oktober 2004

Dalam dokumen 2004 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 170-173)