• Tidak ada hasil yang ditemukan

(STUDI PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN) SKRIPSI OLEH VIVI DAMAYANTY NAWAWI DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "(STUDI PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN) SKRIPSI OLEH VIVI DAMAYANTY NAWAWI DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

DI INDONESIA MENURUT PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2016

(STUDI PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas –Tugas Dan Memenuhi Syarat – Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Hukum

OLEH

VIVI DAMAYANTY NAWAWI 130200437

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

DI INDONESIA MENURUT PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2016

( STUDI PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN )

SKRIPSI

OLEH

VIVI DAMAYANTY NAWAWI 130200437

Program Kekhususan Hukum Perdata BW Disetujui

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

( Prof. Dr. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum ) NIP. 1966033185081001

Pembimbing I, Pembimbing II,

( Muhammad Husni, S.H., M.H.t ) ( Maria Kaban, SH. M.Hum ) NIP. 195802021988031004 NIP. 196012251987032001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat hidayah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini adalah sebagai suatu persyaratan untuk kelak memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Keperdataan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Oleh karena itu, guna memenuhi persyaratan tersebut, penulis mencoba skripsi dengan judul : “PEMBERDAYAAN PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI INDONESIA MENURUT PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 ( STUDI PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN ).”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak keterbatasan, untuk itu penulis akan menerima saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan berbagai pihak.

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah membina dan memberikan pandangannya dalam pendidikan di dalam kampus maupun di luar kampus.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr.

(4)

Leviza, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III.

3. Bapak Prof. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. selaku Dosen dan Ketua Departemen Jurusan Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah banyak memberikan saran-saran serta pengarahan kepada penulis di saat akan dilakukan penulisan pada skripsi ini.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H. selaku Pembimbing Dosen I dan Ibu Maria Kaban, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Dosen II yang telah dengan ikhlas memberikan petunjuk, kritik dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat segera selesai disusun.

5. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum. selaku Dosen Akademik penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Para Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan, yang telah mendidik dan membimbing penulis kepada tingkat Sarjana Hukum.

7. Seluruh staf Biro Pendidikan, serta teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.

8. Ibu Riana Br. Pohan, S.H., M.H. yang telah membantu menerangkan kepada penulis mengenai pemberdayaan dan prosedur mediasi dan pengalamannya sebagai hakim mediator di pengadilan.

(5)

terhingga kepada :

1. Ayahanda Wibi Billy Nawawi dan Ibunda Mina Halim yang telah merawat serta mendidik penulis selama ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga untuk kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan, motivasi dan doa yang tiada hentinya.

2. Kakak Diniarti Nawawi, S.E., S.S., Pratiwi Nawawi, S.E. dan Dewi Utami Nawawi, S.T. yang selalu memberikan semangat dan dorongan selama ini.

3. Bapak Tony, S.H., M.Kn. dan Ibu Sumiati Chandra yang selalu memberikan nasehat, dorongan, motivasi serta telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.

4. Sahabatku Vincent Teodoran, Laila Hafiza, Haryati, Pasca Sari Saragih, Naomi Claudya Siahaan, Emkel Deanta Ginting, Daniel Alexander Siregar, Elisa, Adelia, yang selalu memberikan dukungan.

5. Dan kepada teman-teman Mahasiswa baik teman satu angkatan junior seluruhnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya serta senior yang banyak memberikan arahan-arahan serta bimbingan kepada saya.

Terakhir sebagai penutup kata, penulis mengharapkan agar tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis sendiri di dalam menambah wawasan ilmu hukum pada umumnya di bidang mediasi di pengadilan khususnya,

(6)

Medan, Februari 2017 Hormat Penulis

(Vivi Damayanty Nawawi)

(7)

* Vivi Damayanty Nawawi

** Muhammad Husni, S.H., M.H. dan

***Maria Kaban, S.H., M.Hum

Dalam hidup bermasyarakat, manusia selaku makhluk sosial akan selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Hubungan – hubungan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, kerap kali menimbulkan sengketa. Untuk menyelesaian sengketa yang terjadi, terdapat 2 (dua) pola penyelesaian sengketa, yaitu : litigasi dan non-litigasi. Pesatnya perkembangan zaman, mengakibatkan perkembangan penyelesaian sengketa yang semakin mengarah kepada penyelesaian sengketa non – litigasi atau kerap disebut sebagai penyelesaian sengketa alternatif yang salah satu bentuknya yaitu “mediasi’. Nilai – nilai dalam mediasi sesungguhnya telah dikenal oleh masyarakat Indonesia dalam penyelesaian musyawarah untuk mufakat. Perkembangan mediasi semakin berkembang oleh karena keunggulan – keunggulannya yang tidak dapat dicapai apabila dilakukan penyelesaian secara litigasi. Peraturan perundang – undangan mengenai mediasi di Indonesia kian berkembang hingga saat ini yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan penyempurnaan dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mengatur tentang tahapan pra mediasi, tahapan proses mediasi, hak dan kewajiban para pihak, advokat, mediator, itikad baik dan akibat hukum tidak beritikad baik, dan lain sebagainya. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dalam tulisan ini, dengan melakukan penelitian kepustakaan dan penelitan secara langsung mengenai pemberdayaan prosedur dan efektifitas mediasi di Pengadilan Negeri Medan, penelitian dengan melakukan wawancara langsung dengan hakim meditor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis mendapatkan pengetahuan tentang mediasi di pengadilan, pemberdayaan dan prosedur mediasi di pengadilan, efektifitas mediasi di Pengadilan Negeri Medan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016, serta faktor – faktor penghambat yang mengakibatkan proses mediasi di Pengadilan Negeri Medan kerap menghasilkan kegagalan.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(8)

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 13

D. Keaslian Penulisan ... 14

E. Tinjauan Pustaka ... 15

F. Metode Penelitian ... 23

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II MEDIASI SEBAGAI SALAH SATU PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF ... 27

A. Pengertian Mediasi ... 27

B. Sejarah Mediasi di Indonesia ... 34

C. Peraturan Perundang – Undangan Mediasi di Indonesia ... 44

D. Keunggulan Mediasi sebagai Salah Satu Penyelesaian Sengketa Alternatif ... 52

1. Keunggulan Mediasi sebagai Salah Satu Penyelesaian Sengketa Alternatif di Amerika ... 53

2. Keunggulan Mediasi sebagai Salah Satu Penyelesaian Sengketa Alternatif di Jepang ... 56

(9)

3. Keunggulan Mediasi sebagai Salah Satu Penyelesaian

Sengketa Alternatif di Indonesia... 60

BAB III PEMBERDAYAAN PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN SEBAGAI SALAH SATU PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DI INDONESIA ... 63

A. Pengertian Mediasi di Pengadilan... 63

B. Dasar Hukum Mediasi di Pengadilan ... 68

C. Pemberdayaan Mediasi di Pengadilan menurut Peraturan Perundang – Undangan di Indonesia ... 77

D. Prosedur Mediasi di Pengadilan menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 ... 80

BAB IV EFEKTIFITAS DAN PELAKSANAAN MEDIASI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA KEPERDATAAN DI PENGADILAN NEGERI MEDAN... 101

A. Dasar Hukum Pemberdayaan Mediasi di Pengadilan Negeri Medan ... 101

B. Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Negeri Medan ... 106

C. Faktor – Faktor Penghambat Pelaksanaan Mediasi sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Alternatif... 128

D. Efektifitas Mediasi di Pengadilan Negeri Medan sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Keperdataan ... 129

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 139

A. Kesimpulan ... 139

B. Saran ... 140

DAFTAR PUSTAKA... 142

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Secara kodrat, bahwa manusia dimanapun dan pada zaman apapun selalu hidup berkelompok – kelompok atau hidup bersama. Dalam sejarah kehidupan manusia, tak terdapat seorang manusia pun yang mampu hidup sendiri atau terpisah dari kelompok manusia lainnya. Hal ini dikarenakan bahwa manusia memiliki hasrat untuk berkumpul dengan manusia lainnya dalam suatu kelompok dan memiliki keinginan untuk hidup bermasyarakat.

Aristoteles (384 – 322 sebelum M.), seorang ahli fikir Yunani – Kuno menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia itu adalah ZOON POLITICON, artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk yang pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Dan oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial.1

Oleh karena manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki hasrat untuk hidup bersama, mendorong terbentuknya persatuan manusia yang kerap disebut sebagai “masyarakat”. Sehingga, dalam pergaulan antara manusia dengan manusia yang lain timbul berbagai hubungan yang dapat mengakibatkan manusia dengan manusia lainnya saling mengenal dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Akan tetapi, dikarenakan pergaulan di dalam masyarakat tersebut juga menimbulkan kemungkinan ataupun peluang terjadinya sengketa

1 Aristoteles. “Zoon Politicon”, dalam C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 29.

(11)

ataupun konflik antar manusia. Konflik ataupun sengketa dapat muncul dikarenakan tiap manusia mempunyai sifat, watak, kehendak dan juga kepentingan sendiri- sendiri yang terkadang berlainan satu sama lain.

Achmad Ali mendefinisikan:

“Konflik adalah setiap situasi di mana dua atau lebih pihak yang memperjuangkan tujuan-tujuan pokok tertentu dari masing-masing pihak, saling memberikan tekanan dan satu sama lain gagal mencapai satu pendapat dan masingmasing pihak saling berusaha untuk memperjuangkan secara sadar tujuan- tujuan pokok mereka.”2

Dalam kepustakaan maupun dalam percakapan sehari-hari sering ditemukan istilah – istilah konflik dan sengketa. Konflik merupakan pengindonesiaan kosakata conflict dalam Bahasa Inggris. Selain istilah conflict, Bahasa Inggris juga mengenal istilah dispute yang merupakan padanan dari istilah

“sengketa” dalam Bahasa Indonesia. Permasalahannya adalah apakah istilah konflik (conflict) dan sengketa (dispute) merupakan dua hal yang secara konseptual berbeda atau dua hal yang sama dan dapat saling dipertukarkan.

Sebagian sarjana berpendapat bahwa secara konseptual tidak terdapat perbedaan antara konflik dan sengketa. Keduanya merupakan konsep yang sama mendeskripsikan situasi dan kondisi dimana orang – orang sedang mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihan – perselisihan yang ada pada persepsi mereka saja.3

2 Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, STIH IBLAM, Jakarta, 2004, hlm.64.

3 Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 1.

(12)

Proses sengketa terjadi karena tidak adanya titik temu antara pihak-pihak yang bersengketa. Secara potensial, dua pihak yang mempunyai pendirian / pendapat yang berbeda dapat beranjak ke situasi sengketa.4

Dengan adanya sengketa-sengketa antar manusia, mendorong manusia yang merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna untuk mengadakan penyelesaian atas sengketa yang terjadi. Manusia akan berupaya untuk berfikir dan berusaha untuk mengadakan penyelesaian atas sengketa yang terjadi dalam hal mencapai posisi yang seimbang.

Penyelesaian sengketa kemudian dibagai atas 2 (dua) cara yaitu proses penyelesaian sengketa secara litigasi yaitu penyelesaian sengketa dengan menggunakan lembaga peradilan dan proses penyelesaian sengketa non-litigasi yaitu proses penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan.

Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materil dengan perantaraan kekuasaan Negara. Perantaraan Negara dalam mempertahankan dan menegakan hukum perdata materil itu terjadi melalui peradilan dan cara ini lah yang disebut Litigasi.5

Penyelesaian sengketa secara konvensional dilakukan melalui suatu badan pengadilan sudah dilakukan sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Akan tetapi, lama kelamaan badan pengadilan ini semakin terpasung dalam tembok yuridis yang sukar ditembusi oleh para justitiabelen (pencari keadilan), khususnya jika pencari keadilan tersebut adalah pelaku bisnis dengan sengketa yang

4 Suyud Margono, ADR dan Arbitrase (Proses Perkembangan dan Aspek Hukum), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hlm.34.

5 Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi. 1997. “Sengketa dan Penyelesaiannya”.

Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I. Jakarta: Indonesian Center for Environment Law, hlm.1., dalam skripsi Ririn Bidasari hlm.27.

(13)

menyangkut bisnis. Sehingga, mulailah dipikirkan suatu alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan sengketa di luar badan pengadilan.6

Timbulnya kritikan – kritikan atas penyelesaian sengketa melalui lembaga atau badan peradilan dimana diyakini bahwa proses penyelesaian sengketa secara litigasi tersebut kurang efektif dan efisien. Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia akan tetapi di berbagai negara.

Menurut American Law Institute – American Bar Association (ALI – ABA) sampai dengan 1994 jumlah sengketa pidana yang masuk di Federal District Courts di USA kurang lebih 250.000 dan sengketa perdata kurang lebih 1.000.000 masuk di State Courts. Menelan biaya sekitar US$300.000.000.000 (tiga ratus milyar US$) per-tahunnya dimana sebesar US$ 80.000.000.000 (delapan puluh milyarUS$) untuk biaya litigasi sipil. Waktu yang diperlukan untuk penyelesaian mencapai kurang lebih 6 tahun di pengadilan pertama dan sekitar 3 sampai 4 tahun untuk memperoleh putusan akhir melalui apel dan kasasi.

Waktu tunggu sampai perkara mulai disidangkan di pengadilan rata-rata 3 tahun.7 Penyelesaian sengketa melalui litigasi atau pengadilan berjalan dijalur yang lambat dan memakan biaya yang tidak sedikit. Kritik yang muncul terhadap peradilan bukan hanya gejala yang tumbuh di Indonesia, melainkan terjadi di seluruh dunia. Di negara – negara industri maju, kritik yang dilontarkan masyarakat pencari keadilan, terutama dari kelompok ekonomi jauh lebih gencar.8

6 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.311.

7 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska dan BANI, Jakarta, 2002, hlm.10.

8 Abdul Hakim Siagian, Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution), UMSU Press, Medan, 2014, hlm. 9.

(14)

Kritik umum yang dilontarkan terhadap lembaga peradilan diantaranya adalah sebagai berikut :9

1. Penyelesaian sengketa melalui litigasi sangat lambat.

2. Biaya berperkara mahal

3 Peradilan pada umumnya tidak responsif

4 Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah

Dikarenakan kritikan – kritikan terhadap badan peradilan tersebut diantaranya penyelesaian melalui badan peradilan sama sekali tidak sederhana, biaya mahal, tidak responsif, dan putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, sehingga penyelesaian sengketa atau konflik sudah mulai beralih ke penyelesaian dengan cara non-litigasi yang dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR).

Penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa / Alternative Dispute Resolution (ADR) diyakini dapat menghasilkan “win-win solution”, kerahasian sengketa para pihak terjamin, terhindar dari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan serta menjaga hubungan baik.

Pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa menurut Pasal 1 angka 10 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yakni : “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para

9 M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hlm.154 – 158.

(15)

pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”10

Salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa yang biasa diaplikasikan di Indonesia yaitu Mediasi. Dalam perkembangannya, Mediasi merupakan suatu kewajiban pendahuluan bagi para pihak yang bersengketa di Pengadilan.

Penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi dengan tujuan mencapai “win-win solution” diharapkan tidak hanya lebih efektif dan efesien bagi para pihak yang bersengketa, juga dalam hal mengurangi penumpukan perkara di pengadilan.

Mediasi merupakan kosakata atau istilah yang berasal dari kosakata Inggris, yaitu Mediation. Para penulis dan sarjana Indonesia kemudian lebih suka mengindonesiakannya menjadi “mediasi” seperti halnya istilah – istilah lainnya, yaitu negotiation menjadi “negosiasi”, arbitration menjadi arbitrase, dan litigation menjadi “litigasi”. Orang awam yang tidak menggeluti ranah penyelesaian sengketa tidak jarang salah sebut atau menyamakan antara mediasi dan “meditasi”

yang berasal dari kosakata Inggris meditation yang berarti bersemedi. Sudah pasti keduanya amat berbeda karena mediasi berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa atau bernuansa sosial dan legal, sedangkan meditasi berkaitan dengan cara pencarian ketenangan batin atau bernuansa spiritual.11

Menurut John W.Head, mediasi adalah suatu prosedur penengah dimana seseorang bertindak sebagai “kendaraan” untuk berkomunikasi antar para pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami

10 Pasal 1 angka 10 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

11 Takdir Rahmadi, Op. Cit., hlm. 12.

(16)

dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.12

Pada dasarnya mediasi sesuai yang diatur dalam Buku ke – 3 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata adalah merupakan salah satu bentuk perikaan, mediasi yang juga dikenal dengan sebutan perdamaian ini pengertiannya terumus di dalam Pasal 1851 KUHPerdata, yang bunyi selengkapnya sebagai berikut :13

“Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara, persetujuan ini hanya mempunyai kekuatan hukum, bila dibuat secara tertulis.”

Sesungguhnya, Hukum Adat di Indonesia sudah mengenal upaya Mediasi sebagai suatu cara penyelesaian perselisihan. Namun, istilah yang digunakan berbeda, dimana pada saat itu dikenal dengan istilah “Musyawarah untuk Mufakat”. Contohnya : Pemuka Adat yang bertugas sebagai pihak ketiga dalam menyelesaikan sengketa ataupun perselisihan yang timbul dalam masyarakat, baik di bidang pertanahan, hutang piutang, perkawinan, warisan dan sebagainya.

Penyelesaian masalah tersebut dilakukan dengan musyawarah ditengahi oleh Pemuka Adat tersebut. Penyelesaian sengketa tersebut didasari oleh hukum adat setempat dan itikad baik para pihak dan penengah. Mediasi sebagai salah satu penyelesaian sengketa alternatif mempunyai daya tarik khusus di Indonesia

12 John W.Head, Pengantar Hukum Ekonomi, Proyek ELIPS Perpustakaan Nasional, Jakarta, 1997, hlm. 42.

13 Edi As’ Adi, Hukum Acara Perdata dalam Perspektif Mediasi (ADR) di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, hlm. 3.

(17)

karena keserasiannya dengan sistem sosial-budaya tradisional berdasarkan musyawarah mufakat.

Dalam perkembangannya, kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang mewajibkan pihak yang bersengketa perdata untuk terlebih dahulu untuk menempuh upaya mediasi dengan melalui perundingan antara pihak yang bersengketa dengan bantuan mediator yang merupakan pihak ketiga yang bersifat netral dimana tidak memiliki kewenangan memutus. Mahkamah Agung mewajibkan penggunaan jasa mediasi sebagai upaya penegasan dilaksanakannya upaya perdamaian dalam sengketa keperdataan sebagaimana hal tersebut diatur dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBG. Proses sejenis mediasi untuk menyelesaikan di luar pengadilan sesungguhnya sudah diatur dalam Pasal 130 HIR/154 RBG. Pasal ini menyatakan bahwa, “Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang menghadiri, maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Hakim Ketua mencoba untuk mendamaikan mereka.”

Sebagaimana diketahui bahwa mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang bersifat sukarela atau pilihan. Akan tetapi, dalam konteks mediasi di pengadilan, ternyata mediasi di pengadilan bersifat wajib. Hal ini mengandung arti proses mediasi dalam penyelesaian sengketa di pengadilan harus terlebih dahulu dilakukan penyelesaiannya melalui perdamaian.

Pihak – pihak yang bersengketa di muka pengadilan, terlebih dahulu harus

(18)

menyelesaikan persengketaannya melalui perdamaian atau perundingan dengan dibantu oleh mediator.14

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, juga mengatur secara jelas tentang prosedur dalam melaksanakan upaya mediasi dan ketentuan – ketentuannya dimana menurut Bab IV dan V Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tersebut membagi prosedur mediasi menjadi 2 (dua) tahap diantaranya adalah tahapan pra mediasi dan tahapan proses mediasi.

Di dalam prosedur melaksanakan mediasi menurut Pasal 24 ayat (2) dan (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menyatakan bahwa jangka waktu dilakukan mediasi adalah 30 (tiga puluh) hari sejak penetapan perintah melakukan mediasi dan dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari sejak berakhir jangka waktu tersebut.

Mediasi sebagai salah satu Penyelesaian Sengketa Alternatif semakin dikenal dan diterapkan dalam masyarakat khususnya di Pengadilan dikarenakan dalam hal mencapai “win-win solution”. Selain keuntungan tersebut, terdapat beberapa keuntungan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah sebagai berikut :15

1. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif murah dibandingkan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau arbitrase.

14 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 70 – 71.

15 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2006, hlm.139 – 140.

(19)

2. Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, jadi bukan hanya pada hak-hak hukumnya.

3. Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.

4. Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya.

5. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui konsensus.

6. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya.

7. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada arbitrase.

Berakhirnya mediasi menimbulkan konsekuensi bagi para pihak. Masing- masing pihak memiliki kebebasan setiap saat untuk mengakhiri mediasi hanya dengan menyatakan menarik diri. Penarikan diri tersebut tidak menghilangkan beberapa konsekuensi yang telah timbul, misalnya keharusan untuk mengeluarkan biaya atau segala sesuatu yang telah disetujui, selama berjalannya diskusi-diskusi.

Jika mediasi berjalan dengan sukses, para pihak menandatangani suatu dokumen yang menguraikan beberapa persyaratan penyelesaian sengketa. Kesepakatan

(20)

penyelesaian tidak tertulis (oral settlement agreement) sangat tidak disarankan karena hal tersebut dapat menimbulkan suatu perselisihan baru.16

Apabila mediasi yang dilakukan tidak berhasil pada tahap pertama, para pihak dapat menunda untuk sementara mediasi. Dan selanjutnya, jika mereka ingin meneruskan atau mengaktifkan kembali mediasi, hal tersebut akan memberi kesempatan terjadinya diskusi-diskusi baru, yang sebaiknya dilakukan pada titik dimana pembicaraan sebelumnya ditunda.17

Efektifitas PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tidak paralel dengan ketersediaan mediator yang profesional di pengadilan. Pasal 1 angka 6 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 mengenai definisi mediator tidak mensyaratkan mediator harus bersertifikat. Hal ini merupakan keleluasan yang diberikan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, mengingat tidak mungkin menunggu adanya mediator yang bersertifikat untuk memberlakukan mediasi di pengadilan. Untuk mengatasi keterbatasan tenaga mediator yang bersertifikat di tengah kuatnya keinginan untuk mengefektifkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tersebut, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 memberi keleluasaan kepada pengadilan untuk menunjuk mediator dari hakim dengan syarat bukan hakim yang menangani perkara tersebut. Sayangnya, mayoritas hakim yang diangkat menjadi mediator tidak memiliki keterampilan khusus tentang mediasi. Hal ini seharusnya menjadi salah satu faktor yang mesti diperhitungkan dalam mengukur tingkat keberhasilan mediasi di pengadilan.18

Permasalahan mengenai tidak adanya persyaratan atau kewajiban sertifikasi bagi seorang mediator yang tidak terdapat dalam PERMA Nomor 1

16 Gatot Soemartono, Op.Cit., hlm.150.

17 Gatot Soemartono, Op.Cit., hlm.141.

18 Najamuddin dan Candra Boy Seroza, Permasalahan Mediasi dalam Teori dan Praktik di Pengadilan Agama, disampaikan dalam bentuk Makalah dalam Rapat Kerja Daerah Gabungan Peradilan Sumatera Utara, 2009, hlm. 5.

(21)

Tahun 2008, kemudian dijawab dengan dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2016 yang mewajibkan mediator bersertifikasi. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yakni : 19

“Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.”

Berdasarkan uraian latar belakang dan beberapa alasan diatas, maka mendorong penulis untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pemberdayaan Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.”

B. Perumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang masalah yang penulis kemukakan diatas dan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, serta penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, serta dari berbagai literatur yang ada, maka permasalahan - permasalahan yang hendak dikemukakan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah mediasi sebagai salah satu penyelesaian sengketa alternatif pada umumnya ?

2. Bagaimana pemberdayaan prosedur mediasi di pengadilan sebagai salah satu penyelesaian sengketa di Indonesia ?

19 Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

(22)

3. Bagaimana efektifitas pelaksanaan mediasi dalam menyelesaikan sengketa keperdataan di Pengadilan Negeri Medan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi tujuan dalam skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui mediasi sebagai salah satu penyelesaian sengketa alternatif pada umumnya.

b. Untuk mengetahui pemberdayaan prosedur mediasi di pengadilan sebagai salah satu penyelesaian sengketa di Indonesia.

c. Untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan mediasi dalam menyelesaikan sengketa keperdataan di Pengadilan Negeri Medan.

2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis

Hasil dari penelitian yang dituangkan dalam skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum di Indonesia, terutama dapat menambah pengetahuan di bidang mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan.

Diharapkan skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan memberikan gambaran yang nyata kepada kalangan masyarakat Indonesia mengenai perkembangan dan prosedur mediasi di Indonesia.

(23)

b. Secara Praktis

Skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi rekan mahasiswa, praktisi hukum terutama bagi advokat dan para hakim, pemerintah, serta masyarakat yang bersengketa sebagai bahan rujukan ataupun pedoman dalam rangka menyelesaikan sengketa perdata dengan menerapkan mediasi, sehingga penegakan hukum dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.

D. Keaslian Penulisan

Penulis dalam membuat karya ilmiah atau skripsi ini yang berjudul :

“PEMBERDAYAAN PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 (STUDI PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)” adalah merupakan wacana yang telah berkembang dewasa ini. Penulis dalam membahas karya ilmiah ini dengan melihat perkembangan hukum dan menghubungkannya dengan dasar – dasar hukum yang bersumber dari berbagai peraturan perundang – undangan serta literatur dan bahan bacaan dari berbagai referensi yang diperoleh dari referensi kepustakaan, internet maupun media masa.

Penulis dapat menjamin keaslian penulisan karya ilmiah ini, penulis telah memastikan bahwa di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tidak ada judul karya ilmiah atau skripsi yang sama dengan apa yang ditulis oleh penulis.

Dengan demikian, penulis meyakini bahwa skripsi ini adalah merupakan murni karya asli dari penulis.

(24)

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tinjauan Tentang Sengketa

Pujangga besar Aristoteles telah mengatakan bahwa “Manusia ditakdirkan sebagai makhluk sosial” atau dalam bahasa latinnya disebut “zoon politicon”.

Manusia tidak dapat sebagai makhluk yang hidupnya terasing dari manusia lain, melainkan harus selalu hidup dalam ikatan kelompok, golongan, atau kerukunan sebagai suatu kesatuan sosial. Seperti yang dikatakan Bouman, seorang sarjana sosiologi terkenal, bahwa “Manusia baru menjadi manusia sesudah hidup bersama dengan sesama manusia”, hal ini disebabkan karena adanya faktor kebutuhan hidup, perasaan suka menolong, rasa harga diri, hasrat untuk patuh, untuk mencari perlindungan dan lainnya karena adanya kepentingan.20

Oleh karena itu, manusia akan cenderung melakukan hubungan satu dengan yang lainnya. Manusia dalam melakukan hubungannya dalam masyarakat, tidaklah menutup kemungkinan terjadinya perselisihan ataupun sengketa akibat adanya pertentangan kepentingan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya.

Sengketa adalah perselisihan atau perbedaan pendapat (persepsi) yang terjadi antara dua pihak atau lebih karena adanya pertentangan kepentingan yang berdampak pada terganggunya pencapaian tujuan yang diinginkan oleh para pihak.21

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah segala sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau pembantahan timbulnya

20 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Altenatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 11.

21 Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm.2.

(25)

sengketa hukum adalah bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang / badan) yang berisi keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.22

Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “conflict” dan

“dispute” yang kedua – duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata conflict sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi

“konflik”, sedangkan kosa kata “dispute” dapat diterjemahkan dengan kosa kata

“sengketa”. Sebuah konflik, yakni sebuah situasi di mana 2 (dua) pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain.23

Menurut Koentjaraningrat, konflik atau sengketa terjadi juga karena adanya perbedaan persepsi yang merupakan gambaran lingkungan yang dilakukan secara sadar yang didasari pengetahuan yang dimiliki seseorang, lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.24

22 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 643.

23 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.1.

24 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mataliteit dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1982, hlm.103.

(26)

Sengketa atau konflik hakekatnya merupakan bentuk aktualisasi dari suatu pertentangan atau perbedaan antara dua pihak atau lebih.25

Pada dasarnya, keberadaan cara penyelesaian sengketa setua keberadaan manusia itu sendiri. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, membawa manusia itu ke dalam bermacam – macam konflik, baik dengan manusia lain, alam lingkungannya, bahkan dengan dirinya sendiri. Namun, karena kodrat manusia juga, maka manusia selalu berusaha mencari cara penyelesaian konflik dalam rangka untuk selalu mencapai posisi keseimbangan dan agar tetap dapat bertahan hidup. Sejarah menunjukkan bahwa peradaban manusia berkembang sesuai dengan alam lingkungannya, kebutuhannya, serta nilai – nilai baru yang berkembang kemudian. Demikian pula konflik dan cara – cara penyelesaiannya pun berkembang sejajar dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Pada saat posisi individualitas manusia masih tenggelam dalam kepentingan kelompok, konflik individu, baik ia dengan individu dalam kelompok yang sama maupun antara ia dengan individu lain dari kelompok yang berbeda, akan ditransformasi menjadi konflik kelompok dan penyelesaiannya pun menjadi penyelesaian kelompok. Peradaban manusia yang berkembang semakin kompleks membawa serta perubahan posisi manusia dari ketertenggelamannya dalam kepentingan kelompok menjadi individu – individu yang mandiri, yang memiliki kepentingan – kepentingan yang tidak dapat begitu saja ia korbankan pada kepentingan kelompok, maka konflik, cara

25 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis: Solusi Dan Antisipasi Bagi Peminat Bisnis Dalam Menghadapi Sengketa Kini Dan Mendatang, Citra Media, Yogyakarta, 2006, hlm.3.

(27)

penyelesainya, serta nilai yang ingin dicapai dengan penyelesaian itu pun ikut mengalami perkembangan.26

2. Tinjauan Tentang Penyelesaian Sengketa Alternatif

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) proses. Proses penyelesaian sengketa tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya mahal, tidak responsif dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang bersengketa. Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win – win solution”, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Akan tetapi, di negara – negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat. Satu – satunya kelebihan proses nonlitigasi ini sifat kerahasiaannya, karena proses persidangan dan bahkan hasil keputusannya pun tidak dipublikasikan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR).27

26 Roedjiono, “Alternative Dispute Resolutions (Pilihan Penyelesaian Sengketa)”, Makalah pada Penataran Dosen Hukum Dagang Se – Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1996, hlm 1 – 2.

27 Rachmadi Usman, Op. Cit., hlm. 3.

(28)

Menurut Fathahillah AS penyelesaian sengketa dalam prakteknya memiliki dua macam metode, yaitu :28

a. Proses Peradilan/ajudikasi,

- Litigasi (Proses pengadilan) - Arbitrase

b. Proses Konsensual / Non-Ajudikasi - Alternatif Penyelesaian Sengeketa

Alternatif Penyelesaian Sengeketa saat ini menjadi pilihan yang efektif dan efisien sebab memiliki beberapa bentuk yang memberikan pilihan berbeda bagi para pihak.

Gerakan ADR (Alternative Dispute Resolution) lahir di Amerika Serikat pada era 1970-an yang kemudian menyebar ke berbagai negara dalam bentuk antara lain arbitrase dan mediasi. Secara teori, ADR dapat memberikan prosedur yang lebih murah, cepat, tidak kompleks seperti litigasi formal. Penggunaannya tidak hanya ditujukan untuk mengatasi hambatan finansial terhadap pengadilan, akan tetapi juga menghadapi permasalahan yang mengandung faktor budaya, geografi dan psikologi.29

Penyelesaian sengketa atau konflik sudah mulai beralih ke penyelesaian dengan cara non-litigasi yang dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR). Di Amerika dan di Australia hampir 90 persen sengketa diselesaikan melalui non-litigasi, terutama dikalangan usahawan. Demikian juga di Indonesia penyelesaian sengketa melalui lembaga ini

28 Fatahillah A.S, Pelatihan Mediator, Indonesian Institute For Conflict Transformation, Jakrta, 2004, hlm. 14.

29 Nurnaningsih Amriani, Op. Cit., hlm. 14.

(29)

sudah mulai tampak, terutama di kalangan usahawan, walaupun frekuensinya masih sangat sedikit.30

Salah satu cara penyelesaian sengketa alternatif yang menjadi trend global dalam menyelesaikan sengketa keperdataan diantaranya adalah mediasi. Di Indonesia, upaya perdamaian atau mediasi wajib dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa dalam lingkup keperdataan yang didasarkan kepada 130 HIR / 154 R.Bg. Kemudian, hal ini kemudian dipertegas dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan pembaharuan terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

3. Tinjauan Tentang Mediasi

Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkordinasikan aktivitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawar – menawar, bila tidak ada negosiasi, tidak ada mediasi.31

Mediasi adalah salah satu alternatif dalam menyelesaikan sengketa.

Mediasi merupakan suatu proses negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang tidak memihak dan netral yang akan bekerja dengan pihak bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara memuaskan bagi kedua belah pihak.32

30 Joni Emerzon, Hukum Bisnis Indonesia, Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, 2002, hlm. 494.

31 Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, MA – RI, Jakarta, 2004, hlm. 61.

32 Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Bandung:

Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.47.

(30)

Nollan Haley memberikan definisi atau pengertian mediasi, sebagai berikut :33

“A short term structured task oriented, partipatory invention process.

Disputing work with a neutral third party, the mediator, to reach a mutually acceptable agreement.”

(suatu istilah singkat yang bertugas mengorientasikan, proses penemuan para pihak. Antara para pihak bekerja dengan pihak ketiga yang netral. Seorang mediator. Untuk mendapatkan kesepakatan yang saling menguntungkan).

Mediasi sebagai bentuk penyelesaian sengketa memiliki kekuatan- kekuatan sehingga mediasi menjadi salah satu pilihan yang dapat dimanfaatkan oleh mereka yang tengah bersengketa, yakni :34

Pertama, penyelenggaraan proses mediasi tidak diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan sehingga para pihak memiliki keluwesan atau keleluasaan dan tidak terperangkap dalam bentuk – bentuk formalisme, seperti halnya dalam proses litigasi.

Kedua, pada umumnya mediasi diselenggarakan secara tertutup atau rahasia. Artinya adalah bahwa hanya para pihak dan mediator yang menghadiri proses mediasi, sedangkan pihak lain tidak diperkenankan untuk menghadiri sidang – sidang mediasi.

Ketiga, dalam proses mediasi, pihak materiil atau prinsipal dapat secara langsung berperan serta dalam melakukan perundingan dan tawar-menawar untuk

33 Nollan halley dan M. Jaqueline, Alternative Dispute Resolution, dalam skripsi Ririn Bidasari, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, 2006, Fakultas Hukum USU.hlm.69.

34 Takdir Rahmadi, Op. Cit, hlm. 21 – 25.

(31)

mencari penyelesaian masalah tanpa harus diwakili oleh kuasa hukum masing – masing.

Keempat, para pihak melalui proses mediasi dapat membahas berbagai aspek atau sisi dari perselisihan mereka, tidak hanya aspek hukum, tetapi juga aspek – aspek lainnya.

Kelima, sesuai sifatnya yang konsensual atau mufakat dan kolaboratif, mediasi dapat menghasilkan penyelesaian menang – menang bagi para pihak (win – win solution).

Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan pengganti dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008.

Dewasa ini, mediasi menjadi trend global dan menjadi salah satu penyelesaian sengketa alternatif yang terus berkembang dalam menyelesaikan sengketa keperdataan khususnya di pengadilan. Hal ini dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang menyempurnakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang dinilai kurang optimal.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mediasi yang merupakan salah satu penyelesaian sengketa alternatif yang memiliki berbagai macam keunggulan dalam menyelesaikan sengketa keperdataan dalam mencapai win – win solution diantara para pihak yang bersengketa, yang terus berkembang

(32)

dan memiliki dasar hukum yang mengaturnya yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

F. Metode Penelitian 1. Sifat / Bentuk Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dilakukan secara yuridis normatif yang merupakan penelitian yang dilakukan pada peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang topik yang penulis angkat yaitu mengenai mediasi, kemudian penulis melihat kesesuaian antara peraturan hukum atau peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan mediasi khususnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dengan kenyataan pelaksanaannya di lapangan dengan melihat pada pelaksanaan prosedur mediasi dan efektifitas mediasi di Pengadilan Negeri Medan dengan meminta data atau statistik angka keberhasilan mediasi dalam menyelesaikan perkara keperdataan dan melakukan wawancara langsung dengan hakim mediator Pengadilan Negeri Medan.

2. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, penulis melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Medan yang merupakan instansi dalam hal ini badan peradilan yang wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan topik yang penulis bahas dalam skripsi ini, khususnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Penulis melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Medan sebagai lokasi penelitian dengan

(33)

pertimbangan bahwa Pengadilan Negeri Medan memenuhi karakteristik bagi penulis berkaitan dengan masalah yang penulis angkat dalam skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan data primer dan data sekunder dengan menggunakan metode sebagai berikut :

a. Studi Lapangan (Data Primer)

Wawancara yaitu melakukan penelitian langsung ke lapangan mengenai efektifitas dari peraturan perundang - undangan yang berhubungan dengan topik skripsi penulis terhadap praktek di lapangan. Wawancara dilakukan antara penulis dengan hakim mediator yang melakukan mediasi dalam penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri Medan.

b. Studi kepustakaan (Data Sekunder)

Dilakukan dengan mempelajari dan meneliti berbagai sumber bacaan yang berkaitan dengan topik yang diangkat dalam skripsi ini. Seperti : buku – buku hukum, makalah hukum, majalah hukum, surat kabar, artikel hukum di internet, pendapat para sarjana atau pakar di dunia hukum, dan bahan – bahan lainnya.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah di dalam pembahasan skripsi mengenai Pemberdayaan Prosedur Mediasi di Pengadilan Sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Studi Pada Pengadilan Negeri Medan), maka dalam hal ini akan dibagikan dalam beberapa bab. Sistematika penulisan tersebut dibagi dalam 5 bab, yaitu sebagai berikut :

(34)

Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Mediasi Sebagai Salah Satu Penyelesaian Sengketa Alternatif yang terdiri atas pengertian mediasi, sejarah mediasi, peraturan perundang – undangan mediasi di Indonesia dan keunggulan mediasi sebagai salah satu penyelesaian alternatif di Amerika, Jepang dan Indonesia.

Bab III : Pemberdayaan Prosedur Mediasi Sebagai Salah Satu Penyelesaian Sengketa Alternatif di Indonesia yang terdiri pengertian mediasi di pengadilan, dasar hukum mediasi di Pengadilan, pemberdayaan mediasi di Pengadilan menurut peraturan perundang – undangan di Indonesia dan prosedur mediasi di pengadilan menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.

Bab IV : Efektifitas Pelaksanaan Mediasi dalam Menyelesaikan Sengketa Keperdataan di Pengadilan Negeri Medan yang terdiri dasar pemberdayaan mediasi di Pengadilan Negeri Medan, pelaksanaan mediasi di Pengadilan Negeri Medan, efektifitas mediasi di Pengadilan Negeri Medan dan faktor – faktor penghambat pelaksanaan mediasi di Pengadilan Negeri Medan.

(35)

Bab V : Kesimpulan dan Saran, memuat kesimpulan dan saran penulis sebagai hasil dari analisis penulis atas permasalahan dalam skripsi ini.

(36)

BAB II

MEDIASI SEBAGAI SALAH SATU PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

A. Pengertian Mediasi

Istilah mediasi cukup gencar dipopulerkan oleh para akademisi dan praktisi akhir – akhir ini. Para ilmuan berusaha mengungkap secara jelas makna mediasi dalam berbagai literatur ilmiah melalui riset dan studi akademik. Para praktisi juga cukup banyak menerapkan mediasi dalam praktik penyelesaian sengketa. Perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan berbagai lembaga lain cukup banyak menaruh perhatian pada mediasi ini. Namun, istilah mediasi tidak mudah didefinisikan secara lengkap dan menyeluruh, karena cakupannya cukup luas.35

Ditinjau secara konseptual, kata mediasi berasal dari bahasa Inggris

“mediation”, yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa penengah36, sedangkan dalam Bahasa Belanda disebut “Medio” artinya pertengahan dan di dalam kamus bahasa Indonesia mediasi berarti menengahi.37

Pada asasnya, mediasi dapat diartikan secara luas dan sempit. Secara luas, yaitu penyelesaian sengketa yang dilaksanakan baik oleh pihak ketiga, di luar sistem peradilan maupun di dalam sistem peradilan. Yang dilaksanakan di luar sistem peradilan ialah mediasi, arbitrase dan lainnya. Sedangkan yang

35 Gatot Sumartono, Op. Cit., hlm. 119.

36 Rachmadi Usman, Op. Cit., hlm. 79.

37 Redaksi Karya Anda, Kamus Internasional Populer, Karya Anda, Surabaya, hal. 223.

(37)

dilaksanakan di dalam sistem peradilan dikenal dengan Court Annexed Mediation atau juga disebut Court Annexed Dispute Resolution.38

Menurut John W.Head, mediasi adalah suatu prosedur penengah dimana seseorang bertindak sebagai “kendaraan” untuk berkomunikasi antar para pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.39

Menurut Priyatna Abdurrasyid, mediasi merupakan suatu proses dimana sengketa antara dua pihak atau lebih (apakah berupa perorangan, kelompok, atau perusahaan) diselesaikan dengan menyampaikan sengketa tersebut pada suatu dengar pendapat langsung dihadapan pihak ketiga yang mandiri dan independen (mediator) yang berperan untuk membantu para pihak mencapai penyelesaian yang dapat diterima atas masalah yang dipersengketakan. Mediator wajib independen dan tidak dibenarkan menerapkan tipu daya dalam usaha penyelesaian antara para pihak.40

Menurut Takdir Rachmadi, mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Pihak netral tersebut disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan prosedural dan substansial. Dengan demikian, dari definisi atau pengertian mediasi ini dapat diidentifikasikan unsur-unsur esensial mediasi, yaitu :41

38 Suharto, 2003, “Pengarahan Dalam Rangka Pelatihan Mediator Dalam Menyambut Penerapan Perma Court Annexed Mediation di Pengadilan di Indonesia”, Makalah dalam Mahkamah Agung RI, 2005, Mediasi dan Perdamaian, Pusdiklat MA RI, Jakarta, hlm.11 – 12.

39 John W.Head, Op. Cit., hlm.42.

40 Priyatna Abdurrasyid, Op. Cit., hlm.44.

41 Takdir Rachmadi, Op. Cit., hal. 12 dan 13.

(38)

1. mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak;

2. para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak yang disebut mediator;

3. mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu para pihak yang bersengketa dalam mencari penyelesaian yang dapat diterima para pihak.

Pendapat Moore CW. dalam bukunya The Mediation Process (1986, hal.

14), dikutip oleh Said Faisal menerangkan bahwa mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif dan dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktifitas mereka sehingga lebih efektif falam proses tawar – menawar, bila tidak ada negosiasi, tidak ada mediasi.42

Rachmadi Usman, dalam bukunya yang berjudul “Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan”, mengutip pendapat para ahli tentang mediasi, yakni :43

1. Gary Goodpaster, mengemukakan bahwa :

“Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak.

Namun, dalam hal ini para pihak mengusahakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan – persoalan di antara mereka.

Asumsinya bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi

42 Said Faisal, 2003, “Pengantar Mediasi”, Makalah dalam Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2005, hal. 61.

43 Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 79, 80 dan 81.

(39)

yang lebih efektif, dan dengan demikian membantu para peserta untuk menyelesaikan persoalan – persoalan yang dipersengketakan.”

2. Jacqueline M. Nolan Haley, mengemukakan bahwa :

“Mediation is generally understood to be a short-term sturctured, task- oriented, participatory intervention process. Disputing parties work with a neutral third party, the mediator, to reach a mutually acceptable agreement. Unlike the adjudication process, where a thirf party intervenor imposes a decision, no such compulsion ecists in mediation. The mediator aids the parties in reaching a consensus. It is the parties themselves who shape their agreement.”

(Mediasi pada umumnya dipahami sebagai struktur jangka pendek, berorientasi tugas, proses partisipasi antisipasi. Para pihak yang bersengketa bekerja bersama pihak ketiga yang bersifat netral yang disebut seagai mediator untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima bersama.

Berbeda dengan proses adjudikasi, dimana pihak ketiga di luar perkara membebankan keputusan, tidak ada paksaan seperti dalam proses mediasi.

Mediator membantu para pihak untuk mencapai konsensus. Para pihak itu sendiri yang membentuk perjanjian mereka.)

3. Mark E. Roszkowski, dalam buku Business Law, Principle, Cases and Policy mengemukakan bahwa :

“Mediation is a relatively informal process in which a neutral third party, the mediator, helps to resolve a dispute.”

(Mediasi adalah proses yang relatif informal dimana pihak ketiga bersifat netral, mediatormembantu untuk menyelesaikan sengketa.)

“In many respect, therefore, mediator can be considered as structured negotiation in which the mediator facilitates the process.”

(Oleh karena itu, dalam banyak hal, mediator dapat dianggap sebagai negosiasi terstruktur di mana mediator memfasilitasi proses.)

Berikutnya dalam Black Law Dictionary, dikatakan bahwa :

“Mediation is private, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps, disputing parties to reach on agreement. The mediator has no power to impose a decission on the parties.”

(Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa informal yang bersifat privat dimana orang ketiga yang bersifat netral yang disebut sebagai mediator, membantu para pihak bersengketa untuk mencapai kesepakatan.

Mediator tidak memiliki kekuasaan untuk memaksakan keputusan pada para pihak.)

Selanjutnya, Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, mengatakan bahwa :

“Mediation, mediasi : salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menggunakan jasa seorang mediator atau penengah;

sama seperti konsiliasi.”

(40)

“Mediator, penengah : seseorang yang menjalankan fungsi sebagai penengah terhadap pihak – pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketanya.”

Sementara itu, pada dasarnya mediasi sesuai yang diatur dalam Buku ke – 3 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata adalah merupakan salah satu bentuk perikatan, mediasi juga dikenal dengan sebutan “Perdamaian” ini pengertiannya terumus di dalam Pasal 1852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi selengkapnya sebagai berikut :44

“Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara bila dibuat secara tertulis.”

Dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, terdapat kaitan dengan mediasi yaitu terdapat pada Pasal 6 ayat (3) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi sebagai berikut :45

“Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.”

Dalam bunyi Pasal 6 ayat (3) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang telah dipaparkan diatas, memiliki keterkaitan pula dengan Pasal 6 ayat (2)

44 Pasal 1851 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.

45 Pasal 6 ayat (3) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

(41)

Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi sebagai berikut :46

“Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.”

Setelah dipaparkan kedua pasal yakni Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (3) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka dapat disimpulkan bahwa apabila sengketa atau beda pendapat yang tidak dapat diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat tersebut diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator.

Semula mediasi di pengadilan cenderung bersifat fakultatif / sukarela (voluntary), tetapi kini mengarah pada sifat imperatif / memaksa (compulsory).

Dapat dikatakan bahwa mediasi di pengadilan ini merupakan hasil pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan perdamaian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 130 HIR /154 Rbg, yang mengharuskan hakim yang menyidangkan suatu perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian diantara para pihak yang berperkara.47

Kemudian, Mahkamah Agung menindaklanjuti pengembangan dan pemberdayaan lembaga perdamaian yang diatur dalam Pasal 130 HIR/ 154 Rbg dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002

46 Pasal 6 ayat (2) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

47 Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 27.

(42)

untuk mengoptimalisasikan peranan lembaga perdamaian. Akan tetapi, SEMA Nomor 1 Tahun 2002 dinilai kurang efektif sebagai landasan atau dasar hukum perdamaian.

Oleh karena tidak efektifnya SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mengganti SEMA Nomor 1 Tahun 2002. Kemudian, PERMA Nomor 2 Tahun 2003 disempurnakan kembali dengan dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 sampai pada PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, merumuskan pengertian mediasi pada pasal 1 angka 6, yakni :48

“Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator.”

PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, merumuskan pengertian mediasi pada pasal 1 angka 7, yakni :49

“Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.”

Pada tanggal 4 Februari 2016, Mahkamah Agung kembali mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi di Pengadilan yang merupakan penyempurnaan dari PERMA Nomor 1 Tahun 2008, merumuskan pengertian mediasi pada pasal 1 angka 1 yang sesungguhnya

48 Pasal 1 angka 6 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

49 Pasal 1 angka 7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif, yang mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Pengaturan PERUM DAMRI diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Perusahaan Umum (PERUM) DAMRI. PERUM DAMRI berpedoman pada Undang-Undang

c. Dokumen-dokumen yang dianggap berharga. Sebelum timbulnya suatu resiko tersebut, masyarakat selalu berusaha mencari langkah-langkah untuk menghindari resiko. Salah satu

Direksi salah satu organ PT yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Namun,

Jenis penelitian Penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif, dengan mempertimbangkan titik tolak penelitian terhadap peraturan perundang-undangan

pada Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan, pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 2)

Sebagai salah satu perusahaan penerbangan swasta terbesar di Indonesia, PT. Lion Air berkewajiban untuk menyelenggarakan kegiatan pengangkutan udara yang tertib, aman, nyaman

Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan hak istri. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut diatas para pencari keadilan yang selalu