• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS CABANG USAHATANI DAN TATANIAGA PISANG RAJA BULU( Musa paradisiaca.sp ) (Kasus Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS CABANG USAHATANI DAN TATANIAGA PISANG RAJA BULU( Musa paradisiaca.sp ) (Kasus Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS CABANG USAHATANI DAN TATANIAGA

PISANG RAJA BULU( Musa paradisiaca.sp )

(Kasus Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)

SKRIPSI

YUNIARNI UTAMI H34067022

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

RINGKASAN

YUNIARNI UTAMI. Analisis Cabang Usahatani dan Tataniaga Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca.sp) (Kasus Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas

Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan EVA YOLYNDA AVINY).

Komoditi hortikultura merupakan salah satu komoditi pertanian yang mampu memberikan sumber devisa bagi negara untuk kemakmuran masyarakatnya secara menyeluruh. Hortikultura yang meliputi buah-buahan, sayuran, tanaman obat, dan tanaman. Potensi produksi yang besar serta potensi pasar yang baik mengkondisikan buah-buahan sebagai salah satu komoditas hortikultura yang sangat potensial untuk memasuki pasar domestik maupun internasional. Dengan beragamnya jenis buah unggul khas Indonesia, maka diperlukan pemilihan prioritas pengembangan didasarkan pada berbagai aspek dan pertimbangan yang baik. Salah satu komoditi yang memenuhi kriteria tersebut adalah pisang. Pisang yang termasuk jenis tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Di Asia, Indonesia termasuk penghasil pisang terbesar karena sekitar 50 persen produksi pisang Asia berasal dari Indonesia.

Kabupaten Cianjur terutama Kecamatan Cugenang yang merupakan sentra produksi pisang seharusnya terus mengembangkan potensi daerah yang dimiliki. Namun kenyataannya, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Luas areal penanaman pisang di daerah tersebut mengalami penurunan karena banyak petani yang menanam komoditas lain yang memiliki umur tanam lebih singkat seperti sayuran dan palawija.

Penelitian ini bertujuan mengkaji keragaan usahatani dan menganalisis pendapatan usahatani pisang raja bulu, menganalisis saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga dan efisiensi tataniaga pada masing-masing lembaga tataniaga pisang raja bulu di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2009 di Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat yaitu di Desa Talaga.

Data yang digunakan terdiri dari data primer dan sekunder. Jumlah responden usahatani sebanyak 30 petani pisang raja bulu. Pengambilan responden usahatani dilakukan dengan sengaja (metode purposive) dengan teknik Quota Sampling. Responden untuk analisis tataniaga ditentukan dengan metode survei dengan mengikuti alur tataniaga mulai dari petani sampai ke konsumen.

Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui gambaran tentang tentang keragaan cabang usahatani pisang raja bulu di Desa talaga dan alur tataniaga pisang raja bulu di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis pendapatan, analisis R/C ratio, analisis saluran tataniaga, analisis fungsi-fungsi tataniaga, analisis marjin, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran.

(3)

Input yang digunakan pada usahatani pisang raja bulu terdiri dari bibit, pupuk, alat-alat pertanian: Golok, kored, cangkul, gebyor dan panugar dan tenaga kerja yang digunakan yaitu tenaga kerja pria dan wanita.

Dalam melakukan usahatani pisang raja bulu kegiatan yang dilakukan masih terbatas yaitu kegiatan pengolahan lahan, pemupukan, penanaman, penyiangan dan pemeliharaan, dan pemanenan. Dari hasil analisis usahatani pisang raja bulu yang dilakukan, baik oleh petani pemilik maupun petani penggarap di Desa Talaga sudah efisien. Pendapatan yang dihasilkan oleh petani pemilik jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan petani penggarap. Hal itu dapat dilihat dari besarnya rasio R per C atas biaya tunai maupun atas biaya total dari responden petani pemilik. Berdasarkan analisis pendapatan, penerimaan dan rasio R per C atas biaya tunai dan atas biaya total, usahatani yang dilakukan oleh kedua jenis strata yaitu petani pemilik dan penggarap sudah menguntungkan.

Dari sisi tataniaga pisang raja bulu dapat dikatakan sudah efisien. Berdasarkan perhitungan dan analisis tataniaga diketahui terdapat enam saluran tataniaga yang digunakan oleh petani pisang raja bulu yang terdapat di Desa Talaga yaitu saluran A yang terdiri dari (Petani - Pedagang Pengecer - Konsumen Akhir), saluran B (Petani - Pedagang Pengumpul Daerah - Pedagang Pengecer - Konsumen Akhir), saluran C (Petani - Pedagang Pengumpul Daerah - Pedagang Besar Daerah - Pedagang Pengecer - Konsumen Akhir), saluran D (Petani - Pedagang Pengumpul - Pedagang Besar Daerah-Konsumen Akhir), saluran E1 (Petani - Pengumpul - Pedagang Besar Luar Daerah - Pasar Swalayan (Giant) - Konsumen Akhir) dan saluran E2 (Petani - Pengumpul - Pedagang Besar Luar Daerah - Pasar Swalayan (Carefour) - Konsumen Akhir). Seluruh lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyaluran pisang mulai dari tingkat petani hingga konsumen akhir adalah pedagang pengumpul, pedagang besar daerah dan luar daerah, pasar swalayan dan pedagang pengecer. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut berupa fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi pengadaan secara fisik (penyimpanan, pengolahan, pengangkutan) serta fungsi pelancar (sortasi dan grading). Lembaga yang melakukan fungsi pengolahan cenderung memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan lembaga tataniaga lainnya. Dalam setiap lembaga yang terlibat dalam proses penyaluran pisang raja bulu, dilakukan fungsi-fungsi tataniaga yang dapat menambah nilai ekonomi dan nilai jualnya. Dari keenam saluran tataniaga yang diteliti, saluran yang paling efisien bagi petani adalah saluran A, sedangkan saluran yang paling efisien bagi pedagang (lembaga pemasaran) adalah saluran E2.

(4)

ANALISIS CABANG USAHATANI DAN TATANIAGA

PISANG RAJA BULU (Musa paradisiaca.sp)

(Kasus Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)

YUNIARNI UTAMI H34067022

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Analisis Cabang Usahatani dan Tataniaga Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca.sp) (Kasus Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)

Nama : Yuniarni Utami

NIM : H34067022

Disetujui Pembimbing

Eva Yolynda Aviny, SP, MM NIP. 19710402 200604 2 008

Diketahui

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr.Ir.Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS CABANG USAHATANI DAN TATANIAGA PISANG RAJA BULU (Musa paradisiaca.sp) (Kasus Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)” ADALAH HASIL KARYA SAYA SENDIRI

DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI PADA

PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN

Bogor, September 2009

Yuniarni Utami H34067022

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 29 Juni 1985 sebagai anak pertama dari empat bersaudara keluarga Bapak Drs. Ardjunaedi, SH dan Ibu Nini Musniarni.

Penulis mengikuti pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Chandra Indah Pondok Gede, Bekasi dan lulus pada tahun 1997. Pendidikan tingkat menengah dapat diselesaikan penulis pada tahun 2000 di SMP Negeri 259 Jakarta Timur. Pendidikan tingkat atas dapat diselesaikan penulis pada tahun 2003 di SMU Angkasa 2 Jakarta Timur.

Pada tahun 2003, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Diploma III Inventarisasi dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian. Selepas menempuh program Diploma III, penulis melanjutkan studi pada Program Sarjana Agribisnis Penyelenggaraan Khusus, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2007 hingga tahun 2009.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan atas terselesaikannya penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Cabang Usahatani dan Tataniaga Pisang Raja Bulu

(Musa Paradisiaca.sp) (Kasus Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Upaya memberikan yang terbaik telah dilakukan secara optimal dalam penyusunan skripsi ini, namun kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi berbagai pihak yang terkait dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, September 2009

Yuniarni Utami

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Eva Yolynda Aviny, SP, MM sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar

memberikan bimbingan, dorongan, saran dan perhatiannya yang sangat berarti bagi penulis hingga penyusunan skripsi ini selesai.

2. Tintin Sarianti, SP, MM atas kesediaannya menjadi dosen evaluator dalam seminar proposal dan dosen komite akademik dalam sidang skripsi yang telah memberikan saran dan masukan dalam menyempurnakan skripsi ini.

3. Ir. Popong Nurhayati, MM atas kesediaannya menjadi penguji utama yang telah memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini.

4. Ayah, Ibu yang selalu mendoakan, memberi semangat, mendukung penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang yang tiada henti. Adik-adikku tersayang (Gita, Ilman dan Danis) sumber inspirasi, pemberi semangat, motivator terbesar dalam hidupku, yang membuat segalanya jadi mudah, indah dan bermakna.

5. Bapak Usep beserta keluarga yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data responden dan menyediakan fasilitas tempat tinggal.

6. Seluruh masyarakat Desa Talaga atas keramahan, bantuan serta alamnya yang indah.

7. Bapak Ceceng, petugas PPL dan seluruh responden yang telah banyak membantu penulis selama pengumpulan data dan memberikan informasi yang sangat berguna dalam penelitian ini.

8. Arief Rivai, SE atas doa, dukungan, semangat dan pengertiannya selama ini. 9. Nuning Masruri atas kesediaannya menjadi pembahas seminar, serta sebagai

teman yang senantiasa mendukung, membantu dan memberi semangat yang besar artinya sampai terselesaikannya skripsi ini.

10.Sahabat-sahabatku tersayang atas perhatian serta pengertiannya yang dengan sabar dan yakin bahwa skripsi ini akan segera rampung.

11.Seluruh Dosen dan Staf Sekretariat Departemen Agribisnis yang telah membantu penulis.

(10)

12.Rekan-rekan AGB Ma-Mi 1, 2 dan 3 atas kebersamaan dan keceriannya selama 2 tahun terakhir ini, serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Semoga ukhuwah kita tetap terjalin dan hanya Allah SWT yang dapat menilai dan membalas segala amal kebaikan yang telah dilakukan, Amin.

Bogor, September 2009

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Gambaran Umum Komoditas Pisang ... 10

2.2. Budidaya Pisang Raja Bulu ... 11

2.3. Hasil Penelitian Terdahulu ... 14

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 18

3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual ... 18

3.1.1. Konsep Usahatani ... 18

3.1.2. Tataniaga Pertanian ... 20

3.1.2.1. Saluran Tataniaga ... 22

3.1.2.2. Marjin Tataniaga ... 23

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 25

IV METODE PENELITIAN ... 29

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

4.2. Data dan Sumber Data ... 29

4.3. Metode Pengumpulan Data ... 29

4.4. Metode Analisis Data ... 30

4.4.1. Analisis Usahatani ... 31

4.4.2. Analisis Tataniaga ... 33

4.4.2.1. Analisis Saluran Tataniaga ... 33

4.4.2.2. Fungsi – Fungsi Tataniaga ... 33

4.4.2.3. Analisis Perilaku Pasar ... 33

4.4.2.4. Marjin Tataniaga ... 34

4.5. Definisi Operasional ... 35

V GAMBARAN UMUM DESA TALAGA ... 38

5.1. Karakteristik Wilayah ... 38

5.1.1. Keadaan Sosial Ekonomi ... 38

5.1.2. Kondisi Kependudukan ... 39

5.2. Karakteristik Petani Responden ... 41

5.2.1. Status Usaha ... 42

5.2.2. Pendidikan ... 43

5.2.3. Pengalaman Usahatani ... 44

5.2.4. Jumlah Tanggungan Keluarga ... 45

(12)

5.2.6. Pengusahaan Lahan ... 46

5.2.7. Sumber Modal ... 46

VI HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

6.1. Waktu Budidaya Pisang Raja Bulu ... 47

6.2. Teknik Budidaya Pisang Raja Bulu ... 47

6.3. Analisis Cabang Usahatani Pisang Raja Bulu ... 52

6.3.1. Bibit Pisang Raja Bulu ... 53

6.3.2. Pupuk ... 53

6.3.3. Obat-obatan dan Pestisida... 54

6.3.4. Tenaga Kerja ... 54

6.3.5. Alat–alat Pertanian ... 55

6.3.6. Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Cabang Usahatani Pisang Raja Bulu ... 57

6.3.6.1. Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Cabang Usahatani Petani Pemilik ... 58

6.3.6.2. Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Cabang Usahatani Petani Penggarap ... 59

6.4. Analisis Tataniaga Pisang Raja Bulu ... 62

6.4.1. Saluran Tataniaga ... 62

6.4.2. Analisis Fungsi–Fungsi Tataniaga ... 66

6.4.2.1. Fungsi pertukaran ... 66

6.4.2.2. Fungsi Pengadaan Secara Fisik ... 68

6.4.2.3. Fungsi Pelancar ... 73

6.4.2.4. Analisis Marjin Saluran Tataniaga Pisang Raja Bulu ... 77

6.5. Biaya, Keuntungan, Marjin, dan Saluran Tataniaga ... 77

6.5.1. Biaya, Keuntungan, Marjin Tataniaga Pisang Raja Bulu ... 77

6.5.1.1. Biaya, Keuntungan, Marjin Tataniaga Pisang Raja Bulu Pada Saluran A ... 78

6.5.1.2. Biaya, Keuntungan, Marjin Tataniaga Pisang Raja Bulu Pada Saluran B ... 79

6.5.1.3. Biaya, Keuntungan, Marjin Tataniaga Pisang Raja Bulu Pada Saluran C ... 79

6.5.1.4. Biaya, Keuntungan, Marjin Tataniaga Pisang Raja Bulu Pada Saluran D ... 80

6.5.1.5. Biaya, Keuntungan, Marjin Tataniaga Pisang Raja Bulu Pada Saluran E1 dan E2 ... 81

6.6. Efisisensi Saluran Tataniaga ... 82

VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 7.1. Kesimpulan ... 85

7.2. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Data Ekspor dan Impor Pisang Indonesia Tahun 2003 – 2006 .... 2 2. Data Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Pisang Indonesia

Tahun 2003 – 2007 ... 3 3. Tanaman Menghasilkan, Luas Panen, Hasil per Hektar, Hasil

per Pohon dan Produksi Pisang Menurut Provinsi Tahun 2006 .. 4 4. Komposisi Masyarakat Berdasarkan Umur di Desa Talaga,

Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur Tahun 2008 ... 40 5. Karakteristik Responden Petani Pisang Raja Bulu ... 42 6. Alokasi Rata–Rata Tenaga Kerja Pada Cabang Usahatani Pisang

Raja Bulu per Hektar per Musim Tanam ... 54 7. Nilai Penggunaan Peralatan Usahatani Pisang Raja Bulu ... 56 8. Perbandingan Analisis Cabang Usahatani Pisang Raja Bulu

Petani Pemilik dan Petani Penggarap per Hektar per Musim

Tanam ... 62 9. Standar Grading Pisang Raja Bulu ... 76 10. Nilai Persentase Farmer’s Share, Total Biaya, Total Keuntungan

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Marjin Tataniaga ... 25

2. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ... 29

3. Lahan Budidaya Pisang Raja Bulu di Desa Talaga ... 47

4. Kebun Pisang Raja Bulu Milik Petani Pemilik ... 57

5. Kebun Pisang Raja Bulu Milik Petani Penggarap ... 59

6. Saluran Tataniaga Pisang Raja Bulu di Desa Talaga ... 63

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Denah Lokasi Desa Talaga ... 90

2. Peta Produksi Pisang Indonesia 2006 ... 91

3. Gambar Pisang Raja Bulu ... 92

4. Jumlah Produksi Pisang di Jawa Barat ... 93

5.a. Kuesioner Usahatani Pisang Raja Bulu ... 94

5.b. Kuesioner Pembeli Pisang Raja Bulu ... 100

6. Penelitian Terdahulu ... 101

7. Karakteristik Responden ... 102

8. Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga Pemilik Berdasarkan Hari Orang Kerja (HOK) Pemilik ... 103

9. Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga Penggarap Berdasarkan Hari Orang Kerja (HOK) Penggarap ... 104

10. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga Pemilik Berdasarkan Hari Orang Kerja (HOK) Pemilik ... 105

11. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga Penggarap Berdasarkan Hari Orang Kerja (HOK) Penggarap ... 106

12. Status Kepemilikan Lahan dan Produktivitas Pisang Raja Bulu Responden Petani Pemilik ... 107

13. Status Kepemilikan Lahan dan Produktivitas Pisang Raja Bulu Responden Petani Penggarap ... 108

14. Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Cabang Usahatani Pisang Raja Bulu Petani Pemilik Pisang Raja Bulu Rata–rata per Hektar per Musim Tanam ... 109

15. Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Cabang Usahatani Pisang Raja Bulu Petani Penggarap Pisang Raja Bulu Rata–Rata per Hektar per Musim Tanam ... 110

16. Fungsi–Fungsi Tataniaga Yang Dilaksanakan Oleh Lembaga–Lembaga Tataniaga Pisang Raja Bulu Di Kabupaten Cianjur ... 111

17. Rangkuman dari Rincian Harga Jual, Biaya, Keuntungan dan Marjin Tataniaga dari Keenam Saluran Tataniaga Pisang Raja Bulu di Desa Talaga ... 112

(16)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Komoditi hortikultura merupakan salah satu komoditi pertanian yang mampu memberikan sumber devisa bagi negara untuk kemakmuran masyarakatnya secara menyeluruh. Hortikultura yang meliputi buah-buahan, sayuran, tanaman obat, dan tanaman hias merupakan salah satu sub sektor pertanian yang mampu meningkatkan sumber pendapatan bagi petani dan penggerak perekonomian pertanian secara nasional. Potensi produksi yang besar serta potensi pasar yang baik mengkondisikan buah-buahan sebagai salah satu komoditas hortikultura yang sangat potensial untuk memasuki pasar domestik maupun internasional. Adapun beberapa jenis buah unggulan Indonesia yang diharapkan mampu bersaing di pasar internasional adalah : pisang, mangga, jeruk, manggis, salak, nenas, pepaya, rambutan, durian, semangka, nangka dan duku1.

Dengan beragamnya jenis buah unggul khas Indonesia, maka diperlukan pemilihan prioritas pengembangan didasarkan pada berbagai aspek dan pertimbangan yang baik. Adapun pertimbangan tersebut antara lain adalah : (1) Mempunyai nilai gizi yang tinggi, (2) Dapat meningkatkan pendapatan petani, (3) Mempunyai prospek pasar yang baik, (4) Dapat menyerap tenaga kerja dan (5) Dapat menambah devisa negara (Prayitno,1999).

Salah satu komoditi yang memenuhi kriteria tersebut adalah pisang, sejenis tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Di Asia, Indonesia termasuk penghasil pisang terbesar karena sekitar 50 persen produksi pisang Asia berasal dari Indonesia.

Pisang merupakan komoditi yang bisa ditemui di berbagai tempat seperti pasar tradisional, warung-warung makan, restoran, hotel, swalayan, supermarket dan lain-lain, yang hampir setiap hari selalu tersedia dalam kondisi baru dan

1

http:// www.hortikultura.go.id. Potensi, Prospek Data Peluang Buah Tropika Nusantara dalam Menghadapi Pasar Global.htm. ( Diakses tanggal 11 Mei 2009)

(17)

segar. Buah pisang yang telah masak dapat dikonsumsi segar atau dapat pula diproduksi menjadi makanan olahan.

Dalam hal pengolahan produk, komoditi pisang telah diekspor oleh beberapa perusahaan di Indonesia dalam bentuk olahan seperti tepung, kripik dan

puree. Negara-negara pengimpor potensial pisang segar dan olahan antara lain Jepang, Korea selatan, Austria, Belgia, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Selandia baru, Swiss dan Amerika Serikat. Berikut ini disajikan data mengenai ekspor dan impor komoditas pisang Indonesia dari tahun 2003 sampai tahun 2006.

Tabel 1. Data Ekspor dan Impor Pisang Indonesia Tahun 2003-2006

Tahun

Ekspor Impor

Nilai (US $) Volume (Ton) Nilai (US $) Volume (Ton)

2003 513.990 244.652 403.849 563.633

2004 778.506 1.197.495 188.839 408.818

2005 1.288.873 3.647.027 400.859 443.911

2006 1.672.617 4.280.641 242.863 151.967

Sumber : Departemen Pertanian 2007

Berdasarkan Tabel 1. diatas dapat dilihat bahwa setiap tahunnya nilai dan volume ekspor pisang Indonesia secara signifikan terus meningkat, hal tersebut secara otomatis menurunkan nilai impor pisang yang dapat diartikan pemenuhan kebutuhan pisang nasional telah dapat dipenuhi oleh komoditi pisang lokal. Peningkatan nilai ekspor terbesar terjadi antara tahun 2004 sampai 2005 yaitu sebesar 510.367 US dolar, angka tersebut diperoleh dari selisih nilai ekspor dari tahun 2004 sampai 2005 yakni dari 778.506 US dolar menjadi 1.288.873 US dolar. Sedangkan pada volume impor terjadi penurunan terbesar pada tahun 2006 yakni sebesar 152.967 ton dari 443.911 ton menjadi 151.967 ton. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa komoditas pisang nasional sudah mampu bersaing dan diterima oleh pasar lokal dan internasional. Berdasarkan kondisi tersebut diketahui bahwa pisang merupakan komoditas yang prospektif dan harus

(18)

dikembangkan secara lebih serius sehingga dapat terus dijadikan salah satu sumber peningkatan devisa negara.

Adapun data perkembangan produksi, luasan panen dan produktivitas pisang Indonesia tahun 2003-2007 dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Data Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Pisang Indonesia Tahun 2003-2007

Tahun Produksi (ton) Luas Panen (ha) Produktivitas (ton/ha)

2003 4.177.155 85.690 48,75

2004 4.874.439 95.434 51,08

2005 5.177.608 101.465 50,03

2006 5.037.472 94.144 53,51

2007 5.454.226 98.143 55,57

Sumber: Departemen Pertanian 2008

Berdasarkan Tabel 2. di atas dapat dilihat bahwa produksi pisang di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal tersebut sejalan dengan peningkatan luasan panen pada tahun 2005 tahun yang menjadi 101.465, ini menunjukan peningkatan sebesar 92 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 95.434 hektar. Tetapi di tahun berikutnya luasan panen menurun signifikan dari total 101.465 hektar menjadi 94.144 hektar hal tersebut terjadi karena (banyak perkebunan pisang yang gagal panen akibat serangan hama dan penyakit) petani pisang cenderung beralih membudidayakan komoditas lain pada periode tanam berikutnya karena walaupun terjadi penurunan luasan lahan panen tetapi jumlah produksi masih tetap dapat dipertahankan antara lain dengan cara ekstensifikasi dan intensifikasi dalam hal penerapan teknologi budidaya pisang. Sedangkan pada tahun 2004 sampai 2005 untuk produktivitasnya sendiri menurun yaitu dari 51,08 ton per hektar menjadi 50,03 ton per hektar, namun secara keseluruhan dari tahun ke tahun produktivitas pisang Indonesia terus meningkat.

Seluruh wilayah kepulauan di Indonesia memiliki potensi pengembangan dalam hal budidaya dan produksi buah pisang. Namun demikian terdapat beberapa daerah yang ditetapkan sebagai sentra utama produksi pisang, yang antara lain terdapat di pulau Jawa khususnya Jawa Barat dengan sentra produksi

(19)

terdapat di Kota Cianjur (Lampiran 2 dan lampiran 4). Provinsi Jawa Barat dengan luas panen 22.961 ton per hektar mampu menghasilkan produksi sebanyak 1.368.253 ton, dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih dari 27 persen produksi buah pisang nasional dihasilkan dari perkebunan-perkebunan pisang di wilayah Jawa Barat. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dari Tabel 3. Mengenai total tanaman, luas panen, hasil per hektar, hasil per pohon dan produksi pisang menurut propinsi tahun 2006.

Tabel 3. Tanaman Menghasilkan, Luas Panen, Hasil per Hektar, Hasil per Pohon dan Produksi Pisang menurut Propinsi Tahun 2006

No Propinsi

Pisang

Tanaman sdg Luas Hasil Hasil Per Produksi Menghasilkan Panen Per Ha Pohon (Ton)

(Pohon) (Ha) (Ton/Ha) (Kg/Phn)

1. Sumatera 20,797,417 20,795 55.43 55.42 1,152,608 DKI Jakarta 27,673 28 40.04 40.51 1,121 Jawa Barat 22,961,260 22,961 59.59 59.59 1,368,253 Jawa Tengah 13,609,857 13,610 36.68 36.68 499,217 D.I. Yogyakarta 966,735 967 53.24 53.25 51,480 Jawa Timur 13,602,072 13,602 61.68 61.68 838,912 Banten 3,970,492 3,970 58.05 58.04 230,446 2. Total J a w a 55,138,089 55,138 54.22 54.22 2,989,429

3. Bali & Nusa Tenggara 5,985,616 5,986 46.86 46.86 280,494

4. Kalimantan 5,640,027 5,639 49.23 49.23 277,633

5. Sulawesi 5,476,053 5,476 56.42 56.42 308,938 6. Maluku dan Papua 1,109,973 1,110 25.56 25.56 28,370

Total Indonesia 94,147,175 94,144 53.51 53.51 5,037,472

Sumber : Departemen Pertanian 2007

Seperti halnya komoditas hortikultura lainnya, pisang memiliki sifat mudah rusak sehingga pendistribusian dari produsen ke daerah konsumsi memerlukan waktu yang cepat (buah pisang dipanen sebelum matang). Untuk itu diperlukan sistem infrastruktur yang baik dan teknologi pascapanen yang memadai agar kualitas pisang segar dapat terus terjaga sampai ketangan konsumen akhir.

Berdasarkan cara konsumsi pisang dikelompokkan dalam dua golongan, yaitu banana dan plantain. Banana adalah pisang yang dikonsumsi dalam bentuk

(20)

segar setelah matang, seperti pisang ambon, susu dan raja. Plantain adalah pisang yang dikonsumsi setelah digoreng, direbus, dibakar atau dikolak, seperti pisang tanduk, siam, kapas, kepok, nangka dan uli.

Pisang raja bulu merupakan salah satu jenis pisang raja yang dikonsumsi dalam bentuk segar setelah matang, dengan ukuran sedang dan gemuk, bentuk buahnya melengkung dengan pangkal buah agak bulat dan kulitnya tebal berwarna kuning berbintik cokelat. Sedangkan rasa daging buahnya sangat manis, berwarna kuning kemerahan, bertekstur lunak, dan tidak berbiji. Panjang buah antara 12-18 sentimeter dengan bobot rata-rata 110-120 gram. Setiap pohon biasanya dapat menghasilkan rata-rata sekitar 90 buah2.

1.2. Perumusan Masalah

Sebagian besar penduduk di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Cianjur, Jawa Barat berprofesi sebagai petani, umumnya penduduk setempat memanfaatkan lahan pertanian untuk bercocok tanam dengan pola tanam tumpangsari. Komoditas pertanian yang umumnya ditanam adalah padi, palawija (jagung, singkong dan kacang-kacangan) sayur-mayur dan buah-buahan. Adapun jenis buah yang ditanam antara lain alpukat, pepaya, pisang dan mangga. Menurut informasi yang diperoleh dari kepala desa, Desa Talaga memiliki lahan perkebunan pisang seluas 55 hektar. Jenis tanaman pisang yang ditanan di Desa Talaga yaitu pisang ambon 30 persen, pisang tanduk 10 persen, pisang nangka 20 persen, pisang raja 10 persen, pisang muli 10 persen dan 20 persen ditanam jenis varietas pisang lainnya. Jenis pisang raja yang saat ini banyak dikembangkan oleh petani pisang di Desa Talaga adalah pisang raja bulu, jenis pisang ini memiliki nilai jual yang tinggi serta diminati pasar.

Umumnya petani pisang di Desa Talaga menjadi anggota kelompok tani. Ada lima kelompok tani di Desa Talaga yaitu : Sumber Arum, Sumber Sari, Sumber Tani, Jembar Tani, Intan Langsung Makmur. Setiap anggota kelompok tani diberikan keleluasaan untuk menjual hasil panen pisang raja bulunya kepada tengkulak jika harga beli yang ditawarkan tengkulak lebih tinggi, hal ini membuat fungsi kelompok tani tidak berjalan aktif dan efektif.

2

(21)

Berdasarkan status kepemilikan lahan petani pisang di Desa Talaga dikelompokan menjadi dua, yaitu petani pemilik dan petani penggarap. Petani di Desa Talaga baik sebagai petani pemilik ataupun penggarap menanam jenis pisang raja bulu sebagai kegiatan usahatani, namun demikian sampai saat ini belum banyak petani penggarap yang berhasil membudidayakan pisang raja bulu. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan pengalaman mengenai teknik dan wawasan budidaya pisang raja bulu secara khusus sehingga hasil produksinya masih rendah. Baik petani pemilik ataupun petani penggarap sampai saat ini membudidayakan pisang raja bulu hanya dijadikan sebagai tanaman sampingan atau campuran. Kurangnya ketertarikan petani untuk menanam pisang raja bulu dikarenakan risiko kerugian yang tinggi, pisang raja bulu relatif rentan terhadap serangan hama fusarium sehingga banyak petani yang mengalami gagal panen akibat serangan penyakit busuk bonggol tersebut, dan sampai saat ini belum adanya informasi baik dari dinas pertanian melalui petugas (PPL) mengenai teknis penanggulangan hama penyakit tanaman yang tepat dan efektif, sehingga banyak petani yang masih enggan berspekulasi untuk menanam pisang raja bulu. Padahal insentif harga yang diterima petani dari hasil produksi pisang raja bulu cukup tinggi bila dibandingkan jenis pisang lain.

Adanya kesulitan dalam hal teknik budidaya pisang raja bulu serta kesulitan dalam memperoleh bibit yang berkualitas turut menjadi faktor penghambat usahatani pisang raja bulu di Desa Talaga. Saat ini bibit pisang raja bulu harus dibeli dengan harga Rp. 1.500 per tunas/bibit dari petani ataupun pemulia tanaman. Dengan keterbatasan modal yang dimiliki menyebabkan petani pisang lebih memilih untuk menanam pisang jenis lain yang bibitnya mudah diperoleh tanpa perlu membeli.

Kendala lain yang dialami petani pisang raja bulu di Desa Talaga adalah terbatasnya sumber air karena umumnya lokasi perkebunan jauh dari pemukiman warga serta topografi kebun yang berbukit menyebabkan sulit dibangun saluran pengairan. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan pisang tidak optimal karena dalam pengairannya hanya mengandalkan air hujan. Sarana transportasi yang kurang memadai serta kondisi jalan utama yang rusak dengan topografi lahan berbukit dan berbatu dapat memperlambat waktu pendistribusian buah serta

(22)

menurunkan kualitas penampilan fisik buah karena terbentur-bentur pada saat pendistribusian.

Berdasarkan harga pisang raja bulu di tingkat petani di Desa Talaga yang langsung dibeli oleh tengkulak dari petani berkisar antara Rp. 2000 (grade A) sampai Rp. 2500 (grade B) per kilogram. Sebenarnya nilai jual pisang raja bulu dapat ditingkatkan dengan perlakuan khusus antara lain dengan pengemasan yang baik dan memperpendek jalur distribusi pemasarannya.

Dari sisi tataniaga pisang raja bulu masih didominasi teknik penjualan yang bersifat tradisional yaitu sistem taksir menaksir harga sehingga tidak ada harga pasti yang menunjukan standar kualitas hasil panenan. Selain itu harga yang ditetapkan oleh tengkulak disesuaikan oleh jarak tempuh dan kondisi jalan yang dilalui selama proses pengangkutan pisang raja bulu dari kebun petani menuju gudang pengumpul. Saat ini sistem pemasaran pisang raja bulu masih dikuasai oleh pedagang pengumpul (tengkulak), tengkulak menawarkan harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan bila petani menjual hasil panen pisang raja bulu kepada kelompok tani selain itu pembayaran dilakukan secara tunai oleh pedagang pengumpul setelah hasil panen pisang raja bulu ditimbang. Adanya ikatan kerjasama dan kemudahan memperoleh uang menyebabkan petani memilih menjual hasil panen pisangnya langsung kepada tengkulak dengan harga yang ditentukan oleh tengkulak. Harga pisang raja bulu yang tinggi di pasaran tidak selalu menguntungkan pihak petani, kondisi yang sebenarnya terjadi adalah keuntungan terbesar diperoleh pihak pedagang yang lebih banyak melakukan fungsi tataniaga.

Struktur pasar yang terjadi antara petani dengan tengkulak dalam pemasaran pisang raja bulu di Desa Talaga adalah kondisi dimana petani sebagai penjual berjumlah cukup banyak, sedangkan jumlah pembeli yakni pedagang pengumpul (tengkulak) terbatas. Sehingga dalam kondisi ini petani merupakan penerima harga (price taker) sehingga petani tidak memiliki kekuatan untuk tawar menawar harga komoditi yang diperdagangkan. Harga yang diterima petani hanya dalam bentuk satuan rata-rata dan ditetapkan oleh pihak tengkulak. Informasi mengenai harga biasanya diperoleh dari kelompok tani, tengkulak dan

(23)

sesama petani, sehingga informasi harga dan pasar diperoleh petani secara tidak sempurna.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana keragaan cabang usahatani pisang raja bulu di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ?

2. Bagaimana pendapatan cabang usahatani pisang raja bulu di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ?

3. Bagaimana sistem tataniaga pisang raja bulu di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji keragaan cabang usahatani pisang raja bulu di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ?

2. Mengkaji pendapatan cabang usahatani pisang raja bulu di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ?

3. Menganalisis sistem tataniaga pisang raja bulu di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ?

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini bagi penulis adalah sebagai penerapan teori yang selama ini diperoleh dibangku kuliah terhadap permasalahan yang timbul di masyarakat, serta menjadikan upaya untuk menganalisis dan memberikan informasi tentang kondisi usahatani pisang raja bulu di Desa Talaga sehingga dapat berguna bagi pihak-pihak terkait seperti petani pisang, pengusaha dan pihak pengambil keputusan lainnya yang berhubungan dengan perencanaan investasi pada cabang usahatani pisang, selain itu penelitian ini juga sebagai bahan masukan bagi penelitian berikutnya yang berkaitan dengan usahatani pisang raja bulu.

(24)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi oleh:

1. Komoditi yang diteliti adalah jenis pisang raja bulu yang ditanam oleh petani pemilik ataupun petani penggarap di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

2. Objek penelitian ini adalah petani (pemilik atau penggarap) yang berusahatani di bidang budidaya pisang raja bulu dan lembaga pemasaran yang terkait dalam hal pendistribusian pisang raja bulu dari Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

(25)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Umum Komoditas Pisang

Pisang merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan Indonesia. Walaupun bukan tergolong kedalam buah ekslusif (hanya dapat tumbuh di lokasi tertentu, dibudidayakan secara moderen, harga jual yang tinggi dan diperdagangkan oleh lembaga pemasaran tertentu), pisang memiliki potensi pasar yang luas dan diminati oleh hampir semua lapisan dan golongan masyarakat. Tanaman pisang adalah tanaman buah herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara yang kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Amerika Tengah.

Pisang di Indonesia mempunyai ragam varietas atau kultivar yang cukup banyak seperti pisang ambon, barangan, raja bulu, raja sere, badak, kapok kuning, nangka, tanduk, agung, mas dan lain-lain. Tanaman pisang pada umumnya dikembangkan secara vegetatif berupa anakan atau belahan bonggol dan bibit hasil kultur jaringan.

Berdasarkan fungsinya, pisang dikelompokan dalam empat golongan yaitu: Pisang yang dimakan buahnya tanpa dimasak yaitu M. paradisiaca var

Sapientum, M. banana atau disebut juga M. cavendishii, M. sinensis misalnya pisang ambon, susu, raja, cavendish, barangan dan mas, pisang yang dimakan setelah buahnya dimasak yaitu M. paradisiaca forma typic atau disebut juga M. paradisiaca normalis misalnya pisang nangka, tanduk dan kapok, pisang berbiji yaitu M. brachycarpa yang di Indonesia dimanfaatkan daunnya misalnya pisang batu dan klutuk dan yang terakhir pisang yang diambil seratnya misalnya pisang manila (abaca).

Sedangkan berdasarkan cara konsumsi pisang dikelompokkan dalam dua golongan, yaitu banana dan plantain. Banana adalah pisang yang dikonsumsi dalam bentuk segar setelah matang, seperti pisang ambon, susu dan raja. Plantain

adalah pisang yang dikonsumsi setelah digoreng, direbus, dibakar atau dikolak,

dibuat sale dan gaplek. Pisang dapat diolah menjadi tepung, keripik pisang dan

pureeseperti pisang tanduk, siam, kapas, kepok, nangka dan uli. Ekspor pisang dalam bentuk olahan yang sudah diperdagangkan diluar negeri adalah keripik

(26)

pisang. Bunga atau jantung pisang dapat dijadikan sebagai bahan makanan bergizi tinggi seperti lalap masak, diurap, pencampur pecal atau diolah menjadi abon jantung pisang.

Kegunaan lain dari tanaman pisang adalah pemanfaatan limbah berupa bonggol untuk membuat sabun dan pupuk kalium. Batang semu pisang dapat dipergunakan sebagai pembungkus tembakau, dibuat tali atau dipotong-potong kecil sebagai bahan pakan ternak. Daun pisang didayagunakan untuk membungkus berbagai keperluan sehari-hari disamping dimanfaatkan juga sebagai pakan ternak.

2.2 Budidaya Pisang Raja Bulu

Budidaya tanaman pisang raja bulu meliputi beberapa aspek mulai dari kegiatan pengolahan tanah, penyediaan bibit, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, penanganan hama penyakit dan pemanenan. Semua cara tersebut dilakukan agar tanaman pisang raja bulu dapat tumbuh dengan baik dan mampu menghasilkan buah yang berkualitas baik secara fisik maupun rasa.

a) Pengolahan tanah

Pengolahan tanah bukan hal yang harus dilakukan khususnya pada lahan yang masih gembur dan tidak terdapat gulma. Untuk tanah yang beralang-alang perlu dicangkul. Alang-alang merupakan gangguan utama untuk tanaman pisang karena dapat menyebabkan kompetisi perolehan kebutuhan hara dan mineral-mineral tanah antar tanaman pisang dengan gulma.

b) Penyediaan bibit pisang

Pisang umumnya diperbanyak dengan anakan. Anakan berdaun pedang lebih disenangi petani, sebab pohon pisang yang berasal dari anakan demikian akan menghasilkan tandan yang lebih besar pada panen pertamanya (tanaman induk). Bonggol atau potongan bonggol juga digunakan sebagai bahan perbanyakan. Bonggol ini biasanya dibelah dua dan direndam dalam larutan pestisida untuk membunuh nematoda dan penggerek sebelum ditanamkan. Kini telah dikembangkan kultur jaringan

(27)

untuk perbanyakan secara cepat, melalui ujung pucuk yang bebas-penyakit. Penanaman pada umumnya dilakukan pada awal musim hujan. Bahan perbanyakan biasanya ditanamkan sedalam 30 sentimeter. Pisang biasa dijadikan tanaman pencampur pada pola tanam tumpangsari.

c) Penanaman dan pemupukan

Penyiangan berulang-ulang diperlukan sampai tanaman pisang dapat menaungi dan menekan gulma. Gulma diberantas dengan cara-cara mekanik (dibabat, dibajak, dan sebagainya) atau dengan tangan. Untuk memaksimalkan pertumbuhan tanaman sebaiknya ditanam dengan jarak tanam 2 x 3 meter sampai 3 x 3 meter dengan lubang tanam sedalam 50 sentimeter. Di pekarangan pemakaian pupuk kandang dan kompos dianjurkan yaitu setelah membuat lubang tanam dan memasukkan 10 kilogram pupuk kadang per lubang tanam sebelum melakukan penanaman bibit.

d) Penanganan hama penyakit

Penyakit layu Fusarium atau penyakit Panama paling sering menyerang tanaman pisang raja bulu, penyakit ini disebabkan oleh

Fusarium oxysporum f. Cubense, sejenis jamur tanah yang menyerang akar kultivar-kultivar pisang yang rentan, dan menyumbat sistem pembuluh, sehingga tanaman akan layu. Satu-satunya cara pemberantasan ialah penghancuran fisik atau kimiawi (herbisida) pada tanaman yang terserang, lahan hendaknya dikosongkan dan dipagari serta dikucilkan dari penanaman dan aliran pengairan.

Berbagai jenis penyakit mencakup penyakit pucuk menjurai (bunchy top), mosaik, dan mosaik braktea. Penyakit pucuk menjurai dan penyakit mosaik ditularkan oleh afid-afid pisang, (Pentalonia nigronervosa) menyebabkan pucuk pisang menjurai antara lain ada afid jagung (Rhopalosiphum maidis), dan afid kapas (Aphis gossypii), kesemuanya itu adalah vektor-vektor untuk penyakit mosaik. Pemberantasan penyakit-penyakit ini mencakup tindakan karantina, pemeriksaan secara teratur dan

(28)

penghancuran tanaman yang terserang, penggunaan bahan perbanyakan yang bebas virus, pembuangan inang dan pemberantasan vektor-vektornya.

Serangga hama yang paling berbahaya adalah kumbang penggerek pisang (Cosmopolitis sordidus). Hama ini berasal dari Asia Tenggara, tetapi telah tersebar ke semua areal penanaman pisang, yang paling merusak adalah larvanya karena larva-larva itu menggerek bonggol dan menjadi pupa di lorong-lorong yang dibuatnya. Sebagian besar jaringan bonggol akan rusak, akibatnya akan menurunkan kemampuan pengambilan air dan hara. Langkah pemberantasannya mencakup pencacahan bonggol dan batang semu agar pembusukan berlangsung lebih cepat, menjerat dan menangkap serangga-serangga dewasa, menggunakan bahan perbanyakan yang tidak terserang, merusak tempat berlindung dan tempat makan serangga dewasa dengan cara menjaga kebersihan lahan di sekitar tanaman, dan menggunakan insektisida.

e) Panen dan Pasca Panen

Waktu yang tepat untuk panen buah pisang adalah ketika pisang sudah tua namun belum matang. Pisang dapat dipanen dengan melihat ciri-ciri fisik buah, umumnya pada umur 80 hari ketika siku-siku buah masih tampak jelas. Setelah umur 90 hari tinggal satu sampai tiga siku yang kelihatan, pisang umur 100 hari semua siku pisang sudah hampir lenyap, umur 110 hari pisang sudah bulat penuh, tidak ada siku sama sekali dan kulitnya hampir menguning.

Pisang yang masak selain didapatkan secara alami masak dipohon bisa pula diperam dengan kalsium karbida (CaC2) selama dua hari menggunakan tong plastik atau mengunakan timbunan daun kering (serasah). Kelemahan pisang karbid adalah cepat menjadi busuk sementara pematangan dengan ditimbun daun semakin cepat matang pisang semakin cepat pula pisang menjadi rusak.

Pisang dapat diperpanjang masa simpannya dengan cara pelilinan, tujuan pelilinan adalah mengawetkan dan mempertahankan kesegaran pisang. Dalam keadaan biasa pisang ambon dapat bertahan sembilan hari namun setelah diberi emulsi lilin enam persen memiliki daya simpan hingga

(29)

19 hari. Pisang raja bulu yang biasanya bertahan 12 hari apabila diberi emulsi lilin sembilan persen dapat berdaya simpan hingga 22 hari.

f) Kriteria Pasokan Pisang

Pisang untuk kebutuhan ekspor harus memenuhi persyaratan dan kriteria, bentuk buah yang bagus, warna kulit buah cerah, tidak ada bercak-bercak yang menempel pada buah, tidak rusak dan bebas dari jamur atau cendawan. Pisang berumur minimal 90 hari setelah berbunga dan masih nampak jelas garis-garis sikunya, Tangkai bunga pada ujung buah sudah luruh, ukuran buah sudah maximal dan warna buah hijau kekuning-kuningan.

Pisang untuk kebutuhan ekspor diperlukan grade yang harus dipenuhi seperti contoh pisang Raja harus memiliki panjang kurang lebih 12 sampai 14 sentimeter. Berat buah rata-rata 112 gram, tidak boleh ada luka dan warna kulit merah/ kuning. Grade ditentukan oleh pembeli dan biasanya antara pembeli yang satu dengan yang lain memiliki permintaan yang berbeda. Pisang untuk permintaan pasar lokal biasanya tidak ditentukan kriteria, yang terpenting pisang sampai ditempat penampungan tidak rusak dan tidak dalam keadaan kondisi matang penuh.

2.3. Hasil Penelitian Terdahulu Mengenai Usahatani dan Pemasaran

Dalam tinjauan pustaka ini akan dikemukakan beberapa hasil penelitian mengenai usahatani dan analisis tataniaga.

Hasil umum dari penelitian yang dilakukan peneliti-peneliti terdahulu tentang usahatani dan analisis sistem tataniaga menunjukan bahwa setiap komoditi buah-buahan mempunyai karakteristik usahatani dan sistem tataniaga yang berbeda-beda. Penelitian mengenai usahatani dan sistem tataniaga pisang khususnya pisang raja bulu belum ditemukan, sehingga komoditi tersebut menarik untuk diteliti lebih lanjut. Penelitian yang dilakukan memiliki perbedaan dan persamaan dengan penelitian terdahulu. Persamaannya pada analisis usahataninya yaitu mengenai pendapatan usahatani yang terdiri dari penerimaan, pengeluaran (biaya tunai dan biaya diperhitungkan), dan R/C. Perbedaannya pada komoditi

(30)

penelitian, analisis sistem tataniaga, waktu dan lokasi penelitian yang akan dilaksanakan.

Penelitian Maharani (2008) mengenai Analisis Cabang Usahatani dan sistem Tataniaga Pisang Tanduk (studi kasus: Desa Nanggerang, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat), memiliki persamaan alat analisis dengan skripsi ini. Adapun hal yang membedakan adalah jenis pisang yang diteliti dan lokasi serta waktu penelitian dilaksanakan. Dalam skripsi Maharani menunjukan bahwa kegiatan usahatani yang dilakukan merupakan usaha sampingan. Analisis pendapatan usahatani menunjukan nilai rasio R/C Total sebesar 1.05. Hal ini merupakan pembuktian bahwa kegiatan usahatani pisang tanduk di Desa Nanggerang masih menguntungkan bagi petani, walaupun usahatani tersebut menghasilkan produksi yang relatif rendah. Hasil analisis tataniaga menunjukan bahwa terdapat dua jalur pemasaran yang biasa digunakan oleh petani responden di Desa Nanggerang, yaitu: jalur tataniaga I (petani-pedagang pengumpul–(petani-pedagang besar - (petani-pedagang pengecer - dan konsumen) sedangkan untuk jalur tataniaga II (petani - pedagang pengecer dan konsumen) R/C Tunai saluran tataniaga I adalah 2.50 dan R/C Tunai saluran tataniaga II adalah 2.57, dengan Farmer’s share saluran I adalah 20 persen dan saluran II adalah 80 persen. Sehingga disimpulkan bahwa pedagang pengecer memperoleh keuntungan paling besar karena berhadapan langsung dengan konsumen akhir. Jadi, dalam skripsinya Maharani menyimpulkan bahwa usahatani pisang tanduk di Desa Nanggerang ini belum berkembang. Hal ini dibuktikan dengan kondisi dimana petani hanya mampu menghasilkan pisang dalam peningkatan kuantitas, namun tidak diikuti dengan peningkatan kualitas. Sehingga pada akhirnya, pisang tanduk yang dihasilkan hanya mampu memenuhi pasar tradisional dengan harga yang kalah bersaing dengan pisang impor, sehingga petani kurang tertarik untuk membudidayakan pisang tanduk secara intensif.

Berbeda dengan skripsi milik Maharani, skripsi Mirra (2006) yang mengangkat komoditi mangga gedong gincu sebagai objek penelitian. Dengan judul Analisis Usahatani dan Pemasaran Mangga Gedong Gincu, Mirra menyampaikan bahwa alasan penulisan skripsi ini dilatarbelakangi adanya permasalahan yaitu kondisi dimana petani tidak bisa menentukan besarnya harga

(31)

pasar, karena pasar dikuasai oleh tengkulak. Mirra menganalisis mulai dari analisis usahatani beserta pemasarannya terhadap komoditas mangga gedong gincu dengan menggunakan alat analisis R/C rasio hingga diperoleh hasil R/C rasionya adalah sebesar 7,1 dan dengan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa usahatani mangga gedong gincu sangat prospektif untuk dikembangkan lebih profesional lagi, adapun struktur pasar yang terjadi adalah pasar oligopoli.

Mengangkat topik yang sama seperti skripsi milik Mirra (2006), Hanna (2006) dalam skripsinya yang berjudul Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Buah Belimbing Depok, menyimpulkan bahwa permasalahan yang terjadi adalah mengenai mutu produksi belimbing yang masih dibawah standar mutu yang diharapkan konsumen begitu juga dalam hal kualitas dan kuantitas yang belum terjamin serta keterlambatan pengiriman yang sering terjadi pada saat operasional pemasarannya. Hal-hal tersebut seringkali menghambat para petani dalam perkembangan bisnisnya. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah : menghitung tingkat pendapatan usahatani, mengidentifikasi pola rantai pasokan belimbing, menganalisis prilaku lembaga pemasaran dan mengukur distribusi marjin pemasaran. Alat analisis yang digunakan adalah analisis usahatani dan marjin pemasaran, dari hasil perhitungan diperoleh nilai imbangan R/C rasio total adalah sebesar 2.29 dan R/C tunai sebesar 2.69 yang artinya usahatani ini layak untuk diusahakan dan memiliki prospek pengembangan usaha yang menjanjikan.

Ekawati (2005) dalam skripsi yang berjudul Analisis Usahatani dan Pemasaran Nenas Bogor di Desa Sukaharja, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, menyimpulkan bahwa kendala terbesar yang dialami oleh petani nenas di lokasi penelitian adalah keterbatasan lahan, serta serangan hama dan penyakit tanaman yang belum ada jalan keluarnya, seperti babi hutan, tikus, dan penyakit kering pucuk. Adapun faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi nenas bogor antara lain luas lahan, jumlah bibit, jumlah tenaga kerja dan pengalaman bertani nenas. Dari lima model fungsi produksi yang dicoba, dipilih model fungsi Cobb-Douglas yang memiliki R-Sq 99,7 persen. Variabel bibit berpengaruh nyata terhadap produksi pada taraf satu persen dan pengaruh tenaga kerja karena berpengaruh nyata pada taraf 40 persen. Pengaruh bibit di lokasi penelitian ini

(32)

masih relatif rendah, baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Penggunaan tenaga kerja mencapai 817,23 HKP per hektar. Pendapatan atas biaya total pada usahatani nenas di Desa Sukaharja adalah Rp. 5.352.798,11 per hektar. Sedangkan pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp. 16.031.848,11 per hektar per tahun. Nilai R/C rasio atas biaya total pada usahatani tersebut adalah 1,50 dengan Nilai R/C rasio atas biaya tunai tidak dapat dihitung karena tidak ada komponen biaya tunainya. Analisis pemasarannya diketahui terdapat empat saluran pemasaran yang digunakan oleh petani nenas di Desa Sukaharja yaitu saluran 1 (Petani - Konsumen Akhir), saluran 2 (Petani - Pedagang Pengecer Keliling - Konsumen Akhir), Saluran 3 (Petani – Tengkulak Pedagang Pengecer Keliling -Konsumen Akhir), dan saluran 4 (Petani – Tengkulak - Pedagang Pengecer Tetap - Konsumen Akhir). Saluran marjin yang paling banyak dipilih oleh petani adalah saluran 2. Marjin pemasaran yang paling besar adalah pada saluran pemasaran 3 (Rp. 2.600), kemudian diikuti oleh saluran pemasaran 2 (Rp.2.425), saluran 4 (Rp. 2.100) dan saluran 1 (Rp. 225). Dari hasil analisis farmer’s share diketahui bahwa saluran 1 memberikan farmer’s share paling tinggi yakni sebesar 81,25 persen , kemudian diikuti oleh saluran 2 19,17 persen dan saluran 3 (13,13%).

Memilih komoditi penelitian yang sama dengan Ekawati (2005), Dumaira (2003) melakukan penelitian mengenai Analisis Efisiensi Usahatani Nenas di Desa Tambakan, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Penelitian tersebut ditujukan untuk mengetahui keragaan usahatani nenas di Subang, mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi nenas dan mengetahui tingkat efisiensi usahatani nenas. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi nenas antara lain luas lahan, jumlah bibit, tenaga kerja, pupuk kandang, Urea, TSP, pupuk KCL, ethrel, pengalaman dan tingkat pendidikan petani. Faktor-faktor tersebut kemudian dianalisis dengan metode OLS ( Ordinary Least Square). Kemudian persamaan regresi tersebut dianalisis untuk memperoleh t-hitung, F-hitung, dan R-square. Sementara tingkat efisiensi usahatani diukur dengan memperbandingkan Nilai Produk Marginal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) dari masing-masing fungsi produksi. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa dari semua faktor produksi yang diduga berpengaruh terhadap produksi, ternyata variabel pupuk KCL dan pengalaman

(33)

bertani tidak berpengaruh secara signifikan. Hasil perhitungan nilai NPM/BKM menunjukan bahwa penguasaan luas lahan, bibit, pupuk urea dan ethrel masih belum efisien yang artinya masih perlu ditambah. Sedangkan penggunaan pupuk kandang, TSP dan pupuk KCL sudah tidak efisien lagi sehingga perlu dikurangi.

Secara lebih singkat studi terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini ditabulasikan dalam Lampiran 6.

(34)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1. Konsep Usahatani

Menurut Soeharjo dan Patong (1973), usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan oleh perorangan atau sekumpulan orang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga ataupun orang lain disamping bermotif mencari keuntungan. Usahatani dapat pula disimpulkan sebagai ilmu yang mempelajari dan mengamati teknis pemanfaatan faktor-faktor produksi berupa sumberdaya alam, tenaga kerja, modal dan manajemen hasil produksi oleh seseorangss atau sekelompok orang sehingga memperoleh manfaat secara maksimal.

Ada empat unsur pokok dalam usahatani yang sering disebut sebagai faktor-faktor produksi (Hernanto, 1989) yaitu :

1) Tanah

Tanah usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan dan sawah. Tanah tersebut dapat diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil (menyakap), pemberian negara, warisan atau wakaf. Penggunaan tanah dapat diusahakan secara monokultur maupun polikultur atau tumpangsari.

2) Tenaga Kerja

Jenis tenaga kerja dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan. Tenaga ini dapat berasal dari dalam dan luar keluarga (biasanya dengan cara upahan). Dalam teknis perhitungan, dapat dipakai konversi tenaga kerja dengan cara membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku, yaitu : 1 pria = 1 hari kerja pria (HKP) ; 1 wanita = 0,7 HKP ; 1 ternak = 2 HKP dan 1 anak = 0,5 HKP.

(35)

3) Modal

Modal dalam usahatani digunakan untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, pelepas uang/famili/tetangga), hadiah, warisan, usaha lain ataupun kontrak sewa.

4) Pengelolaan atau Manajemen

Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya dengan sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Pemahaman terhadap prinsip teknik dan ekonomis ini perlu dilakukan untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil. Prinsip teknis tersebut meliputi : (a) perilaku cabang usaha yang diputuskan; (b) perkembangan teknologi; (c) tingkat teknologi yang dikuasai dan (d) cara budidaya dan alternatif

cara lain berdasar pengalaman orang lain. Prinsip ekonomis antara lain : (a) penentuan perkembangan harga; (b) kombinasi cabang usaha; (c) pemasaran

hasil; (d) pembiayaan usahatani; (e) penggolongan modal dan pendapatan serta tercermin dari keputusan yang diambil agar risiko tidak menjadi tanggungan pengelola. Kesediaan menerima risiko sangat tergantung kepada: (a) perubahan sosial serta (b) pendidikan dan pengalaman petani.

Menurut Soekartawi (1986), ada beberapa istilah yang digunakan untuk melihat ukuran pendapatan dan keuntungan usahatani. Pendapatan kotor usahatani adalah ukuran hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usahatani. Istilah lain dari pendapatan kotor usahatani adalah nilai produksi atau penerimaan kotor usahatani yang dibedakan menjadi pendapatan kotor tunai dan tidak tunai.

Pendapatan kotor tunai atau penerimaan usahatani adalah nilai uang yang diterima dari usahatani yang berbentuk benda. Pendapatan kotor tidak tunai merupakan pendapatan bukan dalam bentuk uang seperti hasil panen yang dikonsumsi, digunakan untuk bibit atau makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, disimpan di gudang dan menerima pembayaran dalam bentuk benda.

Pengeluaran total usahatani adalah nilai semua input yang habis terpakai atau dikeluarkan didalam produksi. Pengeluaran usahatani mencakup

(36)

pengeluaran tunai dan tidak tunai. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran berdasarkan nilai uang sehingga segala keluaran untuk keperluan usahatani yang dibayar dalam bentuk benda tidak termasuk dalam pengeluaran tunai. Pengeluaran tidak tunai (diperhitungkan) adalah nilai semua input yang digunakan namun tidak dalam bentuk uang misalnya nilai barang dan jasa untuk keperluan usahatani yang dibayar dengan benda atau dengan diangsur atau dicicil.

Pendapatan bersih usahatani adalah selisih antara pendapatan kotor dengan pengeluaran usahatani untuk mengukur imbalan yang diperoleh petani akibat dari penggunaan faktor-faktor produksi. Kinerja usahatani berskala kecil dinilai dengan mengukur penghasilan bersih usahatani yang diperoleh dari hasil pengurangan antara pendapatan bersih dengan bunga yang dibayarkan kepada modal pinjaman, biaya yang diperhitungkan dan penyusutan.

3.1.2. Tataniaga Pertanian

Khol dan uhl (2002) mendefinisikan tataniaga sebagai suatu aktivitas bisnis yang didalamnya terdapat aliran barang dan jasa dari titik produksi sampai ke titik konsumen. Produksi adalah penciptaan kepuasan, proses membuat kegunaan barang dan jasa. Kepuasan dibentuk dari proses produktif yang diklasifikasikan menjadi kegunaan bentuk, tempat, waktu dan kepemilikan. Pendekatan dalam tataniaga pertanian dikelompokan menjadi pendekatan kelembagaan (institutional approach), pendekatan fungsi (fungtional approach), pendekatan barang (the commodity approach) dan pendekatan sistem (sistim approach).

1. Pendekatan Kelembagaan (institutional approach)

Yaitu suatu pendekatan yang menekankan untuk mempelajari pemasaran dari segi organisasi lembaga-lembaga yang turut serta dalam proses penyampaian barang dan jasa dari titik produsen sampai titik konsumen. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses penyampaian barang dan jasa antara lain: produsen, pedagang besar dan pedagang pengecer.

(37)

2. Pendekatan Fungsi (fungtional approach)

Adalah mengklasifikasikan aktivitas-aktivitas dan tindakan atau perlakuan-perlakuan ke dalam fungsi yang bertujuan untuk menyampaikan proses penyampaian barang dan jasa. Adapun fungsi pemasaran terdiri dari tiga fungsi pokok, yaitu:

1. Fungsi pertukaran :

- Penjualan : Mengalihkan barang ke pembeli dengan harga yang memuaskan.

- Pembelian : Mengalihkan barang dari penjual dan pembeli dengan harga yang memuaskan.

2. Fungsi pengadaan secara fisik

- Pengangkutan : Pemindahan barang dari tempat produksi dan atau tempat penjualan ke tempat-tempat dimana barang tersebut akan terpakai (kegunaan tempat).

- Penyimpanan : Penahanan barang selama jangka waktu antara dihasilkan atau diterima sampai dijual (kegunaan waktu).

3. Fungsi pelancar

- Pembiayaan : Mencari dan mengurus modal uang yang berkaitan dengan transaksi-transaksi dalam arus barang dari sektor produksi sampai sektor konsumsi.

- Penanggungan risiko : Usaha untuk mengelak atau mengurangi kemungkinan rugi karena barang yang rusak, hilang, turunnya harga dan tingginya biaya.

- Standardisasi dan Grading : Penentuan atau penetapan dasar penggolongan (kelas atau derajat) untuk barang dan memilih barang untuk dimasukkan ke dalam kelas atau derajat yang telah ditetapkan dengan jalan standardisasi.

- Informasi Pasar : Mengetahui tindakan-tindakan yang berhubungan dengan fakta-fakta yang terjadi, penyampaian fakta, menafsirkan fakta dan mengambil kesimpulan akan fakta yang terjadi.

(38)

3. Pendekatan barang (the commodity approach)

Yaitu suatu pendekatan yang menekankan perhatian terhadap kegiatan atau tindakan-tindakan yang diperlakukan terhadap barang dan jasa yang selama proses penyampaiannya mulai dari titik produsen sampai ke titik konsumen. Pendekatan ini menekankan pada komoditi yang akan diamati.

4. Pendekatan Sistem (sistim approach)

Yaitu merupakan suatu kumpulan komponen-komponen yang bekerja secara bersama-sama dalam suatu cara yang terorganisir. Suatu komponen dari suatu sistem, mungkin merupakan suatu sistem tersendiri yang lebih kecil yang dinamakan subsistem

3.1.2.1 Saluran Tataniaga

Menurut Kotler (2002), saluran tataniaga adalah serangkaian lembaga yang melakukan semua fungsi yang digunakan untuk menyalurkan produk dan status kepemilikannya dari produsen ke konsumen. Produsen memiliki peranan utama dalam menghasilkan barang-barang dan sering melakukan sebagian kegiatan pemasaran, sementara itu pedagang menyalurkan komoditas dalam waktu, tempat, bentuk yang diinginkan konsumen. Hal ini berarti bahwa saluran tataniaga yang berbeda akan memberikan keuntungan yang berbeda pula kepada masing-masing lembaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga tersebut.

Saluran tataniaga dari suatu komoditas perlu diketahui untuk menentukan jalur mana yang lebih efisien dari semua kemungkinan jalur-jalur yang dapat ditempuh. Selain itu saluran pemasaran dapat mempermudah dalam mencari besarnya margin yang diterima tiap lembaga yang terlibat.

Menurut Kotler dan Amstrong (2001), Saluran tataniaga terdiri dari serangkaian lembaga tataniaga atau perantara yang akan memperlancar kegiatan tataniaga dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen. Tiap perantara yang melakukan tugas membawa produk dan kepemilikannya lebih dekat ke pembeli akhir yang merupakan satu tingkat saluran. Saluran nol-tingkat (saluran tataniaga nol-langsung) terdiri dari produsen yang menjual langsung ke konsumen akhir. Saluran satu-tingkat terdiri dari satu perantara penjual, yaitu pengecer. Saluran

(39)

dua-tingkat dari dua perantara, seperti pedagang besar dan pengecer. Saluran tiga-tingkat dalam saluran tataniaga barang konsumsi memiliki tiga perantara, yaitu pedagang besar, pemborong dan pengecer.

3.1.2.2. Marjin Tataniaga

Marjin tataniaga didefinisikan sebagai perbedaan harga atau selisih harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima petani produsen atau dapat pula dinyatakan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen sampai ke titik konsumen akhir. Kegiatan untuk memindahkan barang dari titik produsen ke titik konsumen membutuhkan pengeluaran baik fisik maupun materi. Pengeluaran yang harus dilakukan untuk menyalurkan komoditi dari produsen ke konsumen disebut biaya tataniaga.

Hammond dan Dahl (1977) menyatakan bahwa marjin tataniaga menggambarkan perbedaan harga di tingkat konsumen (Pr) dengan harga di tingkat produsen (Pf). Setiap lembaga pemasaran melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan yang lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir. Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat semakin besar perbedaan harga antar produsen dengan harga di tingkat konsumen. Secara grafis marjin tataniaga dapat dilihat pada gambar berikut ini :

(40)

P Sr Pr --- Sf MP Pf --- Dr Df 0 Qrf Q

Gambar 1. Marjin Tataniaga Sumber : Hammond dan Dahl (1977)

Keterangan : Pr : harga di tingkat pengecer

Sr : penawaran di tingkat pengecer Dr : permintaan di tingkat pengecer Pf : harga di tingkat petani

Sf : penawaran di tingkat petani Df : permintaan di tingkat petani

Qrf : jumlah keseimbangan ditingkat petani dan pengecer

Marjin pemasaran pada suatu saluran pemasaran tertentu dapat dinyatakan sebagai jumlah dari marjin pada masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat. Rendahnya biaya tataniaga suatu komoditi belum tentu mencerminkan efisiensi yang tinggi. Salah satu indikator yang berguna dalam melihat efisiensi kegiatan tataniaga adalah dengan membandingkan persentase atau bagian harga yang diterima petani (farmer’s share) terhadap harga yang dibayar konsumen akhir.

Tingkat efisiensi tataniaga juga dapat diukur melalui besarnya rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga. Rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga didefinisikan sebagai besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan terhadap

(41)

biaya maka dari segi operasional sistem tataniaga akan semakin efisien (Limbong dan Sitorus, 1987)

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Pisang raja bulu merupakan jenis pisang raja yang memiliki rasa yang manis dan khas sehingga banyak diminati oleh konsumen. Selain itu berbagai manfaat dan efek samping dari tindakan mengkonsumsi buah pisang saat ini gencar dipromosikan melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik. Hal ini menyebabkan pisang raja bulu semakin populer dikalangan penikmat pisang dan masyarakat secara luas. Nilai jualnya yang cukup tinggi menyebabkan pisang raja bulu potensial untuk dikembangkan. Keunggulan-keunggulan tersebut menyebabkan Dinas Pertanian Cianjur menetapkan pisang raja bulu sebagai komoditas unggulan daerah selain padi, palawija, sayuran, dan tanaman hias.

Kabupaten Cianjur memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Kesesuaian akan kondisi lahan pertanian serta kondisi agroklimat Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat merupakan faktor penting dalam memproduksi pisang raja bulu yang berkualitas dalam hal rasa maupun penampilan buah. Pisang raja bulu yang berasal dari Desa Talaga memiliki rasa buah yang menis dengan kulit buah berwarna kuning cerah. Kondisi tersebut tidak dimiliki oleh semua daerah karena apabila pisang raja bulu ditanam di luar Kecamatan Cugenang, Kabupaen Cianjur maka rasa dan warna kulit buah dari pisang raja bulu yang dihasilkan akan berbeda.

Adapun permasalahan yang menjadi kendala dalam budidaya pisang raja bulu di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat adalah di Desa Talaga sampai saat ini pisang raja bulu hanya ditanam sebagai tanaman sampingan dengan pola tanam tumpangsari. Adanya keterbatasan luasan lahan, modal dan sarana pengairan bagi petani pisang di Desa Talaga juga menjadi permasalahan yang dapat menghambat peningkatan produksi buah pisang raja bulu. Mahal serta sulitannya memperoleh bibit pisang raja bulu yang berkualitas dan serangan fusarium beberapa tahun terakhir menyebabkan banyak kebun pisang petani yang gagal panen. Karena kondisi tersebut banyak petani yang beralih menanam jenis pisang lain karena kekhawatiran risiko kerugian yang

Gambar

Tabel 1. Data Ekspor dan Impor Pisang Indonesia Tahun 2003-2006
Tabel 2.   Data  Produksi,  Luas  Panen  dan  Produktivitas  Pisang  Indonesia  Tahun 2003-2007
Tabel  3.  Tanaman  Menghasilkan,  Luas  Panen,  Hasil  per  Hektar,  Hasil  per  Pohon dan Produksi Pisang menurut Propinsi Tahun 2006
Gambar 1. Marjin Tataniaga                                               Sumber : Hammond dan Dahl (1977)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini meliputi karakterisasi dan skrining fitokimia simplisia, pembuatan ekstrak kulit buah pisang raja secara maserasi menggunakan etanol 80%, uji antibakteri

Penggunaan infusa kulit pisang raja (Musa Paradisiaca L.) diharapkan dapat berkembang secara luas sehingga dapat digunakan sebagai obat alternatif dalam menurunkan

Pada saluran tataniaga dua tidak terdapat biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga perantara karena penjualan jamur tiram putih dilakukan secara langsung oleh petani kepada

Skripsi dengan judul “Aktivitas Antioksidan Dan Uji Organoleptik Minuman Herbal Kulit Pisang Raja Bulu ( Musa paradisiaca L. var sapientum ) Pada Suhu Pengeringan

Data dan informasi yang diperoleh selanjutnya akan diolah untuk dilakukan analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk melihat gambaran

Kulit buah pisang belum dimanfaatkan secara optimal, hanya menjadi limbah organik dan makanan ternak. Kulit pisang yang berwarna kuning kaya senyawa kimia antioksidan,

Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi BAP 1 ppm + IAA 3 ppm memberikan pengaruh lebih baik pada diameter batang planlet pisang raja bulu dibandingkan dengan penelitian sebelumnya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi zat pengatur tumbuh BAP terhadap jumlah daun, jumlah tunas, dan jumlah akar pisang raja bulu yang di