• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. IDENTIFIKASI DATA. 11 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. IDENTIFIKASI DATA. 11 Universitas Kristen Petra"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Dongeng

2.1.1. Sejarah dan makna dongeng

Menurut ajaran Taoisme, Masyarakat Tionghoa pada tanggal 24 bulan 12 Imlek, biasa merayakannya sebagai hari besarnya Dewa Dapur atau sering kali disebut sebagai Zao Jun Ye. Seringkali perayaan ini diadakan sebagai kebiasaan dan tradisi. Hanya sedikit yang mengerti sejarah dan maknanya. Sehingga ketika anak-anak yang masih kecil bertanya, hanya dijawab dengan dongeng-dongeng yang kadang-kadang dibuat seram supaya mereka takut dan tunduk. Pada hari itu masyarakat mengadakan sembahyang untuk mengantar beliau naik ke surga untuk menemui Thian Kung. Konon, beliau akan melaporkan segala kelakuan yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu, dalam perayaan ini, seakan-akan bermaksud merayu beliau agar mengatakan yang baik-baik saja. Biasanya diletakkan gambar atau patung Zao Jun di tengah-tengah altar. Di sebelah kiri dan kanannya diletakkan dua baris syair yang ditulis di atas kertas merah dan sebuah lagi diletakkan melintang di atasnya. Bunyinya: "Paduka yang mulia, sebutkanlah kebaikan kami di langit dan bawalah berkah kepada kami apabila anda turun dari langit".

Dalam rangka untuk "menyogok" Dewa Dapur demi kebaikan dan berkah, mereka menyediakan segala macam makanan dan buah-buahan yang enak-enak.

Yang jelas, biasanya tidak ketinggalan pula wedang ronde, kue onde-onde, dan makanan dari gandum yang serba lengket-lengket. Mengapa? Konon kabarnya agar setelah Dewa Dapur memakannya, diharapkan mulutnya menjadi lengket sehingga ketika bertemu dengan Thian Kung, beliau tidak dapat bicara dan tidak dapat pula melaporkan keburukan-keburukan. Sesuai tradisi orang Tionghoa, dikenal banyak sekali dongeng-dongeng dan mitos, yaitu dongeng yang dianggap benar-benar terjadi.

Contoh lainnya adalah tradisi orang Tionghoa dalam upacara penguburan orang mati, biasanya disertai dengan pembakaran uang-uangan, rumah-rumahan, mobil-mobilan, dan segala macam "harta-harta" dari kertas. Katanya agar hidupnya makmur di atas sana. Dapur adalah bagian daripada kehidupan manusia yang

(2)

sehari-harinya tidak bisa lepas dari persoalan makan. Didalam permisalan di atas tampaklah jelas mana yang menjadi subject (manusia) dan yang menjadi object (dapur).

Tetapi dalam dongeng persoalannya menjadi lain. Di dalam dongeng, mana subject dan object adalah tidak perlu. Yang dipentingkan adalah pesan yang dapat ditangkap. dongeng adalah bagaikan melihat sebuah gambar. Di dalam gambar, seseorang tidak perlu berkata-kata, karena pesan dan kesan ditangkap melalui penghayatan. Untuk memahami sebuah gambar, orang harus terlibat di dalamnya.

Pikiran dan emosi bersatu dalam gambar. Contoh: bila melihat foto dari orang yang paling dikasihi (ayah, ibu, atau kekasih), maka foto itu akan berbicara banyak.

Pertemuan dengan foto itu menimbulkan banyak perasaan dan kesan yang sulit diungkapkan dalam bahasa logika. Jadi apabila logika adalah suatu usaha untuk menerangkan sesuatu secara jelas berdasarkan akal sehat, maka sebaliknya, dongeng adalah suatu ajakan kepada seseorang untuk merenungkan sesuatu dan menangkap makna yang terdalam yang terkandung di dalamnya.

Di dalam dongeng, baik kejelasan maupun teka-teki kehidupan diterima sebagai suatu kesatuan pengalaman yang sah. Sedangkan di dalam logika, sesuatunya diusahakan demi kejelasan, segala yang tidak jelas harus dihilangkan.

Logika masih tetap diperlukan. Logika memang menguruskan kekayaan pengalaman. Logika tidak memberi tempat kepada emosi. Orang dituntut untuk menjadi lugas dan apa adanya. Orang membahas sesuatu haruslah urut dan sesuai dengan akal sehat, tidak boleh begitu saja meloncat dari satu hal ke hal lain. Tidak boleh mencampur adukkan masalah yang berbeda bidangnya misalnya antara bidang agama dengan bidang sejarah.

Tujuan logika adalah memberi kejelasan tentang sesuatu secara netral dan obyektif. Logika dapat menjadi saringan terhadap emosi yang berlebihan. Sebab dengan emosi yang berlebihan, orang tidak dapat berpikir jernih. Memang setiap hal ada kekurangannya masing-masing. Logika-pun memiliki kekurangan yaitu membuat hidup menjadi kering. Bunga-bunga emosi menjadi layu. Menjadi manusia tidaklah bebas lagi, karena terikat kaidah-kaidah logis yang harus dituruti.

Manusia kehilangan spontanitas dan intuisinya. Logika menyebabkan banyak berbicara tanpa pernah berhenti mengenai segala sesuatu yang perlu dijabarkan.

(3)

Sedangkan dongeng-dongeng mengajak untuk diam, kagum, dan takjub atas kehidupan ini. Jadi, baik dongeng ataupun akal sehat, tetap diperlukan kedua- duanya sekaligus. Demikian adalah penjelasan dari ajaran Taoisme mengenai asal- usul dongeng ada dalam budaya masyarakat di seluruh dunia.

Dongeng adalah bentuk kesenian yang tergolong paling tua. Mendongeng merupakan warisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bagi orang- orang tua dulu, dongeng dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan kebajikan pada anak. Karena itu menyampaikan dongeng memerlukan seni tersendiri. Semakin kreatif dan komunikatif bahasa yang digunakan, tentu akan sangat berpengaruh, menarik atau tidaknya sebuah dongeng yang diekspresikan sang pendongeng. Dongeng, pada dasarnya, merupakan bentuk prosa atau fiksi tradisional yang banyak sekali mengisi khazanah tradisional nusantara.

Dongeng dalam pengertian yang lebih luas merupakan pengungkapan diri manusia, tempat mencari hiburan dan memenuhi angan-angannya. Menurut Ensiklopedi Indonesia, dongeng adalah cerita singkat tentang hal-hal yang aneh dan tak masuk akal, berbagai keajaiban dan kesaktian yang biasanya mengisahkan dewa, raja, pangeran, dan puteri. Kemudian menurut Kamus Bahasa Indonesia, dongeng adalah cerita khayalan pada jaman dahulu yang disampaikan secara turun temurun. Pada umumnya, dongeng tidak diketahui pengarangnya dan terkadang hanya diketahui nama pengumpul atau penyadurnya. Penyebaran dongeng kadangkala sampai meluas, misalnya dongeng bidadari mandi yang pakaiannya dicuri seorang pemuda tani. Kemudian karena tak dapat pulang ke surga, sang bidadari itu diperistrikan hingga beroleh seorang anak. Melihat muasalnya, dongeng tersebut berasal dari bangsa Thai di Yunan, tetapi kemudian tersebar ke seluruh Asia Tenggara. Di Indonesia, dongeng tersebut tersebar dari Aceh hingga Maluku Tenggara. Di Jawa Tengah atau JawaTimur misalnya, dongeng itu disebut Nawang Wulan dan Jaka Tarub.

Prof. M. Atar Semi dalam bukunya “Anatomi Sastra”, membagi dongeng dalam beberapa bentuk atau tipe.

1. Fabel

Yaitu dongeng yang menyangkut tentang hal ihwal kejadian, sifat atau tingkah laku binatang. Misalnya, Kancil yang cerdik.

(4)

2. Legenda

Yaitu dongeng yang mengisahkan tentang kehidupan manusia yang dihubungkan dengan keanehan dan keajaiban alam disebut legenda, misainya Malin Kundang di Minangkabau dan Sangkuriang di Pasundan.

3. Mite atau Sage

Yaitu dongeng yang memaparkan cerita yang berkaitan dengan kepercayaan kuno atau berhubungan dengan kehidupan dewa atau makhluk halus disebut mite atau sage, misalnya Nyi Loro Kidul atau Kyai Ageng Selo.

Kemudian masih banyak lagi dongeng yang isinya mengandung humor yang dimaksudkan semata-mata untuk menghibur, pelipur lara namun tetap mendidik.

Misalnya, Pak Belalang atau Si Pandir.

2.1.2. Manfaat dongeng bagi anak-anak

Seorang psikolog bernama Putu R. Pujianti dalam suratnya di Bali Post.com, berpendapat bahwa pada zaman serba canggih seperti sekarang, kegiatan mendongeng di mata anak-anak tidak populer lagi. Sejak bangun hingga menjelang tidur, mereka dihadapkan pada televisi yang menyajikan beragam acara, mulai dari film kartun, kuis, hingga sinetron yang seringkali bukan tontonan yang pas untuk anak. Kalaupun mereka bosan dengan acara yang disajikan, mereka dapat pindah pada permainan lain seperti videogame. Kegiatan mendongeng sebetulnya bisa memikat dan mendatangkan banyak manfaat, bukan hanya untuk anak-anak tetapi juga orang tua yang mendongeng untuk anaknya. Kegiatan ini dapat mempererat ikatan dan komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak.

Para pakar menyatakan ada beberapa manfaat lain yang dapat digali dari kegiatan mendongeng ini:

- Pertama, anak dapat mengasah daya pikir dan imajinasinya. Hal yang belum tentu dapat terpenuhi bila anak hanya menonton dari televisi. Anak dapat membentuk visualisasinya sendiri dari cerita yang didengarkan. Ia dapat membayangkan seperti apa tokoh-tokoh maupun situasi yang muncul dari dongeng tersebut. Lama- kelamaan anak dapat melatih kreativitas dengan cara ini.

- Kedua, cerita atau dongeng merupakan media yang efektif untuk menanamkan berbagai nilai dan etika kepada anak, bahkan untuk menumbuhkan rasa empati.

(5)

Misalnya nilai-nilai kejujuran, rendah hati, kesetiakawanan, kerja keras, maupun tentang berbagai kebiasaan sehari-hari seprti pentingnya makan sayur dan menggosok gigi. Anak juga diharapkan dapat lebih mudah menyerap berbagai nilai tersebut karena orang tua di sini tidak bersikap memerintah atau menggurui, sebaliknya para tokoh cerita dalam dongeng tersebutlah yang diharapkan menjadi contoh atau teladan bagi anak.

- Ketiga, dongeng dapat menjadi langkah awal untuk menumbuhkan minat baca anak.

Setelah tertarik pada berbagai dongeng yang diceritakan orangtuanya, anak diharapkan mulai menumbuhkan ketertarikannya pada buku. Diawali dengan buku- buku dongeng yang kerap didengarnya, kemudian meluas pada buku-buku lain seperti buku pengetahuan, sains, agama, dan sebagainya.

Untuk anak-anak usia prasekolah, dongeng dapat membantu mengembangkan kosa kata. Hanya saja cerita yang dipilihkan tentu saja yang sederhana dan kerap ditemui anak sehari-hari. Misalnya dongeng-dongeng tentang binatang. Sedangkan untuk anak-anak usia sekolah dasar dapat dipilihkan cerita yang mengandung teladan, nilai dan pesan moral serta problem solving.

Harapannya nilai dan pesan tersebut kemudian dapat diterapkan anak dalam kehidupan sehari-hari.

Keberhasilan suatu dongeng tidak saja ditentukan oleh daya rangsang imajinatifnya, tapi juga kesadaran dan kemampuan pendongeng untuk menyajikannya secara menarik. Untuk itu orang tua dapat menggunakan berbagai alat bantu seperti boneka atau berbagai buku cerita sebagai sumber yang dapat dibaca oleh orang tua sebelum mendongeng. Kesibukan memang dapat menjadi alasan yang utama bagi orang tua untuk tidak mendongeng, ditambah dengan anggapan yang salah bahwa bercerita kepada anak dapat diwakili oleh alat-alat teknologi. Namun mengingat betapa banyaknya manfaat yang dapat diperoleh anak lewat kegiatan mendongeng, hendaknya orang tua dapat meluangkan waktunya untuk mulai mendongeng.

2.1.3. Perkembangan Anak Tanpa Dongeng Di Masa Kecil

Menurut Ketua Komunitas Anak Seto Mulyadi, pada era globalisasi ini komunikasi antara orangtua dan anak makin dangkal. Selain akibat apa yang ia

(6)

sebut gempuran budaya visual, kenyataan ini diperparah oleh kecenderungan pengalihan tanggung jawab pengasuhan anak kepada lembaga pendidikan formal.

Akibatnya, anak tidak terbiasa berdialog dan kehilangan kreativitas. Hal ini menimbulkan problem kejiwaan pada anak. Mereka cenderung menggunakan kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, aktivitas mendongeng perlu dibangkitkan kembali sebagai jembatan komunikasi dan ajang sosialisasi nilai-nilai moral dalam keluarga. Dunia anak-anak penuh dengan keceriaan, mereka tertawa- tawa saat gembira, menangis saat lapar atau kesakitan, minta gendong saat minta dimanjakan bahkan tidur saat kelelahan. Tanpa beban berat yang harus disandang dalam menjalani masa-masa tersebut. Itulah yang siklus hidup yang telah dilewati dan tidak akan terlupa sampai saat ini.

Kondisi anak-anak sekarang ini sedang mengalami masa-masa yang memprihatinkan. Keberadaan anak yang belum mendapatkan tempat yang sesuai dan khusus, anak dituntut untuk berperilaku begini begitu tanpa penjelasan mengapa harus begini dan begitu. Disamping itu eksploitasi terhadap anak untuk mencari uang dengan menjadikannya sebagai pengamen, pengemis atau bahkan pencuri. Bahkan yang akhir-akhir ini terjadi adalah adanya dugaan perdagangan anak korban tsunami dan Nias. Hal-hal inilah yang harus diperhatikan oleh para orang tua, apalagi dengan adanya UU Perlindungan Anak maka kedudukan anak hendaknya disesuaikan dengan porsinya. Inilah yang menjadi PR bagi Komisi Perlindungan Anak dalam upaya mendidik, menumbuhkembangkan dan mengembalikan hak anak sebagaimana kedudukannya. Kaitannya dengan hukum, bahwa hukum merupakan salah satu konsep dasar yang penting sebagai upaya menegakkan suatu aturan. Jadi keberadaan hukum janganlah diremehkan.

Fenomena yang terjadi sekarang ini adalah hukum yang banyak dipermainkan, hukum dijadikan back up kepentingan tertentu. Hal ini sangatlah mengkhawatirkan. Sebagai media dikhususkan untuk anak-anak, dongeng dapat menjadi salah satu sarana efektif dalam upaya memberikan pendidikan kepada anak untuk berperilaku baik sesuai norma-norma di masyarakat. Biar bagaimanapun juga mendongeng itu membutuhkan teknik-teknik tertentu agar makna yang disampaikan dapat tercerna dengan baik sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Melalui dongeng inilah dapat ditunjukkan dan diberikan suatu tontonan yang

(7)

tuntunan bagi anak-anak sehingga pesan yang terkandung dalam tontonan tersebut dapat memberikan suatu wacana yang baik kepadanya.

Mendongeng itu sangat efektif untuk menunjukkan hal-hal yang baik dan buruk. Menggambarkan suatu keadaan melalui perumpamaan-perumpaan dengan bahasa yang mudah, jelas dan sederhana sehingga anak-anak menjadi tahu mengapa begini mengapa begitu. Mengapa harus begini dan mengapa tidak boleh begitu.

Dongeng dapat memberikan motivasi berbuat baik karena secara imajinatif digambarkan penokohan-penokohan bahwa si baik yang selalu beruntung dan disenangi, dengan si buruk yang selalu sial dan dibenci. Menurut penuturannya, orang-orang besar yang dulunya sering mendengar dongeng diantaranya Bung Karno, Ki Hajar Dewantoro, Napoleon Bonaparte. Jadi dari dongeng dapat dikaji landasan filosofi yang terkandung didalamnya, dongeng tidak menjadi alat untuk membuat anak tertidur saja.

Animo masyarakat menganggap bahwa dongeng itu kuno dan sudah tidak relevan dengan keadaan sekarang ini, dilihat dari masyarakat negeri saat ini sedang mengalami melunturnya budaya, anak kecil sekarang lebih mengenal Crayon Sincan, Doraemon , Sponge Bob, daripada cerita-cerita rakyat sendiri seperti Sang Kuriang, Malin Kundang, Gatot Kaca, Minak Jinggo, Klenting Kuning atau Buto Ijo. Nah, untuk mengantisipasi keadaan tersebut maka tokoh-tokoh dongeng diganti dengan tokoh-tokoh yang baru. Misalnya kalau dulu itu Si Kancil nyolong timun, tetapi sekarang ini Si Kancil ikut meeting di hotel, Detektif Kancil mengungkap kasus pencurian lukisan antik atau Si Kancil menjadi hakim. Kemudian kalau di Amerika punya Robocop disini juga punya Roban (Robot Anak Nusantara), Gasa (Garuda Perkasa), Gundala Putra Petir dan lain-lain. Siasat itu saya lakukan untuk mengimbangi dampak dari globalisasi yang membanjir di negara ini. Dalam kegiatan mendongeng yang penting adalah kemauan, disamping itu ditunjang pula dengan hobby membaca. Bakat saja tanpa kemauan tidaklah ada artinya. Jadi dongeng itu merupakan media untuk menyampaikan sesuatu tuntunan yang mengandung misi tertentu.

Semua menginginkan anak-anak Indonesia ke depan adalah menjadi anak yang mempunyai masa depan yang cerah, anak-anak yang bangga dengan nilai budaya sendiri, cinta kepada bangsa dan tanah air Indonesia. Sebagai generasi

(8)

penerus, anak-anak mendapat kehidupan yang layak sesuai dengan UU Perlindungan Anak, sehingga kelak dikemudian hari mereka menjadi pemimpin bangsa yang betul-betul, tidak hanya sekedar menyuruh tetapi juga mau bekerja, mengayomi, membimbing dan mawas diri, ucap bapak satu putri mengakhiri pembicaraan.

2.1.4. Dongeng dari Indonesia

Masyarakat Indonesia sangat akrab dengan dongeng atau cerita rakyat.

Melekat erat di ingatan kisah-kisah seperti Malin Kundang, Sangkuriang, Bandung Bondowoso, Keong Mas, dll. Dongeng cerita rakyat pada umumnya disampaikan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, erat dengan kebudayaan setempat, memiliki kandungan hikmah dan sebagian masyarakat meyakini kebenarannya.

Sebagian cerita rakyat juga sering dihubungkan dengan fenomena alam atau peristiwa lainnya. Sebagai contoh kisah Sangkuriang dan ibunya, Nyai Dayang Sumbi, berkaitan erat dengan Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat. Kisah lain seperti "Nyi Roro Jonggrang" dengan "Bandung Bondowoso" yang berujung dengan adanya kompleks Candi Sewu dan Candi Prambanan sebagai primadonanya. Tak terhitung kekayaan Indonesia dalam bentuk cerita rakyat.

Pada umumnya setiap orang tua mewariskannya kepada anak-anaknya.

Kebetulan juga anak-anak menyukainya karena mengandung hikmah. Jika pada awalnya dongeng cerita rakyat disampaikan dari mulut ke mulut, adanya berbagai bentuk media di era modern membuat masyarakat beramai-ramai mendokumentasikannya. Mulai dari bentuk tulisan/ naskah, film layar lebar atau TV, sandiwara kaset seperti Sanggar Cerita, bahkan sampai bentuk komik. Masing- masing media tentunya memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri. Selain itu masyarakat juga membuat versi masing-masing. Ada yang tetap setia dengan pakem, ada yang menginterpretasikan, dan ada yang membuat kisah fiksi berdasarkan cerita rakyat. Berbagai versi tersebut tentunya menambah khasanah budaya.

Para komikus Indonesia di masa keemasannya juga aktif membuat komik cerita rakyat. Tak terhitung komikus legendaris seperti RA Kosasih, Jan Mintaraga, Teguh Santosa, dan lainnya pernah mendedikasikan karyanya untuk cerita rakyat.

(9)

Jan Mintaraga pernah membuat beberapa komik cerita rakyat yang patut disimak.

Diantaranya "Jaka Tarub" dibuat dengan setia pada pakem cerita yang dikenal rakyat, kecuali pada akhir cerita dimana ia menyajikan informasi tambahan berupa

‘alternate ending’. Karya Jan Mintaraga lainnya adalah "Nyai Loro Kidul". Sama- sama berjumlah 10 halaman kertas ukuran A4 seperti Jaka Tarub, ia menggunakan mitos Ratu Pantai Selatan sebagai bingkai cerita. Dalam kisah fiksi ini dikisahkan sepasang pengantin baru menjalani bulan madunya disebuah hotel di pantai laut Selatan Jawa. Hotel dengan interior artistik membuat sepasang pangantin baru ini terkagum-kagum. Mereka menyewa kamar termahal yang berhiaskan sebuah lukisan seorang wanita cantik sedang membelah air laut. Pada suatu malam, sang istri mengajak si suami berjalan-jalan menyusuri pantai. Dalam perjalanan sang istri berubah rupa menjadi Nyai Loro Kidul. Sang Ratu menyuruh si suami mengabdi sebagai suami ke 2.100. Si suami menolak secara keras dan memohonnya untuk tidak membunuh si istri, yang disandera Sang Ratu. Ternyata si suami bermimpi buruk dan dibangunkan istrinya. Pada lukisan dikamar, ternyata gambar putri cantik lenyap dari permukaan laut.

Kemudian RA Kosasih, yang dikenal setia dengan komik wayang, juga sering membuat komik cerita rakyat. Diantaranya adalah "Sasakala Tangkuban Perahu". Serupa dengan Jaka Tarub-nya Jan Mintaraga, RA Kosasih berusaha untuk setia dengan pakem cerita rakyatnya. Tentunya teringat bahwa kisah ini menceritakan Nyai Dayang Sumbi dan anaknya yang sakti, Sangkuriang. Ilustrasi sepanjang 42 halaman dipenuhi dengan keindahan, kesederhanaan dan ketelitian khas RA Kosasih. Penggambaran tokoh-tokohnya yang mirip dengan komik wayangnya membuat pembaca cepat akrab dengan komik cerita rakyat ini. Akhir kisah ditutup juga dengan ‘alternate ending’ petualangan Sangkuriang.

Selain itu, RA Kosasih tercatat juga pernah merilis "Mencari Layang Salaka Domas". Sebagaimana kebanyakan cerita rakyat dibanyak negara, Mencari Layang Salaka Domas menceritakan kisah seorang putri dan seorang pangeran kerajaan.

Mengambil tempat di kerajaan Pajajaran saat Prabu Siliwangi berkuasa. Dikisahkan kedua insan yang berasal dari setangkai buah combrang yang sama, kelak akan kembali bersatu sebagai suami istri. Sebelumnya sang pangeran, Mundinglaya harus mencari jimat Salaka Domas atas perintah Sang Prabu. Kisah fiksi cerita

(10)

rakyat berbingkai peristiwa sebenarnya juga lazim ditemukan. "Asal-Usul Gunung Krakatau" karya Widya Noor merupakan salah satu contoh terbaik. Komik setebal 120 halaman ini berangkat dari mitos Kerajaan Krakatau yang dipimpin Raja Lagundi. Konon sang raja memiliki seorang putri yang jago silat dan enggan bersuami. Kelak kerajaan Krakatau diserbu kerajaan Songgram, yang ingin mempersunting sang putri. Perang pun pecah dan kekuatan kedua pihak (yang juga menggunakan sihir) menghancurkan seluruh daratan. Gunung Krakatau meletus (sebagaimana catatan sejarah di tahun 1883), memisahkannya dari daratan utama (Sumatra dan Jawa), menghasilkan beberapa pulau kecil (Batam, Bangka, Belitung dan Singapura), serta menenggelamkan kerajaan Krakatau. Masih banyak komik- komik berisi cerita rakyat yang beredar, dan sebagian contoh telah diuraikan diatas.

Berbagai komik cerita rakyat tsb, merupakan suatu daya tarik tersendiri selama dekade 50-an sampai 80-an. Media komik bermanfaat menjadi sarana anak- anak mengenal berbagai cerita rakyat. Jika selama ini anak-anak mengenalnya secara lisan atau dari naskah tanpa gambar, adanya komik memberikan alternatif lain. Memasuki dekade 90-an hingga hari ini, tidak banyak komik cerita rakyat ditemukan. Komik cerita rakyat memudar seiring dengan memudarnya industri komik nasional. Saat ini, memasuki awal abad 21, memang generasi muda mulai membangkitkan komik nasional. Namun tidak banyak, atau mungkin tidak ada, karya komik cerita rakyat. Patut disayangkan karena genre komik ini memiliki pasar yang menjanjikan dan dapat ikut melestarikan kekayaan budaya Indonesia, yaitu dongeng cerita rakyat.

2.2. Penanaman Moral Pada Anak

2.2.1. Definisi Moral

Definisi moral dalam buku “Mengkomunikasikan Moral Kepada Anak”

yang ditulis oleh Wiwit Wahyuning, Jash dan Metta Rachmadiana, mnyebutkan bahwa ketika orang berbicara tentang nilai-nilai moral, pada umumnya akan terdengar sebagai sikap dan perbuatan seseorang terhadap orang lain. Pada anak- anak, nilai-nilai moral akan terlihat dari mampu tidaknya seorang anak membedakan antara yang baik dan yang buruk.

(11)

2.2.2. Karakteristik Manusia Bermoral

Karakteristik-karakteristik dibawah ini mungkin dapat membantu memahami arti manusia yang “baik” :

- Setia, jujur dan dapat dipercaya.

- Baik hati, penyayang, empatis, peka dan toleran.

- Pekerja keras, bertanggung jawab, dan memiliki disiplin diri.

- Mandiri, mampu menghadapi tekanan kelompok.

- Murah hati, memberi, dan tidak mementingkan diri sendiri.

- Meperhatikan dan memiliki penghargaan tentang otoritas yang sah, peraturan dan hokum.

- Menghargai diri sendiri dan hak orang lain.

- Menghargai kehidupan, kepemilikan, alam, orang yang lebih tua, dan orang tua.

- Santun, dan memiliki adab kesopanan.

- Adil dalam pekerjaan dan permainan.

- Murah hati dan pemaaf, mampu memahami bahwa balas dendam tidak ada gunanya.

- Selalu ingin melayani, memberikan sumbangan pada keluarga, masyarakat, negara, agama, dan sekolah.

- Pemberani.

- Tenang, damai, dan tenteram.

2.2.3. Tahap Perkembangan Moral

Salah satu tokoh yang menekuni perkembangan moral adalah Kohlberg. Menurut Kohlberg, ada 3 tingkatan perkembangan moral dan masing-masing tingkatan memiliki 2 tahapan.

1. Tingkat pertama – Preconventional Morality

Dalam tingkat perkembangan moral yang pertama ini, anak-anak cenderung menghindari hukuman. Oleh karena itu kalau diperhatikan, anak-anak akan tampak sangat patuh pada anda. Anak-anak akan berbuat baik untuk menghindari hukuman.

Misalnya, tidak akan bermain jauh karena akan dimarahi orang tua. (Tahap 1:

Obedience dan Punishment Orientation).

(12)

Namun untuk tahap selanjutnya, anak akan mulai membedakan akibat fisik/hukuman fisik dari tingkah laku baik yang disengaja maupun tidak. Akan tetapi pemikiran tentang sesuatu itu benar atau salah belum jelas, sehingga tingkah laku moral anak tergantung pada apakah sesuatu itu memuaskan keinginannya atau tidak. Misalnya, seorang anak berkata, “Saya akan mengerjakan PR kalau nanti malam boleh nonton TV”. Tahap ini adalah tahap 2: Instrumental Orientation.

Tingkat pertama ini beserta 2 tahapan didalamnya dapat ditemui pada anak sampai dengan usia 10 tahun.

2. Tingkat kedua – Conventional

Dalam tingkat ini anak-anak lebih memfokuskan diri pada apa yang diharapkan oleh orang lain. Termasuk dalam tingkat kedua ini adalah tahap 3: Good Boy Nice Girl Morality. Dalam tahap ini, seseorang akan menaruh perhatiannyan

pada harapan-harapan sosial yang ada di sekitarnya. Seseorang akan bertindak/berperilaku tertentu karena menganggap perilaku tersebut baik untuk kelompok dan keluarganya. Paling tidak, sesuai tahap ini, perkembangan moral anak sudah tidak egosentris lagi.

Tahap 4: Authority dan Morality juga termasuk dalam tingkat 2. Dalam tahap 4, seseorang menganggap nilai moral baik/buruk merupakan suatu kewajiban dengan tujuan menjaga keseimbangan dan ketertiban masyarakat. Tingkat 2 ini terjadi pada anak usia 10 hingga masa remaja akhir (21 tahun).

3. Tingkat ketiga – Post Conventional

Dalam tingkat ini seseorang sudah dapat mengerti aturan social yang ada, kemudian ia akan menetukan apakah aturan tersebut telah sesuai dengan aturan moral atau tidak . Jika sesuai, ia akan mengikuti aturan social tersebut dan sebaliknya (Tahap 5: Social Legality). Penalaran moral sudah merupakan kata hati/perilaku sehari-hari. Tindakan pada tahapan ini dianggap sebagai keputusan kata hatinya (Tahap 6: Morality of Individual Principles and Conscience).

Kemudian, berikut ini adalah tonggak moral menurut usia:

1. Usia 0-2 tahun

Bayi dan balita dapat dikatakan pre-moral pada usia ini. Mereka tidak mampu melihat segala sesuatu diluar kebutuhan mereka sendiri. Pada usia ini adalah tidak rasional untuk mengharapkan anak dibawah usia 2 tahun untuk berbagi mainannya,

(13)

atau mengharapkannya memahami bahwa anda telah mengalami hari yang buruk.

2. Usia 3-5 tahun

Anak-anak usia prasekolah belajar menjadi anggota masyarakat social. Dengan bantuan perhatian dan penjagaan orang tua/orang dewasa, mereka dapat belajar untuk berbagi, untuk menahan diri tidak memukul , meski saaat mereka marah.

Mereka juga akan mengembangkan , mereka dapat belajar untuk berbagi, untuk menahan diri tidak memukul , meski saaat mereka marah. Mereka juga akan mengembangkan kepekaan akan hal yang benar dan yang salah, tentang bagaimana seharusnya seseorang diperlakukan. Sangatlah sulit bagi anak-anak pada usia ini untuk melihat sudut pandang orang lain. Kemampuan mereka untuk mengontrol diri mereka sendiri, dan untuk tidak menjadi “terbanjiri” oleh emosi dan berbagai keinginan, masih lemah. Mereka membutuhkan banyak kasih saying dan cinta, dorongan positif, dan penetapan batasan yang konsisten seputar perilaku mereka.

3. Usia 6-10 tahun

Anak-anak pada usia ini memiliki kepekaan akan keadilan. Selama periode ini, anak anda mengembangkan kepekaan empati dan kasih sayang yang lebih besar.

Pada usia 8 tahun, mereka sudah mampu untuk benar-benar memahami seperti apa rasanya disakiti. Namun kebutuhan mereka untuk merasa dimiliki dan adanya pengaruh teman sebaya dapat menyebabkan mereka melakukan hal-hal yang sebenarnya mereka tahu itu salah. Anak-anak pasa usia ini membutuhkan bantuan untuk mengambil tanggung jawab atas tingkah laku mereka, dan belajar bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Intinya, anak harus menyadari adanya konsekuensi dibalik setiap perilakunya.

2.3. Yogyakarta

2.3.1. Sejarah Yogyakarta

Dari informasi yang di dapat melalui situs resmi Yogyakarta yaitu jogja.go.id, Kota Jogja merupakan sebuah kota yang sudah "tua". Kota ini sudah ada dan mulai dihuni oleh masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu. Pada awalnya, penduduk tertarik oleh kesuburan tanah di daerah ini. Maklumlah, di sekitaran Kota Jogja terdapat cukup banyak gunung berapi yang masih aktif. Dimana magma yang dikeluarkan oleh gunung berapi-gunung berapi tersebut turut mempersubur tanah.

(14)

Daerah sekitar Jogja dan Jawa Tengah sudah mulai tercatat dalam sejarah sejak abad ke-9. Dimana saat itu kebudayaan didominasi oleh kerajaan Hindu-Buddha.

Kerajaan-kerajaan inilah yang turut menyumbangkan sebagian besar dari aset budaya di wilayah seputar Kota Jogja. Candi Prambanan, Candi Borobudur, Candi Kalasan, Candi Sambisari, Candi Ratu Boko adalah candi-candi yang berasal dari kebudayaan Hindu-Budha tersebut.

Walau pun begitu, Kota Jogja baru benar-benar berperan besar dalam sejarah Bangsa Indonesia sejal abad ke-18. Pada awal abad ke-18, berdirilah sebuah Kerajaan Muslim di kota ini. Yaitu Kerajaan Mataram. Yang mana pada saat itu Kerajaan Mataram diperintah oleh Pakubuwono II. Sepeninggal Pakubuwono II, terjadilah perselisihan dalam keluarga kerajaan untuk memperebutkan tahta. Pada saat itu, Pemerintah Belanda, yang saat itu sedang berusaha menguasai Pulau Jawa, juga turut campur dalam perselisihan tersebut, yang akhirnya malah memperuncing konflik. Akhirnya, Kerajaan Mataram pun terpecah menjadi dua bagian. Yaitu Kraton Surakarta Hadiningrat, yang saat itu diperintah oleh Pakubuwono III, dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang diperintah oleh Sultan Hamengku Buwono I. Kraton Surakarta Hadiningrat berlokasi di Surakarta (Solo - red), sedangkan Kraton Ngayogyakarta Hadinigrat berlokasi di Kota Jogja. Di kemudian hari, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat inilah yang berperan besar bagi Kota Jogja. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang sekarang lebih dikenal sebagai Yogyakarta atau Kota Jogja, menjadi akar budaya Jawa bagi daerah Kota Jogja.

Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti adalah bahwa Negara/Kerajaan Mataram dibagi dua : setengah masih menjadi hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Yang nantinya daerah Pedalaman Kerajaan Jawa ini akan bernama Ngayogyakarta Hadiningrat. Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Jogja), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan

(15)

ditambah daerah mancanegara yaitu, Madiun, Magetan, Cirebon, separuh dari Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, dan Grobogan.

Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Jogja). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755. Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan ibukota dan pemerintahan tersebut diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton. Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan. Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Jogja atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang pun ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru.

Kota Jogja sendiri dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategis menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu.

Pada masa perjuangan, Kraton Ngayogyakarta juga tidak dapat dipisahkan dari proses perjalanan Bangsa Indonesia hingga mencapai kemerdekaan seperti sekarang. Sebut saja, Pangerdan Diponehoro, Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Kraton Ngayogyakarta telah banyak berperan dalam proses perjalanan bangsa ini, dan melahirkan tokoh-tokoh penting bagi Bangsa Indonesia. Jika berkunjung ke

(16)

dalam Kraton Ngayogyakarta, maka akan terlihat banyak sekali barang-barang peninggalan yang berkaitan dengan perjuangan Bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Salah satunya adalah sebuah meja dimana rencana revolusi dimatangkan. Pada saat itu, Sultan Hamengkubuwono IX lah yang banyak berperan dalam peristiwa revolusi.

Setelah proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia, dua bagian dari Kraton Ngayogyakarta, yaitu Kraton Ngayogyakarta sendir, yang saat itu dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX,i dan juga Kadipaten, yang saat itu dipimpin oleh Sri Paku Alam VIII, mengerluarkan pernyataan bahwa kedua bagian kerajaan tersebut menjadi bagian dari Republik Indonesia. Dan mulai saat itulah, Kota Jogja dinamakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta, karena kekhasannya tersebut, yaitu memiliki sebuah kerajaan di dalam wilayahnya.

2.3.2. Sosial dan Budaya

Menurut buku ‘Daerah Istimewa Yogyakarta” terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pola budaya masyarakat D.I Yogyakarta merupakan satu kesatuan social atau komunitas masyarakat Jawa. Di dalam masalah mata pencaharian hidup, titik berat uraian adalah sector pertanian yang meliputi rumah tanga yang mengusahakan pertanian, tambak, nelayan, pengusaha ternak/unggas Sektor pertanian ini sebagai titik berat uraian mengingat, bahwa sebagian besar masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta bekerja di sektor itu.

Telah dikenal secara luas bahwa masyarakat Yogyakarta memiliki rasa kesatuan akan rasa kepribadian kelompok yang tinggi. Hal ini jelas terlihat, oleh adanya ciri- ciri social yang khas yang dimiliki oleh masyarakat Yogyakarta. Namun demikian, masyarakat Yogyakarta yang merupakan masyarakat Jawa memiliki pola-pola dasar kebudayaan yang menunjukkan persamaan dengan masyarakat Jawa pada umumnya, yaitu suatu pandangan hidup yang bersifat sinkretik dan totalitas. Yaitu suatu pandangan dasar yang menekankan pada konsep keselarasan, keseimbangan, dan ketentraman batin, sikap menerima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam. Oleh De Yong dikatakan, bahwa orang memiliki sifat nrima ini unggul terhadap keadaan yang tidak kekal (De Yong, 1976:19). Keberadaan atau

(17)

eksistensi masyarakat Yogyakarta sebagai satu kesatuan yang bulat banyak ditentukan oleh dinamika struktur dan organisasi social masyarakatkesultanan Yogyakarta.

Sistem pemerintahan tradisional kesultanan Yogyakarta sudah berperan lama yaitu kurang lebih dua abad dari pertengahan abad 18 sampai dengan pertengahan abad ke-20. Dengan demikian, jelaslah kurun waktu yang sedemikian lama ini telah memberi warna dan mewadahi keseluruhan kehidupan budaya masyarakat Yogyakarta.

Sistem nilai budaya, yaitu bagian yang paling abstrak dari system budaya manusia, dan sikap masyarakat yang bersifat aristokratis merupakan fokus dari kebudayaan masyarakat Yogyakarta yang telah melembaga di dalam kehidupan seluruh lapisan masyarakat. Herskovits dalam bukunya “Man and His Works”

menyinggung masalah fokus budaya, dikatakan bahwa “cultural focus is a factor of for reaching significance in understanding the dynamic of culture.” Dengan

demikian, maka fokus budaya merupakan unsur kebudayaan yang dapat mencerminkan karakter kebudayaan secara keseluruhan. Seolah-olah sebagai ukuran di dalam memberi interpretasi kehidupan masyarakat, atau dapat merupakan jiwa dan semangat aktivitas berpola seluruh anggota masyarakat.

Fokus budaya Yogyakarta antara lain berupa kebudayaan Jawa yang dalam komunikasinya menggunakan bahasa jawa termasuk didalamnya ungkapan- ungkapan yang mempunyai makna yang rumit dan lengkap. Fokus budaya tersebut berkesempatan mendominasi unsure-unsur budaya yang lain. Kalau demikian kuatnya fokus budaya ini maka semakin sulitlah unsure-unsur budaya asing masuk.

Bahasa yang merupakan salah satu aspek kebudayaan merupakan jaringan sentral sarana untuk mengekspresikan kebudayaan tersebut. Dan bahasa ini akhirnya menjadi cerminan masyarakat pemakainya atau masyarakat penuturnya.

Tetapi pada akhir-akhir ini telah terjadi perubahan social yang cukup besar bersamaan dengan saat berubahnya status daerah Yogyakarta dan system pemerintahannya sehubungan dengan diproklamasikannya Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pada saat itu daerah kesultanan Yogyakarta tidak lagi berupa daerah kerajaan yang berdaulat, tetapi merupakan salah satu daerah propinsi sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia. Demikianlah maka system

(18)

pemerintahannya tidak lagi merupakan sistem pemerintahan tradisional aristokratis, tetapi sepenuhnya mengikuti pola system administrasi pemerintahan modern.

Sekaligus kepala daerah dijabat langsung oleh Sri Sultan Hamengku BUwono IX dan wakilnya Sri Paku Alam VIII. Kemudian nama kesultanan Yogyakarta berubah menjadi Propinsi Dati 1 Daerah Istimewa Yogyakarta. Sistem administrasi pemerintahan yang seperti itu sedikit banyak mempengaruhi nilai budaya daerah.

Rupanya, dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan kenyataan, bahwa system nilai budaya dan sikap ketradisionalan masyarakat Yogyakarta mengalami penyegaran terus. Unsur-unsur kebudayaan baru yang masuk selama periode seperempat abad terakhir, baik melalui program-program pembangunan daerah dan nasional telah mempengaruhi banyak fokus budaya masyarakat Yogyakarta. Malahan dikatakan, saat ini tengah terjadi perubahan kebudayaan di Yogyakarta. Bahkan secara sepihak, perubahan kebudayaan tersebut terjadi pada kebudayaan lisan yang di dalamnya termuat ungkapan-ungkapan tradisonal.

2.3.3. Bahasa Jawa

Saat ini, sebagai sebuah bangsa, Indonesia dihadapkan dengan masuknya kebudayaan-kebudayaan baru dari luar negeri. Kebudayaan tersebut disadari atau tidak memberikan pengaruh terhadap kebudayaan milik sendiri selama ini. Di dalam sebuah era di mana batas-batas wilayah menjadi tidak relevan lagi, seolah- olah semua budaya tampak seragam. Dengan kondisi seperti itulah perlunya sebuah bangsa memiliki identitas dan jati diri sendiri. Identitas itu bukan saja menjadi pembeda tetapi seharusnya juga menjadi sebuah kebanggaan.

Di saat menggali identitas kita sebagai sebuah bangsa, sering tidak disadari bahwa justru sebetulnya apa yang dimiliki sejak zaman dulu telah ditinggalkan.

Kebudayaan daerah Indonesia sangat beragam dan menarik. Ironisnya itu justru terabaikan khususnya oleh para generasi muda. Seperti halnya bahasa Jawa yang keberadaannya saat ini memprihatinkan. Generasi muda saat ini ini enggan menggunakan Bahasa Jawa karena alasan kepraktisan. Di samping itu dengan maraknya bentuk bahasa baru, yang kerap kali disebut bahasa gaul, bahasa Jawa semakin terpinggirkan bahkan dalam masyarakat Jawa sendiri. Penggunaan bahasa Jawa saat ini pun kerap kali diselingi bahasa lain seperti bahasa Indonesia. Sering

(19)

pula penggunaannya tidak sesuai dengan unggah-ungguhing basa (undha-usuk, tataran).

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fathur dan kawan-kawan (1997) pada keluarga pengguna bahasa Jawa, pemakai setia bahasa Jawa yang baik saat ini lebih banyak didominasi oleh kalangan umur 50 tahun ke atas, baik itu di desa maupun di kota. Sebanyak 72 persen kalangan berusia 30-49 tahun menggunakan bahasa Jawa di daerah pedesaan dan bagi mereka yang tinggal di kota sejumlah 54% menggunakan bahasa campuran. Pada kalangan berusia 30 tahun ke bawah, angkanya sangat menyedihkan karena pemakai bahasa Jawa tercatat sangat rendah yaitu 18%. Selama ini bahasa Jawa hanya diajarkan secara formal di sekolah melalui program muatan lokal (mulok). Melihat realitas yang diungkapkan oleh penelitian di atas, maka keefektifan pengajaran bahasa Jawa lewat program mulok perlu dipertanyakan. Jangan-jangan pengajaran itu hanya terbatas pada formalitas belaka. Sedangkan gairah dan ketertarikan siswa terhadap bahasa Jawa tidak pernah dibangkitkan. Jika demikian, siapa yang mewarisi budaya daerah kelak?

Bahasa bukan sekedar media untuk berkomunikasi dan bukan pula sekedar penyampai informasi. Bahasa adalah unsur budaya yang menggambarkan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Bagi orang Jawa, bahasa Jawa dianggap memiliki nilai-nilai luhur dan merupakan kekayaan budaya yang tidak ternilai. Namun sayangnya, eksistensi bahasa Jawa sendiri telah mengalami kemunduran. Saat ini menggunakan bahasa Jawa dianggap sudah kuno dan ketinggalan zaman, khususnya bagi para kalangan remaja.

Membangkitkan kembali gairah berbahasa Jawa yang baik dan benar tentu saja bukan merupakan hal yang mudah di zaman seperti ini. Padahal suatu bangsa tidak akan pernah maju jika masyarakatnya sendiri tidak pernah membanggakan budaya bangsa sendiri. Bangsa lain yang telah maju, seperti Jepang dan Korea, bisa berada di depan karena mereka bangga dengan budaya sendiri.

Referensi

Dokumen terkait

Buku cerita rakyat bergambar ini dimaksudkan untuk menambah sumber bacaan bagi anak-anak TK di Indonesia dengan menghadirkan sebuah buku yang sanggup meningkatkan pengetahuan

Untuk mengatasi masalah yang mungkin terjadi ini, keluarga tersebut dapat menetapkan kebijakan kerja tertulis yang menjelaskan kepada anak-anak kondisi seperti apa

Bagaimanapun, berbeda dengan orang dewasa, atau lebih tua, akan menyukai warna yang lebih gelap, sama dengan mewarnai dari kelompok warna-warna yang netral. Perbedaan kelas

Lewat video klip “ Nilailah Aku ”, mereka membuktikan bahwa Kangen Band adalah band pop Melayu di Indonesia yang bisa diperhitungkan oleh kelompok dominan dari berbagai macam

Konflik utama cerita pada novel grafis ini adalah tentang perjalanan hidup seorang wartawan yang berusaha untuk meliput dan lalu menulis berita aktual dari berbagai

Pada area yang berhubungan langsung dengan publik, material dan finishing yang digunakan harus mempunyai kualitas serta mendukung konsep dari Restoran serta murah dan

Berdasarkan hasil survey di salah satu sekolah dasar di Surabaya, anak- anak usia 5-10 tahun menyukai buku cerita yang di dalamnya terdapat ilustrasi yang

Bagi masyarakat pemakai yang sudah terbiasa ke perpustakaan, akan dengan sendirinya mengerti bahwa mereka harus pergi ke perpustakaan yang mana disesuaikan antara koleksi