• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat dan Sains.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Filsafat dan Sains.pdf"

Copied!
258
0
0

Teks penuh

(1)

Reza A.A Wattimena SS

FILSAFAT DAN SAINS:

Sebuah Pengantar

“Inti filsafat adalah membentuk pemikiran,

dan bukan sekedar mengisi kepala dengan

(2)

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000.00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum satu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).

FILSAFAT DAN SAINS: Sebuah Pengantar © Reza A.A Wattimena SS

GM

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.

Penerbit PT Grasindo, Jalam Palmerah Selatan 22-28, Jakarta 10270

Editor Penyelia: Pamusuk Eneste Editor: A Sugeng Agus Priyono Penata Isi:

Design Cover: Ehwan Kurniawan

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Grasindo, anggota Ikapi, Jakarta 2007

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun (seperti cetakan, fotokopi, microfilm, VDC, CD-Rom, dan rekaman suara) tanpa izin dari penerbit.

(3)

Daftar Isi

BAGIAN I

MENGETUK PINTU GERBANG FILSAFAT Pendahuluan

Bab 1 Serba Serbi Filsafat

1.1 Apa itu Filsafat?

1.2 Beberapa Pertanyaan Mendasar dalam Filsafat

1.3 Pengetahuan Macam Apakah yang Dapat Diperoleh melalui Refleksi Filsafat?

1.4 Tiga Bidang Utama Refleksi Filsafat 1.5 Kesimpulan

Bab 2 Ciri Filsafat

2.1 Tentang Kebenaran, Makna, dan Hubungan Logis 2.2 Tidak Empiris

2.3 Daya Tarik Filsafat 2.4 Relevansi Filsafat

Bab 3 Membaca dan Memahami Tulisan Filsafat

3.1 Tulisan Filsafat

3.2 Persiapan yang Diperlukan 3.3 Memahami Tulisan Filsafat 3.4 Bersikap Kritis

Bab 4 Beberapa Cabang Umum Filsafat

4.1 Epistemologi 4.2 Metafisika 4.3 Etika

(4)

BAGIAN II

ILMU PENGETAHUAN DALAM BINGKAI FILSAFAT Pengantar Dr. Mikael Dua

Pendahuluan

Bab 1 Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan Bab 2 Sejarah Ilmu Pengetahuan

Bab 3 Metode Saintifik

Bab 4 Hukum dan Teori di dalam Ilmu Pengetahuan Bab 5 Ilmu-ilmu Alam dan Ilmu-ilmu Sosial

Bab 6 Ilmu Pengetahuan dan Nilai (value) Bab 7 Filsafat Ilmu-ilmu Sosial

Bab 8 Filsafat Ilmu-ilmu Sosial II: Masyarakat: Fakta atau Hipotesa? Bab 9 Ilmu Pengetahuan dan Umat Manusia

Epilog

Bersikap Kritis Terhadap Ilmu Pengetahuan Daftar Pustaka

(5)

Pendahuluan

Baru-baru ini, saya menonton film yang berjudul Anti Trust. Saya tidak tahu kapan film tersebut pertama ditayangkan. Di dalam film itu, seorang anak muda ahli komputer dipaksa untuk memilih, apakah ia mau hidup tenang, berkecukupan materi, tetapi membohongi orang, dan bahkan lebih dari itu, membiarkan pembunuhan di depan matanya terjadi. Konteksnya adalah soal teknologi komunikasi canggih dengan menggunakan satelit. Di dalam film tersebut, ada suatu perusahaan besar yang hendak memonopoli teknologi itu untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Untuk melakukan itu, perusahaan tersebut bahkan membunuh orang-orang tertentu. Anak muda ini hendak mengungkapkan kejahatan yang terjadi. Ia pun punya pendapat bahwa teknologi semacam itu tidaklah boleh dimonopoli oleh pihak tertentu, tetapi harus digunakan untuk sepenuhnya kepentingan umat manusia. Kalimat terakhir di dalam film itu adalah, knowledge belongs to the world.

Pengetahuan diciptakan untuk dunia, begitu pula filsafat. Dalam kerangka itulah buku ini ditempatkan, yakni sebagai medium untuk mengantar Anda memasuki dunia filsafat. Memang, buku ini hemat dalam penjelasannya. Akan tetapi, ada alasan di balik penghematan penjelasan itu, yakni pembaca dapat memperoleh pengetahuan umum tentang bagaimana berfilsafat, ciri filsafat, dan pandangan umum tentang filsafat secara singkat dan padat. Plato pernah menulis bahwa filsafat sebenarnya hanya dapat dinikmati oleh orang-orang tertentu dari kelas tertentu saja. Dengan buku ini, saya ingin mengkritik pendapat itu. Bagi saya, filsafat ditujukan

untuk semua orang. Seperti layaknya definisi formal demokrasi, yakni dari rakyat,

oleh rakyat, dan untuk rakyat, filsafat itu datang dari pengalaman manusia, dilakukan oleh manusia, dan ditujukan untuk manusia. Manusia disini adalah semua orang lintas suku, lintas agama.

Pada setiap Bab dalam Bagian I buku ini, mau membahas langkah demi langkah proses Anda mengenal filsafat. Pada Bab 1, lebih mau mengajukan argumentasi tentang hakekat filsafat, apa cabang-cabangnya, dan problem-problem apa yang biasanya direfleksikan. Pada Bab 2, saya akan menjabarkan ciri kualitatif filsafat, daya tariknya, serta relevanisi praktisnya bagi kehidupan. Pada Bab 3, lebih teknis, yakni berupaya memandu Anda dalam proses membaca tulisan-tulisan filsafat, termasuk juga di dalamnya tips-tips untuk membaca tulisan filsafat, dan berusaha untuk memahami inti yang mau disampaikan oleh tulisan itu. Pada Bab 4, memang ada kesan pengulangan. Akan tetapi, sebenarnya saya ingin menegaskan

(6)

bahwa seluruh aliran filsafat sekarang ini tidak pernah lepas dari tiga cabang umum yang ada di dalam filsafat, yakni metafisika, epistemologi, dan etika. Sebenarnya, beberapa aliran filsafat dominan, seperti eksistensialisme, fenomenologi, idealisme, dan teori kritis juga banyak merefleksikan problem-problem yang juga dijabarkan di dalam tiga cabang umum filsafat tersebut, namun dari sudut pandang yang berbeda. Ulasan lebih jauh atas aliran-aliran filsafat tersebut kiranya butuh buku tersendiri.

Pada akhirnya, saya mengucapkan selamat membaca. Semoga Bagian I buku ini sungguh-sungguh bisa menjadi pemandu Anda untuk mengetuk pintu gerbang filsafat, dan tidak ragu-ragu untuk membuka dan kemudian memasukinya.

(7)

BAGIAN I

MENGETUK PINTU GERBANG FILSAFAT

Bab 1

Serba Serbi Filsafat

1.1 Apa itu Filsafat?

Sepanjang saya belajar filsafat, orang-orang di sekitar saya selalu bertanya, kadang dengan sikap sinis, terkadang murni dengan rasa ingin tahu, apa itu filsafat? Setau ( sepengetahuan) mereka, filsafat adalah pemikiran abstrak, melayang jauh di sana, jauh dari kehidupan sehari-hari. Apakah seperti itu? Saya sendiri, tentunya setelah mencoba mempelajari filsafat secara sistematis, punya kesimpulan sendiri, dan kesimpulan tersebut ternyata berbeda dengan pandangan umum teman-teman saya tersebut.

Mari mulai terlebih dahulu dengan penelusuran arti kata filsafat. Filsafat berasal dari kata Yunani, yakni philosophia yang berarti adalah cinta (philia) kebijaksanaan (sophia). Menurut analisis, kata ini muncul dari mulut Phytagoras yang hidup di Yunani Kuno pada abad 6 Sebelum Masehi (Budi Hardiman, 2007). Oleh karena itu, orang yang mencintai kebijaksanaan disebut juga sebagai

philosophos atau filsuf. Orang yang mencintai kebijaksanaan bukanlah orang yang

sudah memiliki kebijaksanaan, melainkan orang yang terus berupaya mencari kebijaksanaan. Penjelasan ini membawa kita masuk ke dalam penjelasan tentang hakekat filsafat.

Biasanya, ada dua jawaban atas pertanyaan tentang hakekat filsafat. Yang pertama, filsafat adalah suatu aktivitas, dan bukan suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja. Dengan kata lain, Anda berfilsafat, dan tidak hanya belajar filsafat. Semua orang, tak terkecuali, berfilsafat. Bahkan, orang yang paling sinis dan tidak

(8)

suka, serta mengkritik filsafat pun sebenarnya sedang berfilsafat juga. Yang kedua, filsafat juga sering diartikan sebagai suatu analisis konseptual, yakni berpikir tentang pikiran. Kedua argumen ini memang menjelaskan sesuatu, tetapi tampaknya tetap tidak memuaskan.

Kedua definisi tersebut tidak memberikan penjelasan tentang isi atau hakekat sesungguhnya dari filsafat. Boleh-boleh saja, jika kita berkata bahwa kita sedang berfilsafat, atau sedang menganalisis secara konseptual. Akan tetapi, apa yang sedang kita analisis? Apa cara yang kita gunakan untuk menganalisis dan berfilsafat tentang sesuatu itu? Cara yang paling baik untuk menjawab pertanyaan ini adalah melihat apa yang para filsuf di dalam sejarah tanyakan dan refleksikan, serta apa jawaban mereka atas pertanyaan tersebut. Misalnya, Anda diminta untuk menganalisis meja yang terletak di depan Anda. Refleksi filsafat biasanya akan mengajukan pertanyaan begini, apa hakekat meja tersebut? Selanjutnya, bagaimana Anda bisa mengetahui bahwa meja itu ada?

Ada banyak pertanyaan yang bersifat filosofis. Akan tetapi, di balik semua pertanyaan tersebut, ada satu hal yang sama, yakni semua pertanyaan selalu dimulai dengan sebuah penalaran rasional (reasoning), dan juga hanya dapat dijawab dengan penalaran semacam itu. Misalnya, Anda diminta menjawab, bagaimana Anda bisa mengetahui bahwa di depan mata Anda sekarang, ada buku yang berjudul Pengantar

Filsafat dan Epistemologi. Jawaban Anda tersebut tidaklah boleh mengacu pada

kepercayaan-kepercayaan mistis ataupun religius, seperti jika Anda menjawab bahwa meja itu bisa Anda ketahui, karena Tuhan memberikan Anda indera. Di dalam filsafat, jawaban Anda haruslah sedapat mungkin menghindari jawaban religius dan mistis seperti itu, dan menggunakan semata-mata akal sehat serta penalaran rasional.

Pada ilmu-ilmu lainnya, ada banyak cara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, seperti dengan meneliti alam, meneliti manuskrip kuno, melakukan eksperimen di dalam laboratorium, atau melakukan survey lapangan. Semua ini dapat dikategorikan sebagai penyelidikan empiris, yakni penyelidikan yang langsung berbasiskan pengalaman inderawi. Hasil dari penyelidikan semacam ini adalah data-data baru dan temuan-temuan baru. Hasil-hasil ini dapat memberikan kontribusi di dalam refleksi filsafat. Akan tetapi, penyelidikan empiris tidak akan pernah dapat menyediakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan filosofis (Nuttal, 2001).

(9)

Penelitian sosiologi dengan menggunakan statistik tidak akan pernah mampu menjawab pertanyaan dasar filsafat yang terkait dengan eksistensialisme, apakah makna dari hidup manusia?

Analisis ekonomi dengan menggunakan data dan perbandingan statistik tidak akan mampu menjawab, bagaimana kita bisa tahu mengenai realitas?

Pertanyaan tentang tujuan hidup manusia, atau bagaimana cara menata masyarakat secara adil, tidak pernah bisa dijawab di dalam laboratorium. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, orang harus melakukan refleksi filsafat. Tidak bisa tidak.

1.2 Beberapa Pertanyaan Mendasar di dalam Filsafat

Mari lihat beberapa pertanyaan mendasar yang menjadi refleksi para filsuf di dalam sejarah, dan bagaimana mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Apakah indera kita, seperti penglihatan, sentuhan, pendengaran, rasa, dan penciuman dapat memberikan gambaran yang sebenarnya tentang dunia kepada kita? Apakah setiap kejadian pasti memiliki sebab? Dan jika setiap kejadian memiliki sebab, lalu dimana sebenarnya letak kebebasan manusia? Setiap manusia memiliki daging dan tulang. Akan tetapi, manusia juga memiliki pikiran. Lalu, apakah pikiran itu terpisah dari tubuh yang terbuat dari daging dan tulang? Dapatkah kita memiliki pikiran tanpa tubuh? Apakah tubuh dan pikiran saling terkait satu sama lain? Jika ya, bagimana penjelasannya? Di dalam dunia yang kita hidupi ini, kita dapat melihat pola yang tetap dan berulang. Atas dasar itu, kita dapat merumuskan apa yang disebut sebagai hukum-hukum alam (laws of nature). Lalu, kita menganggap hukum-hukum ini bersifat universal, yakni berlaku untuk siapapun tak peduli dimana ataupun kapan. Bagaimana klaim tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara rasional? Ketika kita menyatakan bahwa seseorang itu baik atau jahat, apakah kita sedang mengekspresikan penilaian subyektif kita? Lalu, apakah moralitas melulu menyangkut masalah subyektifitas belaka saja? Apakah pemerintah memiliki hak dan legitimasi untuk menyeimbangkan kekayaan warganya, sehingga mempersempit jurang antara yang kaya dan yang miskin? Apa yang membuat negara memiliki legitimasi?

(10)

Ada berbagai alasan, mengapa kita tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan menggunakan penyelidikan empiris, misalnya dengan menggunakan metode statistik di dalam sosiologi maupun ekonomi. Misalnya, filsafat pengetahuan terlebih dahulu mau bertanya tentang kesahihan panca indera kita dalam menangkap suatu peristiwa. Jika kita meragukan indera-indera kita, maka dengan apa kita dapat menganalisis indera-indera tersebut?

Jika terhadap mata, telinga, kulit, dan hidung kita, kita ragukan keabsahan/validitas/kebenaran penerimaannya. Oleh karena itu, dengan apa lagi kita bisa meneliti dan mengetahui realitas?

Memang, kita telah mengembangkan berbagai alat yang mampu menganalisis lebih akurat daripada indera kita. Akan tetapi, tetap saja, kita perlu mengandalkan indera kita untuk menggunakan alat-alat ini.

Kita sudah menciptakan mikroskop super canggih. Akan tetapi, tetap saja, kita memerlukan tangan kita, mata kita, telinga kita, dan semua panca indera kita untuk mengoperasikan mikroskop tersebut.

Dengan kata lain, kita meragukan indera kita maka kita juga meragukan alat-alat tersebut.

Akan tetapi, kita tetap tidak dapat mengamati secara langsung bahwa setiap kejadian pasti memiliki sebab. Selanjutnya, jika setiap kejadian memiliki sebab, bagaimana dengan kebebasan manusia? Oleh karena, jika semua peristiwa memiliki sebab, segala sesuatu sebenarnya sudah ditentukan sebelumnya oleh sesuatu. Jika begitu, di manakah tempat kebebasan manusia?

Saya hidup karena orang tua saya melahirkan saya. Saya berbuat baik karena orang tua saya mengajarkan dan memerintahkan supaya saya berbuat baik. Saya bisa berbicara karena saya sudah mempelajari bahasa yang sudah ada sebelumnya. Saya tidak bisa terbang karena fisik manusia memang tidak bisa terbang. Saya harus makan, tidak bisa tidak. Masih banyak contoh lainnya. Lalu, apakah kita bebas?

Memang, tindakan kita tampak bebas. Akan tetapi, jika kebebasan ini adalah sebuah ilusi, bagaimana kita bisa sungguh-sungguh tahu mengenai hal ini? Artinya,

(11)

bagaimana kita bisa sungguh tahu bahwa kita tidak bebas? Bukankah pengetahuan, sampai taraf tertentu, juga mengandaikan kebebasan?

Setiap bentuk ilmu pengetahuan selalu mengandaikan bahwa kita mampu mengambil jarak terhadap realitas. Lagi pula, pengambilan jarak mengandaikan bahwa saya tidak dipengaruhi sepenuhnya oleh realitas. Inilah kebebasan. Jadi, adanya pengetahuan dan ilmu pengetahuan, sebenarnya sudah mengandaikan kebebasan.

Seringkali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut menuntun ke pertanyaan-pertanyaan lainnya. Kesulitan bertambah karena tidak ada fondasi yang pasti, di mana kita bisa merumuskan suatu jawaban. Biarpun begitu, filsafat mempertanyakan secara tajam asumsi-asumsi yang telah kita percayai begitu saja sebelumnya. Lebih jauh lagi, filsafat mempertanyakan proses penalaran untuk menguji asumsi-asumsi tersebut. Memang, sulit untuk memberikan jawaban ketika tidak ada satupun yang dapat menjadi pengandaian. Walaupun begitu, ini jugalah yang membuat filsafat menjadi begitu menarik.

Setiap ilmu pengetahuan biasanya punya pengandaian sebagai titik tolak. Misalnya, sosiologi mengandaikan adanya manusia yang hidup dalam komunitas dengan perilaku-perilaku yang kurang lebih bisa dianalisis dan diprediksi. Ekonomi mengandaikan adanya manusia yang melakukan transaksi jual beli.

Filsafat adalah suatu aktivitas berpikir tanpa pengandaian apapun. Dengan begitu, filsafat mengajarkan orang untuk berpikir radikal, dalam arti positif, serta mendalam tentang segala sesuatu. Filsafat tidak puas dengan jawaban-jawaban yang terlalu harafiah. Filsafat ingin menggali sampai sedalam-dalamnya.

Hal ini memang menciptakan kesulitan sendiri bagi orang yang mau belajar filsafat. Akan tetapi, hal ini pula yang membuat filsafat menjadi sedemikian menarik dan menantang.

1.3 Pengetahuan Macam Apakah yang Dapat Diperoleh melalui Refleksi Filosofis?

Jika pertanyaan-pertanyaan filosofis dapat dijawab dengan menggunakan penalaran rasional. Selanjutnya, dapatkah filsafat direfleksikan secara eksklusif

(12)

terbebas dari penyelidikan empiris tentang dunia? Secara historis, pertanyaan ini sebenarnya tidaklah tepat. Banyak filsuf besar pada masa lalu yang tidak melulu menjadi ahli filsafat murni. Penemuan-penemuan saintifik yang baru selalu memicu lahirnya spekulasi-spekulasi filosofis. Lagi pula, kebingungan teoritis di dalam ilmu pengetahuan seringkali membutuhkan klarifikasi konseptual dengan menggunakan filsafat ilmu.

Dengan demikian, relasi antara ilmu pengetahuan dan filsafat itu pada hakekatnya bersifat dialektis dan kontingen. Artinya, filsafat dan ilmu pengetahuan selalu saling mempengaruhi secara timbal balik. Tesis ini mengantarkan kita pada pertanyaan yang lebih mendalam, apakah mungkin untuk sampai pada pengetahuan tanpa mengandalkan indera-indera kita? Pengetahuan yang kita dapatkan dari pengalaman inderawi ini kita sebut juga sebagai pengetahuan empiris. Sementara, pengetahuan yang bersifat independen dari pengalaman itu disebut sebagai pengetahuan apriori.

Pengetahuan bahwa warna hitam itu berwarna hitam adalah pengetahuan apriori yang dapat diketahui lepas dari pengalaman inderawi. Untuk mengetahui warna rumput, kita harus melakukan penyelidikan empiris.

Akan tetapi, untuk mengetahui apakah warna hitam itu berwarna hitam, kita tidak perlu melakukan penyelidikan tersebut. Pengetahuan akan hitam sudah terkandung secara analitis di dalam kata warna hitam.

Lalu, apakah pengetahuan yang bersifat apriori itu mungkin? Jika jawabannya adalah ya maka filsafat adalah satu-satunya yang bisa menyediakan pengetahuan semacam ini. (ibid)

1.4 Tiga Bidang Utama Refleksi Filsafat

Ada beragam cara untuk merumuskan cabang-cabang filsafat. Tidak ada diantara beragam pembagian tersebut yang cukup memuaskan karena selalu ada tema yang tidak pas untuk disatukan ke dalam pembagian-pembagian yang ada. Nuttall, di dalam bukunya, membagi filsafat ke dalam tiga bidang refleksi. Yang pertama adalah metafisika. Bidang ini memfokuskan diri pada analisis tentang hakekat terdalam dari seluruh realitas.

(13)

Apakah dunia sehari-hari yang kita hidupi ini adalah sesuatu yang nyata?

Jika tidak, apakah hakekat terdalam dari seluruh realitas yang melampaui apa yang tampak sehari-hari?

Jika ada sesuatu yang ada, mengapa ada sesuatu yang tidak ada?

Mengapa ada perubahan di dalam realitas?

Mengapai di balik segala perubahan tersebut, ada sesuatu yang bersifat permanen?

Apakah Tuhan itu ada?

Yang kedua, adalah epistemologi. Fokus dari epistemologi adalah, apakah dan bagaimana pengetahuan akan realitas itu mungkin?

Apa yang menjadi batas dari pengetahuan kita? Apakah kita dapat mengandalkan persepsi-persepsi inderawi untuk memberikan kita pengetahuan yang utuh tentang dunia?

Apakah ada realitas yang tidak bisa diketahui yang berada di balik apa yang tampak?

Apakah ilmu pengetahuan saintifik dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas terdalam dari dunia?

Apakah penalaran rasional kita mampu memberikan pengetahuan yang memadai?

Dapatkah penalaran rasional kita menambal kekurangan-kekurangan pengetahuan yang diperoleh melalui indera?

Apakah ada bentuk pengetahuan yang dapat mengetahui hakekat dari Tuhan?

Yang ketiga adalah filsafat moral dan filsafat politik. Bidang ini menganalisis tentang hal-hal yang kita alami langsung di dalam kehidupan, dan bagaimana tindakan kita di dalam dunia sosial.

(14)

Apakah kriteria-kriteria moral yang dapat membantu kita menentukan tindakan?

Haruskah kita melulu mengikuti intuisi moral kita?

Dapatkah akal budi memberitahukan kepada kita apa yang baik dan apa yang buruk?

Dapatkah akal budi memberitahukan kepada kita bagaimana cara mengatur masyarakat secara tepat?

Apakah kita mempunyai kewajiban khusus terhadap institusi sosial tempat kita lahir dan berkembang?

Apakah nilai-nilai yang kita anut itu adalah bentukan dari masyarakat kita, atau kita sendiri yang membuatnya?

Memang, ada cara lain yang dapat dirumuskan untuk membuat pembagian di dalam filsafat. Akan tetapi, banyak ahli, seperti Anthony Quinton di dalam buku

Oxford Companion to Philosophy, juga membuat pembagian yang sama dengan saya.

Jika kita melihat dengan jeli, maka sebenarnya epistemologi banyak memiliki kemiripan dengan metafisika. Beberapa ahli lainnya membedakan antara filsafat moral di satu sisi, dan filsafat politik di sisi lain.

Logika juga seringkali muncul sebagai cabang tersendiri di dalam filsafat. Analisis yang lebih detil akan menciptakan banyak sekali cabang-cabang filsafat lainnya. Beberapa diantaranya akan sangat spesifik. Apa yang saya buat disini hanyalah sebuah pengantar umum tentang cabang-cabang di dalam filsafat yang tentunya masih bisa berkembang lebih jauh. Dari pembagian di atas, kita bisa memfokuskan lebih detil lagi pertanyaan-pertanyaan yang paling mendasar, yakni

apa yang ada (1),

apa yang dapat kita ketahui tentang apa yang ada tersebut (2), dan apa yang akan kita lakukan terhadapnya (3).

Semua pertanyaan ini sebenarnya saling berkaitan. Misalnya, ketika kita bertanya tentang apa yang ada, kita harus terlebih dahulu bertanya tentang

(15)

batas-batas dari pengetahuan kita. Di samping itu, pertanyaan tentang moral dan politik sebenarnya adalah pertanyaan yang paling relevan dan penting untuk dijawab. Kita dapat menunda pertanyaan tentang hakekat terdalam dari realitas. Akan tetapi, kita tidak dapat menunda pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana menciptakan suatu sistem pemerintahan yang bisa menjamin keadilan sosial. Tetap saja, kita sadar bahwa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu pun bersifat perkiraan. Jawaban atas satu pertanyaan tentunya akan langsung mempengaruhi perspektif kita atas pertanyaan lainnya, sehingga jawaban atas pertanyaan lainnya pun akan berubah (ibid).

1.5 Kesimpulan

Setidaknya, ada dua jawaban mudah untuk menjawab pertanyaan apa itu

filsafat?

Yang pertama adalah filsafat sebagai sebuah aktivitas berpikir tentang realitas sebagai keseluruhan secara mendalam. Sementara, yang kedua adalah filsafat sebagai sebuah analisis konseptual tentang tindak berpikir manusia, atau aktivitas berpikir tentang pikiran itu sendiri.

Filsafat itu sendiri setidaknya dapat dibagi menjadi tiga cabang.

Yang pertama, adalah metafisika. Metafisika adalah cabang filsafat yang merefleksikan hakekat dari realitas pada levelnya yang paling abstrak. Yang kedua, adalah epistemologi. Epistemologi adalah cabang filsafat yang merefleksikan tentang kapasitas pengetahuan manusia, hakekat pengetahuan manusia, dan genesis dari pengetahuan manusia. Yang terakhir, adalah etika. Etika adalah cabang filsafat yang merefleksikan tentang hakekat tindakan, dan bagaimana manusia harus bertindak di dalam dunia.

(16)

Bab

2

Ciri Filsafat

2.1 Tentang Kebenaran, Makna, dan Hubungan Logis

Di dalam hidup, hampir segala sesuatu bisa ditafsirkan secara beragam. Fakta yang satu bisa dilihat dengan sudut pandang yang berbeda, sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Tidak jarang, kesimpulan yang tumbuh dari sudut pandang yang berbeda tersebut saling bertentangan satu sama lain. Pada titik inilah permasalahan filsafat muncul.

Misalnya, orang-orang tertentu sering mengklaim bahwa mereka mengalami pengalaman mistik tertentu, yakni pengalaman merasa bersentuhan langsung dan menyatu dengan Tuhan. Perasaan menyatu dan bersentuhan langsung itu begitu terasa, bahkan lebih kuat dari tindak berdoa itu sendiri. Dari sudut pandang psikologi, pengalaman ini sering dikaitkan dengan pengalaman halusinasi.

Faktanya sama, yakni ada orang yang mengalami pengalaman mistik. Akan tetapi, kesimpulan yang ditarik berbeda. Orang beriman dan para mistikus akan melihat pengalaman tersebut sebagai pengalaman bersatu dengan Tuhan. Sementara, psikolog mungkin saja melihat pengalaman itu sebagai sebentuk halusinasi.

Contoh lain, kita melihat aksi demonstrasi di jalan-jalan. Selanjutnya, bisa muncul beragam sudut pandang. Dari sudut pandang pengguna jalan, demonstrasi adalah suatu tindakan anarkis. Demonstrasi membuat jalanan menjadi macet sehingga banyak aktivitas yang terbengkalai. Dari sudut pandang lain, mahasiswa misalnya, demonstrasi adalah suatu aksi demokratis menentang kebijakan-kebijakan yang dianggap bertentangan dengan kepentingan bersama.

Faktanya sama, yakni adanya demonstrasi. Akan tetapi, kesimpulan yang ditarik berbeda. Yang satu melihat sebagai tindakan anarkis yang menggangu aktivitas. Yang

(17)

lain melihat demonstrasi sebagai aksi demokratis menentang kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan bersama.

Ada tiga hal yang secara implisit terkandung di dalam dua contoh di atas. Pertama adalah pertanyaan yang berkaitan dengan makna (Woodhouse, 2000).

Apakah yang dimaksud dengan Tuhan sebagai realitas tertinggi? Apakah yang dimaksud demonstrasi sebagai partisipasi demokratis? Seringkali, pertanyaan filsafat dirangsang oleh pertanyaan tentang makna, yakni pertanyaan tentang hakekat dari suatu peristiwa ataupun suatu benda tertentu.

Yang kedua adalah pertanyaan yang berkaitan dengan kebenaran. Memang, ada beragam penafsiran atas satu fenomena yang sama.

Akan tetapi, di antara beragam penafsiran tersebut, manakah penafsiran yang benar? Manakah penafsiran yang lebih memadai untuk memandang pengalaman mistik? Manakah penafsiran yang lebih pas untuk memandang aksi demonstrasi?

Filsafat, dalam prosesnya menggali kebenaran, selalu berupaya melihat konteks keseluruhan, dan berusaha untuk tidak terpaku pada fenomena-fenomena partikular. Dari konteks keseluruhan itulah biasanya kita akan mendapatkan sudut pandang baru yang biasanya tidak terlihat sebelumnya.

Yang ketiga, problem filosofis biasanya juga berkaitan tentang hubungan logis di antara konsep-konsep yang ada.

Hubungan logis disini adalah kaitan antara dua konsep sedemikian rupa sehingga kesalahan ide yang satu bergantung pada kebenaran ide yang lain dan juga ketika kesalahan ide yang satu menentukan kebenaran ide yang lain.

Biasanya, hubungan logis dilambangkan dengan pernyataan jika-maka. Pernyataan semacam ini bisa juga dikatakan secara lugas, tetapi bisa juga secara tersembunyi. Bersikap kritis terhadap salah satu aspek dari pernyataan tersebut akan juga menggoyahkan aspek lainnya. Woodhouse membedakan adanya tiga jenis hubungan logis.

(18)

Yang pertama, jika ada dua pernyataan dan dikatakan bahwa dua pernyataan tersebut tidaklah selaras maka berarti dua pernyataan tersebut tidak bisa benar kedua-duanya, tetapi bisa juga keduanya sama-sama salah.

Misalnya, jika dikatakan bahwa Bowo berkulit putih maka ia tidak mungkin hitam, tetapi mungkin saja ia bukan kedua-duanya, ia bisa saja berkulit kuning seperti orang Cina.

Di dalam filsafat, konsep kebebasan seringkali dipertentangkan dengan determinisme. Determinisme berarti suatu hal ditentukan oleh hal lainnya. Jika sesuatu itu ditentukan maka tidak mungkin ia bebas. Sebaliknya, jika sesuatu itu bebas maka tidak mungkin ia ditentukan. Saya bukanlah orang bebas karena keluarga saya menentukan apa yang saya yakini sebagai benar, teman-teman saya membentuk saya.

Yang kedua, jika ada dua pernyataan, dan pernyataan yang satu mengandaikan pernyataan yang lain maka pernyataan yang satu harus benar supaya pernyataan yang lain juga bisa benar.

Misalnya, negara tersebut adalah negara demokrasi maka rakyat memilih siapa yang akan mewakili mereka di dalam parlemen. Pernyataan negara demokrasi harus benar. Jika pernyataan itu tidak benar maka pernyataan bahwa rakyat memilih siapa yang akan mewakili mereka di dalam parlemen menjadi salah.

Yang ketiga adalah tentang konsekuensi logis. Begini, jika suatu pernyataan memiliki konsekuensi logis maka pernyataan itu mempunyai konsekuensinya benar ataupun salah. Saya menggunakan contoh yang juga dipakai oleh Woodhouse.

Misalnya, jika ada sebagian tindakan manusia yang dilakukan dengan bebas maka tindakan kita tidak akan pernah bisa diramalkan sepenuhnya, bahkan oleh seorang psikolog yang memiliki begitu banyak teori tentang perilaku manusia. Fakta bahwa ada tindakan manusia yang dilakukan dengan bebas mengandung konsekuensi logis, bahwa tidak semua perbuatan manusia bisa diprediksi.

(19)

Dalam hal ini, kita harus pintar-pintar melihat perbedaan antara pernyataan yang memiliki hubungan logis di satu sisi dan pernyataan-pernyataan yang memiliki hubungan kontingen. Dua pernyataan bersifat kontigen berarti kebenaran pernyataan yang satu tidak mempengaruhi kebenaran pernyataan yang lain. Pernyataan yang satu bisa benar, dan pernyataan yang lain bisa salah. Tidak ada hubungan logis di antara dua pernyataan itu.

Misalnya, pernyataan bahwa setiap orang bertindak sesuai dengan kepentingan

mereka memiliki relasi kontingen dengan pernyataan bahwa ada orang yang bertindak salah. Di dalam contoh ini, benar tidaknya pernyataan yang satu (orang bertindak berdasarkan kepentingan diri) sama sekali tidak mempengaruhi benar

tidaknya pernyataan yang lain (orang bertindak salah).

2.2 Tidak Empiris

Satu hal yang menjadi ciri khas filsafat, yakni bahwa problematika yang direfleksikannya tidak dapat dijawab oleh sains ataupun logika common sense (logika pikiran pada umumnya). Hal ini bukan berarti filsafat tidak membutuhkan sains dengan analisis datanya yang kompleks dan kurang lebih akurat. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, fakta-fakta ilmiah memainkan peranan penting di dalam refleksi filsafat.

Ilmu pengetahuan selalu berkaitan dengan penelitian empiris yang kemudian menghasilkan fakta-fakta ilmiah. Akan tetapi, apakah yang dimaksud dengan penelitian empiris?

Penelitian empiris adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk memecahkan masalah-masalah yang langsung berkaitan dengan pengalaman. Pengalaman ini bisa didapatkan dari pengamatan langsung dengan menggunakan panca indera, atau juga bisa didapatkan dari eksperimen di dalam laboratorium.

Untuk menunjuk sesuatu yang empiris, yang perlu dilakukan adalah mengamati langsung apa yang terjadi di dalam realitas. Misalnya, untuk mengetahui jumlah penduduk Jakarta Timur, kita tinggal menghitung jumlah penduduk yang ada di Jakarta Timur melalui sensus penduduk.

(20)

Popper, seorang filsuf sains di abad ke-20, pernah menyatakan bahwa suatu klaim empiris tidak hanya harus dapat dibuktikan kebenarannya melalui pengamatan, tetapi juga harus dapat difalsifikasi, yakni mempunyai kemungkinan untuk salah. Akan tetapi, falsifikasi ini hanya dapat berlaku untuk teori di dalam sains, yakni teori ilmiah, dan tidak berlaku untuk teori di dalam filsafat. Jawaban atas apakah yang menjadi tujuan hidup manusia atau bagaimana kita bisa mengetahui kenyataan tersebut tidak pernah bisa difalsifikasi karena itu bukanlah teori ilmiah, melainkan suatu refleksi filosofis.

Seringkali orang tidak bisa membedakan sains di satu sisi dan filsafat di sisi lain secara tepat. Banyak orang beranggapan bahwa sains berurusan dengan hal-hal yang bisa diamati. Sementara itu, filsafat berurusan dengan hal-hal yang tidak dapat diamati. Anggapan ini salah. Selain itu, ilmuwan justru mengajukan suatu teori tentang hal-hal yang tidak bisa diamati, seperti tentang gravitasi, arus listrik, untuk menjelaskan fenomena natural tertentu. Para filsuf juga seringkali menolak hal-hal yang tidak bisa diamati, seperti tentang Tuhan ataupun tentang hakekat manusia. Dengan demikian, faktor teramati atau tidaknya sesuatu tidak ada hubungannya dengan perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Filsafat mau menafsirkan secara jenih apa yang terjadi di depan mata kita, dan bukan mengira-ngira apa yang ada dibalik kenyataan yang kasat mata tersebut.

Walaupun tidak sepenuhnya bersandar pada data-data dan fakta-fakta ilmiah, filsafat tetap memerlukan data dan fakta tersebut. Menurut Woodhouse, fakta empiris tidak memainkan peranan yang final di dalam filsafat. Artinya, fakta empiris tersebut tetap mempunyai peran besar di dalam filsafat. Peran tersebut tergantung pada problem filosofis yang tengah direfleksikan. Selanjutnya, kita bisa bertanya, fakta empiris macam apakah yang dapat berguna di dalam refleksi filsafat? Di dalam sejarah filsafat, banyak filsuf, mulai dari Aristoteles, Bertrand Russell, yang cukup banyak mengacu pada fakta-fakta empiris. Aristoteles bahkan membuat sebuah klasifikasi tentang berbagai mahluk hidup yang ada di alam.

Kesimpulannya, jelas, walaupun tidak menentukan secara final refleksi filsafat, data dan fakta empiris tetap diperlukan sebagai amunisi untuk merumuskan suatu refleksi filsafat yang memadai.

(21)

Seringkali orang bertanya kepada saya, "untuk apa orang berfilsafat?" Akan tetapi, pertanyaan ini kuranglah tepat untuk diajukan karena walaupun Anda tidak memiliki minat untuk belajar filsafat, beberapa masalah pokok di dalam kehidupan sehari-hari langsung menarik perhatian Anda untuk berfilsafat. Dalam menjalani hidup sehari-hari, setiap orang pasti memiliki pengandaian-pengandaian filosofis tertentu, entah disadari atau tidak. Pengandaian-pengandain tersebut diuji ketika ia harus memutuskan beberapa hal yang bukan melulu berkaitan dengan fakta empiris, melainkan dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis.

Dengan demikian, pernyataan dasarnya bukanlah untuk apa orang berfilsafat, tetapi

bagaimana orang harus berfilsafat secara memadai.

Salah satu hal yang membuat filsafat menarik adalah kemampuannya untuk membuat orang menjadi lebih sensitif pada hal-hal yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan.

Anda sudah punya anak, Anda mengajarkan anak Anda untuk tidak minum beralkohol dan tidak menghisap ganja. Akan tetapi, ketika akhir pekan tiba dan Anda sedang berkumpul bersama teman-teman Anda, Anda menyediakan minuman keras dan menghisap ganja bersama teman-teman Anda di rumah tanpa mempedulikan perasaan anak Anda.

Kita hidup dalam negara yang memiliki kesadaran bahwa setiap orang berkedudukan setara di hadapan hukum. Semua orang setuju dengan prinsip ini. Akan tetapi, dalam realitas, hanya orang kayalah yang memperoleh pendampingan hukum yang memadai. Sebaliknya, orang yang tidak punya cenderung untuk ditindas dan diperlakukan tidak adil.

Problem filsafat bukanlah problem yang abstrak dan mengawang, tetapi juga problem yang tumbuh dari pengalaman sehari-hari yang remeh temeh, namun dirasa ada yang keliru dan membutuhkan telaah lebih jauh. “Rangsangan untuk mulai berfilsafat”, demikian tulis Woodhouse, “seringkali muncul ketika orang berhadapan dengan sebuah pernyataan yang dirasanya keliru.” (ibid, hal. 51).

(22)

Misalnya, kita tentu akan tersentak dengan pertanyaan, apakah seorang koruptor harus mempertanggungjawabkan perbuatannya? Jika ya, mengapa? Ketika Pak Harto dibebaskan dari tuntutan hukum apapun, kita patut bertanya mengapa dia tidak bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya? Ketika berhadapan dengan permasalahan ini dan mulai memikirkannya lebih jauh, kita terlibat di dalam suatu problematika filsafat.

Orang-orang yang tidak secara sistematis mempelajari filsafat juga seringkali tertarik dengan beberapa problem mendasar di dalam filsafat, seperti apakah Tuhan itu ada? Apakah tujuan hidup manusia? Apakah yang harus kulakukan, sehingga hidup saya menjadi baik? Ada beragam jawaban yang bisa diberikan dan di dalam filsafat kesemua jawaban yang diberikan haruslah didasarkan pada penalaran rasional.

Sama halnya dengan para ilmuwan ataupun profesional di bidangnya, para filsuf juga seringkali menulis dengan bahasa yang teknis. Tulisan tersebut ditujukan untuk mengkritik para filsuf lainnya atau mengkritik suatu teori yang telah digunakan untuk menganalisis problematika filosofis lainnya.

Akan tetapi, di balik pembahasan yang rumit tersebut sebenarnya para filsuf berbicara hal-hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti moralitas, seni, sains, agama, maupun masyarakat. Dengan kata lain, para filsuf tidak membuat refleksinya dari kekosongan, melainkan langsung dari realitas yang mereka tatap dan hadapi sehari-hari, namun dengan sudut pandang yang berbeda.

Woodhouse memberikan sebelas contoh bagaimana para profesional di bidang lainnya dapat juga masuk ke dalam problematika filosofis dan kemudian berfilsafat.

Contoh:

Misalnya, seorang psikolog yang sangat meyakini bahwa tindakan manusia itu melulu ditentukan oleh lingkungannya akan bertanya-tanya, apakah manusia itu bebas?

Seorang pejabat di dalam lembaga sensor film akan bertanya-tanya tentang sejauh manakah suatu karya seni itu--dalam hal ini film--dapat dikatakan sebagai seni dan bukan sebagai pornografi?

(23)

Seorang pejabat publik yang hendak membuat suatu kebijakan untuk kepentingan bersama akan bertanya tentang bagaimana saya dapat membuat suatu kebijakan yang tidak diskriminatif sekaligus efektif untuk pemberdayaan? Manusia macam apakah yang harus diberdayakan disini? Apa konsep dasar dari sikap yang tidak diskriminatif?

Tentu saja, masih banyak contoh yang lain. Yang ingin saya tekankan adalah bahwa setiap orang dalam apapun bidang pekerjaan maupun displin yang ia tekuni pasti akan berhadapan dengan persoalan-persoalan filsafat, walaupun ia tidak menginginkannya. Setiap orang sudah selalu terlibat dalam persoalan-persoalan mendasar tentang kehidupan, manusia, Tuhan, dan masyarakat. Alangkah baik mengkaji semua tersebut secara jernih dan sistematis. Yang terakhir inilah yang menjadi fokus filsafat sekaligus daya tariknya.

2.4 Relevansi Filsafat

Dari paparan di atas sebenarnya sudah jelas apa yang menjadi relevansi dari filsafat. Salah satu yang paling jelas adalah dalam konteks hukum.

Contoh:

Jika benar bahwa manusia itu tidak bebas dan ia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan sosialnya maka penghukuman terhadap pelaku kejahatan tidaklah bisa dibenarkan. Karena mereka bertindak bukan atas dasar keinginan bebas mereka, tetapi karena pengaruh total dari lingkungan ataupun kondisi-kondisi lainnya. Padahal, hukuman hanya bisa diberikan pada orang-orang yang telah berbuat jahat sesuai dengan kehendak sendiri, yakni dengan kebebasan.

Di sisi lain, suksesnya sains menjelaskan banyak hal di dalam alam mendorong manusia untuk semakin berusaha menguasai alam dan kemudian menggunakannya sepenuhnya untuk kepentingan manusia. Di dalam pandangan ini, ada pengandaian bahwa manusia itu adalah mahluk yang terpisah dari alam yang memiliki status khusus di dalam ini sehingga punya hak untuk menggunakan alam sepenuhnya untuk kepentingan mereka.

Etika lingkungan, salah satu cabang di dalam filsafat moral menawarkan suatu sudut pandang baru, yakni manusia itu adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari alam. Manusia bisa menjadi manusia karena adanya alam. Dengan pengandaian semacam

(24)

ini, manusia tidak akan mengeksploitasi alam sekehendaknya dan alam tidak akan rusak seperti sekarang ini. Lagi pula, jika manusia mengeksploitasi alam dan alam rusak, toh manusia sendiri yang akhirnya harus menderita karena pelbagai bencana alam yang datang melanda.

Yang juga harus diperhatikan di dalam berfilsafat adalah bahwa dengan melibatkan diri di dalam beragam problem filosofis yang ada, keyakinan-keyakinan mendasar seseorang tentang hidup tidak otomatis akan berubah. Perubahan di dalam memandang persoalan memang agak berubah, tetapi keyakinan dan pengandaian mendasarnya tidaklah berubah. Pada titik ini, perubahan memang bukanlah sesuatu yang diharuskan.

Contoh:

Banyak orang beranggapan bahwa orang yang belajar filsafat akan mengalami peneguhan dan pemurnian di dalam beragama. Akan tetapi, tidak sedikit juga orang yang berpendapat bahwa filsafat akan membuat orang menjadi bertanya-tanya tentang agama yang telah dipeluknya.

Refleksi atas problem-problem filsafat akan mengembangkan cara berpikir orang yang melakukannya. Refleksi filsafat adalah suatu bentuk eksperimen berpikir yang bersifat luas, mendalam, dan kritis (ibid, hal. 47). Dengan menggunakan cara berpikir seperti itu, relevansi praktisnya sebenarnya sudah cukup jelas, yakni Anda akan lebih toleran terhadap pelbagai perbedaan sudut pandang, lebih mandiri dalam berpikir dan membuat keputusan, serta semakin mampu mengambil jarak dari sikap dogmatis.

Pertama, filsafat memiliki obyek analisis dan refleksi yang sangat luas, yakni mencakup seluruh realitas dari sudutnya yang paling mendasar. Banyak pertanyaaan diajukan. Banyak jawaban juga diberikan. Tidak satupun pertanyaan ataupun jawaban yang diajukan dapat dianggap sebagai suatu pernyataan mutlak. Filsafat selalu terbuka untuk sudut pandang baru yang berbeda, terutama sudut pandang yang mampu membebaskan seseorang dari kebuntuan ketika ia berhadapan dengan permasalahan-permasalahannya. Sesungguhnya, kesadaran akan pentingnya kontribusi dari sudut pandang yang berbeda inilah yang membuat orang-orang yang menekuni filsafat memiliki sikap toleran dan sedapat mungkin terbebas dari cara berpikir dogmatis.

(25)

Kedua, di dalam berfilsafat Anda bebas menganalisis sekaligus merefleksikan beragam persoalan sesuai dengan pilihan Anda. Anda bisa menggali lebih jauh tema-tema yang mungkin tidak banyak dibahas di dalam aliran-aliran besar filsafat.

Contoh:

Di dalam kuliah sosiologi, Anda melihat bagaimana manusia begitu dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Di dalam psikologi, Anda diajarkan bagaimana manusia dipengaruhi oleh dinamika internal psikisnya. Oleh karena itu, dengan filsafat Anda bisa menantang kedua bidang tersebut. Misalnya, yang mana yang lebih menentukan dinamika psikis manusia atau lingkungan sosialnya? Apa relasi antara perilaku manusia di dunia sosial dengan disposisi psikisnya?

Oleh karena itu, filsafat mengajak kita untuk berpikir tentang hal-hal yang mungkin di dalam bidang lainnya telah dianggap benar dan diandaikan begitu saja. Filsafat mengajak kita untuk berpikir mandiri dan memutuskan sendiri apa yang menjadi argumentasi independen kita.

Ketiga, tujuan utama belajar filsafat bukanlah menghafal berbagai macam teori yang sudah ada, melainkan membuat suatu pemikiran independen sendiri dengan berbekal teori-teori lain yang sudah ada. Dengan kata lain, ketika belajar filsafat Anda juga haruslah bersikap kritis terhadap semua teori yang Anda pelajari.

Sikap kritis berarti Anda tidak menerima suatu teori atas pernyataan tertentu berdasarkan otoritas saja, tetapi menerimanya dengan catatan-catatan dan berupaya mencari ambiguitas-ambiguitas teori tersebut.

Dalam hal ini, Anda ditantang untuk tidak mengikuti pendapat umum, yakni pendapat orang pada umumnya. Anda pun ditantang untuk mencari alasan-alasan rasional bagi hal-hal yang sudah diandaikan begitu saja oleh orang lain. “Inti filsafat”, demikian tulis Woodhouse, “adalah membentuk pemikiran, dan bukan sekedar mengisi kepala dengan fakta-fakta”. (ibid, hal. 49)

Setidaknya, bagi orang yang mempelajari filsafat secara sistematis ada dua keuntungan yang bisa langsung diperoleh. Pertama, analisis dan refleksi filsafat dapat membuat orang mengalami perubahan pemahaman. Perubahan pemahaman ini akan juga merubah cara ia menghayati kehidupan pribadi dan profesinya. Kedua, seperti sedikit disinggung di atas, refleksi filsafat dapat menjadikan Anda terbebas

(26)

dari cara berpikir dogmatis. Anda juga akan memperoleh kemampuan untuk mentolerir berbagai pandangan lainnya yang berbeda dengan pandangan Anda, otonomi intelektual, dan kemampuan membuat pilihan secara jernih. Ketika Anda berfilsafat, keutamaan-keutamaan semacam itu tidaklah secara otomatis diperoleh. Anda harus benar-benar berpikir dan berupaya melakukan analisis dan refleksi secara sistematis dan tekun. Waktu juga membuat pikiran menjadi semakin matang.

Ketiga, memang filsafat tidak memberikan keterampilan teknis, seperti kalau Anda belajar akuntansi, teknik elektro, kedokteran. Akan tetapi, filsafat dapat melengkapi kemampuan Anda di bidang-bidang yang bersifat non-akademik. Dalam konteks ini, refleksi filsafat dapat membantu Anda mengembangkan diri di dalam karir yang tengah Anda tempuh.

Posisi-posisi pengambil keputusan di dalam pelbagai bidang profesi, seperti dokter, pengacara, dan direktur membuat setiap orang, mau atau tidak, bergulat dengan problem filosofis. Setiap orang bisa saja menghafalkan fakta-fakta, seperti yang Anda lakukan ketika menempuh pendidikan di sekolah dasar. Akan tetapi, dunia kerja menuntut jauh lebih banyak dari sekedar kemampuan menghafalkan fakfa-fakta, terutama jika Anda ingin berhasil.

Fakta dan data bukanlah sesuatu yang bisa diterima begitu saja. Fakta masih harus dipertanyakan lagi, dilihat dari berbagai sudut pandang, diuji secara logis, jelas, dan sistematis. Oleh karena itu, kemampuan untuk melakukan hal-hal itulah yang akan dikembangkan di dalam proses Anda melakukan refleksi filsafat, apapun bidang profesi yang Anda geluti sebelumnya.

(27)

Bab

3

Membaca dan Memahami Tulisan Filsafat

3.1 Tulisan Filsafat

Jika Anda hendak melakukan refleksi filsafat secara sistematis, Anda perlu membaca banyak buku filsafat. Di dalam buku-buku itu, Anda akan banyak sekali mendapatkan ide-ide yang menarik dan layak untuk dipikirkan lebih jauh. Di samping itu, Anda juga akan berhadapan dengan begitu banyak pertanyaan, dan pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak pernah bisa dijawab secara mutlak.

Yang perlu Anda perhatikan, problem-problem filosofis, seperti yang sudah disinggung pada bab-bab sebelumnya tidak hanya muncul di dalam buku-buku yang dianggap sebagai pustaka filsafat saja, tetapi juga di dalam novel, di dalam buku sastra, bahkan di dalam buku sains. Fakta bahwa ada buku yang judulnya menggunakan kata filsafat tidak bisa menjadi jaminan bahwa ketika membaca buku itu, Anda akan menemukan gagasan filosofis yang relevan dan menarik untuk Anda. Sebaliknya, ketika membaca novel ataupun buku sains pun sebenarnya, Anda justru dapat menemukan banyak sekali problem filosofis.

Jadi, yang disebut buku filsafat itu jauh lebih banyak daripada buku-buku yang judulnya menggunakan kata filsafat.

Ketika memilih buku filsafat secara spesifik Anda juga harus sadar bahwa ada dua jenis buku filsafat, yakni buku filsafat primer dan buku filsafat sekunder. Buku primer adalah tulisan asli para filsuf. Ia menyampaikan pemikiran-pemikirannya tentang satu tema tertentu. Biasanya, buku primer ini disebut juga sebagai teks asli, atau teks orisinal. Buku primer ini juga dapat dibagi lagi menjadi dua jenis, yakni buku dan antologi. Buku Immanuel Kant yang berjudul Kritik der Reinen Vernunft adalah sebuah buku primer yang utuh. Di dalam buku itu, ia mengajukan pandangan-pandangan orisinilnya tentang pengetahuan manusia dan kondisi-kondisi yang memungkinkan pengetahuan tersebut.

Buku filsafat sering juga berupa antologi atau kumpulan tulisan. Biasanya, antologi terdiri dari beberapa artikel spesifik yang sebelumnya pernah diterbitkan di

(28)

jurnal ataupun media lainnya. Akan tetapi, terkadang antologi juga dapat terdiri dari beberapa tulisan pendek yang memang dirumuskan khusus untuk antologi itu. Antologi juga biasanya berbentuk kumpulan buku filsuf-filsuf besar, seperti antologi tulisan Plato atau kumpulan tulisan tentang suatu tema tertentu, misalnya kumpulan tulisan para filsuf tentang tema epistemologi atau filsafat pengetahuan. Suatu pengantar filsafat juga bisa berbentuk antologi yang ditulis oleh berbagai macam orang dan mencakup berbagai macam tema.

Jenis kedua dari buku filsafat adalah buku sekunder. Biasanya, buku sekunder ini disebut sebagai buku-buku komentar. Fungsi dari buku ini adalah untuk memaparkan pandangan para filsuf yang terdapat di dalam buku primer, sekaligus mempertimbangkannya secara kritis. Buku sekunder ini juga dapat menjadi penuntun atau pemandu pembaca di dalam membaca buku-buku primer. Di samping menjadi pemapar dan pemandu, buku sekunder juga bisa menjadi ruang untuk menafsirkan pemikiran filsuf yang sama secara berbeda.

Contoh:

Ada beragam buku dengan sudut pandang yang berbeda yang membahas Kritik der

Reinen Vernunft Immanuel Kant. Sudut pandang yang berbeda tersebut bisa saling

mengkritik satu sama lain, bisa juga mengafirmasi pemikiran Kant, atau justru mengkritiknya.

Biasanya, untuk mempermudah pembacaan kita lebih tertarik membaca buku sekunder terlebih dahulu, baru kemudian membaca buku primernya. Akan tetapi, ada dua alasan yang bisa diajukan untuk menunjukkan bahwa itu bukanlah cara yang paling ideal untuk diterapkan.

Pertama, dengan membaca langsung tulisan asli para filsuf, Anda diajak untuk tidak hanya memikirkan apa yang mereka ajukan, tetapi juga melihat ke dalam diri Anda sendiri. Dari sini, Anda bisa memperoleh beberapa inspirasi di dalam menjalani hidup, sekaligus mendapatkan kesadaran diri yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Kedua, dengan membaca teks asli para filsuf secara langsung, Anda akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan tahan lama. Proses internalisasi akan terjadi, ketika Anda membaca dan menelaah langsung tulisan para filsuf. Akibatnya, beberapa ide dan inspirasi akan menjadi bagian inheren diri Anda. Inilah esensi dari seluruh proses pembelajaran filsafat.

(29)

3.2 Persiapan yang Diperlukan

Di dalam membaca buku-buku filsafat, ide-ide yang dijabarkan oleh para filsuf seringkali terkesan absurd, abstrak, terutama jika disampaikan dengan bahasa yang berbelit-belit. Seringkali, Anda akan berjumpa dengan istilah-istilah sulit, kalimat-kalimat panjang yang tidak jelas, apalagi jika para filsuf menulis dengan gaya bahasa yang kuno yang tidak lagi digunakan sekarang. Memang, para filsuf seringkali mengandaikan bahwa pembacanya sudah mengerti beberapa hal dasar terlebih dahulu sebelum membaca bukunya. Mereka juga terbiasa mengandaikan bahwa pembaca buku mereka adalah sesama intelektual juga. Untuk membantu Anda, saya akan coba memberikan dua hal yang kiranya membantu Anda membuat persiapan di dalam membaca buku-buku filsafat.

Pertama, Anda harus menyediakan waktu yang cukup banyak untuk memahami betul suatu tulisan filsafat. Awalnya, Anda membutuhkan satu jam. Lalu, Anda butuh satu jam lagi untuk benar-benar memahami apa yang ingin dikatakan oleh sang filsuf. Jadi, dalam proses itu, untuk memahami ide dasar dari tulisan filsafat, Anda harus mampu mengenali apa yang berada di balik kata-kata atau tulisan sang filsuf. Di dalam filsafat, Anda tidak bisa menerapkan cara baca instan 20 menit selesai. Di saat membaca, pikiran Anda juga harus terbebas dari masalah-masalah lain yang mungkin membuat Anda resah. “Lebih baik”, demikian tulis Woodhouse, “tidak membaca sama sekali daripada membaca secara tergesa-gesa.” (ibid, hal. 135)

Kedua, ketika Anda membaca buku filsafat, Anda harus melakukannya secara berkelanjutan. Jangan membaca buku filsafat bergantian dengan buku lainnya karena nantinya Anda akan harus mulai dari awal lagi. Ketiga, sedapat mungkin, Anda haruslah berusaha menjaga jarak terhadap buku yang tengah Anda baca. Pada titik ini, perasaan subyektif, seperti suka ataupun tidak suka, haruslah ditunda terlebih dahulu. Tujuannya jelas, supaya Anda dapat menunda segala bentuk prasangka dan bias yang mungkin Anda miliki. Dengan cara ini, inti utama dari pemikiran filsuf yang sedang Anda baca juga dapat terpahami secara jernih.

3.3 Memahami Tulisan Filsafat

Salah satu teknik membaca tulisan filsafat yang baik adalah membaca secara aktif. Artinya, Anda haruslah terus menerus berupaya memahami dan menaggapi tulisan yang tengah Anda baca. Pada titik ini, Anda bukanlah seorang pembaca yang

(30)

pasif yang menunggu kejelasan dan makna datang dengan sendirinya. Harus diperhatikan juga bahwa membaca buku filsafat sangatlah berbeda dengan membaca koran atau majalah. Ada dua cara yang bisa diterapkan.

Pertama, ketika Anda membaca, Anda juga harus mempersiapkan buku atau kertas. Di dalam kertas itu, Anda bisa menuliskan catatan-catatan penting, pertanyaan Anda, kebingungan Anda. Dari catatan ini jugalah Anda bisa memperoleh bahan untuk berpartisipasi di dalam diskusi. Untuk itu, Anda harus jeli melihat konsep-konsep kunci, kalimat-kalimat penting, dan kerancuan-kerancuan yang terdapat di dalam tulisan filsafat yang tengah Anda baca. Untuk membuat kesimpulan, Anda harus mulai berusaha merumuskan ide dengan menggunakan bahasa Anda sendiri, dan tidak mengutip langsung dari buku yang Anda baca.

Kedua, ketika Anda membaca ada baiknya Anda menggarisbawahi kalimat-kalimat penting. Kalimat-kalimat-kalimat tersebut juga sebaiknya diberikan catatan-catatan di pinggirnya. Dalam konteks ini, Anda harus menemukan argumen inti dan menyeluruh, serta tidak terjebak pada detil yang terkadang kurang signifikan. Tujuan utama dari penggarisbawahan ini adalah memperjelas perbedaan antara argumen yang penting dan argumen yang kurang penting. Dengan begitu, Anda akan dapat menemukan inti dari tulisan dengan mudah.

3.4 Bersikap Kritis

Tahap pertama membaca adalah berusaha memahami. Sedangkan, tahap kedua di dalam membaca adalah menanggapi. Dalam arti ini, menanggapi bukan berarti Anda bisa sepenuhnya tidak setuju dan mengganggap buku yang Anda baca adalah gagasan yang bodoh, melainkan Anda berusaha menentukan sendiri posisi Anda dengan menggunakan penalaran rasional, ketika selesai membaca tulisan filsafat. Memang, pada akhirnya, Anda harus sampai pada keputusan apakah pemikiran sang filsuf tepat, kurang tepat, atau hanya sebagian tepat, dan sebagian lagi salah. Yang pasti, jika Anda diminta untuk menangapi secara kritis, tidak otomatis Anda bisa menolak dan mengkritik seenaknya tanpa dukungan argumentasi rasional yang kuat.

Kelima pertanyaan ini mungkin bisa membantu Anda bersikap kritis terhadap tulisan filsafat yang tengah Anda baca. Pertama, apakah argumentasi utama sang filsuf sudah jelas? Kedua, apakah argumentasi sang filsuf didukung oleh premis-premis dan data yang memadai? Ketiga, adakah kelemahan dari argumen itu yang mungkin

(31)

saja berangkat dari premis atau data yang tidak memadai? Keempat, apakah argumentasi utama sang filsuf yang ada di buku itu dapat memenuhi tujuan utama yang ingin dicapai oleh sang filsuf? Dan kelima, apakah Anda mampu mengajukan kritik yang dirumuskan berdasarkan penalaran rasional terhadap tulisan filsafat yang tengah Anda baca? “Berfilsafat dan membaca”, demikian Woodhouse, “adalah dua sisi dari keping yang sama”. (ibid, hal. 147)

(32)

Bab

4

Beberapa Cabang Umum Filsafat

4.1 Epistemologi

Setelah Anda mendapat pengetahuan umum tentang filsafat, ciri kualitatifnya, serta teknik membaca dan memahami tulisan-tulisan filsafat maka pada bab ini, saya akan memperkenalkan Anda dengan beberapa cabang umum di dalam filsafat. Tulisan di dalam bab ini dapat diperlakukan sebagai teks sekunder, yakni teks yang mengantar atau memandu Anda untuk membaca tulisan-tulisan asli filsuf yang bersangkutan. Beberapa cabang yang akan sedikit diperkenalkan di sini adalah epistemologi, metafisika, dan etika. Bagian etika akan sedikit lebih panjang dari bagian lainnya karena saya hendak memberikan contoh tentang bagaimana tepatnya melakukan penelurusan sistematis terhadap beberapa teori di dalam filsafat terutama filsafat moral atau etika.

Yang pertama adalah epistemologi. Pengetahuan manusia telah menjadi obyek refleksi filsafat selama ribuan tahun. Nah, seperti sudah disinggung pada bab pertama, cabang filsafat yang secara khusus merefleksikan pertanyaan-pertanyaan mendasar sekaligus menyeluruh tentang pengetahuan adalah epistemologi. Secara etimologis, epistemologi berasal dari kata Yunani, yakni episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti perkataan, pikiran, ataupun ilmu. Oleh karena itu, epistemologi adalah salah satu cabang dari filsafat yang hendak membuat refleksi kritis terhadap dasar-dasar dari pengetahuan manusia. Oleh karena itu, epistemologi sering juga disebut sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge).

Dengan epistemologi, Anda diajak untuk merefleksikan dan menganalisis ciri-ciri mendasar dari pengetahuan manusia. Pertanyaan pokok yang diajukan adalah bagaimana suatu bentuk pengetahuan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya? Dimanakah batas-batas pengetahuan manusia? Di samping itu, epistemologi juga hendak mencari syarat-syarat logis yang memungkinkan pengetahuan. Dalam konteks ini, pertanyaan dasarnya adalah bagaimana saya tahu bahwa saya tahu?

(33)

Kita bisa melihat karakter normatif, evaluatif dan kritis yang menandai cabang filsafat ini. Normatif berarti ada upaya untuk menentukan norma sebagai tolok ukur kebenaran pengetahuan. Evaluatif berarti epistemologi hendak menilai sejauh mana suatu pendapat di dalam ilmu pengetahuan ataupun pengetahuan pada umumnya dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan. Sedangkan, kritis berarti epistemologi mengajak Anda untuk mempertanyakan dan menguji seluruh proses kegiatan mengetahui manusia.

Epistemologi sebenarnya juga masih mempunyai cabang, yakni filsafat sains. Filsafat sains ini muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan positif dan sains sejak abad ke-17 dan terus berkembang pesat sampai sekarang. Pada awalnya, filsafat sains lebih merupakan suatu metode sekaligus pengkajian atas metode tersebut di dalam praktek kerja sains. Sudarminta, di dalam bukunya yang berjudul

Epistemologi Dasar menyatakan bahwa logika sains dapat dibedakan menjadi dua,

yakni konteks penemuan ilmiah (context of discovery) dan konteks pertanggungjawaban rasional atas penemuan tersebut (context of justification). Yang menjadi pusat analisis dari filsafat sains adalah konteks pertanggungjawaban rasional. Akan tetapi, dewasa ini filsafat sains juga berupaya merefleksikan konsekuensi etis dari perkembangan ilmu pengetahuan, seperti munculnya isu-isu tentang kloning, penggunaan teknologi nuklir untuk senjata, senjata biologi, dan sebagainya. (Sudarminta, 2002)

Memang, di dalam dunia akademis, pengetahuan tidak hanya menjadi obyek kajian filsafat, tetapi juga ilmu-ilmu lainnya, seperti psikologi ilmu pengetahuan, dan sosiologi ilmu pengetahuan. Nah, yang membedakannya dengan filsafat ilmu pengetahuan adalah cara pendekatannya. Seperti sudah disinggung sebelumnya, filsafat hendak menyelidiki secara kritis pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar sekaligus menyeluruh. Dalam proses ini, banyak pendapat umum dan argumen yang tidak didukung oleh argumentasi yang kuat akan goyang. Proses yang kurang lebih sama terjadi di dalam epistemologi ketika hendak merefleksikan pengetahuan manusia.

Contoh:

Jika pengetahuan manusia melulu disempitkan pada sains saja, pengetahuan-pengetahuan lainnya, seperti pengetahuan-pengetahuan estetik, akan dianggap tidak bermakna. Konsekuensinya, pengetahuan manusia direduksi melulu menjadi pengetahuan

(34)

saintifik saja dan ini adalah proses pemiskinan kekayaan pengetahuan manusia sendiri. Filsafat sains dapat berperan untuk memperjernih pemahaman ini.

Ada beberapa pertanyaan yang kerap kali menjadi pergulatan para filsuf di dalam epistemologi.

Contoh:

Apa itu pengetahuan? Apa ciri-ciri hakiki dari pengetahuan? Apa batas-batas pengetahuan manusia? Apa kaitan pengetahuan dengan kekuasaan? Apa peran intuisi di dalam pembentukan pengetahuan? Memang, ada banyak pertanyaan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah menjadi bahan refleksi para filsuf sepanjang jaman, bahkan sampai sekarang.

4.2 Metafisika

Seperti sudah disinggung sebelumnya, metafisika adalah cabang filsafat yang hendak menyelidiki kenyataan dari sudut yang paling mendasar, paling mendalam, sekaligus paling menyeluruh. Oleh karena itu, metafisika sering juga disebut sebagai filsafat dasariah atau seperti yang dikatakan oleh Aristoteles, filsafat pertama. Nah, Aristoteles membuat nama ini sebenarnya dalam konteks kritiknya terhadap cara berfilsafat para filsuf Yunani Kuno sebelum dia. Bagi Aristoteles, para filsuf sebelumnya memang berfilsafat, tetapi belum sampai pada titik yang paling mendalam. Artinya, argumen-argumen yang mereka ajukan masihlah sederhana dan belum memuaskan. Karena itulah, Aristoteles menyebut filsafat sebelumnya sebagai filsafat kedua (Lanur, 2002).

Ia kemudian mencoba merumuskan suatu bentuk filsafat yang mencoba menggali semua aspek realitas dari sudutnya yang paling mendalam mulai dari tentang alam, tentang Tuhan, tentang jiwa, dan tentang badan. Ia pun kemudian menamakan cara berfilsafat seperti itu sebagai filsafat pertama, atau metafisika. Dalam konteks ini, ia mau menyelidiki tidak saja obyek-obyek yang dapat ditangkap oleh panca indera, tetapi juga obyek-obyek yang hakekatnya melampaui panca indera tersebut, seperti Tuhan.

Yang harus dimengerti adalah bahwa metafisika tidaklah mengacu pada suatu obyek tertentu yang bersifat konkret, melainkan lebih bersifat formal. Artinya, segala sesuatu di dalam realitas diselidiki dari sudutnya paling mendalam dan yang paling mendasar. Oleh karena itu, metafisika dapatlah dikatakan sebagai suatu refleksi

(35)

filosofis tentang realitas yang paling dalam dan paling akhir secara total. Dengan kata lain, metafisika hendak mengungkapkan realitas dalam satu konsep dasariah yang paling total.

Ada beberapa hal yang kiranya perlu ditambahkan tentang konsep metafisika. Kata meta memiliki arti melampaui dan sering digunakan untuk mengacu pada

aktivitas level kedua, yakni aktivitas yang mampu menganalisis aktivitas level pertama.

Contoh:

Sosiologi itu menganalisis masyarakat secara langsung. Sementara, meta-sosiologi menganalisis logika internal dari sosiologi yang digunakan untuk menganalisis masyarakat.

Jadi, sosiologi berpikir tentang manusia dan kehidupan sosialnya. Sementara,

meta-sosiologi berpikir tentang meta-sosiologi yang tengah memikirkan manusia dan kehidupan

sosialnya. Jelaskah?

Etika berurusan dengan pertanyaan tentang benar dan salah. Sementara,

meta etika berurusan dengan apa artinya benar dan salah. Dengan kata lain,

metafisika, yang melibatkan semua refleksi lain yang bersifat meta, bergerak di level abstraksi dan universalitas yang lebih tinggi dari subyek yang dianalisisnya. Jika fisika bersama semua ilmu pengetahuan lainnya berurusan dengan interaksi antar obyek yang ada di sekitar kita, maka metafisika berurusan dengan pertanyaan yang lebih abstrak, seperti mengapa ada sesuatu daripada tidak ada, apakah kausalitas itu niscaya.

Metafisika juga seringkali diartikan sebagai suatu sistem pemikiran yang mencakup semua, dan bertujuan untuk mendeskripsikan realitas yang melampaui pengalaman sehari-hari.

Sistem pemikiran semacam ini seringkali dikritik karena telah mengklaim mampu mengetahui segala sesuatu. Padahal, rasio manusia terbatas di dalam prosesnya mengetahui realitas sehingga tidak mungkin mampu mengetahui segala sesuatu.

(36)

Seperti sudah dikatakan sebelumnya, metafisika sendiri adalah salah satu tema filsafat yang diajarkan oleh Aristoteles kepada murid-muridnya. Ia membagi dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan teoritis (theoretical knowledge) dan pengetahuan praktis (practical knowledge). Pengetahuan teoritis mencakup matematika, fisika, dan apa yang disebutnya sebagai filsafat pertama (first

philosophy). Nah, filsafat pertama inilah yang nantinya disebut sebagai metafisika,

terutama karena tempatnya berada setelah fisika, dan dianggap melampaui fisika. Nama metafisika pun akhirnya menjadi salah satu tema penting di dalam pemikiran Aristoteles.

Di dalam filsafat Aristoteles, metafisika mencakup dua bidang besar di dalam filsafat, yakni ontologi dan epistemologi. Ontologi merupakan refleksi tentang berbagai tema umum di dalam filsafat yang terkait dengan hakekat, termasuk hakekat dari Tuhan, hakekat dari realitas, dan hakekat dari perubahan di dalam realitas tersebut.

Sementara, epistemologi merupakan refleksi filosofis tentang pengetahuan manusia, yakni tentang struktur pengetahuan manusia, genesisnya, dan batas-batas dari pengetahuan tersebut. Secara umum, sebenarnya epistemologi dipisahkan dari metafisika, yakni sebagai salah satu cabang dari tiga cabang filsafat yang sudah saya tuliskan sebelumnya.

Di dalam perjalanan sejarah, epistemologi telah memperoleh tempat yang cukup kokoh di dalam refleksi filsafat. Sementara metafisika justru masih menjadi wilayah abu-abu yang belum mempunyai status tetap, bahkan sampai sekarang. Lagi pula, beberapa filsuf berpendapat bahwa pengetahuan yang bersifat metafisis tidaklah bisa diperoleh karena melampaui batas-batas pengetahuan manusia. Kata metafisika pun jadi memperoleh makna yang bersifat konotatif.

Contoh:

Saya bertanya tentang apa hakekat dari realitas ini, inti dari realitas yang ada ini? Hegel menjawab bahwa inti dari realitas adalah Roh Absolut. Spinoza akan menjawab bahwa inti dari realitas adalah susbtansi.

(37)

Nah, Roh Absolut dan substansi adalah konsep yang tidak pernah bisa dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dicium oleh hidup. Jadi, bagaimana kita bisa tahu kalau konsep-konsep itu ada?

Bahkan, David Hume, seorang filsuf Inggris abad ke-17 berkata bahwa metafisika haruslah dibuang ke dalam api. Bahkan, dewasa ini banyak filsuf yang berpendapat bahwa metafisika tidak lebih dari suatu omong kosong belaka, terutama karena banyak klaim-klaimnya tidak bisa verifikasi secara empiris.

Wittgenstein juga mengkritik seluruh tradisi filsafat barat, terutama para filsuf yang merasa dirinya telah mengajukan pertanyaan dan memberikan jawaban yang bermakna. Padahal, mereka berbicara dengan menggunakan bahasa-bahasa yang tidak tepat. Ketidaktepatan itu membuat apa yang mereka katakan menjadi tidak bermakna.

Bahkan, ia bertujuan untuk mengembalikan filsafat ke pertanyaan tentang realitas sehari-hari dan lepas dari metafisika. Ini adalah ironi, yakni Hume dan Wittgenstein hendak menghancurkan metafisika, tetapi mereka sendiri mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang bersifat metafisis. Lepas dari pada itu, problematika tentang status metafisika tetaplah problem yang paling menarik dan menantang di dalam filsafat.

Filsafat memiliki sejarah yang sangat panjang. Para filsuf yang hidup pada masa lalu pun masih dibaca dan direfleksikan pemikiran-pemikirannya sehingga kita bisa mengerti sumbangan apa yang telah mereka berikan dan memperbesar kemungkinan mengkontekstualisasikannya untuk keadaan sekarang.

Proses membaca dan memahami para filsuf yang hidup pada masa lalu juga memungkinkan kita mempunyai pandangan yang lebih luas tentang pertanyaan-pertanyaan macam apakah yang biasanya menjadi pergulatan utama para filsuf tersebut. Nah, setiap buku pengantar filsafat haruslah mencoba memberikan kepada pembacanya suatu rasa historis, terutama perasaan bahwa kita terlibat aktif dalam pergulatan-pergulatan intelektual para pemikir besar sepanjang jaman.

Referensi

Dokumen terkait

Sejauh ini data mengenai pengukuran morfometrik dan meristik jenis-jenis ikan dikawasan muara sungai sugihan sumatera selatan masih sangat kurang dan belum terdokumentasi

Sistem suspensi monotube hydraulic shock absorber yang optimal kemudian diaplikasikan pada sistem setengah kendaraan motor dengan input yang digunakan, yaitu input

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Semakin tinggi nilai profitabilitas maka perusahaan akan cenderung melakukan perataan laba karena perusahaan yang memiliki profitabilitas tinggi mencerminkan kinerja perusahaan

Lukisan berjudul Women III adalah merupakan hasil karya yang dibuat oleh seniman yang menganut aliran lukisan abstrak ekspresionis willem de Kooning dan merupakan salah satu

1. Keputusan Gubernur tentang Penetapan Status Siaga Darurat Penanganan Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan/Atau Lahan di Kalimantan Selatan. Penetapan Status Siaga

Hasil dari penelitian yang dilakukan (Kim et al., 2012) menunjukkan bahwa aplikasi Kinesiotaping pada sendi ankle meningkatkan ankle propioception sehingga efektif

Chlorine Contact Chamber  adalah suatu bak penampungan air limbah atau bak klorinasi dari instalasi pengolahan air limbah (IPAL), dimana  bak klorinasi ini digunakan