• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ilmu Pengetahuan Modern Lahir

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 116-125)

Sejarah Ilmu Pengetahuan

2.3 Ilmu Pengetahuan Modern Lahir

Dengan munculnya Renaissance dan Gerakan Reformasi di dalam Gereja, muncullah penerimaan umum terhadap kapasitas rasio manusia dan kemampuannya untuk bersikap kritis terhadap ide-ide otoriter yang sudah ada sebelumnya. Skeptisisme pun menyebar menjadi cara berpikir yang dominan. Abad 17 dipenuhi dengan konflik politik di semua level di dalam masyarakat, seperti kita lihat pada Perang saudara di Inggris, dan masa-masa setelahnya. Munculnya ilmu pengetahuan modern haruslah dilihat dalam konteks perlawanan terhadap paradigma yang sudah mapan sebelumnya serta perjuangan untuk mendapatkan kebebasan individu melawan otoritas tradisional baik politik maupun religius.

Francis Bacon (1561-1626) menjadi perumus pertama dari apa yang nantinya menjadi norma umum di dalam metode ilmiah, yakni bahwa semua bentuk pengetahuan harus didasarkan pada bukti-bukti dan eksperimen. Dengan metode ini, dia menolak pendekatan Aristoteles yang menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki sebab pertama dan tujuan final. Alih-alih memandang alam dengan paradigma yang sudah bersifat apriori sebelumnya, ia mulai dengan melakukan observasi empiris mendetil atas hal-hal yang bersifat partikular. Selanjutnya, merumuskan prinsip-prinsip umum dari pengamatan tersebut. Bacon terkenal akan rumusannya tentang

idol-idol, yang menghalangi kita mendapatkan pengetahuan yang sebenarnya. Idol

tersebut mencangkup empat hal. Pertama, keinginan untuk menerima bukti-bukti yang mengafirmasi apa yang sudah kita percayai sebelumnya. Kedua, distorsi atas pengamatan yang muncul dari cara berpikir kita yang sudah biasa dan sulit untuk menerima sesuatu yang lain dari kebiasaan tersebut. Ketiga, hambatan yang datang dari penggunaan bahasa yang tidak tepat. Dan keempat, penerimaan suatu pengetahuan hanya karena pemaksaan dari suatu otoritas kelompok tertentu.

Ia juga berpendapat bahwa dalam proses pengumpulan data, seorang ilmuwan tidak boleh hanya mencari data-data yang sesuai dengan keinginannya, melainkan harus mempertimbangkan data-data yang juga bertentangan dengan keinginannya. Dengan argumentasi ini, ia telah merumuskan argumentasi yang nantinya dipertajam oleh filsuf abad ke-20 yang bernama Karl Popper. Yang terakhir ini akan menjadikan proses falsifikasi sebagai salah satu kunci kemajuan di dalam ilmu

pengetahuan.

Anda tidak bisa mengklaim bahwa suatu teori berpijak pada data, sementara data yang Anda pilih adalah hanya yang sesuai dengan yang Anda terima dan yakini sebelumnya! Ujian terpenting bagi suatu teori adalah ketika ada bukti yang bertentangan dengan teori tersebut. Dengan begitu, Anda akan tahu bahwa mungkin ada proses yang salah ketika Anda sedang mengumpulkan data atau teori yang ada perlu disempurnakan.

Secara umum dapatlah dikatakan bahwa Bacon melihat adanya prinsip kausalitas di dalam seluruh realitas. Dengan kata lain, segala sesuatu yang terjadi pasti memiliki sebab dan kondisi-kondisi yang memungkinkannya, seperti yang dirumuskan Aristoteles dengan penyebab efisiennya.

Dari sudut pandang Aristoteles, esensi dari biji jambu adalah potensinya yang kemudian menjadi aktus, yakni menjadi pohon jambu. Biji jambu memiliki tujuan final untuk menjadi pohon jambu. Pertumbuhan dalam arti ini berarti kemampuannya untuk mengaktualkan apa yang tadinya hanya menjadi potensi.

Dari sudut pandang ilmu pengetahuan modern, biji jambu hanya dapat menjadi pohon jambu hanya jika pohon tersebut hidup di dalam lingkungan yang tepat dan biji tersebut memiliki kode genetis yang memungkinkannya tumbuh menjadi pohon jambu. Aristoteles mungkin akan berpendapat jika Anda ingin mengerti tentang sesuatu, lihatlah hakekat dan tujuan final dari sesuatu itu. Sementara, ilmuwan modern akan berpendapat jika Anda ingin mengerti tentang sesuatu, lihatlah dari mana sesuatu itu berasal dan bagaimana mekanisme perkembangan dari sesuatu itu.

Kemampuan untuk melihat sebab dan rencana dari sesuatu itu memungkinkan terjadinya kemajuan pesat di dalam ilmu pengetahuan terutama dengan mengajukan analisis dari arti meramalkan perubahan yang mekanis dan bukan dalam bahasa-bahasa yang membingungkan, seperti dari potensi menuju aktus. Selain itu, paradigma semacam ini memisahkan ilmu pengetahuan dari pandangan pribadi ataupun yang bersifat religius tentang dunia. Bacon dan para pemikir lainnya, termasuk Newton, menjadi nabi-nabi di dalam dunia ilmu pengetahuan.13 Hal ini juga berarti bahwa ilmu pengetahuan akan memiliki kebebasan untuk mengamati dan menganalisis dunia dengan cara-cara yang metodis, rasional, serta bersifat impersonal. Akan tetapi, dengan menggunakan pendekatan berjarak semacam ini ilmu pengetahuan kehilangan refleksi-refleksi yang bersifat personal dan religius. Oleh karena itu, untuk menunjukkan keabsahan analisisnya,

13

ilmu pengetahuan perlu untuk memaparkan keuntungan-keuntungan dari cara berpikir yang berjarak semacam itu.

Perdebatan tentang hak manusia untuk mengkloning dirinya sendiri mengandung tuduhan berat bahwa ilmu pengetahuan dapat melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Ilmu pengetahuan pun dianggap buta terhadap nilai dan terpaku pada eksperimentasi belaka. Orang-orang yang tidak setuju dengan hak tersebut akan bertanya, apa sebenarnya tujuan mendasar dari semua eksprimen ini? Mereka mengharapkan ilmu pengetahuan mampu menunjukkan signifikansi hal ini bagi kebaikan umat manusia secara keseluruhan. Sementara, orang-orang yang mendukung akan menjawab bahwa regenerasi sel ini akan memungkinan proses penyembuhan manusia dari penyakit-penyakit yang sebelumnya tidak bisa disembuhkan.

Coba Anda perhatikan perbedaan di dalam dua pertanyaan ini, yakni apakah eksperimen itu layak dilakukan dengan menimbang harkat dan martabat manusia? Dan, apa guna dari eksperimen ini? Yang pertama adalah pertanyaan tentang makna yang lebih bersifat personal. Pertanyaan kedua lebih merupakan pertanyaan teknis. Yang pertama merupakan pertanyaan yang kurang lebih bersifat Aristotelian. Sementara, yang kedua adalah persis penolakan terhadap paradigma Aristotelian.

Para ilmuwan modern pertama yakin bahwa semua kemajuan di dalam ilmu pengetahuan pada akhirnya akan memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia. Masa-masa ini adalah masa-masa optimistik. Ilmu pengetahuan akan membawa manusia ke masa depan yang lebih baik yang bebas dari mitos dan takhayul-takhayul.

Kopernikus dan Galileo

Kopernikus (1473-1543) adalah seorang pastur asal Polandia. Ia memiliki suatu pernyataan yang bahkan sampai seabad setelah kematiannya masih mengundang kontroversi. Di dalam bukunya yang berjudul De Revolutionibus

Orbium, ia berpendapat bahwa matahari dan bukan bumi yang merupakan pusat tata

surya, dan bumi berputar satu kali setahun mengeliling matahari. Tentu saja, pada waktu itu, pandangan semacam ini sangat bertentangan dengan paradigma yang banyak diterima, yakni kosmologi dari Ptolemeus. Ketika pertama kali diterbitkan, bagian pendahuluan dari buku itu mengatakan bahwa penelitian ini hanyalah salah satu cara alternatif untuk menghitung gerak bintang-bintang, dan bukan menggambarkan keadaan faktual dari alam semesta. Akan tetapi, karya tersebut menggunakan metode pendekatan yang berpijak pada bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, dan akhirnya dianggap mampu meruntuhkan pandangan

lama yang telah banyak diyakini pada waktu itu.

Apa yang sesungguhnya ditawarkan oleh Kopernikus adalah penjelasan yang lebih baik tentang pergerakan planet-planet dan bumi termasuk di dalamnya. Walaupun begitu, akan ada banyak masalah yang timbul jika dikatakan bahwa bumi bersama planet-planet lainnya mengelilingi matahari dengan putaran yang melingkar. Pada waktu itu, belum ada pertimbangan bahwa putaran tersebut berbentuk elips, dan bukan melingkar. Yang lebih menarik lagi jika dikatakan bahwa bumi sungguh berputar mengelilingi matahari, kita yang tinggal di bumi pasti merasakan putaran tersebut. Akan tetapi, kita hampir tidak merasakan apa-apa. Kopernikus menjawab pertanyaan tersebut dengan argumen yang masih sangat dipengaruhi filsafat Aristoteles, yakni bahwa tanah dan bumi memiliki simpati yang besar terhadap orbit putaran tersebut sehingga putaran bumi menjadi tidak terasa. Di kemudian hari, Newton menjelaskan hal tersebut dengan teori gravitasi dan hukum gerak yang dirumuskannya.

Yang menjadi penting di sini tidak hanya perlawanan rasio dan kebebasan terhadap otoritas yang cenderung menekan dan memaksa, tetapi juga problem epistemologis yang besar, ketika kita menafsirkan data-data yang kita amati. Banyak ahli yang berpendapat bahwa rumusan Kopernikus tersebut merupakan hasil dari perhitungan matematis yang sederhana dan tidak mencerminkan realitas sebagai mana adanya. Bukanlah hanya tekanan kekuasaan dan penilaian yang bersifat apriori terhadap rumusannyalah yang membuat teori Kopernikus sulit diterima, tetapi ada problem epistemologis yang besar. Bisakah suatu teori tentang pergerakan planet, matahari, dan bintang-bintang sungguh dipastikan analisisnya jika kita tidak menggunakan teleskop untuk melihatnya dan hanya mengandalkan mata telanjang biasa serta perhitungan matematis untuk menganalisisnya? Dengan kata lain, mungkinkah Kopernikus menyimpulkan suatu rumusan teoritis yang berbeda dari yang dirumuskan Aristoteles dan Ptolemeus jika ia menggunakan data dan metode yang sama?

Kopernikus merumuskan teorinya dengan mengamati bukti-bukti yang sama yang sebelumnya telah diamati oleh Ptolemeus dan berpikir tentang cara lain yang digunakan untuk memandang data yang sama. Disinilah letak arti penting dari filsafat ilmu pengetahuan, yakni untuk mengakui dan mengajukan pertimbangan bahwa ada penafsiran yang berbeda dari bukti-bukti yang sama. Penafsiran tersebut mungkin akan berkembang menjadi dua teori yang berbeda. Teori yang lebih menjelaskan dan lebih sederhanalah yang akan menjadi pilihan utama. Pemikiran Kopernikus, dengan demikian, menjadi titik lompatan yang sangat penting yang nantinya akan mengubah banyak sekali cara berpikir manusia.

Brahe (1546-1601) berpendapat bahwa planet-planet yang telah diketahui saat itu (Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus) memang bergerak mengelilingi

matahari, tetapi matahari tersebut, bersama planet-planet lainnya, bergerak mengelilingi bumi. Yang menjadi masalah bukanlah isi teori tersebut, melainkan metode yang digunakan untuk sampai pada teori itu. Brahe dan Kopernikus sampai pada teori yang berbeda, namun menggunakan pendekatan yang sama, yakni dengan observasi mata telanjang dan perhitungan matematis. Memang, teknologi penelitian di bidang astronomi pada waktu itu masihlah sangat sederhana sehingga tidak memungkinkan melakukan pengamatan yang mendetil, seperti menggunakan teleskop misalnya. Galileo berpendapat bahwa kita tidak bisa memilih mana yang lebih sahih dari antara dua teori yang menggunakan metode yang sama tersebut. Walaupun, ia sendiri nantinya akan sependapat dengan teori Kopernikus.

Kepler (1571-1630) berpendapat bahwa pada akhirnya pendapat umum akan membuktikan keabsahan analisis Kopernikus dan membuktikan kebenaran teori tersebut. Di samping itu, ia berpendapat bahwa pasang dan turunnya air laut dipengaruhi secara signifikan oleh bulan. Akan tetapi, ia mengetahui hal tersebut hanya berdasarkan intuisi dan belum menemukan bukti-bukti nyata untuk mendukung pernyataan itu. Ia menyimpulkan bahwa ada tarik-menarik antara bumi dan bulan yang mengakibatkan pasang dan surutnya air laut. Pemikir sejamannya, Galileo tidak sependapat dengan pernyataan itu dan berpendapat bahwa lebih jujur jika kita mengakui saja bahwa kita tidak tahu. Nantinya, ia beranggapan bahwa pasang dan surutnya air laut terjadi karena pergerakan yang dilakukan oleh bumi. Memang, pandangannya terkesan lebih rasional, tetapi tidak tepat.

Sementara itu, Kepler kembali membuat rumusan yang menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap paradigma Aristotelian. Ketika mengamati gerakan Planet Mars di dalam orbitnya, ia melihat ada perbedaan yang sangat mendasar antara apa yang dihitungnya secara matematis di satu sisi, dan apa yang diamatinya secara langsung. Ia kemudian menyimpulkan bahwa orbit gerak planet tersebut berbentuk elips, dan bukan melingkar. Lagi pula, matahari merupakan pusat dari gerak yang berbentuk elips tersebut. Rumusan ini bertentangan sama sekali dengan pandangan Aristoteles yang melihat bahwa semua benda-benda langit bergerak secara melingkar dengan bumi sebagai pusatnya. Galileolah yang nantinya akan menggunakan alat-alat yang memadai guna mengamati dan menganalisis gerak planet tersebut.

Kunci perkembangan di dalam semua penelitian tentang gerak planet ini adalah penemuan teleskop yang merupakan pengembangan lebih jauh dari lensa-lensa yang sudah ada pada waktu itu. Kesimpulan yang didapat dari penelitian dengan menggunakan teleskop ini memberikan dampak yang sangat besar bagi paradigma kosmologis pada waktu itu. Dengan menggunakan teleskop, Galileo sampai pada kesimpulan bahwa planet tidaklah sama dengan bintang. Planet tidak memiliki cahaya sendiri, seperti bintang, melainkan hanyalah sebuah bola yang memantulkan cahaya dari bintang yang ada di dekatnya. Ia juga menyimpulkan bahwa gerak planet Venus tidaklah seperti yang dituliskan oleh Ptolemeus, yakni

bergerak bersama matahari. Tanpa pengamatan yang detil dengan menggunakan teleskop, sebelumnya kita tidak dapat membedakan antara penafsiran yang salah dengan penafsiran yang benar. Satu-satu masalah di sini adalah walaupun ia telah membuktikan bahwa pengamatan Ptolemeus salah, tetapi ia tidak dapat membuktikan bahwa analisis Kopernikus benar. Memang, pandangan Kopernikus menjelaskan pergerakan planet-planet tersebut dengan cara yang lebih sederhana, tetapi sederhana bukanlah satu-satunya kriteria validitas suatu teori.

Pada 1616, Vatikan menolak semua penelitian tersebut. Mereka berpegang teguh pada apa yang tertulis di Kitab Suci, yakni mataharilah yang bergerak mengelilingi bumi. Kopernikus berhasil lepas dari hukuman karena ia mengklaim bahwa penelitiannya hanyalah suatu hipotesis dan tidak mencerminkan realitas. Galileo tidak setuju baik dengan sikap Kopernikus maupun dengan sikap konservatisme Vatikan, terutama karena ia beranggapan bahwa pengetahuan yang sepenuhnya benar tentang hal itu tidaklah bisa diperoleh. Pada 1632, ia menerbitkan buku berjudul Dialogue of the Two Chief World Systems. Di dalam buku itu, ia membandingkan pandangan Kopernikus dan pandangan Ptolemeus serta sampai pada kesimpulan bahwa pendapat Kopernikus benar. Konsekuensi dari diterbitkan karya ini adalah bahwa Kopernikus sungguh-sungguh menggambarkan apa yang ada di dalam realitas dan tidak hanya sebuah hipotesis belaka. Karya ini menandakan pemberontakan Galileo terhadap otoritas agama yang berkuasa pada waktu itu.

Masalah semakin diperrumit karena Galileo menulis bukunya dengan menggunakan model dialog antara dua pandangan dan kemudian berperan menjadi hakim yang menentukan pandangan mana yang benar. Dengan buku itu pula, ia menggambarkan apa yang menjadi problem fundamental di dalam epistemologi pada waktu itu, yakni berbagai pendekatan atas suatu fenomena dengan beragam bukti dan pertentangan dengan otoritas. Ia juga berpendapat bahwa pergerakan bumi tidak dapat dirasakan oleh orang-orang yang berada di dalamnya. Ia menggunakan contoh tentang sebuah kapal yang besar. Orang yang berada di dalam kabin tertutup di suatu kapal yang sangat besar tidak akan merasakan bahwa kapal itu bergerak. Akan tetapi, orang yang berada di luar kapal bisa melihat dengan jelas bahwa kapal itu bergerak. Dengan demikian, jika kita tinggal di bumi, kita tidak pernah akan bisa bisa merasakan bahwa bumi bergerak.

Tentu saja, dialog antara dua pandangan di dalam buku itu berakhir di dalam ketidakseimbangan karena pandangan Kopernikus yang akhirnya menang. Dengan demikian, bumilah yang mengelilingi matahari dan bukan sebaliknya. Pandangan semacam ini langsung membawa Galileo dalam konflik dengan otoritas yang berkuasa pada waktu itu. Galileo diadili di dalam pengadilan Gereja dan dipaksa untuk menarik kembali semua tulisannya serta mengaku bersalah. Ia menggunakan rasio dan pengamatan terhadap bukti-bukti nyata untuk menantang penafsiran harafiah atas Kitab Suci serta otoritas gereja pada waktu itu. Memang menarik melihat momen-momen penting dalam sejarah ilmu pengetahuan ini. Otoritas

ditantang oleh bukti-bukti ilmiah dan kemudian otoritas tersebut menanggapi dengan sangat otoriter. Akan tetapi, perdebatan yang terjadi pada masa itu jauh dari kejelasan. Banyak hal di dalam ilmu pengetahuan sendiri belum terbukti sepenuhnya secara ilmiah dan banyak pula yang masih merupakan pengetahuan intuitif. Komunitas ilmiah dan agama pun terbelah-belah di kalangan internal mereka sendiri tentang masalah ini. Bahkan, pada awalnya banyak kaum klerus di dalam gereja, termasuk Paus pada waktu itu, yakni Urbanus VII mendukung penelitian Galileo. Dengan demikian, silang pendapat di kalangan internal gereja sendiri pun sangat besar dan jauh sekali dari kesan pendapat tunggal.14

Sebenarnya, dua tujuan utama dari penelitian Galileo ini adalah untuk mendapatkan penjelasan yang bersifat rasional dan simplisitas penjelasan. Contoh yang paling jelas adalah penjelasannya tentang gerak. Ia merumuskan secara teoritis alasan mengapa suatu proyektil akan melepaskan benda dengan jarak yang paling maksimal jika ia melemparnya dalam sudut 45 derajat. Hal ini diketahui dari pengalaman sehari-hari dan tentunya dapat diulang di dalam ekperimen. Tujuan dari eksperimen semacam itu adalah untuk mendapatkan penjelasan rasional tentang bagaimana sesuatu itu bekerja. Hal ini nantinya akan berkembang di dalam teori Newton yang melihat bahwa gerak dari suatu obyek bisa dipahami dan bahkan diprediksi. Tujuan lainnya adalah mendapatkan penjelasan yang lebih sederhana dengan mempertimbangkan dua pandangan sebelumnya, yakni pandangan Ptolemeus dan pandangan Kopernikus. Di dalam kosmologi Ptolemeus, tidak hanya matahari, semua planet bergerak mengelilingi bumi sekali dalam sehari. Akan jauh lebih mudah jika gerak tersebut terjadi dengan bumi yang berputar dan bukan matahari.

Jika ada momen-momen di dalam sejarah manusia ketika suatu karya dapat merubah paradigma manusia secara mendasar, karya-karya Galileo adalah salah satunya. Pada 1683, ia menerbitkan buku yang berjudul Two New Sciences. Di dalam buku itu, ia membuat pernyataan yang sangat mengagumkan. “Sebab dari dari gerak”, demikian tulisnya, “dari benda yang jatuh bukanlah bagian dari penelitian.”15 Pernyataan ini memiliki implikasi yang sangat penting. Menurut Aristoteles, kita harus mencari sebab utama dari keberadaan suatu benda dengan menanyakan mengapa benda itu ada. Sementara, Galileo berpendapat bahwa yang harus dilakukan adalah memeriksa bagaimana sesuatu itu bisa terjadi dan bukan mengapa. Penjelasan metafisis dan religius tentang sebab dari sesuatu pun disingkirkan dari penelitian ilmiah. Galileo mendasarkan penelitiannya pada eksperimen-eksperimen. Pada awal karirnya, ia menjatuhkan bola-bola dengan berat yang berbeda dari menara miring di Pisa untuk menunjukkan bahwa setiap benda, berapapun beratnya, jatuh ke tanah selalu dengan kecepatan yang sama. Faktanya, eksperimen tersebut tidak berjalan sesuai dengan keinginannya karena tekanan angin juga mempengaruhi

14 Ibid, hal. 18.

15

kecepatan jatuhnya benda, bola-bola dengan berat yang berbeda jatuh tidak dalam waktu bersamaan. Akan tetapi, pernyataan ini langsung mengkritik pernyataan Aristoteles yang melihat bahwa setiap benda jatuh ke tanah sesuai dengan berat benda tersebut dan bukan karena faktor angin.

Pandangan Dunia Newtonian

Di dalam bukunya yang sangat terkenal, Philosophiae Naturalis Principia

Mathematica, Sir Isaac Newton (1642-1727) mau menganalisis dunia dan realitas

dengan menggunakan prinsip-prinsip matematis. Dengan konsep ruang dan waktu yang tetap yang mempengaruhi gerak benda-benda dan merumuskan konsep-konsep seperti massa, kekuatan, kecepatan, dan percepatan, ia menyediakan kerangka yang komprehensif bagi perkembangan fisika pada kemudian hari. Pandangan Newton adalah paradigma yang dominan sampai ditantang oleh Einstein pada abad ke-20. Walaupun rumusan fisikanya tidak lagi memadai untuk menjelaskan tentang alam semesta, tetapi hukum gerak yang dirumuskannya masih menjadi panduan praktis bagi perhitungan-perhitungan matematis dan menjadi prinsip dasar dari berbagai penemuan di bidang teknologi yang membentuk peradaban manusia seperti sekarang ini. Menurut Aristoteles, alam semesta dan esensinya lebih ditentukan oleh telos atau tujuan dari penciptaan alam semesta itu. Dengan kata lain, yang menentukan esensi adalah masa depan dari realitas. Sementara, menurut Newton, yang menentukan esensi dari alam semesta adalah masa lalunya, yakni proses perkembangan alam semesta tersebut.

Akan tetapi, konstribusi terbesar Newton tidak hanya terletak pada hukum gerak yang dirumuskannya, melainkan tentang kosmologi mengenai alam semesta sebagai tempat yang rasional dan dapat dimengerti dengan pola-pola matematis. Dari sudut pandang ilmuwan dan filsuf abad ke-21, kosmologi yang dirumuskan Newton memang terlihat kasar, kecil, dan sangat mekanistik. Akan tetapi, kosmologi semacam itu menjadi dasar epistemologis yang terbukti sangat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan teoritis maupun teknologi pada kemudian hari selama lebih dari 200 tahun. Dengan lahirnya paradigma Newtonian ini, filsafat pun berganti fungsi dari merefleksikan hakekat dari realitas secara spekulatif dan metafisik menjadi penguji dari prinsip-prinsip ilmiah yang baru ditemukan dengan mengacu pada metode yang dipakai. Immanuel Kantlah yang merumuskan sebuah tesis bahwa hukum-hukum gerak dan kausalitas yang pada paradigma Newton dianggap sebagai hukum obyektif bagi dunia yang juga obyektif ternyata tidak tepat. Hukum gerak dan kausalitas merupakan kualitas subyek yang sudah inheren di dalam rasionya, serta membantu dia memahami pengalaman-pengalamannya.

Pada bagian ini, kita telah melihat bagaimana lahirnya ilmu pengetahuan modern menghancurkan paradigma Aristotelian yang dominan dan bagaimana para ilmuwan abad ke-16 sampai 18 berbeda pendapat dengan otoritas Gereja yang berkuasa pada

waktu itu. Pertempuran antara kaum progresif dan konservatif ini sebenarnya hanya

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 116-125)