• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Terakhir

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 192-197)

Ilmu Pengetahuan dan Nilai-Nilai (values)

6.7 Perkembangan Terakhir

Dewasa ini, berbagai perkembangan telah memberikan warna baru bagi pemahaman orang akan ilmu pengetahuan, nilai-nilai, dan rasionalitas di dalam sains. Berbagai perkembangan ini tidak lepas dari karya-karya para pemikir feminisme, postmodernisme, dan para filsuf ilmu pengetahuan yang menelusuri

47

konteks sosial maupun filosofis dari ilmu pengetahuan modern. Analisis kontemporer ini biasanya semakin berupaya melepaskan diri pemahaman obyektifis tentang kaitan antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Akan tetapi, karya-karya para pemikir kontemporer ini memiliki dampak yang lebih luas lagi. Mereka seolah-olah memberikan pemahaman baru tentang berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan relasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai, serta memberikan argumen-argumen yang memadai tentang proses pembentukan ilmu pengetahuan dan justifikasi atas ilmu pengetahuan tersebut. Tentu saja, mereka pun mendapatkan tanggapan dari berbagai penjuru, terutama dari kalangan ilmuwan dan filsuf ilmu pengetahuan yang menganut pandangan yang lebih konservatif. Apa yang disebut sebagai perang sains (science wars) pun tidak terelakkan lagi. Para pemikir kontemporer di dalam ilmu pengetahuan pun seringkali dianggap sebagai kelompok anti sains (antiscience) oleh para pemikir yang ortodoks dan konservatif, terutama dengan tuduhan bahwa mereka mengaburkan batas-batas antara ilmu pengetahuan dan yang bukan ilmu pengetahuan, serta merayakan irasionalitas dan klaim-klaim pengetahuan lokal di dalam suku ataupun gender tertentu, baik di level masyarakat, maupun di dalam hakekat ilmu pengetahuan modern itu sendiri. Para pemikir kontemporer ini juga mempunyai argumentasi yang, pada hemat saya, cukup memadai. Mereka menekankan pentingnya analisis lebih mendalam tentang konteks dari dirumuskan suatu klaim ilmiah di dalam ilmu pengetahuan itu sendiri. Tentu saja, hal ini akan memberikan dampak positif terhadap kesadaran dan pemahaman orang akan ilmu pengetahuan itu sendiri. Dan setiap hal yang positif selalu layak untuk diperjuangkan.

Saya tidak akan menjabarkan secara mendetil isu-isu tentang relasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai di sini. Akan jauh lebih membantu, jika saya memberikan semacam ringkasan tentang argumen-argumen utama dari para pemikir feminis, postmodernis, dan para sosiolog ilmu pengetahuan dengan penekanan pada kontroversi seputar relasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai.

Yang pertama adalah para pemikir feminisme. Banyak pemikir feminis, terutama para para ahli yang menekuni salah satu bentuk ilmu tertentu, telah mengklaim bahwa pengandaian-pengandaian dasar, metode, dan kerangka kerja di dalam ilmu pengetahuan, seperti pada kedokteran, biologi, dan psikologi, bias gender. Misalnya, ketika dokter pria memberikan keterangan-keterangan tentang premenstrual syndrom, tetapi ia sendiri tidak pernah secara khusus menyelidiki wanita, atau melihat wanita melulu dengan sudut pandang bias dari pria, atau ketika seorang psikolog pria menggeneralisasikan penelitiannya tentang tahap-tahap perkembangan moral manusia setelah melakukan penelitian dengan hanya menggunakan data-data yang berasal dari pria. Apakah ada sesuatu yang salah di dalam ilmu pengetahuan, sehingga kerangka kerjanya, pengandaian-pengandaian dasarnya, dan metode yang

48

digunakan menghasilkan kesimpulan penelitian yang bias seperti itu? Pertanyaannya kemudian menjadi jelas, apakah ada cara dan proses mengetahui yang khusus wanita yang telah diabaikan oleh ilmu pengetahuan modern? Di dalam beberapa argumen, ilmu pengetahuan barat dituduh bias gender, terutama dengan kecenderungannya untuk mendominasi, mengontrol, dan menggunakan alam demi kepentingan manusia. Karakter ini juga menandai karakter kebudayaan barat pada umumnya yang sangat bersifat dominan dan eksploitatif terhadap budaya-budaya lainnya. Di dalam filsafat ilmu pengetahuan, isu-isu semacam ini sudah banyak menjadi bahan refleksi dan perdebatan yang serius di kalangan para ahli. Di dalam berbagai karyanya, Giere, salah seorang pemikir feminis, secara tajam menyoroti bias gender ini di dalam konteks kesahihan metode ilmu pengetahuan.49

Yang kedua adalah sosiologi ilmu pengetahuan, yakni sebuah displin yang berkembang pada abad ke sembilan belas sejalan dengan perkembangan positivisme. Salah satu filsuf ilmu pengetahuan yang banyak berefleksi di dalam bidang ini adalah Thomas Kuhn. Di dalam perkembangannya, sosiologi ilmu pengetahuan, bersama dengan psikologi ilmu pengetahuan, berkembang menjadi banyak cabang, dan merefleksikan banyak sekali isu-isu yang ada di dalam ilmu pengetahuan. Salah satu tema perdebatan adalah, apakah realisme di dalam ilmu pengetahuan, yang berpendapat bahwa alam memiliki status ontologisnya sendiri yang terlepas dari manusia, dapat dipertahankan, jika ilmu pengetahuan melulu dipandang sebagai praktek sosial? Apakah perbedaan mendasar antara ilmu pengetahuan dengan mistik? Apakah manusia yang menciptakan dunia dalam persepsinya, dan dunia tersebut kemudian menjadi obyek analisis para ilmuwan? Bagaimana nilai-nilai, baik sosial maupun personal, yang mungkin sekali tidak selalu rasional, termasuk di dalamnya adalah keinginan untuk mendapatkan ketenaran dan kekuasaan, mempengaruhi aktivitas seorang ilmuwan di dalam laboratorium, dan bagaimana nilai-nilai ini mempengaruhi cara ilmuwan menceritakan kembali apa yang ia teliti, dan menteorikan hasil penelitiannya tersebut? Jika ilmu pengetahuan adalah sebuah praktek sosial, sama seperti tindakan-tindakan lainnya, di mana aspek-aspek subyektif manusia berperan serta, lalu apa yang membuat ilmu pengetahuan begitu istimewa, terutama jika dibandingkan dengan permainan misalnya? Apa ada kriteria penilaian rasional yang cukup memadai bagi ilmu pengetahuan? Apakah konsep

memadai, rasional, gagal, dan irasional adalah suatu konsep obyektif, atau hanya

subyektif yang seringkali bersifat psikologistis? Apakah ada bentuk obyektifisme lainnya, di mana apa yang baik dan apa yang tidak baik melulu ditentukan oleh standar-standar sosial masyarakat tertentu? Sekarang ini telah muncul suatu lembaga studi yang disebut sebagai Science and Technology Studies.50 Lembaga ini mau menyelidiki dan merefleksikan pertanyaan-pertanyaan yang saya jabarkan diatas.

49 Lihat, ibid, hal. 488.

50

Yang ketiga, adalah para pemikir postmodernisme. Postmodernisme bukan hanya berkembang di dalam filsafat, melainkan lebih merupakan sebuah fenomena umum yang dapat dilihat dampaknya di seluruh aspek masyarakat. Walaupun begitu, para ahli sendiri masih berdebat tentang apa tepatnya yang dimaksud dengan istilah itu sendiri, ataupun, jika ada, inti argumennya. Nah, dalam kerangka filsafat ilmu pengetahuan, postmodernisme mempertanyakan validitas konsep kebenaran, pengetahuan, realitas, obyektifitas, rasionalitas, dan kemajuan yang menjadi dasar yang tidak lagi dipertanyakan di dalam peradaban barat dewasa, yang menjadi tempat kelahiran ilmu pengetahuan modern, sekarang ini. Pelbagai distingsi, seperti antara fakta dan fiksi, antara pengetahuan dan kekuasaan, antara penafsiran dan realitas, telah ditantang sedemikian rupa, baik secara epistemologis, etis, maupun politis. Beberapa pemikir postmodernisme bahkan berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu bentuk konstruksi sosial yang tidak ada bedanya dengan cerita-cerita, novel, ataupun dongeng. Hal ini banyak dikenal sebagai peleburan

berbagi genre (blurring of the genres) di dalam masyarakat. Misalnya, mereka

menganggap bahwa fisika dan sejarah hanya dua tipe yang berbeda dari teks ataupun bentuk tulisan tertentu. Hanyalah waktu yang bisa menunjukkan kesimpulan dari perdebatan yang terjadi, dan konsekuensinya bagi kehidupan manusia.

Di samping itu, para pemikir postmodernisme juga mempertanyakan kembali konsep realitas, kebenaran, makna, dan bahkan konsep dunia. Konsep-konsep semacam ini, menurut mereka, masihlah problematis. Konsep-konsep ini merupakan suatu bentuk konstruksi sosial yang dibentuk oleh para penguasa, seperti orang kulit putih, orang-orang Eropa, yang kemudian digeneralisasikan, sehingga dianggap berlaku untuk semua orang. Para penguasa juga menggunakan konsep-konsep tersebut untuk menghancurkan semua ide yang dianggap bertentangan dengan konsep mereka tentang realitas obyektif dan kebenaran. Jika kedua konsep dasar ini ditantang secara teoritis, seluruh kemungkinan yang muncul akibat perkembangan ilmu pengetahuan juga ditantang, baik secara etis maupun secara epistemologis. Argumentasi lainnya menyoroti relasi antara ilmu pengetahuan dengan kecenderungan dominasi kaum pria serta Eropasentrisme. Konsekuensinya jelas, bahwa ilmu pengetahuan hanyalah suatu cerita di antara begitu banyak cerita lainnya, dan tidak bisa ditentukan mana cerita yang lebih baik atau lebih benar. Jika ada pihak-pihak yang hendak memberikan privelese tertentu terhadap ilmu pengetahuan dengan rasionalitas serta argumentasinya, itu sebenarnya hanya demi mencapai tujuan-tujuan politik tertentu. Dengan demikian, ilmu pengetahuan tidaklah lagi bebas nilai, terutama karena penerapannya selalu diukur dengan sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut mampu mencapai kekuasaan ataupun kekayaan tertentu. Ilmu pengetahuan juga telah menjadi komoditi ekonomi, di mana tolok ukur satu-satunya adalah keuntungan yang seringkali lepas dari kemanusiaan yang seharusnya menjadi fondasi dari ilmu pengetahuan itu. Secara umum inilah argumentasi utama para pemikir postmodernisme di dalam memandang relasi

antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai di luarnya.

Memang, para pemikir postmodernisme memiliki argumen-argumen yang lebih radikal, jika dibandingkan dengan para pemikir anti realisme, maupun para pemikir relativis. Salah satu sebabnya adalah, karena para pemikir postmodernisme tersebut banyak mendapatkan inspirasi dari pemikiran Nietzsche, terutama dari pandangannya yang menyatakan bahwa seluruh alam semesta ini adalah kekacauan yang tidak bermakna.51 Alam semesta adalah entitas yang tidak teratur dan tidak bermakna. Manusialah yang memberikan makna dan tujuan kepada alam semesta dengan tujuan survivalnya, keselamatan dan pengembangan budayanya, atau apapun. Lebih dari itu, para pemikir postmodernisme bahkan lebih skeptis daripada Nietzsche sendiri, terutama karena mereka berpendapat bahwa ilmu pengetahuan modern didasarkan pada rasisme, eropasentrisme, bias gender, dan dominasi kaum pria. Privelese yang diberikan oleh masyarakat modern terhadap ilmu pengetahuan, sehingga statusnya dianggap lebih tinggi daripada mitos ataupun yang lainnya, juga sebenarnya bentuk dominasi dari kelas penguasa saja untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Dalam arti khusus, para pemikir postmodernisme juga meradikalkan argumentasi relativisme dan anti realisme di dalam filsafat ilmu modern yang bisa kita temukan jejak-jejaknya di dalam tulisan-tulisan Kuhn, Feyerabend, maupun kaum feminis radikal. Lepas dari itu, pada hemat saya, argumentasi para pemikir postmodernisme ini sangatlah ekstrem dan memiliki potensi merusak yang luar biasa besar, terutama dalam konteks ilmu pengetahuan modern yang sekarang ini telah banyak mengubah hidup manusia. Apakah refleksi mereka masih layak dipelajari dan diperdalam adalah suatu pertanyaan yang masih harus dipikirkan lebih jauh jawabannya.

51

Bab

7

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 192-197)