• Tidak ada hasil yang ditemukan

Para pemikir Positivisme Logis

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 154-159)

Hukum dan Teori di dalam Ilmu Pengetahuan

4.2 Para pemikir Positivisme Logis

Kalimat terakhir pada paragraf sebelumnya membawa kita pada refleksi para pemikir positivisme logis, Schlick dan Carnap menjadi orang-orang utamanya. Pada umumnya, mereka adalah seorang ilmuwan sekaligus matematikawan. Akan tetapi, mereka juga banyak dipengaruhi tulisan-tulisan Wittgenstein awal dan juga dari pemikiran Bertrand Russell. Para pemikir positivisme logis berpendapat bahwa tugas terpenting dari filsafat adalah untuk merumuskan semacam kriteria penentuan untuk membedakan antara pernyataan yang memadai dan pernyataan tidak memadai. Intinya, mereka ingin merumuskan semacam aturan-aturan korespondensi, di mana observasi langsung untuk menguji suatu pernyataan dapat

abstrak yang digunakan di dalam fisika, seperti konsep massa dan konsep energi, sehingga dapat sungguh diamati secara inderawi.

Salah satu kriteria yang dirumuskan oleh mereka adalah verifikasi, yakni suatu pernyataan yang memadai adalah pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris. Jika kau berkata bahwa warna sepatu itu merah, ketika orang lain melihat sepatu itu, mereka juga akan menemukan bahwa sepatu itu berwarna merah. Jika suatu pernyataan tidak dapat diverifikasi, pernyataan itu tidaklah memadai, dan tidak berguna. Jelaslah bahwa para pemikir positivisme logis memusatkan refleksi mereka pada problematika bahasa. Akan tetapi, bagi ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu alam, pemikiran mereka dapat menjadi pembenaran bagi dominasi ilmu-ilmu alam di dalam ilmu pengetahuan pada awal abad ke-20. Intinya, proses induksi, di mana pernyataan umum dirumuskan setelah dikonfirmasi oleh bukti-bukti eksperimental, adalah metode yang benar dan satu-satunya metode yang pantas digunakan di dalam ilmu pengetahuan.

Akan tetapi, ada problem epistemologis yang sangat mendasar di dalam inti pemikiran positivisme logis tersebut. Apa yang akan dilakukan, dengan berbekal paradigma positivisme logis tentunya, ketika dua teori yang berbeda menjelaskan satu fenonema yang sama secara berbeda? Di samping itu, pernyataan bahwa suatu teori haruslah dapat diverifikasi tidaklah dapat diverifikasi. Artinya, teori yang dikembangkan oleh para pemikir positivisme logis ini dapat dikenai kritiknya sendiri. Maka, teori ini juga problematis secara internal.

Pada akhir abad ke-19, setidaknya ada dua kecenderungan besar di dalam filsafat ilmu pengetahuan.

Pertama, dunia dianggap bergerak secara mekanis, dan ilmu pengetahuan merumuskan suatu teori tentang bagaimana dunia yang mekanis itu bekerja.

Kedua, semua bentuk pengetahuan didapatkan dari pencerapan inderawi, dan tugas ilmu pengetahuan adalah mensistematisasi apa yang ditangkap oleh indera tersebut. Kita tidak pernah dapat mengetahui benda-benda yang tidak dapat dialami secara inderawi. Para pemikir positivisme logis berpendapat bahwa pernyataan yang memadai adalah pernyataan yang dapat langsung diverifikasi. Maka, semua hal sangat bergantung pada pengalaman inderawi. Semua unsur teoritis haruslah berkorespondensi dengan realitas di luar yang dapat diamati.

Akan tetapi, walaupun ide-ide yang dipaparkan di atas dominan di dalam perdebatan filsafat ilmu pengetahuan, tetapi realitas aktual praktek ilmu pengetahuan sendiri, terutama di dalam teori relativitas dan fisika kuantum, ternyata tidak sepenuhnya sesuai dengan ide-ide ini. Bahkan, refleksi filsafat ilmu pengetahuan tentang teori-teori saintifik dan perkembangannya merupakan suatu reaksi kritis terhadap pandangan ini. Karl Popper, dengan teorinya, juga bersikap kritis terhadap tesis-tesis dasar positivisme logis, serta menunjukkan pentingnya

perannya proses falsifikasi di dalam perumusan dan perubahan suatu teori. Yang lebih signifikan lagi, ada beberapa pendapat, seperti yang dirumuskan oleh Thomas Kuhn, yang melihat bahwa teori-teori ilmu pengetahuan selalu sudah berada di dalam sebuah pandangan dunia tertentu. Oleh sebab itu, perubahan radikal di dalam ilmu pengetahuan hanya dapat terjadi, jika seluruh pandangan dunia yang ada ternyata sudah tidak lagi memadai, dan digantikan oleh yang lain.

4.3 Falsifikasi

Karl Popper (1902-1994) adalah seorang filsuf dari Wina yang sempat mengajar di New Zealand, dan kemudian di London pada 1945, di mana ia menjadi Professor dalam bidang logika dan metode santifik di London School of Economics. Ia banyak menulis tentang filsafat politik maupun filsafat ilmu. Teorinya tentang falsifikasi, yang walaupun ditujukan dalam bidang analisis filsafat ilmu, memiliki implikasi yang sangat luas. Pada dekade 1920-an, pada pemikir positivisme logis, seperti sudah disinggung sebelumnya, berpendapat bahwa suatu pernyataan hanya bermakna, jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi dengan data inderawi. Dengan kata lain, jika suatu pernyataan tidak dapat dibuktikan secara inderawi, pernyataan itu tidaklah bermakna. Akan tetapi, mereka juga memberikan pengecualian bagi pernyataan matematis ataupun pernyataan logika, di mana makna dari suatu pernyataan sudah terkandung di dalam definisi dari pernyataan yang digunakan. Kita tidak perlu menunjukan bukti empiris untuk menganggap 2+2=4 adalah pernyataan yang bermakna.

Popper, pada bukunya yang berjudul The Logic of Scientific Discovery (1934), berpendapat bahwa kita tidak dapat membuktikan bahwa suatu teori ilmu pengetahuan itu benar hanya dengan menambahkan bukti-bukti empiris yang baru. Sebaliknya, jika suatu bukti telah berhasil menunjukkan kesalahan suatu teori, hal itu sudahlah cukup untuk menunjukkan bahwa teori tersebut tidak tepat. Kemudian, ia menunjukkan bahwa suatu teori ilmiah tidak dapat selalu cocok dengan bukti-bukti yang ada. Bahkan, jika suatu teori mau dianggap sebagai teori ilmiah, teori tersebut justru haruslah dapat difalsifikasi. Tentu saja, di dalam prakteknya, suatu teori tidak otomatis dicap tidak memadai, hanya karena ada satu bukti yang berlawanan dengan teori tersebut. Mungkin saja, bukti-bukti yang diajukan untuk memfalsifikasi suatu teori itulah yang justru tidak tepat.

Kritik Popper sebenarnya ditujukan pada pernyataan-pernyataan yang mengklaim dirinya ilmiah, tetapi sebenarnya tidak. Misalnya, ia mengkritik pengandaian-pengandaian teori sosial Marxisme dan Psikologi Freudian, karena keduanya memiliki kebiasaan untuk menafsirkan segala sesuatu melulu dari perspektif teorinya, dan kemudian mencari konfirmasi atas tafsiran tersebut juga dari teori yang sudah diyakini sebelumnya. Popper kemudian berpendapat bahwa jika kedua teori tersebut tidak bisa difalsifikasi, maka sebenarnya keduanya bukanlah merupakan

teori ilmiah.

Padahal, salah satu tugas terpenting dari seorang ilmuwan adalah bekerja keras untuk menemukan bukti-bukti baru yang berlawanan dengan teori yang telah ia yakini, sehingga teori yang ada bisa diuji validitasnya. Dengan itulah kemajuan di dalam ilmu pengetahuan terjadi, yakni dari penemuan bukti-bukti baru yang menunjukkan keterbatasan teori-teori ilmiah yang sudah ada sebelumnya.

Salah satu tesis kunci di dalam pemikiran Popper adalah bahwa hukum-hukum di dalam teori ilmiah selalu melampaui data-data eksperimental yang bersifat inderawi. Metode induksi di dalam ilmu pengetahuan berupaya menunjukkan bahwa dari data-data inderawi yang diperoleh, ilmuwan dapat sampai pada hukum-hukum yang bersifat pasti, dan tidak sekedar probabilitas. Popper mengkritik pendapat ini. Baginya, semua sensasi inderawi yang datang pada seseorang selalu sudah melibatkan penafsiran orang tersebut, sehingga kemungkinan adanya perbedaan penafsiran juga sudah selalu terbuka. Variasi penafsiran tersebut sangat tergantung dari pengandaian-pengandaian ilmuwan yang sedang melakukan penelitian. Dengan demikian, argumentasi yang didapatkan dari metode induksi tentunya tidak akan pernah dapat mencapai kepastian absolut.

Yang esensial, menurutnya, adalah penemuan bukti-bukti baru yang mampu memfalsifikasikan suatu pernyataan. Jika suatu pernyataan yang diklaim ilmiah tidak dapat difalsifikasi, isi dari pernyataan tersebut pastinya tidak memadai. Dengan demikian, ia berpendapat bahwa suatu teori ilmu pengetahuan yang memadai adalah teori yang bersifat konsisten, koheren, serta selalu dapat difalsifikasi. Tidak ada teori ilmiah yang selalu dapat cocok secara logis dengan bukti-bukti yang ada. Dengan kata lain, teori yang tidak dapat ditolak bukanlah teori ilmu pengetahuan.

Secara umum dapatlah dikatakan, bahwa pemikiran Popper mau mengkritik dua pandangan filosofis lainnya, yakni pemikiran Locke yang melihat bahwa pikiran manusia adalah tabula rasa sampai pikiran tersebut mendapatkan pengetahuan dari pengalaman, dan pandangan Wittgenstein yang melihat bahwa bahasa menyediakan gambaran-gambaran yang memadai tentang dunia luar. Popper berpendapat bahwa pikiran manusia memiliki peran aktif di dalam membentuk pengetahuan, dan tidak hanya berperan pasif menerima data melalui pengalaman inderawi. Dalam dunia ilmu pengetahuan, hal ini berarti bahwa kemajuan selalu datang, ketika seorang ilmuwan membuat rumusan hipotesis yang hendak melampaui apa-apa yang dapat diketahui melalui pengalaman. Kemajuan tidak datang dari penambahan informasi baru untuk mengkonfirmasi teori baru yang sudah ada, melainkan secara spekulatif berupaya menjelajah ke informasi-informasi baru yang belum diketahui sebelumnya, sehingga teori yang ada dapat dimodifikasi sesuai dengan informasi-informasi baru tersebut.

Seluruh teori yang dikembangkan Popper ini dirumuskan dengan pengandaian bahwa pikiran manusia memiliki karakter tetap untuk selalu berupaya

menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyibukkan dirinya, karena hal itulah yang menjadi ciri mendasar dari pikiran manusia. Konsekuensinya, tujuan utama dari ilmu pengetahuan adalah menghasilkan pernyataan-pernyataan yang memiliki informasi tinggi dan tidak bersifat mutlak, tetapi memiliki tingkat kebenaran tertentu yang masih terus dapat diperbarui.

Dengan demikian, filsafat ilmu pengetahuan yang dirumuskan Popper dapat dirumuskan menjadi empat langkah.

Pertama, ilmuwan harus mengerti masalah apa yang hendak ditelitinya.

Kedua, ia harus punya semacam hipotesis, yakni suatu pernyataan baru yang dapat digunakan untuk menyelesaikan apa yang menjadi masalahnya berdasarkan standar penelitian yang memadai.

Ketiga, sang ilmuwan harus mendeduksikan proposisi-proposisi mendasar dari teori yang sudah dirumuskannya.

Keempat, ia dapat menjadikan teorinya sebagai bagian dari pertempuran teoritis dengan teori-teori lainnya menyangkut masalah yang sama.

Di dalam filsafat ilmu pengetahuan Popper, tidak ada teori di dalam ilmu pengetahuan yang bersifat mutlak, melainkan hanya bersifat probabel, yakni memiliki kemungkinan penerapan yang tinggi. Selalu ada kemungkinan, bahwa pada suatu hari akan ditemukan bukti-bukti bahwa suatu teori itu tidak tepat.

Realitas, menurutnya, selalu sudah memiliki kemungkinan untuk diteorisasikan. Segala sesuatu adalah masalah bagaimana menggunakan dan merumuskan suatu teori baru. Hal ini searah dengan kecenderungan dasar dari pemikiran manusia, yakni menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari pikirannya.

Bagi Popper, teori yang ideal adalah teori yang memberikan informasi yang banyak tentang realitas, tetapi teori yang diajukan tidaklah bersifat mutlak, melainkan bersifat probabel. Teori tersebut, pada akhirnya, selalu harus dapat ditolak, tetapi bukan berarti teori tersebut tidak berguna, karena teori tersebut memungkinkan banyak hal untuk diterangkan lebih jauh, walaupun tidak semua hal.

Secara umum, ilmu pengetahuan selalu bekerja berdasarkan eksperimen-eksperimen. Teori selalu dipaparkan bersamaan dengan informasi yang mendetil tentang proses eksperimen dan metode yang digunakan, sehingga teori tersebut dapat dirumuskan. Tugas bagi mereka yang hendak menguji teori tersebut adalah mengulang eksperimen yang telah dilakukan, dan melihat apakah mereka berhasil mencapai hasil yang sama atau tidak. Dan, beberapa waktu setelah teori tersebut dipublikasikan, teori tersebut akan digunakan untuk memprediksi apa yang akan

terjadi pada masa depan. Beberapa bukti yang ditemukan akan memverifikasi apa yang sudah dirumuskan di dalam teori tersebut. Beberapa lainnya tidak. Nah, ketika ditemukan bukti baru yang tidak cocok dengan teori tersebut, teori itu telah terfalsifikasi. Inilah yang merupakan inti dari seluruh pemikiran Popper. Akan tetapi, halnya tidak sesederhana itu. Baginya, dan juga bagi Lakatos, suatu teori yang telah terfalsifikasi hanya dapat dianggap tidak lagi memadai jika sudah ada teori baru yang lebih memadai dan siap menggantikan teori yang sudah ada sebelumnya.

Dengan kata lain, jika ada suatu teori yang dapat menjelaskan apa yang telah dapat dijelaskan teori sebelumnya dan bahkan mampu menjelaskan lebih jauh ke ruang-ruang di mana teori sebelumnya tidak dapat menjelaskan, teori baru inilah yang digunakan. Daya eksplanasi yang paling memadai adalah kriteria utama dalam hal ini. Jika suatu eksperimen berhasil memfalsifikasi suatu teori, ada dua kemungkinan di sini, yakni bahwa ada sesuatu yang salah di dalam eksperimen tersebut, atau ada faktor-faktor yang tidak dipertimbangkan di dalam perumusan teori sebelumnya. Hampir tidak mungkin, jika kita membuang suatu teori, karena teori tersebut berhasil difalsifikasi untuk pertama kalinya. Ketika suatu teori baru telah terumuskan, diperlukan perbandingan dengan teori yang sudah ada sebelumnya. Teori yang mampu menjelaskan lebih banyak adalah teori yang layak diterima.

Pandangan yang bersifat simplistik tentang proses falsifikasi adalah bahwa suatu teori langsung dianggap tidak memadai karena dapat langsung difalsifikasi.

Pandangan yang cukup memadai tentang proses falsifikasi adalah bahwa suatu teori dianggap tidak memadai karena ada beberapa bukti baru yang bisa memfalsifikasi teori tersebut dan sudah ada teori alternatif yang menggantikannya.

Pada prakteknya, ilmuwan biasanya dapat belajar banyak dari kegagalan suatu teori, karena pada waktu itulah teori baru yang lebih komprehensif dapat dirumuskan.

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 154-159)