• Tidak ada hasil yang ditemukan

Para Filsuf Yunani Kuno

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 107-112)

Sejarah Ilmu Pengetahuan

2.1 Para Filsuf Yunani Kuno

Filsafat Yunani Kuno didominasi oleh karya-karya Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Akan tetapi, sebelum mereka ada beberapa filsuf yang banyak dikenal sebagai filsuf pra-sokratik. Mereka mau merefleksikan hakekat dari realitas yang didasarkan pada pengamatan atas alam. Oleh sebab itu, mereka banyak dikenal

10

sebagai para ilmuwan Barat pertama.

Para pemikir Pra-Sokratik

Thales adalah seorang filsuf sekaligus ilmuwan pertama dari Barat. Ia hidup sekitar 6 abad sebelum Masehi. Ia berpendapat bahwa seluruh alam dan realitas ini dapat dipikirkan dalam satu elemen. Hal ini adalah sesuatu yang sangat baru pada masa-masa itu. Orang-orang lebih banyak berpikir tentang dewa-dewa sebagai penguasa alam dan seluruh realitas. Ia berpendapat bahwa elemen utama penyusun realitas ini adalah sesuatu yang cair. Oleh karena itu, elemen yang menyusun seluruh realitas ini adalah air. Mungkin, pernyatannya tampak simplistik dan tidak dapat dibuktikan. Akan tetapi, dibutuhkan suatu keberanian intelektual dan intuisi yang sangat tajam untuk merumuskan hal tersebut untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, terutama pada masa-masa semua orang masih berpendapat bahwa dewa-dewalah yang mengatur dan membentuk seluruh alam dan realitas yang ada.

Di abad yang sama, ada beberapa filsuf yang mengkritik pendapat tersebut dan mulai mengembangkan rumusan mereka sendiri. Herakleitos berpendapat bahwa esensi dari realitas adalah perubahan. Bahkan, hal-hal yang tampaknya sudah bersifat permanen sesungguhnya merupakan satu tahap saja dari perubahan yang secara niscaya akan datang. Konsep kita tentang rumah ataupun tentang pohon memang tetap. Akan tetapi, pohon dan rumah di dalam realitas tidak pernah tetap. Ia sangat terkenal dengan salah satu pernyataannya: ‘Anda tidak pernah melangkah di dalam sungai sama untuk kedua kalinya’. Dewasa ini, kita hidup dalam sebuah masa, setiap orang telah yakin dan tidak lagi mempertanyakan pernyataan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi dan seluruh alam semesta ini berada dalam proses perubahan yang terus menerus. Akan tetapi, Herakleitos sampai pada pernyataan ini melalui pengamatan dan logikanya, semua orang di sekitarnya pada waktu itu berpikir sebaliknya.

Pada abad ke-5 sebelum Masehi, Leukippos dan Demokritos merumuskan sebuah teori tentang atom. Inti teori itu adalah bahwa seluruh realitas dibentuk oleh sebuah partikel yang sangat kecil dan ada ruang kosong yang memisahkan antara partikel yang satu dengan partikel lainnya. Jika ada benda yang memiliki bentuk dan substansi yang berbeda dengan benda yang lainnya, hal itu berarti bahwa benda tersebut dibentuk oleh campuran dan kuantitas atom yang berbeda. Yang penting dari para pemikir ini bukanlah isi dari teori mereka, melainkan cara berpikir dan logika yang mereka gunakan. Mereka melihat bahwa substansi dari realitas dapat terdiri dari beberapa unsur, baik itu unsur yang padat, cair, ataupun yang berupa udara, dan kesemuanya itu tergantung pada tempratur udara. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa atom-atom yang sama akan membentuk rangkaian yang berbeda pada suhu yang berbeda. Mereka mengamati dunia, berupaya memberikan penjelasan, dan merumuskan teori yang bersifat umum dari semua gejala yang bersifat partikular. Para filsuf ini melakukan apa yang kita sebut sekarang ini sebagai

kegiatan ilmu pengetahuan. Mereka memiliki intuisi dan logika yang tajam, walaupun tidak, atau belum, menguasai metode eksperimental dan sistematika yang memadai.

Plato

Para filsuf Pra-Sokratik mempelajari dan merumuskan teori tentang alam yang dapat mereka amati. Akan tetapi, ada filsuf lain yang merefleksikan tidak hanya benda-benda yang dapat dia amati, tetapi juga benda-benda pada taraf konseptual ideal. Filsuf ini bernama Plato. Ia berpendapat bahwa semua benda yang kita lihat di sekitar kita merupakan tiruan dari realitas yang lebih abadi dan murni. Misalnya, saya melihat kursi. Kursi itu bukanlah kursi yang ideal, melainkan tiruan dari kursi ideal, abadi, dan murni yang berada di dunia ide-ide. Dengan demikian, untuk sungguh-sungguh memahami dunia, orang harus melihat melampaui yang partikular, yakni segala sesuatu yang dapat diamati, dialami, dan melihat ke dalam dunia ide-ide yang abadi dan murni.

Di dalam bukunya yang berjudul The Republic, ia menuliskan tentang perumpamaan gua. Di dalam gua, kebanyakan orang hanya melihat bayangan dari realitas, yakni dalam bentuk bayangan yang terpantul akibat cahaya yang timbul dari api. Hanyalah para filsuf yang mampu melihat melampaui bayangan-bayangan semu pantulan tersebut, yakni ke obyek yang sesungguhnya. Sang filsuf pun keluar dari gua, dan melihat matahari bersinar. Dengan demikian, realitas dipahami sebagai sesuatu yang berada di luar gua dan hanya diketahui ketika manusia memalingkan mukanya dari bayangan dan menatap sinar matahari. Artinya, Plato mengajak kita untuk melihat melampaui dunia sehari-hari yang bisa kita amati dan mengkontemplasikan prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang ideal.

Pandangan semacam ini sangat berpengaruh terhadap kebudayaan dan dunia pemikiran di Eropa, bahkan sampai sekarang. Pikiran dan jiwa dipisahkan dari dunia material yang dapat dialami melalui pengalaman inderawi. Pikiran mampu melihat dunia luar, dan melampaui apa yang tampak, serta menyentuh ide dari realitas yang bersifat murni dan ideal. Hal ini sangatlah berbeda dengan pandangan para filsuf pra-sokratik. Pandangan ini jugalah yang kemudian mengubah arah dan cara filsafat serta ilmu pengetahuan merefleksikan tentang dunia, yakni filsafat mengarahkan analisis dan refleksinya kepada dunia ide-ide yang murni dan ideal, sementara ilmu pengetahuan memfokuskan analisisnya pada pengalaman dan dunia fisik, serta berupaya memahaminya.

Aristoteles

datang melalui pengalaman yang kemudian ditafsirkan oleh rasio. Oleh karena itu, seorang filsuf maupun ilmuwan harus memeriksa fenomena yang ada di realitas, dan bukan memalingkan analisisnya ke dunia ide-ide, seperti yang dilakukan Plato. Proses penelitian ilmiah sekarang ini diinspirasikan jauh lebih banyak oleh pemikiran Aristoteles daripada oleh Plato. Bagi Aristoteles, pengetahuan adalah sesuatu yang berkembang dari persepsi dan pengalaman kita akan realitas, yakni dengan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari pengalaman inderawi kita. Pernyataan ini adalah pernyataan yang nantinya akan menjadi inti yang paling sentral di dalam ilmu pengetahuan.

Aristoteles juga membuat pembedaan dari berbagai bentuk ilmu pengetahuan, serta memisahkan berbagai macam mahluk hidup ke dalam berbagai golongan

species dan genus, sebuah proses klasifikasi yang menjadi bagian penting di dalam

ilmu pengetahuan sekarang ini. Ia juga adalah pemikir yang pertama kali merumuskan konsep tentang waktu, ruang, dan tentang kausalitas. Ia juga berpendapat bahwa segala sesuatu di dalam realitas memiliki empat penyebab yang bersifat niscaya. Penyebab itu disebutnya sebagai causa.

Penyebab pertama adalah penyebab material, yakni substansi fisik dari suatu entitas. Penyebab kedua adalah penyebab formal, yakni bentuk dari suatu entitas yang membedakan patung dari batu pembuat tembok, walaupun keduanya berasal dari materi yang sama, yakni batu.

Penyebab ketiga adalah penyebab efisien, yakni penyebab yang secara harafiah menyebabkan sesuatu itu terjadi, atau yang menyebabkan adanya sesuatu.

Dan yang terakhir adalah penyebab final, yakni tujuan dari keberadaan entitas tersebut. Bagi Aristoteles, jika kita ingin mendeskripsikan suatu obyek, kita harus menjabarkan secara penuh keempat penyebab tersebut. Penjabaran tidak berhenti hanya dengan sekedar memberikan penjelasan tentang bahan mentah suatu obyek, tetapi juga tujuan dan alasan keberadaan obyek tersebut. Segala sesuatu di dalam realitas memiliki telos, yakni tujuan finalnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa segala sesuatu memiliki tujuan pada masa depan yang terpisah dari alasan dibuatnya sesuatu tersebut pada masa lalu.

Setidaknya ada dua hal penting yang diberikan Aristoteles untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Pertama, ia merumuskan suatu bangunan teori yang sangat luas dan komprehensif. Bangunan teori ini nantinya akan sangat mempengaruhi dunia ilmu pengetahuan, dan akan sangat sulit untuk digantikan, seperti akan kita lihat usaha Copernicus dan Galileo. Kedua, pada abad ke-17, para ilmuwan masih memegang paradigma bahwa penyebab kausal/efisien lebih

berperan daripada penyebab final. Dengan kata lain, alasan keberadaan suatu

benda ditempatkan dalam kedudukan lebih tinggi dari pada tujuan yang mungkin berbeda dari benda tersebut pada masa depan. Inilah yang menjadi cikal bakal paradigma deterministik, yakni bahwa segala sesuatu sudah ditentukan sebelumnya.

Archimedes

Para pemikir yang sudah disampaikan di atas lebih banyak dikenal sebagai filsuf daripada sebagai seorang ilmuwan, walaupun pada masa-masa itu, distingsi antara filsafat dan ilmu pengetahuan belumlah sejelas sekarang karena ilmu pengetahuan, seperti yang kita ketahui sekarang ini, disebut juga sebagai filsafat natural (natural philosophy). Akan tetapi, ada satu orang di antara para filsuf Yunani Kuno tersebut yang mungkin dapat dipandang sebagai ilmuwan terhebat sebelum munculnya ilmu pengetahuan modern melalui karya Isaac Newton. Nama orang itu adalah Archimedes (287-213 BC). Konon, pada waktu ia mandi, ia menemukan rumusan fisika yang telah lama ia pikirkan dan kemudian berteriak, “Eureka,

eureka!” Marilah kita perjelas relevansi rumusan yang tengah ia pikirkan pada waktu

itu.

Tugas yang diemban Archimedes pada waktu itu adalah untuk menentukan apakah sebuah mahkota dibuat dari emas murni atau tidak. Berat mahkota tersebut sama dengan berat emas yang telah disediakan sebelumnya. Ia mau mengukur kandungan emas di dalam mahkota tersebut dan membandingkannya dengan berat emas yang telah disediakan dan memiliki berat yang sama dengan mahkota tersebut. Akan tetapi, ia tidak boleh mencairkan mahkota tersebut untuk mengukur kandungan emas yang ada di dalamnya. Dengan memperhatikan jumlah air yang keluar dari bak mandi setelah ia masuk ke dalam bak tersebut, ia telah menemukan sebuah metode yang sederhana untuk mengukur berat dirinya sendiri. Metode yang sama dapat digunakan untuk mengukur kandungan emas di dalam mahkota. Ia memasukkan mahkota tersebut ke dalam suatu wadah yang penuh dengan air. Lalu, ia juga memasukkan emas murni yang memiliki berat yang sama dengan emas tersebut ke dalam wadah yang persis sama. Kemudian, ia melihat jumlah air yang tumpah ketika mahkota dan emas murni tersebut diletakkan di dalamnya. Air yang tumpah dari emas murni memiliki jumlah yang lebih banyak. Sedangkan, air yang tumpah dari mahkota memililiki jumlah yang lebih sedikit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mahkota tersebut bukanlah terbuat dari emas murni, melainkan ada tambahan logam lainnya.

Archimedes telah menemukan sebuah prinsip, yakni bahwa tingkat kemurnian suatu subtansi adalah sama dimanapun substansi itu berada. Setiap penambahan ke dalam subtansi tersebut akan mengubah berat keseluruhan. Tumpahan air merupakan cara yang paling sederhana untuk mengetahui hal tersebut. Ini merupakan pencapaian yang sangat luar biasa baginya, walaupun tidak bagi sang pembuat mahkota karena ia dihukum mati! Di samping itu, ia juga menemukan alat pengungkit, derek, dan katrol. Banyak dari temuannya tersebut digunakan untuk kepentingan militer. Bahkan, ia menggunakan lensa untuk memfokuskan cahaya matahari, yang nantinya digunakan oleh tentara Yunani untuk mengecoh tentara

Roma dan bahkan menimbulkan kebakaran di perkemahan mereka.

Para filsuf pra-sokratik adalah para pemikir yang banyak berefleksi secara spekulatif tentang hakekat dari realitas dan dunia. Plato dan Aristoteles mengajarkan kita untuk berpikir secara sistematis tentang konsep-konsep di dalam ilmu pengetahuan. Akan tetapi, Archimedeslah yang mengajarkan kita untuk menerapkan ilmu pengetahuan ke dalam dunia praktis, terutama dengan menggunakan eksperimen dan teori untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis.

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 107-112)