• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma Ilmu Pengetahuan

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 159-164)

Hukum dan Teori di dalam Ilmu Pengetahuan

4.4 Paradigma Ilmu Pengetahuan

Thomas Kuhn (1922-1996) ingin memahami tentang proses kemajuan di dalam ilmu pengetahuan dengan berpijak pada teori falsifikasi Popper. Oleh karena itu, ia mau merumuskan suatu teori baru yang didasarkan pada penelitian historis tentang bagaimana ilmu pengetahuan mengalami perubahan dan perkembangan di dalam sejarahnya. Ia pun sampai pada kesimpulan, bahwa ilmu pengetahuan tidak secara otomatis menyingkirkan suatu teori ketika ada bukti-bukti yang berlawanan dengan teori tersebut, melainkan perubahan tersebut terjadi melalui proses yang bersifat gradual dan kumulatif.24

24

Ia pun juga melihat bahwa setiap ilmuwan pada suatu jaman sudah selalu melakukan penelitian dengan menggunakan pengandaian-pengandaian dasar yang mereka punyai, atau sedang dominan pada suatu masa. Ketika suatu bentuk teori telah dianggap mapan di dalam komunitas ilmiah maka hampir semua ilmuwan yang ada di dalam komunitas tersebut menggunakan teori yang mapan itu di dalam penelitian mereka. Teori yang mapan dan dominan tersebut disebut Kuhn sebagai paradigma. Ia pun membedakan antara ilmu pengetahuan di dalam situasi normal, dan ilmu pengetahuan di dalam situasi krisis, di mana semua paradigma yang ada mengalami perubahan, atau mengalami apa yang disebut Kuhn sebagai Revolusi Saintifik (scientific revolution).

Di dalam situasi normal, dunia ilmu pengetahuan didominasi oleh suatu paradigma tertentu. Akan tetapi, dominasi oleh satu paradigma tersebut tidak akan berlangsung lama, karena pasti ada suatu problem internal di dalam paradigma itu. Problem internal tersebut akan meningkat secara bertahap sampai terjadinya krisis di dalam paradigma dominan itu. Hal ini akan terus berlangsung sampai ada paradigma baru yang dapat menyelesaikan problem-problem yang mengakibatkan krisis pada paradigma sebelumnya. Nah, ketika suatu paradigma baru telah diterima menjadi teori yang mapan dan dominan, maka dunia ilmu pengetahuan akan berubah ke arah normal kembali.25 Proses perubahan dari paradigma yang mapan di dalam situasi normal sampai kemudian tersingkirkan akibat krisis di dalam ilmu pengetahuan dituliskan Kuhn pada bukunya yang berjudul The Structure of Scientific

Revolutions.26

Ada banyak contoh dalam sejarah ilmu pengetahuan tentang bagaimana suatu paradigma yang mapan pada akhirnya mengalami krisis, dan kemudian digantikan oleh paradigma yang baru. Salah satu yang paling jelas adalah bagaimana paradigma Kopernikus yang melihat matahari sebagai pusat tata surya menggantikan paradigma Aristoteles dan Ptolemy yang melihat bumi sebagai pusat tata surya. Ada juga perubahan paradigma lainnya, seperti ketika teori relativitas Einstein menggantikan paradigma Newtonian. Memang, sampai akhir abad ke-19, paradigma Newtonian telah menjadi paradigma dominan di dunia ilmu pengetahuan sampai digantikan oleh paradigma yang sama sekali berbeda, seperti yang dirumuskan Einstein.

Pergantian paradigma semacam itu terjadi, ketika komunitas ilmiah merasa perlu memeriksa kembali pengandaian-pengandaian yang sudah mereka terima selama ini. Pada akhir abad ke-19, hampir tidak ada satu ilmuwan pun yang mengira, bahwa dunia ilmu pengetahuan akan sama sekali berubah pada awal abad ke-20. Memang, paradigma Newtonian, sampai abad ke-19, sangatlah masuk akal, dan dianggap sangat memadai. Tentu saja, hal itu masih dianggap benar sampai Einstein

25

merumuskan teori relativitasnya.

Semua hal ini telah dipaparkan oleh Kuhn di dalam bukunya. Akan tetapi, ada satu aspek yang sangat kontroversial di dalam pemikirannya, yakni ia mengklaim bahwa tidak ada satu bukti independen yang dapat menjadi penentu validitas di antara dua paradigma yang berbeda. Suatu bukti selalu sudah ditafsirkan dalam kerangka paradigma tertentu, sehingga tidak ada satu titik tolak universal yang dapat menentukan mana di antara dua paradigma yang lebih valid.

Kita tidak pernah dapat melakukan penelitian yang bersifat independen dari paradigma, apapun paradigma tersebut. Suatu penelitian ilmiah selalu berlangsung pada parameter yang sudah mapan, yakni dengan menggunakan teori yang sudah dominan. Ketika suatu revolusi paradigma terjadi, suatu paradigma bisa muncul, dan perdebatan di dalam komunitas ilmiah pun terjadi, terutama tentang kerangka yang digunakan untuk menafsirkan bukti-bukti di dalam penelitian ilmiah.

Kuhn juga mengatakan bahwa setiap ilmuwan haruslah mempunyai komitmen pada teori yang menjadi kerangka penelitiannya. Memang, di dalam metode induksi, dan seperti yang telah diutarakan oleh Hume, suatu bukti baru yang ditemukan dapat mengubah seluruh kerangka teori yang telah dianggap memadai sebelumnya. Akan tetapi, di dalam prakteknya, hal tersebut tidak sesederhana itu. Seorang ilmuwan selalu melakukan penelitian di dalam kerangka suatu paradigma tertentu, dan paradigma itulah yang menjadi kerangka di dalam penelitian akan bukti-bukti, dan argumentasi atas bukti-bukti itu. Seluruh cara berpikir sang ilmuwan pun selalu sudah dipengaruhi oleh paradigma tertentu, serta membutuhkan argumentasi yang sangat kuat dan signifikan untuk mengubah paradigma tersebut.

Menurut Kuhn, suatu paradigma tidak selalu terbuka pada proses falsifikasi secara langsung. Dan karena suatu paradigma mempengaruhi proses penafsiran atas suatu bukti, maka bukti-bukti yang ada seringkali menyesuaikan diri dengan paradigma itu. Dibutuhkan suatu lompatan yang penuh keberanian, jika seorang ilmuwan hendak mengganti paradigma yang telah dipakai sebelumnya. Dengan argumen ini, para penafsir Kuhn seringkali menganggapnya sebagai seorang relativis, karena suatu paradigma hanya dapat dikritisi kembali oleh suatu komunitas ilmiah tertentu dan pada waktu tertentu, tetapi tidak pernah dapat dibandingkan dengan paradigma lainnya yang mungkin berasal dari tempat yang berbeda. Dengan kata lain, baginya, setiap paradigma memiliki bahasa-nya masing-masing. Dan seringkali, konsep-konsep dasar yang digunakan oleh dua paradigma yang berbeda tidak dapat dibandingkan begitu saja.

Paradigma selalu mempengaruhi semua cara berpikir manusia, tidak hanya di dalam

26

ilmu pengetahuan, tetapi juga di dalam dunia sosial, agama, dan kebudayaan. Sangatlah sulit bagi seseorang untuk melepaskan diri dari paradigma yang ia pegang, dan merumuskan sesuatu yang sama sekali berbeda. Seorang artis, misalnya, yang dididik dalam gaya klasik, akan merasa nyaman menggunakan paradigma klasik tersebut, ketika ia melakukan kerja-kerja artistiknya. Nah, hanya imajinasi dan kreativitaslah yang membuat seseorang mampu melampaui paradigma yang telah ia pegang sebelumnya.

Mungkin, jika kita mau menyimpulkan apa yang Kuhn maksud dengan ilmu pengetahuan dan proses perkembangannya, maka dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan proses rutin pengumpulan data serta informasi, proses perluasan pengetahuan manusia yang ditandai dengan adanya pemikiran-pemikiran baru, di mana semua informasi yang telah didapat diperiksa kembali, dan diletakkan dalam suatu perspektif yang baru. Yang terakhir ini disebut sebagai perubahan

paradigma. Di antara pergantian dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain,

ada suatu masa panjang yang disebut sebagai situasi normal.

Problem yang menarik disini adalah, bagaimana Kuhn dapat mengatakan bahwa perubahan paradigma sudah terjadi, jika seorang ilmuwan selalu berada dalam suatu paradigma tertentu? Jika, seperti yang telah dirumuskannya, kita tidak dapat keluar dari paradigma di dalam ilmu pengetahuan, bagaimana mungkin, kita dapat mengatakan bahwa sebuah perubahan paradigma telah terjadi, atau bahwa suatu paradigma lebih memadai daripada paradigma lainnya?

Memang, Feyerabend, di dalam bukunya yang berjudul Against Method: Outline of

an Anarchistic Theory of Knowledge,27 berpendapat bahwa kemajuan di dalam ilmu

pengetahuan adalah sesuatu yang fiktif dan tidak mungkin terjadi. Kita tidak dapat menemukan satu paradigma pun yang benar secara obyektif, tetapi hanya berbagai cara untuk memandang berbagai problematik yang sama. Dengan demikian, menurutnya, sebab mengapa seorang ilmuwan memilih teori yang satu daripada teori lainnya adalah sebab yang bersifat subyektif, dan seringkali estetis. Setiap orang secara bebas berhak memilih teori mana yang cocok baginya, dan komunitas ilmiah tidak dapat memaksakan kriteria absolut untuk menentukan yang mana yang benar, dan yang mana yang tidak.

Akan tetapi, jika sains memiliki cara kerja yang sama dengan seni, lalu apakah yang membedakan ilmu pengetahuan dengan seni?

Seperti sudah disinggung oleh Popper sebelumnya, proses perkembangan dan

27

perubahan di dalam paradigma ilmu pengetahuan berjalan lambat dan sangat bertahap. Dengan perkembangan di dalam pemikiran Kuhn, kita dapat melihat hal yang sebaliknya, yakni kemajuan di dalam ilmu pengetahuan adalah sebuah proses yang tak menentu dan tak teratur dengan perubahan tiba-tiba. Dengan melihat sejarah ilmu pengetahuan, seperti yang ada pada Bab 2, tampaknya pandangannya lebih tepat, karena perubahan tiba-tiba dapat saja terjadi di dalam ilmu pengetahuan, dan bukan hanya sekedar perubahan yang bertahap.

Di samping itu, jika kita setuju dengan pendapat Popper tentang proses falsifikasi, mungkin tidak akan banyak ditemukan adanya perkembangan dan kemajuan di dalam ilmu pengetahuan. Suatu eksperimen ilmiah tidak pernah sepenuhnya benar, tetapi juga tidak pernah sepenuhnya ambigu, sehingga harus digantikan saat itu juga. Bagi seorang penganut teori Popper yang fanatik, suatu data yang berlawanan dengan teori yang ada dapat secara otomatis menyingkirkan teori yang ada tersebut. Di dalam prakteknya, hal tersebut tidak terjadi. Jika ditemukan suatu data yang berlawanan dengan teori yang ada, ilmuwan biasanya akan mencari penjelasan terlebih dahulu tentang hal tersebut, seperti melihat kemungkinan bahwa eksperimen yang dilakukannya mungkin tidak tepat. Dengan kata lain, data yang berlawanan tidak segera menimbulkan kepanikan di dalam ilmu pengetahuan, melainkan sebagai pendorong untuk proses pengumpulan data lebih jauh. Suatu paradigma di dalam ilmu pengetahuan dapat berubah, jika data-data yang ditemukan lebih jauh sudah sangat berlainan dengan paradigma tersebut.

Akan tetapi, ada beberapa perubahan di dalam ilmu pengetahuan yang tidak selalu seperti yang dikatakan Kuhn dengan konsep revolusi saintifiknya. Salah satu penjelasan tentang hal ini dirumuskan oleh Imre Lakatos di dalam bukunya yang berjudul Falsification and The Methodology of Scientific Research Programmes.28 Di dalam buku itu, ia berpendapat bahwa di dalam prakteknya, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan melalui program-program penelitian (research

programmes) yang dilakukan, terutama penelitian-penelitian yang bersifat

menyelesaikan masalah (problem solving). Perubahan tersebut tidaklah muncul akibat ditemukannya bukti-bukti baru yang berlawanan, seperti yang dikatakan oleh Popper dengan teori falsifikasinya, dan juga bukanlah akibat adanya revolusi paradigma di dalam ilmu pengetahuan, seperti yang dikatakan oleh Kuhn.

Perubahan, menurut Lakatos, terjadi di dalam ilmu pengetahuan melalui dilakukannya program-program penelitian yang digunakan untuk menemukan fakta-fakta yang baru. Di dalam penelitian semacam itu, kita harus membedakan antara

teori dasar yang harus ada sebagai fondasi dari suatu eksperimen, dan teori tambahan yang dapat diubah tanpa mengganggu koherensi eksperimen yang sedang

dilakukan. Dengan demikian, perubahan sebenarnya dapat dilakukan di level teori

tambahan tersebut.

28

Pada titik ini, Lakatos mengkritik Popper, karena ia tidak menghargai proses kontinuitas dari suatu teori di dalam penelitian ilmiah, terutama dengan teori falsifikasinya yang seringkali bertentangan dengan praktek ilmu pengetahuan di lapangan, di mana ilmuwan sungguh-sungguh terlibat langsung dengan penelitian. Lakatos juga mengkritik Kuhn, tetapi pada hemat saya tidak terlalu tepat, karena ia melihat perubahan paradigma di dalam ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang irasional tanpa terlalu menekankan secara argumentatif sebab-sebab pokok, sehingga suatu paradigma digantikan oleh paradigma lainnya.29

Bagi Popper, suatu teori terus harus diuji dan difalsifikasi. Bagi Kuhn, paradigma di dalam ilmu pengetahuan tidak berubah melulu berdasarkan alasan-alasan yang rasional, tetapi juga dari momen-momen yang penuh inspirasi. Dengan begitu, perubahan di dalam ilmu pengetahuan juga sudah seringkali mendadak. Sementara, bagi Lakatos, kemajuan terjadi akibat perkembangan di dalam program-program penelitian, di mana teori tambahan dapat diubah, dan secara bertahap mempengaruhi fondasi dasar teori tersebut.

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 159-164)