• Tidak ada hasil yang ditemukan

Obyektifitas Pengamatan dan Penjelasan

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 175-178)

Ilmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial Argumen utama untuk membedakan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu

5.3. Obyektifitas Pengamatan dan Penjelasan

Pengandaian dasar di balik perbandingan berdasarkan obyektifitas pengamatan dan penjelasan adalah bahwa “ilmu pengetahuan haruslah obyektif dan bebas nilai, tetapi ilmu-ilmu sosial selalu secara inheren berurusan dengan nilai-nilai, sehingga kurang memiliki obyektifitas sebagai ilmu pengetahuan.”36 Pernyataan seperti tentunya sangatlah problematis. Salah satu problem yang juga penting adalah tentang ‘keyakinan subyektif’ yang selalu mewarnai analisis-analisis sosial.

Mungkin, salah satu cara untuk menjernihkan masalah adalah menyadari pentingnya penggunaan kata ‘nilai’, dan bagaimana kata ini berkaitan dengan ilmu-ilmu sosial, terutama ekonomi. Machlup membedakan empat penggunaan kata ‘nilai’ di dalam tulisannya. Pertama, penilaian seorang ilmuwan dapatlah terpengaruh oleh kepentingan pribadinya, sehingga penilaian saintifiknya juga terpengaruh. Kedua, beberapa hal yang bersifat normatif seringkali berkaitan dengan fenomena yang tengah dianalisis. Bias normatif juga dapat membuat suatu penilaian terhadap fenomena menjadi bias. Ketiga, seorang ilmuwan biasanya memilih bidang penelitian yang tidak bertentangan dengan keyakinan pribadinya. Ia tidak akan melakukan suatu penelitian yang bertentangan dengan apa yang diyakininya secara pribadi. Keempat, seorang ilmuwan sosial haruslah menjelaskan pengamatannya terhadap tingkah laku manusia, di mana tingkah laku tersebut dapat ditafsirkan hanya dengan mengacu pada motif dari manusia tersebut yang tentunya selalu diwarnai nilai-nilai tertentu.

Dengan argumen ini seringkali para ilmuwan mencap bahwa ilmu-ilmu sosial

36

mudah sekali jatuh ke dalam ‘godaan’ kepentingan pribadi tersebut, dan memiliki bias-bias yang tidak bisa dihilangkan dalam penelitiannya. Moric Cohen menyebut hal ini sebagai “..kesulitan yang bersifat subyektif untuk menjaga keberjarakan ilmiah di dalam ilmu-ilmu tentang persoalan manusia.”37 Hal ini memang tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, kita juga tidak boleh melupakan kesulitan serupa di dalam ilmu-ilmu alam. Ingatlah bagaimana para ahli biologi berdebat keras tentang penemuan mereka, karena perbedaan kepercayaan religius, dan bagaimana para fisikawan berdebat tentang kedudukan bumi serta matahari di alam semesta, juga karena kepercayaan religius mereka. Pada 1936, para ilmuwan Jerman menolak apapun penemuan yang dirumuskan oleh orang-orang Yahudi, karena dianggap berseberangan dengan kepentingan nasional. Pada 1951, seorang biolog asal Russia dilarang merumuskan teorinya, karena dianggap terlalu banyak mengandung nilai-nilai liberal. Perdebatan kontemporer tentang kloning juga rupanya menganut pola yang sama, yakni ilmu pengetahuan yang terkait erat dengan kepentingan politik.

Di samping kepentingan politis yang mewarnai penemuan di dalam ilmu pengetahuan, ada juga beberapa kecurangan yang sangat jelas di dalam sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri. Contoh paling jelas adalah argumentasi para antropolog yang membenarkan keberadaan Manusia Piltdown, dan juga para ahli ekonomi yang seringkali ‘berbohong dengan menggunakan statistik’. Bukanlah kebetulan, jika seorang analis ekonomi yang berpihak pada buruh menggunakan data-data dari tahun tertentu, dan seorang analisis ekonomi yang berpihak pada pemilik modal menggunakan data dari tahun lainnya. Keduanya selalu menggunakan data-data yang menunjang tujuan dan kepentingan mereka. Analis ekonom buruh lebih akan berpikir untuk keuntungan buruh. Sebaliknya, analis ekonomi para pemilik modal lebih akan berpikir untuk keuntungan pemilik modal. Tentu saja, hal ini sama sekali tidak membuktikan superioritas ataupun inferioritas ilmu-ilmu alam. Hal yang sama juga dapat terjadi pada para ahli yang memberi kesaksian di pengadilan, seperti psikiater, psikolog, ahli kimia, dan sebagainya, demi kepentingan seorang klien tertentu. Dalam hal ini, seorang ilmuwan mengambil peran sebagai analis kejadian partikular tertentu yang telah terjadi. Lepas dari itu, jika ada keuntungan dalam hal ini, maka dapat juga dikatakan bahwa seorang ekonom lebih memiliki banyak kesempatan untuk menggunakan statistik-statistik yang bias daripada seorang ilmuwan alam. Akan tetapi, mungkin saja seorang ilmuwan alam menggunakan data-data yang tidak valid, ketika mereka disuap.

Seringkali, pengandaian normatif seorang ilmuwan mempengaruhi lugas tidaknya pengungkapan hasil penelitian yang ia lakukan. Misalnya, seorang ilmuwan memiliki pandangan normatif yang sangat kuat terhadap isu-isu ilmiah, seperti absorsi, bom hidrogen, senjata biologis, kloning, sehingga kerja-kerja ilmiahnya, terutama yang menyangkut bidang-bidang ini, banyak dipengaruhi oleh pengandaian

37

normatif tersebut. Memang, seorang ilmuwan mungkin saja memiliki pandangan yang sangat normatif tentang isu-isu tertentu, seperti hak kekayaan intelektual, pasar bebas, tunjangan pensiun, pendidikan, dan sebagainya, sehingga mungkin saja pandangan tersebut tercermin di dalam penelitian ilmiah mereka. Pengandaian normatif ini tidaklah melulu berarti hasil penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan tersebut bias. Bahkan, hal ini dapat terjadi baik pada ilmuwan sosial maupun ilmuwan alam. Penelitian dan hasil dari penelitian tersebut seringkali terkait dengan suatu pengandaian nilai tertentu. Akan tetapi, hal tersebut juga tidaklah melulu berarti bahwa penemuan yang muncul menjadi terdistorsi.

Seorang ilmuwan juga seringkali hanya melakukan penelitian pada bidang-bidang yang dipilihnya dengan alasan-alasan yang bersifat subyektif. Hal ini tidaklah dapat dielakkan, dan satu-satunya pertanyaan disini adalah, nilai macam apa yang mempengaruhinya? Akan tetapi, alasan-alasan yang mempengaruhi seorang peneliti juga seringkali bersifat eksternal. Jika suatu penelitian didanai oleh suatu yayasan ataupun pemerintah, maka sang ilmuwan menggendong nilai-nilai yang dianut oleh yayasan ataupun pemerintah yang mendanainya. Jika suatu penelitian tidak didanai oleh yayasan ataupun pemerintah tertentu, maka sang ilmuwan akan melakukan penelitian sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai ‘nilai sosial’, yakni bidang-bidang yang menurut ‘pengamatannya sendiri’ dapat memberikan sumbangan yang bermakna terhadap masyarakat. Masyarakat membutuhkan penelitian-penelitian khusus untuk menyembuhkan penyakit kanker, untuk mencegah demam berdarah secara efektif, untuk menyingkirkan narkoba dari masyarakat, untuk mencegah kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya. Semua hal ini menunjukkan bahwa setiap ilmuwan, baik itu ilmuwan sosial maupun ilmuwan alam, selalu juga sudah dipengaruhi ‘nilai’ tertentu. Lepas dari itu, seorang ilmuwan biasanya juga melakukan penelitian murni berdasarkan dorongan intelektual dan motivasi ketertarikannya belaka. Hal ini pun tentunya mengandung suatu nilai tertentu. Seorang pelajar yang tidak memiliki banyak kreatifitas dan data untuk melakukan penelitian, tetapi hanya melakukan penelitian yang ia mampu saja juga sudah selalu menggendong nilai tertentu di dalam penelitiannya. Yang terakhir ini memang mungkin saja terjadi, tetapi sangat jarang, karena kebanyakan ilmuwan, alam maupun sosial, memiliki cukup data dan kreatifitas untuk mengeksplorasi penelitiannya.

Pada titik ini, kita sampai pada kriteria perbandingan tentang nilai yang paling tajam, yakni tetang ‘acuan nilai’ yang selalu sudah dimiliki oleh obyek analisis di dalam ilmu pengetahuan. Realitas sosial, seperti masyarakat misalnya, yang menjadi obyek kajian ilmu-ilmu sosial, selalu dijelaskan dalam kerangka nilai-nilai tertentu yang memotivasi masyarakat tersebut untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, suatu tindakan sosial di dalam suatu masyarakat tertentu hanya dapat dimengerti motivasinya dengan memahami nilai-nilai macam apakah yang ada di dalam masyarakat tersebut. Hal inilah yang dengan tepat membedakan antara ilmu-ilmu

alam dan ilmu-ilmu sosial. Untuk menjelaskan gerak molekul-molekul, gerak atom-atom, gerak benda-benda alam, dan sebagainya, seorang ilmuwan alam tidak akan bertanya mengapa molekul bergerak? Mengapa Venus tidak memilih orbit lainnya selain yang ia tempati sekarang ini? Atau, mengapa suatu sel memutuskan untuk membelah diri? Sementara itu, ilmuwan sosial meneliti dengan terlebih dahulu menjelaskan bagaimana proses sirkulasi uang, sehingga daya beli masyarakat bisa meningkat, atau mengapa dewan pimpinan suatu perusahaan sampai pada keputusan bahwa perusahaan mereka perlu untuk di merger dengan perusahaan lainnya, atau mengapa mereka memilih suatu tempat sebagai lokasi pabrik dan bukan tempat lainnya, dan sebagainya. Memang, contoh yang saya berikan semuanya dari bidang ekonomi. Akan tetapi, pola yang sama juga dapat dilihat pada sosiologi, antropologi budaya, ilmu politik, dan sebagainya. Semua hal ini menunjukkan bahwa penelitian ilmiah di dalam ilmu-ilmu sosial selalu bertanya tentang motivasi yang melandasi suatu tindakan sosial tertentu, dan motivasi itulah yang pertama-tama menjadi fenomena yang ingin dianalisis.

Sebuah contoh mungkin dapat semakin memperjelas tentang perbedaan signifikan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Sebuah batu tidak akan berkata kepada kita, “Saya adalah binatang.” Batu juga tidak akan berkata, “Saya pindah kesini, karena saya tidak suka dengan keadaan di atas sana. Disini, pemandangannya bagus, terutama pada bagian yang menghadap ke lembah.” Tidak ada pengaruh motivasi pada batu. Akan tetapi, manusia memiliki motivasi semacam itu, dan realitas sosial justru harus dijelaskan berdasarkan motivasi mendasar yang menjadi fondasi dari tindakan manusia tersebut. Dengan demikian, penelitian sosial haruslah mengungkapkan nilai-nilai yang memotivir suatu tindakan dari realitas sosial yang ditelitinya. Tentu saja, perbandingan ini tidaklah berurusan secara langsung dengan status obyektifitas ilmiah dari ilmuwan yang menganalisis realitas sosial tersebut. Dengan begitu, kriteria ini tidaklah memadai untuk menempatkan ilmu-ilmu sosial dalam posisi yang lebih inferior daripada ilmu-ilmu alam.38

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 175-178)