• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Relativitas

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 128-133)

Sejarah Ilmu Pengetahuan

2.5 Teori Relativitas

Setelah melepaskan diri dari paradigma Aristotelian dan filsafat abad pertengahan, ilmu pengetahuan terutama pada paruh kedua abad ke-19, telah

semata-mata mendasarkan analisisnya pada bukti-bukti dan rasionalitas. Filsuf Jerman yang bernama Haeckel, dalam bukunya yang berjudul The Riddle of the

Universe (1899) berpendapat bahwa di alam ini tinggal beberapa hal yang dapat

ditemukan oleh manusia karena hampir semuanya telah ditemukan. Fisika Newtonian dan teori evolusi Darwin telah menjadi kerangka yang digunakan untuk menjawab hampir semua pertanyaan ilmiah pada waktu itu karena hanya pertanyaan ilmiah yang layak dan dianggap memadai untuk diajukan. Yang lain tidak.

Akan tetapi, semua kecenderungan itu hilang pada awal abad ke-20. Sekali lagi, otoritas yang mapan mendapatkan tantangan. Akan tetapi kali ini, otoritas paradigma Newtonianlah yang kali ini mendapatkan tantangan. Filsafat ilmu pengetahuan mulai menyadari bahwa ada cara-cara lain yang dapat memahami fenomena yang ada dalam realitas, walaupun bersifat kontradiktif dengan penjelasan yang sudah mapan sebelumnya. Persepsi umum di dalam dunia ilmu pengetahuan pun berubah dari apa yang tadinya dianggap sebagai kemenangan rasio serta bukti empiris pada abad ke-18 menjadi penerimaan akan pemikiran-pemikiran yang tampak terlepas jauh dari logika dan rasionalitas. Pada abad ke-20, dunia seolah-olah jauh lebih kompleks melampaui apa yang dipikirkan seabad sebelumnya.

Tidak mungkinlah kita menguraikan seluruh perkembangan besar yang terjadi di dalam dunia ilmu pengetahuan selama abad ke-20, dan hal tersebut juga tidak diperlukan untuk memahami refleksi filsafat ilmu pengetahuan. Yang harus dimengerti di sini adalah tema-tema mendasar yang membedakan perkembangan ilmu pengetahuan di abad ke-20 dengan paradigma Newtonian yang sudah mapan sebelumnya, serta implikasi perubahan paradigma tersebut bagi pemahaman manusia akan ilmu pengetahuan sebagai keseluruhan.

Teori Relativitas

Dua teori relativitas yang dirumuskan Albert Einstein (1879-1955) pada awal abad ke-20 menunjukkan keterbatasan-keterbatasan dari fisika Newtonian. Pada 1905, ia merumuskan teori relativitas khusus. Teori tersebut dapat diringkas dalam persamaan E=mc2. Persamaan ini menghubungkan massa dengan energi. E adalah energi, m adalah massa, dan c adalah kecepatan cahaya. Sementara itu, teori relativitas umum yang dirumuskan pada 1916 berpendapat bahwa ruang, waktu, massa, dan energi saling terkait satu sama lain. Ruang maupun waktu sangatlah dipengaruhi oleh gravitasi. Ruang semakin sempit, sementara waktu akan berjalan lebih cepat ketika gravitasi meningkat. Akan tetapi, gravitasi berjalan paralel dengan massa. Semakin besar massa, semakin kuat gravitasi menarik. Dan menurut teori relativitas khusus, massa selalu sudah terkait dengan energi.

Implikasi dari pandangan ini adalah penolakan terhadap perspektif yang bersifat defintif dan absolut. Di dalam mengamati suatu fenomena, posisi dan pergerakan dari sang pengamat jugalah harus diperhitungkan. Newton berpendapat

bahwa bumi terletak pada posisi yang tetap dan statis. Akan tetapi, teori Einstein telah menunjukkan bahwa tidak ada yang disebut sebagai titik statis karena segala sesuatu yang tadinya dianggap statis ternyata relatif. Segala sesuatu di alam ini bersifat relatif. Teori Newton masih dapat digunakan tetapi hanya untuk bidang-bidang yang terbatas.

Mekanika Kantum dan Implikasinya

Perdebatan tentang mekanika kuantum antara Einstein dan Bohr pada dekade 1930-an melahirkan pertanyaan mendasar tentang apa yang dapat diketahui dan kemudian dirumuskan oleh ilmu pengetahuan. Pertanyaan itu adalah salah satu pertanyaan kritis di dalam filsafat ilmu pengetahuan. Dengan begitu, ketertarikan terhadap filsafat ilmu pengetahuan pun berkembang. Mekanika kuantum berkembang melalui pengamatan terhadap fenomena sub-atomis. Oleh karena itu, penelitian ilmiah tentang hal ini tidak dapat dilakukan sebelum abad ke-20. Ide tentang dunia yang tersusun dari atom-atom yang dipisahkan oleh ruang kosong bukanlah suatu ide baru. Leukipos dan Demokritos telah merumuskan ide itu 5 abad sebelum Masehi. Akan tetapi, sampai ditemukannya elektron pada 1897, atom dianggap sebagai suatu benda materi yang solid, dan tidak dapat dibagi-bagi lagi. Di kemudian hari, atom dianggap sebagai nukleus yang terdiri dari proton serta neutron, di mana elektron mengelilinginya, seperti planet-planet di tata surya kita mengelilingi matahari. Setelah menerima analisis tersebut, teori di dalam ilmu pengetahuan kemudian mulai mengembangkan pemahaman tentang sub atom, yakni karakter serta kualitas, dan relasi antara sub atom yang satu dengan sub atom yang lainnya. Dengan demikian, materi dianggap sebagai partikel-partikel sub atom yang diikat bersama oleh semacam kekuatan nuklir (nuclear forces).

Kata mekanika kuantum diambil dari karya Max Planck yang menemukan bahwa radiasi (cahaya maupun energi) berasal dari kuanta-kuanta yang kecil namun dapat diukur, dan bukan dari gelombang energi yang terbentuk terus menerus.

Ketika kita berhadapan dengan sesuatu yang tidak bisa langsung diamati dengan menggunakan panca indera kita, sulit bagi kita untuk memutuskan apakah konsep yang kita rumuskan berdasarkan pengamatan tersebut sungguh-sungguh memadai atau tidak. Kita tidak dapat menunjuk benda itu secara langsung, dan kemudian membuat perbandingan. Dengan demikian, ketika berusaha meneliti partikel-partikel sub atomik, semua bentuk konsep akan mengalami keterbatasan dalam perumusannya.

Masalah besar muncul karena partikel-partikel yang menjadi obyek pengamatan seringkali berubah tergantung dengan bagaimana cara mereka diamati. Dunia tidak lagi seperti yang dipikirkan oleh Newton, yakni dunia yang mekanis dan dapat diramalkan. Teori kuantum berpendapat bahwa kita tidak bisa memprediksi

gerakan ataupun relasi partikel-partikel atom ataupun sub atom yang kita amati. Paling-paling, kita hanya dapat memprediksinya sampai tahap probabilitas.

Pada 1927, Heisenberg membuktikan bahwa semakin akurat kita dapat mengetahui posisi dari suatu partikel maka semakin sulit pula kita menentukan kecepatannya. Dan sebaliknya, semakin akurat kita mengetahui kecepatan suatu partikel maka semakin sulit kita menentukan posisi partikel tersebut. Kita dapat mengetahui dengan tepat salah satu diantaranya, tetapi tidak pernah dapat mengetahui secara akurat keduanya. Pertanyaan filosofisnya, apakah prinsip ketidakpastian dan relativitas ini sungguh-sungguh merupakan gambaran dari realitas yang kita teliti atau ini justru menandakan keterbatasan dari kemampuan kita untuk mengamati dan menghitung partikel-partikel tersebut?

Pertanyaan ini membuka sebuah perdebatan keras di dalam dunia filsafat ilmu pengetahuan, terutama tentang cara bagaimana menafsirkan teori kuantum secara tepat. Secara partikular, Einstein dan Bohr memiliki pendapat yang berseberangan tentang hal ini. Bohr berpendapat bahwa teori kuantum sungguh-sungguh menggambarkan realitas yang tidak pernah bisa diketahui secara pasti. Sementara, Einstein berpendapat bahwa realitas tidaklah mungkin sesuatu yang acak. Baginya, realitas memiliki keteraturan yang jelas, hanya kemampuan kitalah yang terbatas untuk memahami keteraturan tersebut.17

Isu yang diperdebatkan di sini sangatlah penting dan mendasar. Di dalam mekanika tradisional, kita memang tidak dapat memprediksi perilaku individual secara persis. Akan tetapi, kita setidaknya dapat mengetahui dan meramalkan perilaku-perilaku kolektif, seperti pada waktu tertentu, penduduk bersama-sama menuju kotak pemilu untuk memberikan suara. Pada waktu yang sama, mekanika tradisional yakin bahwa setiap individu selalu sudah dipengaruhi oleh suatu trend kolektif, walaupun kita tidak dapat mengukur seberapa jauh pengaruh tersebut secara akurat. Mekanika kuantum menentang pernyataan terakhir ini. Di dalam kerangka teori ini, segala sesuatu adalah masalah probabilitas dan kita tidak pernah bisa sungguh-sungguh tahu bahkan di dalam teori, apa yang menjadi karakter atau perilaku partikel di dalam ilmu-ilmu alam, ataupun individu di dalam masyarakat.

Genetika

Sangat sulit untuk menggambarkan besarnya pengaruh dari penemuan struktur-struktur DNA yang dibuat oleh Francis Crick dan James Watson pada 1953. Penemuan itu telah menyediakan cara-cara yang luar biasa untuk mengeksplorasi, menghubungkan, dan bahkan memanipulasi organisme hidup. Penemuan tersebut menggambarkan struktur-struktur yang membawa semacam instruksi-instruksi yang

17

pada akhirnya membentuk semua mahluk hidup. “Informasi” yang terkandung di dalam gen ini menentukan karakter dari setiap organisme hidup. Penemuan ini juga telah membuat revolusi di dalam ilmu biologi, sama seperti teori relativitas dan mekanika kuantum telah membuat revolusi di dalam dunia fisika.

Penemuan DNA di dalam ilmu genetika ini berimplikasi sangat besar di dalam biologi. Potensi penggunaan dan manipulasi DNA ini tentunya mengundang pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan pertimbangan etis lebih jauh. Seperti kita lihat sebelumnya, teori seleksi alamiah yang dikembangkan Darwin mendasarkan diri pada ide bahwa selalu ada perbedaan kecil antara suatu spesies yang satu dengan spesies yang lainnya, dan perbedaan itulah yang membuat salah satu spesies pada akhirnya dapat bertahan hidup, sementara yang lain tidak. Akan tetapi, Darwin tidak mengetahui mekanisme yang membuat perbedaan ini menjadi mungkin. Sekarang ini, kita tahu bahwa beberapa unsur di dalam gen kita tidak selalu mengikuti apa yang menjadi unsur gen di induk kita. Gen itu mereproduksi dirinya sendiri untuk mempertahankan diri. Dengan demikian, teori genetika telah melengkapi teori Darwin dengan suatu penjelasan yang sangat mengagumkan, yakni menunjukkan bagaimana variasi antar spesies itu mungkin, sehingga mendorong terjadinya proses seleksi alamiah.

Ilmu genetika juga menyatakan pada kita bahwa ada kesamaan di antara berbagai mahluk hidup. Kita menemukan adanya gen-gen yang memiliki fungsi yang sama di spesies yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa mahluk hidup tersebut memiliki nenek moyang yang sama.

Teori genetik ini telah berevolusi dari suatu teori yang tidak memiliki bukti-bukti nyata menjadi suatu teori yang mampu menggambarkan fakta-fakta yang sangat penting bagi ilmu pengetahuan. Setiap mahluk hidup memiliki akar genetik yang sama. Hal ini menunjukkan adanya kesalingterkaitan antara mahluk hidup yang satu dengan mahluk hidup lainnya.

Beberapa Implikasi

Pemahaman tentang dasar-dasar teori genetika memberikan kita kemampuan untuk memberikan semacam refleksi etis atas praktek-praktek internal teori genetika itu sendiri. Fakta bahwa suatu hal dapat dilakukan tidak menjamin hal tersebut boleh ataupun harus dilakukan.

Pada Januari 2001, pemerintah Inggris memperbolehkan penggunaan kloning terhadap embrio demi pengembangan di bidang penelitian medis. Mereka berpendapat bahwa kloning dapat membantu penelitian tentang batang sel yang mungkin dapat membuat penemuan di bidang penggantian sel pada penyakit-penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Dengan kata lain, sel-sel yang rusak akibat

suatu penyakit dapat digantikan dengan sel-sel baru yang lebih sehat. Sementara itu, pihak lain berpendapat sebaliknya, yakni kloning atas sel akan bermuara pada kloning atas manusia. Kloning atas manusia berarti membawa kemungkinan bahwa seseorang dapat membuat kehidupan sendiri. Ia menentukan seluruh kualitas dari kehidupan itu, seperti intelegensinya ataupun penampilannya. Hal ini jauh mengundang lebih banyak masalah dan pertanyaan daripada jawaban yang diberikan.

Problem filosofis yang terkandung di dalam pemaparan sebelumnya adalah tentang sejauh mana ilmu pengetahuan murni harus dibatasi dengan menimbang implikasi-implikasi dari ilmu pengetahuan itu. Hal ini tentunya selalu menjadi masalah. Einstein bahkan sangat khawatir akan penerapan rumusan-rumusan yang dibuatnya ke dalam penciptaan senjata nuklir. Di sisi lain, orang-orang seperti Archimedes justru berharap bahwa ilmu pengetahuan murni dapat diterapkan ke dalam kehidupan praktis dan pembuatan senjata adalah salah satunya.

Isu yang sangat mendasar di sini adalah bahwa ilmu pengetahuan selalu bergerak di level yang impersonal. Oleh sebab itu, seringkali penemuan-penemuan di dalam bidang ilmiah merusak makna dan perasaan istimewa yang dimiliki manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang tertinggi. Ketakutan ini cukup dapat dimengerti, karena bagi orang-orang tertentu, ilmu pengetahuan dapat menggoyang keyakinan moral, religius, dan penghayatan personalnya.

Sekarang ini, kita tidak mungkin menolak keuntungan dari penerapan ilmu pengetahuan, seperti dalam bidang transportasi, komunikasi, ataupun kedokteran. Lepas dari itu, masih mungkinkah kita bertanya, sejauh mana kita tetap harus bersikap kritis terhadap peran ilmu pengetahuan yang mengklaim dirinya sebagai “penyelamat” umat manusia? Pada titik inilah dibutuhkan semacam refleksi etis tentang ilmu pengetahuan dan implikasinya bagi kehidupan manusia.

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 128-133)