• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengamatan dan Obyektivitas

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 136-139)

Metode Saintifik

3.1 Pengamatan dan Obyektivitas

Sikap berhati-hati sangat diperlukan di dalam menyatakan suatu klaim ilmu pengetahuan. Setiap hal yang dikatakan haruslah didukung oleh argumentasi teoritis yang memadai dan bukti-bukti eksperimental yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran serta ketepatannya. Di sini, saya akan mengutip pernyataan Professor Neil Turok pada 1998 di dalam sebuah artikel di surat kabar Daily Telegraph, ketika ia sedang melakukan penelitian tentang asal usul alam semesta bersama Professor Stephen Hawking.

“Pertama-tama, suatu penemuan (tentang asal usul alam semesta) adalah matematis

19

secara esensial, dan penemuan tersebut diformulasikan dengan bahasa teori relativitas umum yang ditemukan oleh Albert Einstein untuk menggambarkan gravitasi, sesuatu kekuatan yang membentuk struktur alam semesta. Sangatlah sulit untuk menggambarkan hal semacam itu dengan bahasa sehari-hari tanpa mengalami kesalahan di beberapa aspek. Asal usul alam semesta kita jelas bukanlah kejadian sehari-hari.

Hal penting kedua yang ingin saya sampaikan adalah bahwa teori tentang asal usul alam semesta sebelum terjadinya Big Bang belumlah didukung oleh bukti-bukti eksperimental. Kita sering membicarakannya seolah-olah hal tersebut nyata karena kita menganggapnya dengan sangat serius, tetapi kita tidak mempunyai wawasan langsung pada kebenaran. Yang kita lakukan adalah merumuskan hipotesis yang memenuhi standar keketatan fisika teoritis…. Sampai teori kami didukung oleh eksperimen yang detil dan pengamatan maka teori tersebut tetap spekulatif.”20

Ada dua hal penting yang dapat disimpulkan dari kutipan diatas.

Pertama, tidaklah selalu mudah bagi seorang ilmuwan untuk mendeskripsikan penelitiannya dalam bahasa. Beberapa hal, karena tingkat kerumitannya, hanyalah masuk akal jika dikatakan dalam bentuk formulasi matematis. Ada waktunya, ketika seorang ilmuwan mengklaim bahwa mereka sudah mengetahui sesuatu sebelum mereka menggambarkannya dalam terms-term ilmiah.

Kedua, dan ini adalah tema utama diskusi kita pada Bab ini, yakni bahwa suatu klaim ilmiah haruslah didukung oleh bukti-bukti. Bukti-bukti itu didapat dari fenomena alam, terutama dalam ilmu astronomi, atau dari data partikular yang dapat diukur dan diklasifikasi. Akan tetapi, seringkali bukti-bukti yang digunakan untuk mendukung suatu teori diperoleh dari eksperimen yang dilakukan untuk mengukur beberapa aspek partikular dari realitas saja yang ingin dianalisis oleh ilmuwan tersebut.

Di dalam seluruh bab ini, kita akan banyak membicarakan tentang hakekat bukti-bukti yang mendukung suatu pernyatan ilmiah dan bagaimana bukti-bukti-bukti-bukti itu didapat serta dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, kita harus tetap sadar bahwa di dalam ilmu pengetahuan, apa yang disebut bukti seringkali tidaklah datang dari pengamatan langsung, tetapi dari eksperimen laboratorium, suatu kondisi dapat direkayasa sesuai dengan kepentingan uji coba. Ekperimen adalah suatu upaya menciptakan situasi artifisial yang faktor-faktor yang tidak terkait dengan percobaan yang dilakukan, sehingga seorang peneliti dapat terfokus untuk mengukur variabel-variabel yang kecil dan menyatu. Hasil dari eksperimen lebih tepat dan terukur, sehingga dapat berguna untuk merumuskan sebuah teori. Akan tetapi, hasil

20

eksperimen tersebut tidak selalu dapat diamati di dalam dunia sehari-hari, di mana segala sesuatu saling terkait, bercampur, berbagai variabel saling mempengaruhi satu sama lain, dan menyebabkannya obyek penelitian menjadi tidak terfokus.

Tidak pernah ada satu pun eksperimen di dunia ini yang dapat menjelaskan suatu fenomena dalam semua situasi. Jika ada eksperimen yang berpretensi seperti itu, maka sang peneliti haruslah memeriksa fenomena seluas dan sekompleks alam semesta itu sendiri. Dengan demikian, bukti-bukti suatu rumusan teori bersifat sangat selektif, dan sangat mencerminkan asumsi dasar yang dipunyai sang peneliti. Hal inilah yang menjadi sebab utama terjadinya perdebatan keras di dalam dunia ilmu pengetahuan tentang status dari sebuah teori ilmu pengetahuan.

Salah satu argumen di dalam debat itu adalah, apakah ada suatu bentuk eksperimen yang memiliki keakuratan pasti sehingga dapat menunjukkan teori mana yang memadai dan teori mana yang tidak. Para ilmuwan awal, seperti Francis Bacon, berpendapat bahwa hal itu mungkin. Akan tetapi, ilmuwan abad ke-20, seperti Pierre Duhem, seorang fisikawan berpendapat bahwa hal tersebut tidaklah mungkin karena kita tidak akan pernah tahu bagaimana suatu teori diterapkan di tempat-tempat yang berbeda di luar ruang eksperimen. Lepas daripada itu, teori relativitas yang dirumuskan Einstein ternyata dapat mengklaim keakuratannya, dan menunjukkan kelebihan-kelebihannya dibandingkan teori-teori yang lain.

Seperti sudah disinggung pada Bab sebelumnya, ketika Galileo berpendapat bahwa teori Kopernikus tentang bumi yang mengelilingi matahari benar, teorinya mendapatkan banyak tantangan dari para pemikir konservatif, bukan karena kesimpulannya yang berbeda dengan mereka, tetapi karena metodenya berbeda. Galileo mendasarkan teorinya pada kalkulasi dan pengamatan. Padahal, pada masa itu, teori yang memadai haruslah bersifat deduktif, yakni dimulai dengan prinsip-prinsip umum, dan bermuara pada penemuan bukti-bukti yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut.

Galileo berhadapan dengan suatu tradisi intelektual religius yang berpendapat bahwa konsep Aristoteles tentang kesempurnaan dan tujuan final ditempatkan lebih prioritas daripada pengamatan dan bukti-bukti empiris yang didapatkan dari pengamatan. Galileo melakukan eksperimen untuk menunjukkan bahwa konsep Aristoteles itu salah. Dengan kata lain, metode yang digunakan oleh mayoritas pemikir pada masa itu adalah metode deduktif, bukti-bukti diturunkan dari suatu prinsip umum yang dianggap berlaku universal. Sebaliknya, Galileo menggunakan metode induktif, yakni merumuskan suatu teori dengan berdasarkan pengamatan, eksperimen, dan kalkulasi data. Metode induktif ini nantinya akan menjadi salah satu pilar utama perkembangan metode ilmiah di dalam ilmu pengetahuan.

Aristotelian dengan Galileo adalah bahwa sementara Galileo berfokus untuk melihat apa yang terjadi, para pemikir Aristotelian tersebut melihat mengapa dan tujuan suatu fenomena itu terjadi. Pada Bab sebelumnya, kita sudah melihat bahwa Francis Bacon juga menolak paradigma Aristotelian tersebut dan berpendapat bahwa ilmu pengetahuan haruslah didasarkan pada bukti-bukti nyata, dan bukan hanya prinsip-prinsip umum. Tesis Bacon tentang idol-idol, prasangka, dan konformitas, serta penekanannya pada penerimaan bukti-bukti nyata, walaupun bukti-bukti tersebut tidak sesuai dengan harapan sang peneliti, menjadi tanda perubahan paradigma ke arah metode saintifik, seperti kita pahami sekarang ini.

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 136-139)