• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat Ilmu-Ilmu Sosial

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 197-200)

Sampai Bab ini, kita sudah bersama-sama melihat bahwa perbedaan antara ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu terapan, dan ilmu-ilmu murni ternyata tidaklah sejelas yang kita kira sebelumnya. Banyak ahli filsafat ilmu, seperti Kuhn, Mayr, dan Ben-David, yang berpendapat serupa, yakni bahwa perbedaan antara berbagai jenis ilmu pengetahuan tersebut tidaklah seakurat seperti apa yang kita asumsikan sebelumnya.52 Akan tetapi, fakta bahwa perbedaan diantara pelbagai ilmu itu tipis tidak berarti tidak diperlukan lagi suatu pembedaan. Argumen saya di dalam Bab ini adalah bahwa ilmu-ilmu sosial memiliki kapasitas teoritis yang memadai dan tujuan yang sama seperti layaknya ilmu-ilmu alam, yakni untuk memahami dunia. Dalam konteks ini, ilmu-ilmu sosial haruslah dibagi menjadi dua, yakni antara

penelitian sosial (social research) yang bertujuan untuk mendapatkan data-data

yang akurat berkaitan dengan masyarakat di satu sisi, dan ilmu-ilmu sosial terapan (applied social sciences) yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis dalam konteks hidup bermasyarakat.

Ilmu sosial sebagai penelitian sosial (social research) muncul di dalam proses berkembanganya negara-negara demokrasi modern (modern states). Dewasa ini tidak bisa lagi diragukan, bahwa setiap pemerintah di dunia ini membutuhkan informasi-informasi yang disediakan oleh para ilmuwan sosial mulai dari data-data demografis sampai data jumlah pengangguran di dalam suatu negara, data tentang keseimbangan perdagangan, tingkat inflasi, tingkat kejahatan, tingkat kesehatan, dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Beberapa dari informasi yang disediakan oleh para ilmuwan sosial ini dapat diandalkan. Sementara, beberapa informasi lainnya tidak dapat diandalkan. Dalam hal ini, tidak bisa juga diragukan bahwa yang mutlak dibutuhkan adalah informasi-informasi yang memadai, yakni suatu penelitian sosial dengan hasil yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, walaupun berkaitan dengan pengumpulan data, dan pengumpulan data kerap kali berkaitan dengan statistik, ilmu-ilmu sosial tidak pernah dapat dan boleh direduksikan semata-mata hanya sebagai penelitian sosial.

Saya sendiri berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial tidak pernah boleh diidentikan dengan penyelidikan dengan menggunakan statistik (statistical enquiry). Akan tetapi, banyak juga ilmuwan sosial yang berpendapat bahwa metodologi di dalam penelitian sosial diidentikkan melulu dengan metodologi yang digunakan di dalam ilmu-ilmu sosial secara keseluruhan. Yang terakhir ini memang banyak

52

dikenal sebagai para ilmuwan sosial kuantitatif yang seringkali dibedakan dengan para ilmuwan sosial kualitatif. Pembedaan semacam ini menciptakan kebingungan yang sangat besar di dalam ranah ilmu-ilmu sosial itu sendiri. Pada bagian akhir Bab ini, saya akan mencoba memberikan argumentasi mengenai hal ini. Secara keseluruhan, Bab ini sebenanya mau merumuskan suatu konsepsi ilmu-ilmu sosial yang bersifat realis (realist social science) sebagai alternatif dari paradigma yang mendominasi di dalam ilmu-ilmu sosial. Sebelum masuk ke dalam inti argumentasi, saya akan menjabarkan terlebih dahulu latar belakang perdebatan yang menarik perhatian saya dalam konteks filsafat ilmu-ilmu sosial.

7.1 Perdebatan Kontemporer

Di dalam filsafat ilmu-ilmu sosial, perdebatan kontemporer terjadi berkaitan dengan perbedaan pendapat antara para ilmuwan sosial subyektifis dan para ilmuwan sosial obyektifis, terutama tentang relasi antara pelaku (agency) dan struktur (structure) di dalam masyarakat. Para ilmuwan subyektifis sangatlah dipengaruhi oleh filsafat idealisme yang melihat manusia sebagai mahluk yang memiliki kebebasan esensial di dalam dirinya untuk membentuk dunia. Sementara, para ilmuwan sosial obyektifis seolah-olah memutlakkan pengaruh struktur masyarakat terhadap individu, sehingga manusia tampak tidak lagi memiliki kebebasan di dalam dirinya. Memang, ada perbedaan yang cukup signifikan di antara dua tipe ilmuwan sosial tersebut. Dalam konteks filsafat, tipe ilmuwan sosial

subyektifis tampak lebih berkaitan dengan aliran-aliran filsafat yang berpengaruh,

seperti fenomenologi yang dirumuskan Schutz, teori kritis dan hermeneutika yang dirumuskan oleh Habermas, Gadamer, Ricoeur, dan Charles Taylor.53

Titik tolak pandangan subyektifis ini adalah kritik terhadap paradigma positivisme di dalam ilmu-ilmu sosial. Salah satu argumentasi utamanya adalah bahwa realitas sosial selalu terdiri dari pelaku-pelaku, dan untuk memahami realitas sosial tersebut, kita harus terlebih dahulu memahami makna dan motivasi dari pelaku-pelaku yang membentuknya. Artinya, setiap orang di dalam masyarakat memiliki tindakan yang bermakna (meaningful action) di dalam perilaku sehari-hari mereka. Di sisi lain, para ilmuwan obyektifis mereduksikan tindakan yang bermakna tersebut melulu pada perilaku mekanis (mechanical behaviour), sehingga realitas sosial pun dipandang tidak lagi berbeda dengan realitas yang hendak diselidiki di dalam ilmu-ilmu alam. Singkat kata, bagi para ilmuwan obyektifis, realitas sosial identik dengan realitas natural yang diteliti di dalam ilmu-ilmu alam. Pada titik ini, menurut saya, ada kesalahan epistemologis di dalam paradigma para ilmuwan

obyektifis, yakni bahwa mereka tidak pernah bertanya, bagaimana realitas sosial

terbentuk, dipertahankan, dan mengalami perubahan. Yang lebih parah lagi, paradigma obyektifis di dalam ilmu-ilmu sosial yang menekankan pengamat yang

53

tidak berpihak sebenarnya tidaklah mungkin terjadi. Individu pun dipandang sebagai individu yang tidak memiliki kebebasan dan terasing dari struktur yang membentuknya. Dalam hal ini, tesis Talcott Parsons kiranya dapat memberi sedikit gambaran. Baginya, masyarakat dan kebudayaan adalah suatu entitas yang otonom yang membentuk orang-orang yang ada di dalamnya, dan bukan sebaliknya.54

Nah, dalam kosa kata teori-teori Marxis, paradigma ilmu sosial yang bersifat

obyektifis tampak tidak peka terhadap adanya dominasi dan penindasan dari

kesadaran palsu, atau ideologi yang menyelubungi ketidakberesan di dalam suatu struktur. Menurut saya, ilmu-ilmu sosial tidak boleh pasif dan berhenti pada deskripsi atas apa yang terjadi di dalam realitas sosial, tetapi juga menyelidiki apakah individu-individu yang ada di dalam masyarakat memiliki pemahaman menyeluruh tentang dunia mereka. Dan jika tidak, ilmuwan sosial juga harus bertanya, mengapa terjadi distorsi di dalam kesadaran mereka? Tentu saja, gaya berpikir yang saya ajukan ini sangat dekat dengan paradigma teori kritis Frankfurt. Akan tetapi, teori kritis Frankfurt, terutama sejak Habermas, telah mengalami pembalikan epistemologis, atau apa yang disebut sebagai pembalikan idealis (idealist turn). Mereka menjadi lebih berfokus pada etika diskursus dalam konteks hermeneutika, sambil tetap memberikan tempat pada kemungkinan kritik atas kesadaran palsu. Teori kritis menjadi lebih kritis terhadap semua bentuk posisi epistemologis yang mengklaim kebebasan nilai di dalam penelitiannya, dan tetap berupaya mewujudkan cita-cita emansipasinya, walaupun dengan jalan yang lebih liberal. Saya sendiri berpendapat bahwa teori kritis membutuhkan paradigma ilmu-ilmu sosial realis untuk melengkapi amunisi epistemologis mereka.

Di samping perbedaan pendapat antara paradigma ilmu sosial subyektifis dan

obyektifis, para ilmuwan sosial juga berbeda pendapat tentang relasi antara pelaku

dan struktur di dalam masyarakat. Perdebatan ini erat terkait dengan para pemikir strukturalisme Perancis. Saya berpendapat bahwa strukturalisme sendiri lahir sebagai sebuah tanggapan terhadap paradigma ilmu-ilmu sosial yang cenderung voluntaristik, yakni mempostulatkan dan memutlakkan kebebasan manusia, dan individualis, seperti yang dirumuskan oleh Hobbes dan Max Weber.55 Di samping itu, strukturalisme juga lahir sebagai tanggapan kritis terhadap paradigma Hegelian di dalam filsafat sejarah dan filsafat sosial, terutama pemikiran Hegel yang telah ditafsirkan oleh Marx dalam bentuk materialisme historis. Akan tetapi, problem di dalam strukturalisme adalah bahwa individu sebagai pelaku justru dideterminasi sepenuhnya oleh struktur yang otonom yang bersifat independen sepenuhnya dari individu tersebut. Salah satu bentuk strukturalisme yang paling menantang adalah apa yang dirumuskan oleh Levi Strauss. “Tujuan dari ilmu-ilmu kemanusiaan”, demikian tulisnya, “adalah bukan untuk membentuk individu, melainkan untuk

54 Lihat, ibid, hal. 268.

55

memecahkannya.”56 Sementara itu, menurut Louis Althusser, sejarah adalah suatu bentuk sejarah tanpa subyek. Baginya, perubahan sosial adalah suatu proses yang bertahap dan tidak berhubungan, serta tidak mengikutsertakan peran aktif manusia. Struktur adalah suatu entitas yang otonom, independen, dan terdiri dari berbagai macam sistem serta kontradiksi. Ia pun memberikan contoh kontradiksi puncak di dalam struktur tanpa peran aktif manusia di dalam revolusi Bolshevik 1917 di Russia. Pada hemat saya, sejauh pandangan para strukturalis ini ditempatkan sebagai penyeimbang terhadap pandangan yang terlalu optimis akan kapasitas kepelakuan manusia, pandangan ini dapatlah diafirmasi. Akan tetapi, jika pandangan semacam ini ditempatkan sebagai suatu paradigma epistemologis di dalam memandang relasi antara manusia dengan komunitasnya, pandangan ini tidaklah memadai. Alasannya telah dijabarkan sebelumnya.

Aliran yang berkembang setelah strukturalisme adalah poststrukturalisme. Walaupun dipengaruhi oleh strukturalisme, para pemikir postrukturalis mengumandangkan bubarnya struktur. Konsekuensinya, tolok ukur menjadi relatif, nihilisme epistemologis, yakni di mana kebenaran hanyalah dipandang sebagai suatu ilusi. Kebenaran dianggap sebagai bagian dari metafisika kehadiran yang dominan di dalam filsafat barat, dan justru menjadi kritik utama bagi para pemikir postrukturalisme. Hasilnya adalah suatu refleksi atas dunia yang bersifat subyektif, tetapi tanpa subyek.57 Para pemikir poststrukturalis, terutama Derrida dan Foucault, juga memberikan beberapa inspirasi teoritis bagi ilmu-ilmu sosial. Mereka berdua mengkritik konsepsi subyek Pencerahan yang universal, otonom, dan rasional. Foucault juga melihat adanya relasi antara setiap bentuk klaim pengetahuan dengan kekuasaan. Saya sendiri tidak mau masuk ke penjabaran mendetil mengenai hal ini. Oleh karena itu, pada bagian berikutnya, saya akan mulai masuk ke dalam problematika terbesar di dalam filsafat ilmu-ilmu sosial, yakni tentang obyek dari teori di dalam ilmu-ilmu sosial. Lugasnya, saya akan menjabarkan apa yang disebut sebagai ontologi masyarakat.

7.2 Ontologi dari Masyarakat

Memang jauh lebih mudah jika dikatakan bahwa teori-teori ilmu pengetahuan, baik itu ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, berhadapan dengan fenomena yang sama konkretnya di dalam dunia, dan kemudian merumuskan hukum-hukum abstrak dari fenomena-fenomena yang partikular tersebut. Di dalam buku ini, saya sendiri telah berargumentasi bahwa ada perbedaan yang bersifat ontologis antara obyek ilmu-ilmu alam dan obyek ilmu-ilmu sosial. Dengan kata lain, struktur sosial, yang menjadi obyek refleksi ilmu-ilmu sosial, tidak perlu harus sama dengan obyek di dalam ilmu-ilmu alam. Paradigma ilmu pengetahuan mekanistik yang melulu melihat obyek analisisnya sebagai benda hanyalah dapat digunakan di dalam

56 Levi-Strauss, The Savage Mind, Chicago: University of Chicago Press, 1966, hal. 247.

57

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 197-200)