• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa Cabang Umum Filsafat

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 32-89)

4.1 Epistemologi

Setelah Anda mendapat pengetahuan umum tentang filsafat, ciri kualitatifnya, serta teknik membaca dan memahami tulisan-tulisan filsafat maka pada bab ini, saya akan memperkenalkan Anda dengan beberapa cabang umum di dalam filsafat. Tulisan di dalam bab ini dapat diperlakukan sebagai teks sekunder, yakni teks yang mengantar atau memandu Anda untuk membaca tulisan-tulisan asli filsuf yang bersangkutan. Beberapa cabang yang akan sedikit diperkenalkan di sini adalah epistemologi, metafisika, dan etika. Bagian etika akan sedikit lebih panjang dari bagian lainnya karena saya hendak memberikan contoh tentang bagaimana tepatnya melakukan penelurusan sistematis terhadap beberapa teori di dalam filsafat terutama filsafat moral atau etika.

Yang pertama adalah epistemologi. Pengetahuan manusia telah menjadi obyek refleksi filsafat selama ribuan tahun. Nah, seperti sudah disinggung pada bab pertama, cabang filsafat yang secara khusus merefleksikan pertanyaan-pertanyaan mendasar sekaligus menyeluruh tentang pengetahuan adalah epistemologi. Secara etimologis, epistemologi berasal dari kata Yunani, yakni episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti perkataan, pikiran, ataupun ilmu. Oleh karena itu, epistemologi adalah salah satu cabang dari filsafat yang hendak membuat refleksi kritis terhadap dasar-dasar dari pengetahuan manusia. Oleh karena itu, epistemologi sering juga disebut sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge).

Dengan epistemologi, Anda diajak untuk merefleksikan dan menganalisis ciri-ciri mendasar dari pengetahuan manusia. Pertanyaan pokok yang diajukan adalah bagaimana suatu bentuk pengetahuan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya? Dimanakah batas-batas pengetahuan manusia? Di samping itu, epistemologi juga hendak mencari syarat-syarat logis yang memungkinkan pengetahuan. Dalam konteks ini, pertanyaan dasarnya adalah bagaimana saya tahu bahwa saya tahu?

Kita bisa melihat karakter normatif, evaluatif dan kritis yang menandai cabang filsafat ini. Normatif berarti ada upaya untuk menentukan norma sebagai tolok ukur kebenaran pengetahuan. Evaluatif berarti epistemologi hendak menilai sejauh mana suatu pendapat di dalam ilmu pengetahuan ataupun pengetahuan pada umumnya dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan. Sedangkan, kritis berarti epistemologi mengajak Anda untuk mempertanyakan dan menguji seluruh proses kegiatan mengetahui manusia.

Epistemologi sebenarnya juga masih mempunyai cabang, yakni filsafat sains. Filsafat sains ini muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan positif dan sains sejak abad ke-17 dan terus berkembang pesat sampai sekarang. Pada awalnya, filsafat sains lebih merupakan suatu metode sekaligus pengkajian atas metode tersebut di dalam praktek kerja sains. Sudarminta, di dalam bukunya yang berjudul

Epistemologi Dasar menyatakan bahwa logika sains dapat dibedakan menjadi dua,

yakni konteks penemuan ilmiah (context of discovery) dan konteks pertanggungjawaban rasional atas penemuan tersebut (context of justification). Yang menjadi pusat analisis dari filsafat sains adalah konteks pertanggungjawaban rasional. Akan tetapi, dewasa ini filsafat sains juga berupaya merefleksikan konsekuensi etis dari perkembangan ilmu pengetahuan, seperti munculnya isu-isu tentang kloning, penggunaan teknologi nuklir untuk senjata, senjata biologi, dan sebagainya. (Sudarminta, 2002)

Memang, di dalam dunia akademis, pengetahuan tidak hanya menjadi obyek kajian filsafat, tetapi juga ilmu-ilmu lainnya, seperti psikologi ilmu pengetahuan, dan sosiologi ilmu pengetahuan. Nah, yang membedakannya dengan filsafat ilmu pengetahuan adalah cara pendekatannya. Seperti sudah disinggung sebelumnya, filsafat hendak menyelidiki secara kritis pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar sekaligus menyeluruh. Dalam proses ini, banyak pendapat umum dan argumen yang tidak didukung oleh argumentasi yang kuat akan goyang. Proses yang kurang lebih sama terjadi di dalam epistemologi ketika hendak merefleksikan pengetahuan manusia.

Contoh:

Jika pengetahuan manusia melulu disempitkan pada sains saja, pengetahuan-pengetahuan lainnya, seperti pengetahuan-pengetahuan estetik, akan dianggap tidak bermakna. Konsekuensinya, pengetahuan manusia direduksi melulu menjadi pengetahuan

saintifik saja dan ini adalah proses pemiskinan kekayaan pengetahuan manusia sendiri. Filsafat sains dapat berperan untuk memperjernih pemahaman ini.

Ada beberapa pertanyaan yang kerap kali menjadi pergulatan para filsuf di dalam epistemologi.

Contoh:

Apa itu pengetahuan? Apa ciri-ciri hakiki dari pengetahuan? Apa batas-batas pengetahuan manusia? Apa kaitan pengetahuan dengan kekuasaan? Apa peran intuisi di dalam pembentukan pengetahuan? Memang, ada banyak pertanyaan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah menjadi bahan refleksi para filsuf sepanjang jaman, bahkan sampai sekarang.

4.2 Metafisika

Seperti sudah disinggung sebelumnya, metafisika adalah cabang filsafat yang hendak menyelidiki kenyataan dari sudut yang paling mendasar, paling mendalam, sekaligus paling menyeluruh. Oleh karena itu, metafisika sering juga disebut sebagai filsafat dasariah atau seperti yang dikatakan oleh Aristoteles, filsafat pertama. Nah, Aristoteles membuat nama ini sebenarnya dalam konteks kritiknya terhadap cara berfilsafat para filsuf Yunani Kuno sebelum dia. Bagi Aristoteles, para filsuf sebelumnya memang berfilsafat, tetapi belum sampai pada titik yang paling mendalam. Artinya, argumen-argumen yang mereka ajukan masihlah sederhana dan belum memuaskan. Karena itulah, Aristoteles menyebut filsafat sebelumnya sebagai filsafat kedua (Lanur, 2002).

Ia kemudian mencoba merumuskan suatu bentuk filsafat yang mencoba menggali semua aspek realitas dari sudutnya yang paling mendalam mulai dari tentang alam, tentang Tuhan, tentang jiwa, dan tentang badan. Ia pun kemudian menamakan cara berfilsafat seperti itu sebagai filsafat pertama, atau metafisika. Dalam konteks ini, ia mau menyelidiki tidak saja obyek-obyek yang dapat ditangkap oleh panca indera, tetapi juga obyek-obyek yang hakekatnya melampaui panca indera tersebut, seperti Tuhan.

Yang harus dimengerti adalah bahwa metafisika tidaklah mengacu pada suatu obyek tertentu yang bersifat konkret, melainkan lebih bersifat formal. Artinya, segala sesuatu di dalam realitas diselidiki dari sudutnya paling mendalam dan yang paling mendasar. Oleh karena itu, metafisika dapatlah dikatakan sebagai suatu refleksi

filosofis tentang realitas yang paling dalam dan paling akhir secara total. Dengan kata lain, metafisika hendak mengungkapkan realitas dalam satu konsep dasariah yang paling total.

Ada beberapa hal yang kiranya perlu ditambahkan tentang konsep metafisika. Kata meta memiliki arti melampaui dan sering digunakan untuk mengacu pada

aktivitas level kedua, yakni aktivitas yang mampu menganalisis aktivitas level pertama.

Contoh:

Sosiologi itu menganalisis masyarakat secara langsung. Sementara, meta-sosiologi menganalisis logika internal dari sosiologi yang digunakan untuk menganalisis masyarakat.

Jadi, sosiologi berpikir tentang manusia dan kehidupan sosialnya. Sementara,

meta-sosiologi berpikir tentang meta-sosiologi yang tengah memikirkan manusia dan kehidupan

sosialnya. Jelaskah?

Etika berurusan dengan pertanyaan tentang benar dan salah. Sementara,

meta etika berurusan dengan apa artinya benar dan salah. Dengan kata lain,

metafisika, yang melibatkan semua refleksi lain yang bersifat meta, bergerak di level abstraksi dan universalitas yang lebih tinggi dari subyek yang dianalisisnya. Jika fisika bersama semua ilmu pengetahuan lainnya berurusan dengan interaksi antar obyek yang ada di sekitar kita, maka metafisika berurusan dengan pertanyaan yang lebih abstrak, seperti mengapa ada sesuatu daripada tidak ada, apakah kausalitas itu niscaya.

Metafisika juga seringkali diartikan sebagai suatu sistem pemikiran yang mencakup semua, dan bertujuan untuk mendeskripsikan realitas yang melampaui pengalaman sehari-hari.

Sistem pemikiran semacam ini seringkali dikritik karena telah mengklaim mampu mengetahui segala sesuatu. Padahal, rasio manusia terbatas di dalam prosesnya mengetahui realitas sehingga tidak mungkin mampu mengetahui segala sesuatu.

Seperti sudah dikatakan sebelumnya, metafisika sendiri adalah salah satu tema filsafat yang diajarkan oleh Aristoteles kepada murid-muridnya. Ia membagi dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan teoritis (theoretical knowledge) dan pengetahuan praktis (practical knowledge). Pengetahuan teoritis mencakup matematika, fisika, dan apa yang disebutnya sebagai filsafat pertama (first

philosophy). Nah, filsafat pertama inilah yang nantinya disebut sebagai metafisika,

terutama karena tempatnya berada setelah fisika, dan dianggap melampaui fisika. Nama metafisika pun akhirnya menjadi salah satu tema penting di dalam pemikiran Aristoteles.

Di dalam filsafat Aristoteles, metafisika mencakup dua bidang besar di dalam filsafat, yakni ontologi dan epistemologi. Ontologi merupakan refleksi tentang berbagai tema umum di dalam filsafat yang terkait dengan hakekat, termasuk hakekat dari Tuhan, hakekat dari realitas, dan hakekat dari perubahan di dalam realitas tersebut.

Sementara, epistemologi merupakan refleksi filosofis tentang pengetahuan manusia, yakni tentang struktur pengetahuan manusia, genesisnya, dan batas-batas dari pengetahuan tersebut. Secara umum, sebenarnya epistemologi dipisahkan dari metafisika, yakni sebagai salah satu cabang dari tiga cabang filsafat yang sudah saya tuliskan sebelumnya.

Di dalam perjalanan sejarah, epistemologi telah memperoleh tempat yang cukup kokoh di dalam refleksi filsafat. Sementara metafisika justru masih menjadi wilayah abu-abu yang belum mempunyai status tetap, bahkan sampai sekarang. Lagi pula, beberapa filsuf berpendapat bahwa pengetahuan yang bersifat metafisis tidaklah bisa diperoleh karena melampaui batas-batas pengetahuan manusia. Kata metafisika pun jadi memperoleh makna yang bersifat konotatif.

Contoh:

Saya bertanya tentang apa hakekat dari realitas ini, inti dari realitas yang ada ini? Hegel menjawab bahwa inti dari realitas adalah Roh Absolut. Spinoza akan menjawab bahwa inti dari realitas adalah susbtansi.

Nah, Roh Absolut dan substansi adalah konsep yang tidak pernah bisa dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dicium oleh hidup. Jadi, bagaimana kita bisa tahu kalau konsep-konsep itu ada?

Bahkan, David Hume, seorang filsuf Inggris abad ke-17 berkata bahwa metafisika haruslah dibuang ke dalam api. Bahkan, dewasa ini banyak filsuf yang berpendapat bahwa metafisika tidak lebih dari suatu omong kosong belaka, terutama karena banyak klaim-klaimnya tidak bisa verifikasi secara empiris.

Wittgenstein juga mengkritik seluruh tradisi filsafat barat, terutama para filsuf yang merasa dirinya telah mengajukan pertanyaan dan memberikan jawaban yang bermakna. Padahal, mereka berbicara dengan menggunakan bahasa-bahasa yang tidak tepat. Ketidaktepatan itu membuat apa yang mereka katakan menjadi tidak bermakna.

Bahkan, ia bertujuan untuk mengembalikan filsafat ke pertanyaan tentang realitas sehari-hari dan lepas dari metafisika. Ini adalah ironi, yakni Hume dan Wittgenstein hendak menghancurkan metafisika, tetapi mereka sendiri mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang bersifat metafisis. Lepas dari pada itu, problematika tentang status metafisika tetaplah problem yang paling menarik dan menantang di dalam filsafat.

Filsafat memiliki sejarah yang sangat panjang. Para filsuf yang hidup pada masa lalu pun masih dibaca dan direfleksikan pemikiran-pemikirannya sehingga kita bisa mengerti sumbangan apa yang telah mereka berikan dan memperbesar kemungkinan mengkontekstualisasikannya untuk keadaan sekarang.

Proses membaca dan memahami para filsuf yang hidup pada masa lalu juga memungkinkan kita mempunyai pandangan yang lebih luas tentang pertanyaan-pertanyaan macam apakah yang biasanya menjadi pergulatan utama para filsuf tersebut. Nah, setiap buku pengantar filsafat haruslah mencoba memberikan kepada pembacanya suatu rasa historis, terutama perasaan bahwa kita terlibat aktif dalam pergulatan-pergulatan intelektual para pemikir besar sepanjang jaman.

Sejarah filsafat mundur sekitar 2500 tahun yang lalu. Walaupun, aktivitas berfilsafat itu sendiri berusia jauh lebih tua, bahkan setua peradaban manusia itu sendiri. Memang, sampai saat ini belum ada penyelidikan lebih jauh tentang filsafat sebelum 2500 tahun yang lalu. Alasannya jelas, keterbatasan sumber untuk menggali apa yang terjadi, pada bidang filsafat tentunya, sebelum waktu itu. Sudah ada beberapa buku di dalam berbahasa Indonesia yang membahas filsafat Yunani Kuno dan abad pertengahan. Dan pada hemat saya, buku-buku itu cukuplah akurat dan lugas.

Selanjutnya, Immanuel Kant berpendapat bahwa kita hanya dapat mengetahui benda-benda sebagai penampakan, yakni benda yang ada di dalam intuisi apriori ruang dan waktu. Benda pada dirinya sendiri haruslah diandaikan saja, tetapi tidak bisa diketahui. (Kant, 1791). Di abad ke-20, A.J Ayer terkenal sebagai filsuf yang melakukan revolusi atas metafisika. Di dalam bukunya yang berjudul Language,

Truth, and Logic, ia berpendapat bahwa argumentasi di dalam metafisika tidaklah

bermakna. Hampir sepanjang abad ke-20, universitas-universitas di Inggris telah meninggalkan tema-tema metafisika. Akan tetapi, pada awal abad ke-21, minat terhadap metafisika tampak kembali bertumbuh di Inggris.

Popper di dalam bukunya The Logic of Scientific Discovery berpendapat bahwa argumentasi di dalam metafisika bukanlah tidak bermakna, melainkan argumennya tidak dapat diuji, dan dibuktikan salah, atau difalsifikasi. Dengan kata lain, tidak ada satu pun pengamatan empiris yang dapat membuktikan secara akurat kesahihan argumentasi-argumentasi metafisika. Lagi pula, biasanya metafisika mengajukan argumen tentang alam semesta ataupun tentang realitas sebagai keseluruhan. Argumen-argumen tersebut memang masuk akal, tetapi tidak dapat diverifikasi secara empiris.

Jadi, metafisika tidak dapat dibuktikan benar secara akurat, sekaligus tidak ada satu pun argumen yang bisa begitu saja menyatakan bahwa metafisika tidaklah bermakna. Inilah yang disebut sebagai sifat nisbi metafisika.

4.3 Etika

Pada bagian ini, kita memasuki salah satu dari tiga bidang filsafat, seperti yang telah dijabarkan pada bab pertama, yakni filsafat praktis, atau etika. Walaupun argumentasi yang dijabarkan tampak abstrak, tetapi isu yang dibicarakan sangatlah dekat dengan kehidupan kita, terutama karena refleksinya berkaitan dengan

tindakan yang memiliki orientasi praktis. Salah satu pembedaan yang pertama-tama harus dibuat adalah pembedaan antara tindakan di level personal di satu sisi dan tindakan di level publik di sisi lain. Dan seperti pembedaan konseptual lainnya di dalam filsafat, pembedaan ini pun tidak tegas dan jelas begitu saja tanpa penjelasan.

Seringkali, pembedaan konseptual berfungsi untuk mempermudah penalaran, sehingga apa yang ingin disampaikan dapat sungguh dimengerti secara jelas. Akan tetapi, pembedaan tersebut--terutama di dalam realitas sehari-hari--seringkali melebur dan tidak tampak.

Di dalam realitas, tindakan personal seringkali memiliki dampak yang bersifat publik. Tindakan publik pun dilakukan oleh seorang individu yang memiliki dorongan-dorongan personal.

Jadi, filsafat moral lebih berkaitan dengan tindakan personal daripada dengan tindakan publik. Sementara itu, tindakan yang bersifat publik lebih berkaitan dengan filsafat politik yang akan dibahas pada bagian berikutnya.

Tentu saja, kita dapat membedakan tindakan mana yang bermoral, dan tindakan mana yang tidak. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa kriteria untuk membedakan kedua tindakan itu sudah selalu jelas dan pasti. Beberapa filsuf bahkan berpendapat bahwa kriteria yang jelas dan terpilah semacam itu tidaklah ada karena moralitas seringkali bersifat subyektif. Refleksi tentang aspek subyektif dari moral ini pun juga ada beberapa versi. Seringkali, pertimbangan-pertimbangan moral yang diambil oleh seseorang dilawankan dengan pertimbangan egois yang dianggap bukanlah suatu pertimbangan moral. Akan tetapi, saya sendiri berpendapat bahwa kita tidak pernah bisa lepas dari kepentingan diri di dalam semua tindakan kita, termasuk di dalam bertindak moral. Memang, ada perbedaan tegas antara kepentingan diri dan egoisme. Perbedaan ini akan diolah juga pada bab ini. Yang jelas, jika bertindak dengan kepentingan diri dianggap bukan sebagai tindakan moral dan manusia tidak mampu lepas dari kepentingan dirinya maka moralitas pada dirinya sendiri pun menjadi tidak relevan.

Satu-satunya cara adalah moralitas harus memberikan ruang bagi kepentingan diri. Pertanyaan berikutnya adalah mampukah kita merumuskan suatu moralitas yang

menampung kepentingan diri manusia, sekaligus menolak egoisme etis?

Memang, di dalam hidup sehari-hari kita begitu mudah mengatakan bahwa suatu tindakan itu baik dan tindakan lainnya tidaklah baik. Akan tetapi, di dalam filsafat moral atau etika, definisi konsep baik pun menjadi demikian problematis, sehingga kita tidak bisa lagi dengan mudah begitu saja menyebut suatu tindakan sebagai baik dan tindakan lainnya tidak. Dengan kata lain, kita tidak bisa secara mudah mengetahui arti obyektif dari kata baik. Dari permasalahan inilah nanti muncul suatu permasalahan epistemologis yang mendasar, yakni apakah kita dapat menarik dimensi normatif tentang sesuatu dari dimensi deskriptifnya? Dapatkah kita menarik nilai-nilai tertentu dari fakta yang ada? Dapatkah kita menarik apa yang

seharusnya dari apa adanya? Di dalam filsafat moral, semua argumen untuk

menjelaskan suatu tindakan sebagai bermoral atau tidak haruslah rasional. Tentu saja, dengan berkata seperti itu, masalahnya tidak langsung terselesaikan. Problematika tentang relasi antara moralitas dan rasionalitas serta sejauh mana rasionalitas dapat menjadi fondasi kuat bagi moralitas juga harus direfleksikan lebih jauh.

Rasio manusia mampu memberikan argumentasi yang mendasar tentang cara untuk mencapai suatu tujuan. Tetapi, apakah rasio manusia mampu mendefinisikan secara pasti tujuan itu sendiri? Di dalam sejarah filsafat, beberapa filsuf berpendapat bahwa tujuan terakhir manusia adalah mencapai kebahagiaan. Dan tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yang dapat membuat manusia mencapai kebahagiaan yang lebih besar.

Teori semacam ini disebut juga sebagai utilitarianisme. Argumen dasar dari teori ini berseberangan dengan teori etika Kantian yang sangat menekankan kewajiban dan rasionalitas dan bukan pada kebahagiaan. Problem yang harus kita hadapi adalah manakah dari antara dua teori etika ini yang lebih memadai untuk dipakai sebagai panduan untuk hidup bermoral? Ada teori etika ketiga, yakni yang banyak dikenal sebagai etika keutamaan. Inti dari teori ini adalah bagaimana menjadi orang yang sungguh-sungguh memiliki keutamaan dan bukan dalam proses penentuan tindakan manakah yang lebih benar dan bermoral dari tindakan lainnya. Dengan kata lain, etika keutamaan lebih mau merumuskan karakter-karakter positif macam apakah yang harus dikembangkan oleh seorang individu.

Tentang Pertimbangan Moral

Di dalam kehidupan sehari-hari, kita memang akrab dengan isu-isu moral tentang kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitar kita, seperti isu pornografi, isu sikap anggota DPR, tanggung jawab etis para pebisnis. Akan tetapi, jarang sekali dan mungkin tidak pernah, kita mendiskusikan isu-isu moral tersebut dalam kerangka yang lebih filosofis, seperti dalam kerangka epistemologi dan metafisika.

Dengan kata lain, banyak orang mampu memberikan penilaian moral terhadap isu-isu moral yang sedang terjadi, tetapi seringkali mereka tidak mampu mengevaluasi secara kritis penilaian moral mereka sendiri terhadap isu-isu moral itu atau menjelaskan mengapa mereka harus memberikan penilaian moral terhadap isu-isu tersebut.

Banyak contoh-contoh yang bisa diberikan. Di level internasional, isu-isu moral mengenai aborsi, eutanasia, diskriminasi rasial, tentang sanksi hukum banyak menjadi tema perdebatan. Perdebatan-perdebatan ini terjadi di beberapa level. Ambillah contoh tentang kasus aborsi.

Ada perdebatan tentang sejauh mana tindak aborsi boleh dibenarkan secara hukum. Ada perdebatan tentang fasilitas macam apa, di mana didirikan, siapa yang mengelola, jika aborsi dalam beberapa kasus spesifik, telah diperbolehkan secara hukum. Lagi pula, ada perdebatan tentang dimanakah, dengan siapakah, wanita yang sedang dalam kasus-kasus tertentu mampu meminta nasihat tentang hal ini.

Oleh karena itu, di dalam semua level perdebatan ini, pertimbangan-pertimbangan moral memainkan peranan penting. Untuk saat ini, marilah kita fokuskan soal aborsi ini dalam konteks keputusan yang bersifat individual. Seorang wanita, yang hendak memutuskan apakah ia hendak melakukan aborsi atau tidak, akan bertanya-bertanya seperti ini.

Apa akibatnya untuk saya dan orang-orang yang dekat dengan saya jika saya melakukan atau tidak melakukan aborsi?

Apakah saya mempunyai hak untuk membunuh janin yang ada di dalam rahim saya sekarang ini?

Bukankah janin yang ada di dalam rahim saya sekarang ini memiliki hak untuk hidup? Apakah saya menginginkan bayi ini sebagai anak saya?

Jika saya menginginkan bayi ini, apakah saya mampu menghidupinya? Dapatkah saya menjadi seorang ibu yang baik?

Jawaban yang diberikan atas pertanyaan-pertanyaan itu akan sangat mempengaruhi keputusan tindakan yang akan diambil. Misalnya, jika ia melahirkan bayi tersebut maka ia akan kehilangan pekerjaannya dan kehilangan kesempatan untuk naik jabatannya. Kemungkinan juga, jika ia melahirkan bayi itu, ia akan merusak hubungannya dengan orang-orang terdekatnya. Pertimbangan-pertimbangan semacam ini memberikan alasan kuat baginya untuk melakukan aborsi. Di sisi lain, ia mungkin akan merasa bahwa dalam hal ini ia telah bersifat egois karena hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Atau ia mungkin akan merasa bahwa tidak masalah ia akan naik jabatan atau tidak karena yang penting ia ingin memiliki bayi itu dan akan merasa menyesal jika tidak.

Nah, pertimbangan-pertimbangan semacam ini memberikan ia alasan kuat untuk tidak melakukan aborsi. Ia akan merasa bahwa tidaklah adil, jika seorang bayi mati sebelum dilahirkan. Di sisi lain, ia mungkin juga akan merasa bahwa ia memiliki hak untuk melakukan apapun terhadap tubuhnya, termasuk membunuh janin yang ada di dalam rahimnya.

Mungkin, jika ia hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, ia akan melakukan hal itu. Tetapi, jika ia mempertimbangkan kepentingan orang lain di

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 32-89)