• Tidak ada hasil yang ditemukan

Para Pemikir Abad Pertengahan

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 112-116)

Sejarah Ilmu Pengetahuan

2.2 Para Pemikir Abad Pertengahan

Munculnya ilmu pengetahuan modern pada abad ke 17 dan 18 seringkali dikontraskan dengan dunia ilmu pengetahuan pada abad pertengahan yang mendahuluinya. Secara umum dapat dikatakan bahwa pada abad pertengahan, ilmu pengetahuan dan filsafat didasarkan pada iman kepada Tuhan dan di bawah otoritas agama. Karena peneguhan iman serta pengembangan otoritas agamalah yang menjadi tujuan dari ilmu pengetahuan dan filsafat. Sementara itu, semenjak abad ke 17 ilmu pengetahuan didasarkan pada bukti-bukti empiris dan rasionalitas. Walaupun begitu, kita tidak pernah boleh menganggap remeh perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat yang dicapai pada abad pertengahan. Justru oleh karena itu, ilmu pengetahuan modern bisa berkembang karena prinsip-prinsip dasarnya telah ditemukan pada masa tersebut. Dengan demikian, sebelum membahas tentang ilmu pengetahuan modern kita harus mengetahui terlebih dahulu prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan sebelum masa-masa tersebut dan latar belakang dari munculnya ide-ide baru yang revolusioner di dalam ilmu pengetahuan.

Setelah Aristoteles

Setelah Aristoteles meninggal, muncullah filsafat stoa yang berpendapat bahwa alam semesta merupakan bentukan dari Logos, yakni rasio dunia dan para filsuf Epicurean yang memiliki pendapat lebih impersonal dan bersifat atomis tentang alam. Kemudian, teologi Kristen pun berkembang dan banyak digunakan untuk mengkritik pandangan dua aliran tersebut. Oleh karena itu, sikap banyak orang pada dunia seperti dicerminkan oleh Santo Augustinus, seorang pemikir Katolik adalah pandangan lebih bersifat Platonistik, yakni bahwa dunia yang ada di depan mata kita ini merupakan gambaran yang tidak sempurna dari apa yang di surga yang bersifat murni, kekal, dan ideal.

Pandangan yang bersifat Platonistik ini semakin mendapatkan dukungan dari rumusan yang dibuat oleh Ptolomeus dari Alexandria 2 abad setelah Masehi. Di dalam rumusan itu ia menulis bahwa bumi dikelilingi oleh ruang-ruang berkabut. Di dalam ruang tersebut terdapat matahari, bulan, bintang-bintang, dan planet-planet. Sisi terluar dari ruang ini dianggap sebagai tempat kediaman Tuhan. Baginya, setiap benda-benda langit tersebut memberikan pengaruh besar terhadap bumi. Anggapan

ini mendorong ketertarikan orang-orang pada waktu itu untuk melakukan penelitian astrologi. Segala sesuatu yang berada di atas bulan bersifat sempurna dan tidak berubah. Sementara, segala sesuatu yang berada di bawah bulan bersifat tidak sempurna dan secara tetap terus mengalami perubahan.11

Filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani Kuno sempat hilang dari daratan Eropa. Masa-masa ini banyak juga dikenal sebagai Abad Kegelapan. Akan tetapi, pemikiran Aristoteles dan para filsuf Yunani Kuno lainnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan justru berkembang dengan baik di kalangan para pemikir Muslim. Pada abad ke-13, terutama karena penerbitan terjemahan tulisan Aristoteles yang dilakukan oleh Averroes, pemikiran Aristoteles mulai diperkenalkan kembali ke seluruh universitas-universitas di Barat. Masa-masa ini banyak juga dikenal sebagai

Renaissance.

Sintesis Pemikiran di Abad Pertengahan

Refleksi filsafat di abad pertengahan mengalami perkembangan yang sangat gemilang, terutama karena keberadaan Thomas Aquinas (1225-1274), Duns Scotus (1266-1308), dan William dari Ockham (1285-1349). Filsafat alam yang dirumuskan oleh Aristoteles diajarkan di seluruh Eropa. Hal ini merupakan persiapan untuk perkembangan selanjutnya di dalam dunia filsafat maupun ilmu pengetahuan.

Seperti sudah dijelaskan, filsafat natural yang dirumuskan Aristoteles memberikan pengaruh besar bagi cara para pemikir abad pertengahan melihat diri dan dunia mereka. Semua benda fisik dianggap sebagai kesatuan dari empat unsur, yakni tanah, air, udara, dan api. Setiap elemen memiliki sikap alamiahnya sendiri, sehingga gerak dan perubahan menjadi mungkin. Misalnya, tanah yang memiliki sikap alamiah untuk bergerak (merosot) ke bawah, air untuk mengalir ke tempat yang lebih rendah, dan api untuk bergerak ke atas. Semua sikap alamiah ini menjelaskan terjadinya gerak dan perubahan di dalam dunia.

Surga yang berada di atas bulan bersifat sempurna dan abadi. Tidak ada perubahan dan ketidakpastian di dalam surga tersebut. Anggapan semacam ini menjadi problematis ketika para ilmuwan berupaya mengamati gerak planet dan bintang-bintang. Karena menurut otoritas pada waktu itu, apa yang mereka amati bersifat tetap dan sempurna. Jika mereka memiliki pendapat yang berlawanan, para ilmuwan tersebut akan menghadapi ancaman dan tuntutan hukum dari Gereja. Bahkan, tidak hanya tentang gerak planet dan bintang, kedokteran dan biologi pun juga menghadapi hambatan di dalam melakukan penelitian mereka. Para dokter pada waktu itu berpendapat bahwa jantung merupakan alat pemompa darah, sehingga darah tersebut dapat tersebar ke seluruh tubuh manusia. Pandangan semacam ini mendapatkan tantangan dari pandangan para religius yang berpendapat bahwa hal semacam itu tidaklah patut dikatakan tentang manusia, yang merupakan

11

mahluk tertinggi di dalam konstelasi ciptaan Tuhan dan yang merupakan citra dari Tuhan itu sendiri.

Mungkin, salah satu penyebab semua hambatan ini adalah bahwa para pemikir abad pertengahan memprioritaskan logika yang bersifat deduktif di dalam analisis mereka Artinya, mereka memulai analisis dan refleksi mereka dengan prinsip dan teori-teori, dan kemudian pengalaman akan mengikuti prinsip-prinsip tersebut. Seperti yang sudah dicontohkan sebelumnya, para ilmuwan yakin bahwa surga itu bersifat sempurna, tetap, dan abadi maka penelitian mereka pada gerak planet dan bintang yang diasumsikan sebagai surga, juga didasarkan pada keyakinan itu. Metode ini berlawanan sama sekali dengan metode induktif yang banyak digunakan oleh ilmu pengetahuan modern. Dalam hal ini, bukti-bukti yang berasal dari pengalamanlah yang menjadi kerangka untuk merumuskan sebuah teori.

Sintesis pemikiran paling jelas terlihat di dalam karya-karya Thomas Aquinas, seorang teolog Katolik. Ia mengajukan semacam sintesis antara ajaran-ajaran dasar di dalam Kristianitas dengan pemikiran Aristoteles. Pada masa-masa itu, sintesis tersebut sangatlah luar biasa karena ia menggabungkan filsafat terbaik yang ada pada waktu itu dengan ajaran Kristiani dalam suatu rumusan filosofis yang sangat sistematis, logis, dan komprehensif. Salah satu tesis kunci di dalam sintesis tersebut adalah konsep sebab pertama (causa prima), bahwa segala sesuatu di alam ini berawal pada satu entitas, yakni Tuhan dan berakhir pada entitas tersebut.

Pada abad pertengahan, orang melihat bintang-bintang dan planet dalam kerangka makna yang jelas karena dalam pandangan mereka, bumi adalah pusat dari alam semesta dan manusia adalah mahluk yang paling mendapatkan perhatian utama dari Tuhan. Alam semesta bersifat rasional karena diciptakan dan ditentukan oleh penggerak yang tidak digerakkan sehingga umat manusia mengalami hidupnya sebagai bermakna, bebas dari nihilisme dan keputusasaan. Dunia, dengan demikian, adalah produk yang istimewa dan bukan hanya hasil dari kebetulan belaka. Pengetahuan akan dunia yang memiliki awal dan tujuan yang jelas semacam itu membuat hidup manusia menjadi bermakna. Hal ini adalah suatu pernyataan yang akan sangat sulit dikritik dan menjadi simbol dari pemikiran abad pertengahan.

Walaupun tampak bermakna dan bertujuan jelas, kehidupan masyarakat di abad pertengahan diselimuti oleh takhayul-takhayul dan kepercayaan-kepercayaan yang bersifat irasional. Argumentasi para penjaga tradisi pun berhadapan dengan para pemikir yang mau menerobos tradisi tersebut. Yang terakhir inilah yang menjadi para ilmuwan di era modern kemudian. Pertempuran intelektual terjadi dalam kerangka upaya yang gigih untuk menghancurkan dominasi paradigma kosmologis dan filsafat Aristoteles yang pada waktu dianggap memiliki kebenaran yang mutlak.

Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan pada abad ke 17 dan 18 merupakan suatu pemberontakan terhadap paradigma filosofis yang bersifat

otoritatif dan dominan yang didasarkan pada pemikiran Aristoteles. Kebutuhan akan suatu metode yang prinsipiil dan penafsiran atas bukti-buktilah yang mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan. Metode ini yang membedakan ilmu pengetahuan dengan pandangan yang berdasarkan pada otoritas kekuasaan dan logika yang bersifat deduktif.

Sebelumnya, Aristoteles memang selalu menekankan pentingnya bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, kesimpulan yang ditariknya sendiri seringkali tidak berdasarkan bukti-bukti dan justru sebaliknya, bukti-bukti yang menyesuaikan dengan kesimpulan tersebut. Oleh sebab itu, Kopernikus (1473-1543) yang berpendapat bahwa mataharilah yang merupakan pusat dari tata surya, dan bukan bumi, berupaya melindungi dirinya dari ancaman kekuasaan dengan mengatakan bahwa teorinya merupakan hipotesis teoritis, dan bukan gambaran dari apa yang sesungguhnya terjadi. Hal yang sama terjadi pada Galileo (1564-1642) yang membandingkan antara pandangan Ptolemeus di satu sisi, dan pandangan Kopernicus di sisi lain. Pada akhirnya, Galileo mendapatkan ancaman hukuman dari penguasa gereja pada waktu itu karena ia dianggap menyerang pandangan Ptolemeus yang banyak diafirmasi oleh Kitab Suci.

Walaupun begitu, abad pertengahan sesunguhnya sama sekali tidak mengalami kekurangan orang-orang yang bersedia melakukan terobosan untuk mengeksplorasi lebih jauh kemungkinan-kemungkinan yang ada di dalam ilmu pengetahuan. Salah satu orang semacam itu adalah Roger Bacon (1220-1292). Ia merumuskan seluruh karyanya dengan metode observasi empiris dan bersikap kritis terhadap kecenderungan pada waktu itu yang menerima sesuatu hanya berdasarkan pemaksaan dari kekuasaan. Lepas dari semua itu, ia merumuskan prinsip-prinsip dasar bagi pesawat terbang. Ia bahkan merumuskan prinsip-prinsip dasar dari kaca pembesar dan kaca mata.12 Leonardo da Vinci (1452-1519) adalah seorang arsitek yang sangat berbakat sekaligus seorang pelukis yang luar biasa. Ia bahkan mengamati benda-benda alam dengan sedemikian cermat, dan berupaya menemukan hukum-hukum mekanis yang niscaya di balik benda-benda tersebut. Dan seperti Bacon, ia terpesona dengan ide bahwa manusia bisa terbang. Oleh karena itu, ia juga banyak melakukan penelitian tentang pesawat, helikopter, dan tentang parasut.

Secara umum, pemikiran abad pertengahan, tentunya dengan mendapatkan pengaruh besar dari Aristoteles, ditujukan untuk melihat esensi dan potensi dari realitas. Dengan mengetahui esensi dari realitas, kita dapat menemukan tujuan final (telos) dari realitas tersebut. Tujuan final tersebut berarti merealisasikan potensi yang ada di dalamnya menjadi aktus. Dunia tidak dilihat sebagai kumpulan acak dari atom-atom, tetapi sebagai lingkungan, segala sesuatu, dengan esensinya

12

masing, dapat mencari tujuan akhir dan pemenuhannya masing-masing. Tujuan utama dari seorang bayi adalah menjadi dewasa. Dengan paradigma semacam ini, para pemikir yang menganalisis benda-benda alam bukanlah menggunakan paradigma analisis fisikal, melainkan untuk menemukan esensi dan tujuan utama dari benda-benda alam tersebut. Sekilas, analisis semacam tersebut tampak memiliki sifat religius. Akan tetapi, faktanya, gaya berpikir semacam itu merupakan konsekuensi logis dari pemikiran Aristoteles tentang tujuan akhir dan sebab pertama.

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 112-116)