• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberjarakan dari Pengalaman Sehari-hari

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 182-186)

Ilmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial Argumen utama untuk membedakan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu

5.8. Keberjarakan dari Pengalaman Sehari-hari

hanya dapat dimengerti oleh orang-orang yang mempunyai pikiran yang kuat. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan memiliki kesan eksklusif. Orang biasa tidak akan mampu mengerti sebuah tulisan professional di dalam jurnal fisika, kimia, ataupun biofisika. Bahkan, kata-kata teknis yang ada di dalam artikel tersebut pun seringkali tidak bisa dibaca dan dilafalkan dengan benar. Pendek kata, orang biasa tidak mungkin menjadi seorang ilmuwan, terutama ilmuwan alam, jika ia tidak menjalani proses-proses tertentu sebelumnya. Di sisi lain, orang biasa mungkin saja membaca artikel-artikel tentang ekonomi, sosiologi, antropologi, dan psikologi. Walaupun beberapa kata teknis digunakan dalam artikel-artikel tersebut, tetapi orang masih mampu meraba apa arti konsep tersebut dalam konteks tulisan yang dibuat. Pengetahuan umum tentang dunia sosial memang kurang lebih dapat diraih, jika orang rutin membaca koran ataupun mendengarkan berita maupun diskusi di televisi. Konsekuensinya memang bisa negatif, hasil karya ilmuwan sosial seringkali dianggap tidak ilmiah, karena dianggap terlalu mudah.

Fakta bahwa ilmuwan sosial kurang menggunakan konsep-konsep teknis yang rumit dibandingkan ilmuwan alam mungkin berkaitan langsung dengan sikap dan karakter orang biasa pada umumnya. Konsep-konsep teknis yang digunakan oleh ilmuwan sosial memang memiliki makna ganda, yakni dalam arti sehari-hari, atau dalam arti teknis. Akan tetapi, ketika pembaca diberitahukan tentang arti teknis dari konsep yang digunakan, mereka bisa kagum, atau justru bingung, karena kata tersebut dimaknai secara berbeda. Di sisi lain, para ilmuwan alam banyak membicarakan tentang nukleus, galaksi, kromosom, fosil, atau segala sesuatu yang mungkin orang biasa akan terheran-heran, karena ternyata ada yang memperdulikan hal-hal tersebut. Sementara, ilmuwan sosial lebih banyak berbicara tentang manusia dan dunia sosialnya. Seringkali, mereka justru banyak berbicara tentang diri mereka sendiri, dan bagaimana cara mereka melihat dunia. Ilmuwan sosial tidak pernah mengidentifikasikan diri mereka sebagai positron, neutron, ataupun digit-digit komputer. Seperti disebutkan sebelumnya, konsekuensinya bisa negatif. Fakta bahwa ilmuwan sosial menganalisis manusia dalam interaksinya dengan manusia lainnya menandakan bahwa ia tidak mampu melampaui paradigma yang mempengaruhinya sendiri. Hal inilah yang seringkali dicurigai, yakni bahwa ilmuwan sosial hanya menyatakan apa yang diyakininya sendiri dan tidak mampu obyektif.

5.9 Kesimpulan

Kini, kita dapat menyimpulkan proses perbandingan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan sebelumnya. Perbandingan pertama, menyatakan bahwa ilmu-ilmu sosial memiliki variabel yang lebih variatif dan tingkat kepastian yang lebih rendah daripada ilmu-ilmu alam. Perbandingan kedua, menyatakan bahwa ilmu-ilmu sosial haruslah menemukan motivasi yang melandasi suatu tindakan sosial. Ini adalah sesuatu yang tidak dimiliki oleh ilmu-ilmu alam. Walaupun begitu, hal ini tidaklah membuat ilmu-ilmu sosial

bersifat lebih inferior daripada ilmu-ilmu alam.

Perbandingan ketiga, menyatakan bahwa ilmu-ilmu sosial memiliki variabel-variabel yang tidak mungkin dipastikan dalam suatu eksperimen. Hal ini membuat ilmu-ilmu sosial lebih sulit diverifikasi daripada ilmu-ilmu alam.

Perbandingan keempat, menyatakan bahwa fisika dan ekonomi memiliki ketepatan yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam ataupun ilmu-ilmu sosial lainnya.

Perbandingan kelima, menyatakan bahwa fisika memiliki tingkat perhitungan obyek yang lebih tinggi daripada ilmu-ilmu lainnya. Sementara, ilmu-ilmu alam ataupun ilmu-ilmu sosial lainnya masih lebih bersifat relatif, jika dibandingkan dengan fisika. Perbandingan keenam, menyatakan bahwa ada perbedaan esensial antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Akan tetapi, perbedaan tersebut tetap tidak menunjukkan mana yang lebih superior, ataupun mana yang lebih inferior.

Perbandingan ketujuh, menunjukkan bahwa ilmu-ilmu sosial lebih dekat dengan pengalaman sehari-hari orang daripada ilmu-ilmu alam. Memang sekilas, hal ini adalah positif. Akan tetapi, kemudahan ilmu-ilmu sosial membuatnya dianggap tidak cukup ilmiah, terutama jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam.

Marilah kita ambil beberapa contoh. Jika saya mengetahui bahwa obat B lebih bersifat inferior dari obat A dalam proses penyembuhan suatu penyakit, saya tidak akan membeli obat B untuk menyembuhkan penyakit yang saya derita. Jika saya mengetahui bahwa mekanik A lebih bersifat inferior daripada mekanik B, saya tidak akan menggunakan mekanik A, ketika mobil saya rusak dan perlu diperbaiki. Jika saya mengetahui bahwa buku A lebih inferior daripada buku B, saya tidak akan membaca buku A. Di dalam semua contoh ini, pernyataan bahwa suatu hal bersifat inferior daripada hal lainnya memiliki karakter pragmatis. Nah, jika dikatakan bahwa ilmu-ilmu sosial bersifat inferior dari ilmu-ilmu alam, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan:

1. Kita tidak perlu mempelajari ilmu-ilmu sosial.

2. Kita tidak perlu menghabiskan uang untuk melakukan penelitian-penelitian di dalam ilmu-ilmu sosial.

3. Kita tidak memperbolehkan orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual yang lebih untuk mengembangkan ilmu-ilmu sosial.

4. Kita tidak boleh menghormati pada ahli di dalam ilmu-ilmu sosial.

5. Kita harus melakukan sesuatu untuk mengembangkan lebih jauh ilmu-ilmu sosial yang ada, serta berupaya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangannya.

Yang terakhir ini dapat ditempatkan secara memadai, jika kita sungguh-sungguh sadar bahwa tujuan dari riset-riset sosial bukanlah kalkulasi matematis, seperti yang diterapkan di dalam ilmu-ilmu alam, melainkan pemahaman lebih mendalam tentang dunia kehidupan dari suatu realitas sosial tertentu. Pemahaman semacam ini

ingin mengetahui pandangan dunia suatu masyarakat tertentu, sehingga kita dapat memahami berbagai fenomena tindakan sosial yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Tentu saja, pendekatan positivisme khas ilmu-ilmu alam dapat membantu untuk mencapai proses tersebut. Akan tetapi, pretensi mencapai obyektivitas dengan menggunakan metode ilmu-ilmu alam tersebut tampak tidak pada tempatnya, karena ilmu-ilmu sosial tidaklah berfokus pada kalkulasi obyektivitas, melainkan pemahaman akan makna dari realitas sosial yang akan diteliti. Pemahaman akan makna tersebut tidaklah dapat dicapai dengan menggunakan metode ilmu-ilmu alam, melainkan dengan menggunakan paradigma hermeneutika komunikatif, yang menempatkan realitas sosial sebagai subyek yang setara dengan peneliti. Empati menjadi sangat perlu di dalam proses ini. Dengan kata lain, peneliti sosial tidak bisa terus menerus mengambil perspektif pengamat, tetapi juga harus mengambil perspektif partisipan guna memahami teks sosial yang ditelitinya. Pemahaman akan makna di dalam penelitian ilmu-ilmu sosial tidak dihasilkan melalui kalkulasi subyek peneliti terhadap obyek realitas sosial, melainkan melalui proses komunikasi yang bertujuan untuk mencapai kesalingpemahaman di antara keduanya. Atas dasar inilah maka positivisme di dalam ilmu-ilmu sosial tidak akan pernah mencapai obyektivitas. Kesimpulannya, metode pendekatan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial sebenarnya dapat saling melengkapi tanpa salah satu mendominasi yang lainnya, karena keduanya memiliki satu tujuan yang sama, yakni memahami manusia dan dunianya.

Bab

6

Dalam dokumen Filsafat dan Sains.pdf (Halaman 182-186)