• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF AL-QUR’AN Kajian Surat Al-Israa’ Ayat 29 SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF AL-QUR’AN Kajian Surat Al-Israa’ Ayat 29 SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF

AL-Q

UR’AN

Kajian Surat Al-

Israa’ Ayat 29

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:

Muzayanatul Maghfiroh

NIM : 111-14-053

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)
(3)

iii

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF

AL-Q

UR’AN

(Kajian Surat Al-

Israa’ Ayat

29)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

Muzayanatul Maghfiroh

NIM : 111-14-053

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(4)

iv HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Dr. M. Gufron, M. Ag. Dosen IAIN Salatiga Nota Pembimbing

Lampiran : 4 Eksemplar Hal : Naskah Skripsi

Kepada:

Yth. Dekan FTIK IAIN Salatiga di Salatiga

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka naskah skripsi mahasiswa:

Nama : Muzayanatul Maghfiroh NIM : 111-14-053

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Fakultas : Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

Judul : NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Kajian Surat Al-Israa’ Ayat 29)

Dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga untuk diujikan dalam munaqosyah. Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Salatiga, 25 Juli 2018 Pembimbing

(5)

v HALAMAN PENGESAHAN

SKRIPSI

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Kajian Surat Al-Israa’ Ayat 29)

Disusun oleh:

Muzayanatul Maghfiroh NIM : 111-14-053

Telah dipertahankan di depan panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 20 September 2018 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd).

Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji : Dr. Fatchurrohman, S.Ag., M.Pd. Sekretaris : Dr. M. Ghufron, M.Ag.

Penguji I : Dr. Wahyudhiana, M.Pd. Penguji II : Dra. Siti Farikhah, M.Pd.

Salatiga, 20 September 2018 Dekan

Suwardi, M.Pd.

NIP.19670121 199903 10 002 KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN DAN

KESEDIAAN DI PUBLIKASIKAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muzayanatul Maghfiroh

NIM : 111-14-053

Program Studi : Pendidikan Agama Islam

Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

Judul :NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

PERSPEKTIF AL-QUR‟AN (KAJIAN SURAT AL

-ISRAA‟ AYAT 29)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Skripsi ini diperbolehkan untuk di publikasikan pada e-repository IAIN Salatiga.

Salatiga, 6 Juli 2018

Yang Menyatakan,

Muzayanatul Maghfiroh

(7)

vii

MOTTO

خ

ساٌلل نهعفًأ ساٌلا زي

“Sebaik

-baik manusia adalah yang paling

(8)

viii

PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat serta karuniaNya, skripsi ini penulis persembahkan untuk:

1. Ayahku dan ibundaku tersayang, Iskandar dan Sri Hastuti yang senantiasa memberikan dukungan baik materil maupun moril dan tak pernah berhenti memantau, memberikan do‟a, nasihat, kasih sayang, bimbingan, motivasi dan semangat untuk anak-anaknya.

2. Adikku tercinta Ahmad Abdurrozak dan Aliya Nur Inayah yang selalu berpartisipasi menemani, memberikan dukungan, support, dan do‟anya untukku.

3. Muhammad Furqon yang senantiasa menemani, memberikan dukungan,

semangat, motivasi, do‟a dan kasih sayang yang tiada henti.

4. Dosen pembimbing skripsiku, Bp. Dr. M. Gufron, M.Ag. yang selalu memberikan pengarahan serta bimbingan dengan penuh kesabaran selama proses skripsi ini.

5. Segenap keluarga besar Mbah Hanoto besserta anak cucu dan keluarga besar Mbah Muhrodi beserta anak cucu yang selalu membimbing dan memberikan motivasi, semangat yang tak henti-hentinya demi terselesaikan skripsi penelitian ini.

(9)

ix

7. Sahabat seperjuangan satu dosbing Tatu Mafazah, Laili Nur Fitriyani, Muna, Khusnadia, Fatin, Nur Khasanah, Kholiq, Rahmat dll yang selalu memberikan motivasi, semangat, dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Sahabat dan teman dekatku segenap keluarga “Purworejo Squad” Hikmah, Hana, Hima, Eka, Ida, Indri, Izza, Tatu, Uma yang selalu memberikan motivasi kepadaku dan membantu menyelesaikan skripsi ini.

9. Keluarga kost Salatiga, Nisa, Fajar, Nunung, Tika, Uus, Rana, Retno, Sofi, dan Zulfa yang selalu memberikan dukungan dan semangat.

10. Tim PPL SMP Negeri 1 Salatiga, Afif, Dwita, Ela, Irfan, Khamidah, Mui‟I, Rani, Riska, Sari, Tatu, dan Umam yang selalu memberikan motivasi.

11. Tim KKN Posko 123 (Lukas), mbak Alim, Anjar, Arif, Dani, Dwi Aryanti, Indah, Hasimah dan mbak Umi yang selalu support.

12. Tim kerja Marvel Salatiga, Mba Anggun, Eka, Nana, beserta karyawan Marvel lain yang telah memberikan pengalaman berharga, selalu memberikan motivasi dan dukungan untuk meraih kesuksesan.

13. Segenap keluarga besar PAI B Angkatan 2014. 14. Segenap keluarga besar PAI Angkatan 2014.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillahi robbil‟alamin, penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan nikmat, rahmat, karunia, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Persepektif Al-Qur‟an (Kajian Surat Al-Israa‟ Ayat 29) ini dengan baik dan lancar.

Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi agung

Muhammad SAW, semoga kelak dapat berjumpa dan mendapat syafa‟atnya di

yaumul akhir. aamiin.

Penulisan skripsi ini tidak akan pernah terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Bapak Suwardi, M.Pd. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga.

3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.

4. Bapak Dr. M. Gufron, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan mengarahkan dari awal hingga akhir dalam proses penyelesaian skripsi ini.

(11)

xi

6. Bapak dan Ibu dosen yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan, serta karyawan IAIN Salatiga sehingga penulis dapat menyelesaikan jenjang pendidikan S1.

7. Keluarga besar PAI IAIN Salatiga angkatan 2014.

8. Seluruh pihak yang sudah mendukung dan memberikan semangat yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Terselesaikannya tulisan ini selain sebagai bentuk tanggung jawab pengenyam perguruan tinggi yang tentunya kelak akan menjadi salah satu referensi. Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta para pembaca pada umumnya. Aamiin.

(12)

xii ABSTRAK

Maghfiroh, Muzayanatul. 2018. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Perspektif Alqur‟an (Kajian Surat Al-Israa‟ Ayat 29). Prodi Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. M. Gufron, M.Ag.

Kata Kunci: Nilai. Pendidikan. Akhlak. Al-Israa‟ Ayat 29.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam Al-Qur‟an surat Al-Israa‟ ayat 29, kemudian untuk mengetahui bagaimana implementasi yang dapat dilakukan dalam dunia pendidikan berdasarkan isi dari surat Al-Israa‟ ayat 29.

Untuk menyelesaikan penelitian tentang kajian ayat Al-Israa‟ ayat 29 ini, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library resear), kemudian menggunakan dua sumber data, yakni data primer dari Al-Qur‟an, Tafsir Al Misbah, An-Nur dan Al-Misbah, metode pengumpulan datanya dengan mengumpulkan data dari sumber primer dan sekunder yang mendukung, setelah itu menganalisis data dengan teknik analisis isi (content analysis).

Berdasarkan permasalahan yang telah penulis rumuskan, maka diperoleh hasil penelitian bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat Al-Israa‟ ayat 29 ada dua, yang pertama larangan berbuat kikir yang dipertegas dalam kitab tafsir

Al-Maraghi agar gemar menafkahkan hartanya namun juga kendalikan nafsu, dalam tafsir An-Nur, bahwa jangan tidak memberikan sesuatu kepada orang lain karena bisa menyesal, dalam tafsir Al-Misbah, bahwa diperintahkan untuk bermurah tangan dan hati. Kedua larangan boros, dalam tafsir Al-Maraghi

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL LUAR ... i

LEMBAR BERLOGO IAIN ... ii

HALAMAN SAMPUL DALAM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... x

ABSTRAK ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Kajian Pustaka ... 9

G. Penegasan Istilah ... 11

(14)

xiv

BAB II KOMPILASI AYAT ... 21

A. Redaksi Surat Al-Israa‟ Ayat 29 dan Terjemahannya ... 21

B. Arti Kosakata (Mufrodat)... 21

C. Pokok-pokok Kandungan Surat Al-Israa‟ Ayat 29 ... 23

BAB III ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH ... 26

A. Sejarah Turunnya Surat Al-Israa‟ ... 26

B. Tema dan Tujuan Utama Surat Al-Israa‟ ... 27

C. Asbabun Nuzul ... 29

D. Munasabah ... 31

BAB IV PEMBAHASAN ... 36

A. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Al-Israa‟ Ayat 29 ... 36

1. Larangan Kikir ... 37

2. Larangan Menghambur-hamburkan Harta (Boros) ... 41

B. Implementasi Nilai-Nilai Akhlak Al-Israa‟ 29 dalam Pendidikan ... 45

1. Menanamkan Sifat Dermawan ... 45

2. Gemar Berinfaq dan Berzakat ... 47

3. Hemat ... 50

(15)

xv

BAB V PENUTUP ... 55

A. Kesimpulan ... 55

B. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhlak dapat diartikan sebagai sebuah sistem lengkap yang terdiri

dari karakteristik-karakteristik atau tingkah laku yang membuat seseorang

menjadi istimewa. Karakteristik-karakteristik tersebut dapat membentuk

kerangka psikologi seseorang dan membuatnya berperilaku sesuai dengan

dirinya dan nilai yang cocok dengan dirinya dalam kondisi yang

berbeda-beda (Ali Abdul Halim Mahmud, 2004: 26). Dari pengertian tersebut

bahwa akhlak merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang

dimana dalam melakukan kebiasaan tersebut tanpa berfikir panjang

sehingga menghasilkan perbuatan yang dilakukan berkali-kali dan dalam

keadaan yang berbeda-beda sesuai kehendak masing-masing.

Pendidikan akhlak merupakan kaidah dasar yang harus ditanamkan

dalam diri setiap manusia. Karena bukan hanya sekedar tata aturan, tetapi

menjadi pedoman yang kokoh agar kehidupan manusia berjalan dengan

harmonis sebagaimana mestinya. Akhlak mencerminkan kehidupan yang

dijalani setiap manusia baik secara fisik maupun jiwanya, apabila

akhlaknya baik maka seluruh kehidupan jasmani dan rohaninya tentu akan

baik, begitu juga sebaliknya, jika akhlak melenceng dari kaidah agama,

maka sudah menjadi barang tentu jika aspek jasmani dan rohaninya akan

(17)

1

Kajian akhlak sangat luas, bahkan di dalam al-qur‟an tidak hanya

terdapat di dalam satu surat saja, akan tetapi disini penulis lebih

menekankan pada satu bahasan yakni firman Allah SWT di dalam surat

Al-Isra‟ ayat 29 yang berbunyi,

lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.

Dilihat dari ayat tersebut, betapa pentingnya mengkaji dan

memaparkan apa yang sebenarnya dianjurkan di dalam Al-Qur‟an

mengenai bagaimana berakhlak yang baik dengan mengamalkan sifat

hemat dan tidak bermegah-megahan dalam membelanjakan harta, dan juga

tidak begitu kikir kepada sesama dengan harta yang telah dimiliki.

Menyikapi hal tersebut, dapat dikaitkan dengan pergaulan di era

globalisasi ini yang merupakan tuntutan bagi umat manusia tanpa

terkecuali. Semua orang dari berbagai kalangan mengalami dan mengikuti

arus modernisasi yang sedang terjadi. Sebagai manusia yang memahami

akan pengetahuan tentunya dapat memilih dan memilah mana yang

menjadi kebutuhan atau hanya kemauan untuk memenuhi trend masa kini.

Sebagai calon pendidik diharapkan mampu memberikan contoh yang baik

akan budaya dan etika berperilaku yang baik, sesuai dengan kaidah agama

(18)

2

perbincangan diantaranya terkait dengan kebutuhan food, fashion dan fun,

untuk itu menjadi sangat penting bagi penulis untuk dapat mengaitkan apa

yang sebenarnya terjadi di dunia ini sehingga berbagai kalangan

berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhannya tersebut, bahkan mereka tidak

sedikitpun memikirkan dan memprioritaskan manakah yang menjadi

kebutuhan utamanya ataupun sekedar kebutuhan penunjang.

Tidak sedikit dari kita yang menjadi korban globalisasi,

modernisasi yang dituntut mengikuti trend masa kini, karena dalam diri

mereka sudah tertanam pemikiran yang serba instan, bagaimanapun cara

yang akan ditempuh untuk memenuhi kebutuhannya tanpa memperhatikan

manfaat yang sebenarnya dibutuhkan. Sehingga dapat dikatakan kurang

memperhatikan bagaimana memanfaatkan dan membelanjakan harta kita

untuk memenuhi kebutuhan utama kita, sehingga dapat meminimalisir diri

kita untuk terhindar dari golongan pemboros atau israf. Untuk itu masalah

tersebut menjadi salah satu faktor yang dapat dikaitkan dengan firman

Allah SWT surat Al-Israa‟ ayat 29, karena Allah SWT telah menegaskan

di dalam ayat tersebut bahwa terdapat kalimat jangan terbelenggu pada

lehermu dan jangan terlalu mengulurkannya, dengan kata lain dapat

diartikan jangan terlalu kikir dan jangan terlalu berlebih-lebihan dalam

membelanjakan harta yang dimiliki.

Hal tersebut menjadikan keprihatinan yang mendalam, karena

termasuk dalam kemerosotan akhlak yang begitu cepat berkembang,

(19)

3

anak-anak, muda, dewasa bahkan orangtua tidak ketinggalan untuk

memenuhi kebutuhan instannya daripada mementingkan kebutuhan utama

atau bahkan sekedar menyisihkan untuk orang-orang yang lebih

membutuhkan, sehingga harta yang dimiliki begitu bermanfaat dan dapat

menjadi berkah tersendiri di dalam kehidupannya. Kemerosotan akhlak

yang menjadi kajian disini yakni sifat kikir dan sifat boros di kalangan

masyarakat.

Kikir atau cinta pada harta timbul akibat dua faktor yaitu: pertama,

cinta pada syahwat ditambah dengan ketakutan pada kefakiran dan

kurangnya kepercayaan pada datangnya rezeki, maka kekikiran sudah pasti

akan menguat. Kedua, mencintai wujud harta itu sendiri lalu mengetahui

bahwa dia sama sekali tidak membutuhkannya (Moh Yusni Amru Ghozali,

2017: 420). Hal tersebut merupakan salah satu penyakit hati yang rawan

terjadi bagi sebagian umat muslim. Kemerosotan akhlak yang kedua dari

ayat tersebut yaitu sifat boros yang dapat menyebabkan seseorang menjadi

hedonisme. Hedonisme berasal dari bahasa Yunani hedone yang berarti

nikmat atau kegembiraan, hedonisme bertolak dari anggapan bahwa

manusia hendaknya hidup sedemikian rupa sehingga ia dapat semakin

bahagia. Hedonisme memiliki makna kebenaran yang mendalam yakni

bahwa manusia menurut kodratnya hanya mencari kesenangan dan

berupaya menghindari ketidaksenangan (K. Bertens, 2002: 238) . Dengan

alasan mengapa penulis mengangkat judul bertema pendidikan akhlak

(20)

4

spesifik menegaskan bahwasannya terdapat makna yang mendasar tentang

memanfaatkan harta dilarang kikir dan jangan boros dan untuk

menghindari gaya hidup hedonisme. Selain itu, ayat ini juga belum

dibahas padahal di makna yang terkandung dapat dijadikan pedoman oleh

manusia dalam menjalankan kehidupannya selama di dunia yakni

memanfaatkan harta untuk tidak berlebihan sebagaimana fenomena yang

terjadi di kalangan masyarakat bahwa keinginan terhadap barang-barang

yang harus dimiliki meskipun itu belum tentu bermanfaat dan juga jangan

terlalu bakhil dalam menyimpan harta, karena di dalam rezeki kita yang

dimiliki ada hak orang lain artinya harus juga berbagi sesuai takarannya,

harta yang memang hanya titipan dari Allah SWT dan Allah pun

mempertegas perintah tersebut dalam ayat 29 dari surat al-Israa‟ ayat 29

ini, untuk itu menjadi sangat penting bagi penulis untuk mengangkat judul

“Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Perspektif Al-Qur’an Kajian Surat

Al-Isra’ ayat 29”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pertimbangan yang telah dipaparkan pada latar

belakang tersebut, maka penulis memiliki beberapa pokok permasalahan

yang dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah nilai tentang pendidikan akhlak dalam Al-Israa‟ ayat

29?

2. Bagaimanakah implementasi pendidikan akhlak yang terdapat di

(21)

5

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka

penulis dapat memaparkan tujuan dari penelitian ini yakni :

1. Untuk mengatahui nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam

surat Al-Isra‟ ayat 29.

2. Untuk mengetahui implementasi pendidikan akhlak yang sesuai

dengan surat Al-Isra‟ ayat 29.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sebuah informasi yang jelas kepada para pembaca untuk

mengetahui bagaimanakah menanamkan pendidikan akhlak yang terdapat

di dalam surat Al-Isra‟ ayat 29, sehingga hasil penelitian ini dapat

dijadikan bahan masukan dan acuan dalam melakukan penelitian sejenis di

masa yang akan datang.

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi:

1. Untuk Peneliti

Dapat dijadikan sebuah sarana untuk meningkatkan kemampuan

dalam bidang library research dan untuk dijadikan sebagai acuan

dalam berperilaku untuk menanamkan akhlak sesuai dengan kajian.

2. Untuk Pembaca

Dapat dijadikan rujukan dan motivasi untuk dapat melakukan

(22)

6

3. Untuk IAIN Salatiga

Dapat menambah perbendaharaan referensi karya tulis ilmiah

dan menambah khazanah keilmuan bagi para pembaca khususnya

yang melakukan penelitian sejenis.

E. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa

metode penelitian, baik dalam proses mencari data dan mengolah data

nantinya, diantaranya yakni :

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian kepustakaan (library

research), yaitu suatu penelitian terhadap buku-buku sebagai produk

ulama yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi. Dengan

demikian nantinya dari hasil literer dideskripsikan apa adanya

kemudian dianalisis.

2. Sumber Data

Karena berdasarkan jenis penelitian tersebut, yakni dengan

menggunakan metode library research, maka penulis mengambil data

dari berbagai sumber sebagai berikut :

a) Sumber Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari Al-Qur‟an dan

terjemah, kitab tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab, kitab tafsir

An-Nur dan kitab tafsir Al-Maraghi.

b) Sumber Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber yang

(23)

7

buku yang membahas tentang pendidikan akhlak dan buku yang

berkaitan dengan tafsir Al-Isra‟ ayat 29.

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian

ini adalah dengan mengumpulkan data yang menjadi sumber data

primer yaitu surat Al-Qur‟an surat Al-Israa‟ ayat 29 dan terjemahnya,

kitab tafsir Al-Misbah, kitab tafsir An-Nur dan kitab tafsir Al-Maraghi,

serta dari sumber data sekunder yang relevan seperti catatan, transkip,

buku, surat kabar dan sebagainya. Setelah data tersebut terkumpul

kemudian dilakukan penelaah secara sistematis yang berkaitan dengan

penelitian tersebut sehingga dapat diperoleh bahan-bahan dan

penyajian data.

4. Metode Analisis Data

Menulis menggunakan teknik analisis isi (content analysis) ini

merupakan teknik menulis dengan mencari kesimpulan yang shahih

dari sebuah buku atau dokumen, atau dengan mencari karakteristik

pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis (Moleong, 2011: 263). Cara kerja dari metode ini adalah dengan mengambil makna surat yang terkandung dalam sumber data primer yaitu Al-Quran

dengan menggabungkan penjelasan dari sumber data sekunder yakni

tafsir Al-Maraghi, Al-Misbah dan An-Nur, kemudian disimpulkan

(24)

8

F. Kajian Pustaka

Fungsi kajian penelitian adalah untuk mengemukakan hasil-hasil

penelitian terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan

dilakukan. Adapun beberapa penelitian yang dilakukan dan sejauh ini telah

penulis ketahui adalah sebagai berikut:

1. Sayidatul Muwafiqoh, IAIN Salatiga, Prodi PAI (2017), dengan judul skripsi “Pendidikan Akhlak Dalam Al-Qur‟an Surat Maryam ayat 41

-42”, menyimpulkan bahwa konsep pendidikan akhlak dalam al-qur‟an

yaitu perbuatan manusia yang dilakukan tanpa memerlukan pemikiran

terlebih dahulu karena telah menjadi kebiasaan yang mantab,

kemudian pada dasarnya akhlak dibagi menjadi 2, yaitu akhlak

mahmudah dan akhlak mazmumah. Dalam QS. Maryam ayat 41-42

secara garis besar mengandung nilai-nilai pendidikan kejujuran

(siddiq), selain itu aktualisasi dalam pendidikan karakter berupa:

menanamkan sifat jujur, sifat tauhid kepada anak sejak dini, sikap

lemah lembut terhadap orang tua, serta lemah lembut dalam membela

kebenaran.

2. Fifi Nor Kamila, IAIN Salatiga, Prodi PAI (2016), dengan judul skripsi “Dasar-Dasar Pendidikan Akhlak Telaah Surat Al-A‟raf Ayat

199-202)”, menyimpulkan bahwa dasar-dasar pendidikan akhlak dalam surat tersebut yaitu: memaafkan, mengerjakan yang ma‟ruf,

menjauhi orang-orang jahil atau kemungkaran, menahan amarah,

(25)

9

3. Kurniawati, IAIN Salatiga, Prodi PAI (2016), dengan judul skripsi “Konsep Pendidikan Akhlak Surat Luqman Ayat 12-19 Dalam Tafsir

Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab”, menyimpulkan bahwa konsep

pendidikan akhlak dalam surat Luqman menurut tafsir Al-Misbah

karangan M. Quraish Shihab yaitu: pertama, akhlak kepada Allah

SWT tentang ajaran ketauhidan, mensyukuri nikmat dan mentaati

segala perintah maupun larangan-Nya, kedua, aqidah yakni tentang

urusan yang harus diyakini kebenarannya oleh hati, yang berkaitan

dengan tauhid atau ajaran mengesakan Allah SWT, tidak

menyekutukan-Nya dan mensyukuri nikmat-Nya, ketiga, akhlak

kepada orangtua yang di wujudkan dengan menghormati dan berbakti

kepadanya dengan ketentuan tidak melenceng dari ketentuan Allah

SWT. keempat, akhlak kepada orang lain dan diri sendiri, yang

diwujudkan apabila berakhlak kepada orang lain keluarga

menanamkan tentang akhlak mulia sehingga anak tidak akan bertindak

melenceng dri norma yang telah diajarkannya, kemudian akhlak pada

diri sendiri bahwa anak akan memiliki kepribadian yang kuat jika

penanaman amar ma‟ruf nahi munkar sejak dini dalam keluarga.

Kemudian implementasi konsep pendidikan akhlak surat Luqman ayat

12-19 yaitu berbakti kepada orangtua, selalu rendah hati dan tidak

sombong, dari kisah Luqman juga dipaparkan seperti tidak boleh

(26)

10

menanamkan akhlak pada diri sendiri diterapkan dalam keluarga agar

dapat menanamkan nilai budi pekerti luhur dalam bermasyarakat.

Penelitian tersebut merupakan penelitian terdahulu yang memiliki

tema pendidikan akhlak sama halnya seperti tema yang penulis kaji, tetapi

menjadi berbeda dengan penelitian tersebut, karena nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam QS al Israa‟ ayat 29 yang penulis kaji

menekankan pada pendidikan akhlak kikir dan jangan boros, kemudian

perbedaan lain, metode ataupun hasil dari penjabaran pendidikan

akhlaknya pun berbeda dari kedua penelitian yang telah dilakukan kedua

peneliti tersebut.

G. Penegasan Istilah

Untuk meminimalisir kesalahpahaman dalam memaknai

permasalahan yang ada di dalam judul penelitian ini, maka penulis

menjelaskan beberapa istilah sebagai berikut :

1. Nilai Pendidikan Akhlak

Nilai adalah sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi

kemanusiaan atau nilai-nilai agama yang perlu kita indahkan

(Poerwadarminta, 2006: 801).

Pendidikan memiliki banyak arti diantaranya yaitu, pendidikan

sebagai suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan

lingkungan, pendidikan sebagai suatu pengarahan dan bimbingan yang

(27)

11

Akhlak secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang merupakan

jamak dari kata khuluq yang berarti adat kebiasaan, perangai, tabiat

dan muru‟ah atau budi pekerti, watak, tabiat (Samsul Munir Amin,

2016: 1). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan

sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun terambil

dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabiat, perangai, kebiasaan

bahkan agama), namun kata seperti itu tidak ditemukan dalam Al-Qur‟an. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut

khuluq yang tercantum dalam surat Al-Qalam ayat 4, ayat tersebut

dinilai sebagai konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad sebagai

Rasul (Quraish Shihab, 1996: 253).

yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4) (Al-Qur‟an dan Terjemah Al-„Aliyy, 2005: 451).

Selain surat Al-Qalam ayat 4, terdapat ayat lain yang menegaskan

bahwa kata khulq merujuk pada pengertian perangai yakni dalam Al-Qur‟an surat As-Syu‟ara ayat 137 yang berbunyi:

(28)

12

Artinya: “(agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu.”(QS. As-Syu‟ara: 137) (Al-Qur‟an dan Terjemah Al-„Aliyy, 2005: 297).

Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa kata khulq mengandung makna perangai atau tingkah laku yang dilakukan manusia.

Sedangkan pengertian akhlak secara terminologi menurut Ibnu Maskawaih yaitu keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Keadaan ini terbagi menjadi dua ada yang berasal dari tabiat aslinya ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang-ulang. Boleh jadi, pada mulanya tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan, kemudian dilakukan terus menerus, maka jadilah suatu bakat atau akhlak (Samsul Munir Amin, 2016: 3).

Dalam bukunya Samsul Munir Amin (2016: 8) juga dijelaskan bahwa Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya‟ Ulumuddin menyebutkan induk dari akhlak adalah empat hal yakni:

1. Al-Hikmah (Kebijaksanaan): Keadaan atau tingkah laku yang dapat menentukan sesuatu yang benar, dengan cara menyisihkan hal-hal yang salah dalam segala perbuatan, yang dilakukan secara ikhtiariah (tanpa paksaan).

(29)

13

3. Al-„Iffah (Pengekangan Hawa Nafsu): Mendidik kekuatan syahwat

atau kemauan, dengan berdasarkan akal pikiran dan syariat agama. 4. Al-„Adl (Keadilan): Suatu Keadaan jiwa yang dapat membimbing

kemarahan dan syahwat, serta membawanya ke arah yang sesuai dengan hikmah dan kebijaksanaan.

Setidaknya dalam menentukan akhlak manusia dapat dilihat dari keempat hal tersebut menurut Al-Ghazali. Sedangkan secara istilah menurut Al-Ghazali dalam bukunya Samsul Munir berarti sifat yang

tertanam dalam jiwa yang daripadanya lahir perbuatan-perbuatan yang

spontan tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Maka jika

sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut ketentuan

akal dan norma agama, ia dinamakan akhlak yang baik, tetapi jika

menimbulkan tindakan yang jahat, maka ia dinamakan akhlak yang

buruk (Samsul Munir, 2016: 3). Lebih dari itu, akhlak secara universal

berarti ilmu yang membicarakan tentang perbuatan manusia yang dapat

dinilai baik atau buruk (Abuddin Nata, 2013: 5). Standar akhlak yakni

berdasarkan Al-Qur‟an dan Sunnah (Yunahar Ilyas, 2007: 3). Akhlak

juga dapat diartikan sebagai etika dan moral :

Etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yang asal katanya yaitu

ethos dalam bentuk tunggal berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak,

perasaan. Sedangkan secar istilah etika berarti ilmu tantang apa yang

biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K. Bertens, 2002:

(30)

14

Etika merupakan usaha sadar manusia untuk memakai akal budi

dan daya fikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana seseorang

harus hidup jika ingin menjadi baik (Franz Magnis Suseno, 1987: 17).

Pendapat lain bahwa etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang

dihasilkan oleh akal manusia, dan etika berhubungan dengan empat

hal yaitu: pertama, dilihat dari pembahasannya bahwa etika

membahas tentang perbuatan yang dilakukan manusia, kedua etika

dilihat dari sumbernya bahwa etika bersumber pada akal pikiran atau

filsafat, ketiga dilihat dari segi fungsinya yakni sebagai penilai,

penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh

manusia yang dapat dinilai baik atau buruk, mulia, terhormat, hina

atau yang lainnya, keempat, dilihat dari segi sifatnya bahwa etika

bersifat relatif artinya dapat berubah-ubah sesuai dengan ketentuan

zaman (Abuddin Nata, 2013: 76-77). Untuk standar etika lebih

menekankan pada pertimbangan akal pikiran (Yunahar Ilyas, 2007: 3).

Dari beberapa pengertian tersebut secara umum dapat diartikan

bahwa etika merupakan suatu usaha yang dilakukan manusia untuk

menjadikan dirinya baik dipandang orang lain dengan melakukan

perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan atas dasar akal dan

kesadaran sehingga membentuk sebuah watak dan kepribadian yang

baik dari diri manusia tersebut.

Dengan demikian, jika dilihat dari pengertian di atas antara akhlak

(31)

15

keduanya sama-sama membahas masalah baik dan buruknya tingkah

laku manusia. Perbedaan diantara keduanya bahwa Etika bersumber

dari akal pikiran bukan dari agama, sedangkan akhlak berdasarkan

ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya.

Selain dikenal dengan istilah etika, kajian mengenai akhlak juga

dikenal dengan istilah moral. Secara etimologi, moral berasal dari

bahasa Latin mores yang merupakan bentuk jamak dari mos yang

berarti adat kebiasaan. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa

Indonesia, merumuskan moral sebagai ajaran tentang baik buruknya

perbuatan dan kelakuan yang berupa akhlak, kewajiban, dan

sebagainya (Samsul Munir Amir, 2016: 15). Dalam KBBI dikatakan

bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan

kelakuan. Pengertian lain menjelaskan bahwa moral adalah suatu

tindakan manusia yang bercorak khusus, yaitu yang didasarkan

kepada pengertiannya mengenai baik buruk (Mudlor Ahmad: 41).

Sedangkan secara istilah bahwa moral berarti istilah yang digunakan

untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat

atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah , baik

atau buruk (Abuddin Nata, 2013: 78). Standar moral lebih

menekankan pada kebiasaan umum yang berlaku di masyarakat

(Yunahar Ilyas, 2007: 3). Dalam kajiannya kata etika dan moral

memiliki beberapa persamaan, bahwa secara etimologi, kata etika dan

(32)

16

lain, etika dengan rumusan yang sama dengan moral adalah nilai-nilai

dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu

kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Adapun perbedaannya,

etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral bersifat praktis.

Menurut pandangan para filsuf, etika membahas tingkah laku secara

universal (umum), sedangkan moral memandang secara spesifik.

Moral menyatakan ukuran, sedangkan etika menjelaskan ukuran

tersebut (Samsul Munir Amin, 2016: 15). Untuk itu dapat disimpulkan

bahwa antara moral dan etika memiliki persamaan dalam hal

pembahasannya yang berkaitan dengan masalah akhlak dan juga dapat

diartikan sebagai suatu kebiasan yang dilakukan oleh manusia secara

terus menerus sehingga menjadi sifat atau perangai baik sifat yang

baik ataupun yang buruk dari diri manusia tersebut dan moral lah yang

sebenarnya membedakan manusia dari makhluk Tuhan lainnya.

Sedangkan hubungan antara etika, moral dengan akhlak dapat

dilihat dari fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral

dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu

perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya

dimana dari ketiga komponen tersebut sama-sama menghendaki

terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai dan

tentram baik batiniah atau lahiriahnya.

Perbedaannya antara lain antara etika, moral dan akhlak terletak

(33)

17

buruk. Jika di dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat

akal pikiran dan pada moral berdasarkan kebiasaan yang berlaku

umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk

menentukan baik dan buruk itu adalah Al-Qur‟an dan hadist. Namun

demikian etika, moral dan akhlak tetap saling berhubungan dan

membutuhkan. Dengan kata lain jika etika dan moral berasal dari

manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan, selain itu bahwa akhlak

bersifat mutlak, absolute dan tidak dapat diubah, sementara etika,

moral dan susila sifatnya terbatas dan dapat diubah (Abuddin Nata,

2002: 95).

Dengan demikian pendidikan akhlak dapat diartikan sebagai usaha

sadar yang dilakukan oleh seseorang untuk menyiapkan dan

mendampingi dalam pembentukan tingkah lakunya agar sesuai dengan

kaidah yang berlaku sesuai dengan tuntunan Nabi dan Rasul sebelum

kita, sehingga menjadi insan kamil yang senantiasa berada pada suatu

perbuatan yang mulia disisi-Nya.

1. Surat Al-Israa’

Surah Al-Israa' (ارسلإا, al-Isrā, "Perjalanan Malam") adalah surah

ke-17 dalam al-Qur'an. Surah ini terdiri atas 111 ayat dan termasuk golongan surah-surah Makkiyah. Surah ini dinamai dengan Al-Israa‟

(34)

18

yakni pada ayat 101 sampai dengan ayat 104 di mana Allah

menyebutkan tentang Bani Israel yang setelah menjadi bangsa yang kuat lagi besar lalu menjadi bangsa yang terhina karena menyimpang dari ajaran Allah SWT. Dihubungkannya kisah Isra dengan riwayat Bani Israel pada surah ini, memberikan peringatan bahwa umat Islam

akan mengalami keruntuhan, sebagaimana halnya Bani Israel, apabila mereka juga meninggalkan ajaran-ajaran agamanya (Depag RI, 2009: 425).

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam mempelajari dan memahami skripsi

ini, maka penulis menggunakan sistematika sebagai berikut.

Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, penegasan istilah

dan sistematika penulisan.

Bab II : Kompilasi Ayat

Bab ini berisi tentang surat Al-Israa‟ ayat 29, kosa kata (mufrodat) dan

pokok-pokok isi kandungan.

Bab III : Asbabun Nuzul dan Munasabah Ayat

Bab ini berisi sebab turunnya ayat dan tentang keterkaitan antara ayat yang

satu dengan ayat lain atau surat satu dengan surat yang lain baik dari segi

kronologi maupun asbabun nuzulnya.

(35)

19

Bab ini berisi tentang penafsiran surat Al-Israa‟ ayat 29 menurut beberapa

mufassirin, nilai-nilai akhlak dalam surat Al-Israa‟ ayat 29, urgensi nilai

akhlak dalam Al-Israa‟ ayat 29, serta analisis jawaban dan menarik

kesimpulan permasalahan yang merupakan bab inti yang membahas

jawaban dari rumusan masalah yang telah dirumuskan.

Bab V : Penutup

(36)

20

BAB II

KOMPILASI AYAT

A. Redaksi Surat Al-Israa’ Ayat 29 dan Terjemahanya

Untuk menyesuaikan dengan judul, dan untuk mengetahui maknya

yang terkandung di dalam Al-Isra‟ ayat 29, maka penulis menyajikan

kompilasi ayat-ayat yang menjadi tema pembahasan dalam skripsi ini.

Adapun yang dikaji yaitu surat Al-Isra‟ ayat 29.

lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal (Al-Qur‟an dan terjemah Al-„Aliyy, 2005: 227).

B. Arti Kosa Kata (Mufrodat)

Setelah menyajikan teks ayat dan terjemahnya, perlu bagi penulis

untuk menyajikan beberapa kosa kata penting yang terkait dengan

ayat-ayat tersebut.

ً ةَلوُلْغَم

ًَكَدَي

ًْلَع ْجَت َلَ

ًَو

Terbelenggu Tanganmu jangan kamu

(37)

21

ًَدُعْقَت

ًَاف

ًِطْسَبْلا

ً لُاك

kamu akan

menjadi

Maka Uluran segala atau

habis-habis

ا روُس ْحَم

ً ام ْوُلَم

Menyesal Tercela

Dalam ayat ini akan disajikan seluruh kosa kata yang terdapat

dalam ayat 17 untuk memperjelas makna kosa kata seluruhnya.

1. Kata

لعجت

(taj‟al) berasal dari kata

لعج

(ja‟ala) yang berarti

menjadikan (Hisyam dan Rudi, 2006: 139). Dimana kata ja‟ala

tersebut mengikuti wazan fa‟ala- yaf‟alu- fa‟lan. Kemudian dalam

kalimat tersebut berbunyi

لعجت لا

yang merupakan fi‟il nahi karena

berupa perintah larangan yang memiliki makna jangan jadikan.

2. Kata

ةلىلغه

berasal dari kata

اىلغ

-

ىلغي

-

لاغ

yang berarti

berlebih-lebihan (Hisyam dan Rudi, 2006: 482).

3. Kata

اهطسبتلا

dari ayat tersebut merupakan fi‟il nahi yang berupa

larangan untuk tidak memberikan sesuatu kepada orang lain. Akar

kata dari kata tersebut yaitu

اًطسَب

ـ ُطُسبي

-

طسب

dengan mengikuti

wazan fa‟ala- yaf‟ulu (Hisyam dan Rudi, 2006: 83).

4. Kata

اهىله

(maluman) yang berarti tercela merupakan dampak dari

(38)

22

5. Kata

ارىسحه

(mahsuran) berasal dari kata

ارى

سُح

-

ازْسَح

-

-

زسح

ُزُسحي

(hasara) (Hisyam dan Rudi, 2006: 176). Kata (hasara) tersebut

mengikuti wazan fa‟ala- yaf‟ulu yang berarti tidak berbusana,

telanjang atau tidak sempurna. Seseorang yang tidak memakai tutup

kepala dinamakan Hasiru ar-Ra‟s. Seseorang yang keadaannya

tertutup, dari segi rezeki adalah yang memiliki kecukupan sehingga

dia tidak perlu berkunjung kepada orang lain dan menampakkan diri

untuk meminta karena itu berarti dia membuka kekurangan atau

aibnya. Tetapi ada juga ulama yang berpendapat bahwa kata tersebut

terambil dari kata

زيسح

(hasir) yang digunakan untuk menunjuk

binatang yang tidak mampu berjalan karena lemahnya sehingga

berhenti di tempat. Hal tersebut diibaratkan seperti pemboros, pada

akhirnya akan berhenti dan tidak mampu melakukan aktivitas, baik

untuk dirinya sendiri apalagi bagi orang lain, sehingga terpaksa hidup

tercela. Dengan demikian kata mahsuran memiliki makna tidak

memiliki kemampuan sama saja dampak dari pemborosan (Shihab,

2012: 75).

C. Pokok-pokok Kandungan Surat Al-Israa’ Ayat 29

Setelah menyajikan teks ayat dan terjemahnya, selanjutnya penulis

akan menyajikan beberapa pokok kandungan ayat 29, adapun redaksinya

(39)

23

dalam membelanjakan harta. Allah menerangkan keadaan orang-orang

yang kikir dan pemboros dengan menggunakan ungkapan jangan

menjadikan tangan terbelenggu pada leher, tetapi juga jangan terlalu

mengulurkannya. Kedua ungkapan ini lazim digunakan orang-orang

Arab. Pertama dari ayat tersebut berarti larangan berlaku bakhil atau

kikir, sehingga enggan memberikan harta kepada orang lain, walaupun

sedikit. Ungkapan kedua berarti melarang orang berlaku boros dalam

membelanjakan harta, sehingga melebihi kemampuan yang dimilikinya.

Kebiasaan memboroskan harta akan mengakibatkan seseorang tidak

mempunyai simpanan atau tabungan yang bisa digunakan ketika

dibutuhkan sewaktu-waktu (Departemen Agama RI, 2009: 468).

Berdasarkan deskripsi tersebut, bahwa ayat 29 dari surat Al-Israa‟

ini memberikan cara yang baik dalam kita membelanjakan harta yang

telah dititipkan oleh Allah SWT dengan cara hemat, layak dan

sewajarnya, tidak terlalu bakhil dan tidak terlalu boros. Karena dengan

terlalu bakhil akan menjadikan seseorang tercela, sedangkan terlalu

boros akan menjadikan seseorang bangkrut di dalam kehidupannya.

Sehingga Nabi mengatakan bahwa orang yang selalu berhemat tidak

akan menjadi beban orang lain atau menjadi miskin dalam

(40)

24

Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Allah

benar-benar telah memberikan pedoman kepada hambanya melalui ayat

tersebut dalam membelanjakan harta yang baik dan Rasulullah juga

mempertegas dalam sebuah hadist yang tentunya tidak akan

menjerumuskan hambanya dalam berperilaku baik atau memanfaatkan

(41)

25

BAB III

ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH AL-ISRAA’ AYAT 29

A. Sejarah Turunnya Surat Al-Israa’

Surat Al-Israa‟ memiliki pengertian yaitu “memperjalankan di malam hari”, surat ini merupakan surat ke 17 dalam Al-Qur‟an dan terdiri

dari 111 ayat yang diturunkan di kota Mekkah sesudah surat Al-Qashash, hal ini berhubungan dengan peristiwa Isra‟ Mi‟raj Nabi Muhammad SAW

dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis

(Madinah), peristiwa ini dicantumkan pada ayat pertama di dalam surat ini. Peristiwa Israa‟ pada permulaan surat ini mengandung isyarat bahwa Nabi

Muhammad SAW beserta umatnya di kemudian hari akan mencapai

martabat yang tinggi dan akan menjadi umat yang besar. Surat ini juga

dinamakan dengan “Bani Israil” yang berarti keturunan Israil, hal ini

berkaitan dengan ayat ke-2 sampai dengan ayat ke-8 kemudian dilanjutkan

pada ayat 101 sampai dengan ayat 104, di dalam ayat tersebut Allah

menyebutkan tentang Bani Israil telah menjadi bangsa yang kuat dan besar

lalu menjadi bangsa yang terhina dan menyimpang dari ajaran Allah SWT. Hal ini dikaitkan dengan kisah Israa‟ dengan riwayat “Bani Israil” pada

surat ini dengan memberi peringatan bahwa umat Islam akan mengalami

keruntuhan sebagaimana yang dialami Bani Israil apabila mereka

meninggalkan ajaran-ajaran agamanya (Depag RI, 2009: 425). Nama Al-Israa‟ disebut dengan “Bani Israil” ini juga dibenarkan sebagaimana yang

(42)

26

Aisyah bahwa Nabi Muhammad SAW senantiasa membaca surat Bani

Israil dan surat Az-Zumar (Hasbi As-Shiddieqy, 2000: 2320).

Menurut Al-Baidhawi, bahwa seluruh ayat dari surat Al-Israa‟ ini

turun di kota Mekkah, meskipun banyak yang berpendapat bahwa ada ayat

yang diturunkan di kota Madinah yakni ayat ke 23, 26, 33, 57 kemudian

dari ayat 73 sampai ayat ke 80. Tetapi dalam hal tersebut pendapat

Al-Baidhawi lah yang paling shahih (Hasbi As-Shiddieqy, 2000: 2320).

Sehingga pendapat dari Al- Baidhawi tersebut dapat dijadikan pedoman

untuk mengetahui sejarah turunnya QS Al-Israa‟ yang sesungguhnya.

Sedangkan menurut Ibnu Katsir bahwa surat al-Israa‟ ini merupakan surat

Makkiyyah kecuali ayat 26, 32, 33 dan 57. Begitu pula dengan ayat 73

sapai dengan ayat 80. Jumlah ayat dalam surat al-Israa‟ ini ada 111 (Imam

As-Suyuti, 2017: 320).

B. Tema Dan Tujuan Utama Surat Al-Israa’

Tema bahasan surat Al-Israa‟ ini diantaranya adalah sebagai

berikut:

1. Masalah Keimanan

Di dalam surat ini ditekankan bahwa Allah SWT tidak mempunyai

anak, baik berupa manusia ataupun malaikat. Allah SWT pasti

memberi rizki kepada manusia dan Allah juga memiliki nama-nama

yang baik. Al-Qur‟an merupakan wahyu dari Allah SWT untuk

(43)

27

beriman, kemudian pokok pembahasan lain tantang keimanan yakni

adanya padang Mahsyar dan hari kebangkitan nantinya.

2. Masalah Hukum-hukum

Dalam surat ini juga tidak terlepas dari pembahasan menganai

hukum-hukum larangan Allah SWT yang harus dipatuhi oleh

umat-Nya, yakni: larangan menghilangkan jiwa manusia yang berzina,

larangan mempergunakan harta anak yatim kecuali dengan yang

dibenarkan oleh agama, ikut-ikutan dalam hal perkataan maupun

perbuatan yang di dalamnya ada dasar durhaka kepada orangtua.

Selain larangan juga ada hal yang diperintahkan oleh Allah SWT

yakni: perintah untuk memenuhi janji dan menyempurnakan

timbangan dan takaran, kemudian perintah untuk melakukan shalat 5

waktu.

3. Kisah-kisah Nabi

Di dalam surat Al-Israa‟ ini juga terdapat kisah teladan yang dapat

diambil hikmahnya dalam kehidupan kita yakni adanya peristiwa Israa‟ Nabi Muhammad SAW dan beberapa kisah ynag berkaitan

tentang Bani Israil.

Selain beberapa hal di atas, pelajaran yang dapat diambil sebagai tema

isi surat Al-Israa ini adalah beberapa hal yang harus

dipertanggungjawabkan oleh manusia atas segala perbuatannya, faktor

yang menyebabkan maju dan runtuhnya suatu umat, kemudian petunjuk

(44)

28

kedudukan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang mulia namun tetap

saja manusia memiliki sifat-sifat yang tidak baik seperti suka ingkar, putus

asa dan terburu-buru dalam mengambil keputusan, kemudian selain itu hal

yang dibahas yakni mengenai roh (Depag RI, 1967: 423).

Termasuk di dalamnya mengenai masalah yang akan dibahas oleh

penulis yakni memanfaatkan harta terkait Al-Qur‟an surat Al-Israa‟ ayat

29.

C. Asbabun Nuzul

Dalam kaitannya sebab-sebab turunnya Al-Qur‟an, al-Suyuti

mengatakan bahwa Al-Qur‟an dibagi menjadi dua bagian. Pertama,

diturunkan tanpa sebab dan kedua, diturunkan adanya sebab. Untuk itu ada

ilmu yang dinamakan Asbabun Nuzul di dalam mempelajari ilmu-ilmu

Al-Quran. Kata asbab al-nuzul, terdiri dari dua akar kata, yaitu: asbaab dan

nuzul. Kata asbab jamak dari sabab yang artinya sebab atau alasan.

Sedangkan kata nuzul berarti turun (M.Gufron dan Rahmawati, 2013: 21).

Untuk itu, dapat diartikan bahwa asbabun nuzul yaitu turunnya

ayat Al-Qur‟an yang terjadi karena adanya suatu peristiwa atau pertanyaan

yang diajukan kepada Rasulullah SAW, kemudian turunlah salah satu ayat

atau beberpa ayat Al-Qur‟an mengenai peristiwa atau pertanyaan tersebut.

Dimana dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa asbabun nuzul

berkisar pada dua hal yakni: pertama, terjadi karena suatu peristiwa dan

kedua, karena ada pertanyaan yang diajukan Rasulullah SAW. Al-Qur‟an

(45)

29

berangsur-angsur dalam masa kurang lebih 23 tahun. Al-Qur‟an

diturunkan untuk memperbaiki akidah, ibadah, akhlak dan pergaulan

manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran. Ayat Al-Qur‟an

diturunkan melalui musabah atau yang sering dikenal dengan Asbabun

Nuzul, namun tidak semua ayat yang ada di dalam Al-Qur‟an mempunyai

Asbabun Nuzul, dan Surat Al-Israa‟ ini termasuk ayat Al-Qur‟an yang

memiliki Asbabun Nuzul.

Sebab turunnya ayat Al-Israa‟ ayat 29 terdapat dalam sebuah hadist

yakni:

نلسو َيلع الله ىلص يبٌلا ىلإ ملاغ ءاج :لاق دىعسه يبا يع ٍزيغو َيودزه يبا

: لاقف

يٌسكا كل لىقتف لاق مىيلا ءيش اًذٌع اه لاق ، اذكو اذك كلأست يهأ ىإ

ازساح تيبلا يف سلجف َيلإ َعفذف َصيوق علخف ، كصيوق

Artinya: “Menurut Ibnu Marduwaih dari Ibnu Mas‟ud, bahwa pada suatu

hari datang seorang anak kecil kepada Rasulullah SAW, ia diutus ibunya

untuk meminta sesuatu kepada beliau. Anak kecil itu berkata: “Wahai Rasulullah, ibu menyuruhku agar meminta sesuatu kepadamu.” Kemudian Rasulullah SAW menjawab: “Kebetulan hari ini aku tidak memiliki

apa-apa.” Lalu anak itu berkata lagi: “Ibu mengharapkan agar tuan berkenan member aku pakaian.” Maka beliau melepas baju kurungnya dan

diberikan kepada anak kecil itu, sehingga dirumah beliau tidak mengenakan baju kurung” (Wahidi, 2008: 119).

Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT menurunkan ayat ke-29 dari surat Al-Israa‟ ini sebagai larangan terlalu membuka tangan (dermawan), ayat tersebut agar dijadikan sebagai petunjuk tentang cara mendermakan harta kekayaan. Yakni harus menggunakan perhitungan.

Jangan sekali-kali dihabiskan, sehingga tidak ada persiapan untuk

(46)

30

Oleh karena itu, dari riwayat-riwayat tersebut dapat diambil

kesimpulan bahwasannya sebab turunnya surat Al-Israa‟ ayat 29 yaitu

adanya peristiwa yang dialami oleh Rasulullah SAW ketika itu

menafkahkan hartanya, atau harta yang ada untuk memenuhi kebutuhan

masa itu, sampai beliau merelakan kebutuhan yang Rasul sendiri perlukan

ketika itu untuk orang lain yang dirasa lebih membutuhkannya, sehingga

dari ayat tersebut kemudian Allah SWT menurunkan ayat tersebut yang di

dalamnya terkandung makna bahwasanya dalam kehidupan ini jangan

terlalu berlebih-lebihan dalam berinfaq sedangkan keadaan kita saja juga

masih membutuhkan. Dibenarkan bahwa infaq adalah perbuatan yang

sangat dianjurkan, namun menjadi tidak efektif ketika berinfaq itu

berlebih-lebihan bahkan sampai mengorbankan apa yang sedang menjadi

kebutuhan.

D. Munasabah

Secara bahasa, munasabah berarti saling mendekati dan saling

menyerupai. Sedangkan menurut istilah, munasabah adalah ilmu yang

menjelaskan tentang berbagai hubungan antara ayat satu atau surat yang

satu dengan ayat atau surat yang lain. Segi-segi hubungan yang dijelaskan

antara ayat yang satu atau surat yaitu: apakah hubungan tersebut berupa

ikatan antara „am (umum) dan khash (khusus), antara sebab akibat, antara

abstrak dan konkrit, antara rasional dan irrasional, antara „illah dan

ma‟lulnya atau hal yang berlawanan (M. Gufron dan Rahmawati, 2013:

(47)

31

Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa munasabah

merupakan keterkaitan antara surat yang satu dengan lainnya atau ayat

yang satu dengan lainnya di dalam Al-Qur‟an. Maka pada surat Al-Israa‟

ini dapat dicari munasabah ayat yang sesuai dengan surat tersebut, baik

dari segi munasabah dengan surat lain atau dengan ayat lainnya, berikut

keterkaitannya dapat penulis deskripsikan di bawah ini:

1. Keterkaitan surat Al-Israa‟ dengan Surat An-Nahl

Keterkaitan yang ada di dalam surat Al-Israa‟ dengan surat

sebelumnya yakni surat Al-Israa‟ yaitu bahwa:

a. Dalam surat An-Nahl dijelaskan perselisihan orang yahudi tentang hari Sabtu. Selain itu juga dijelaskan tentang syariat orang-orang

Yahudi yang dituangkan oleh Allah SWT dalam at-Taurat

b. Di dalam surat An-Nahl, Allah menyuruh Nabi Muhammad SAW bersabar dan melapangkan dada, sedangkan dalam surat ini Allah

menjelaskan kemuliaan Nabi Muhammad SAW dan ketinggian

martabatnya di sisi Allah SWT.

c. Dalam surat An-Nahl dijelaskan tentang berbagai nikmat, sehingga dimana kebanyakan manusia tidak mensyukurinya. Didalam surat

ini juga dijelaskan tentang beberapa nikmat yang khusus dan

nikmat yang umum. Kemudian dalam surah Al-Israa‟ disebutkan

lagi nikmat Allah yang lebih besar yang diberikan kepada Bani

(48)

32

bahkan mereka berbuat kerusakan di muka bumi. bahkan suurat ini

juga dinamakan surat An-Ni‟am (Quraish Shihab, 2012: 76).

d. Dalam surat An-Nahl dijelaskan pula bahwa madu itu mengandung obat yang menyembuhkan penyakit, sedangkan di dalam surat ini

dijelaskan bahwa Al-Qur‟an merupakan penawar dan rahmat bagi

para mukmin.

e. Dalam surat An-Nahl umat manusia diperintahkan untuk memberi bantuan dan pertolongan kepada kaum kerabat. Selain itu juga

diperintahkan untuk memberi pertolongan dan bantuan kepada

orang miskin dan ibnu sabil.

2. Keterkaitan dengan Ayat ke-30

Dalam Al-Israa‟ ayat 29 telah disebutkan bahwasannya salah satu

sebab utama kekikiran adalah rasa takut terjerumus dalam kemiskinan,

kemudian lebih lanjut ayat ke-30 ini mengingatkan bahwa:

Artinya: Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkan bagi siapa yang Dia kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat hamba-hamba-Nya (QS.Al- Israa‟: 30) (Al-Qur‟an dan Terjemah Al-„Aliyy, 2005: 227).

Ayat ini menunjukkan bahwa rezeki yang disediakan oleh Allah

SWT untuk setiap hamba-Nya mencukupi masing-masing yang

(49)

33

semaksimal mungkin guna memperolehnya, kemudian menerimanya

dengan rasa puas disertai dengan keyakinan bahwa itulah yang terbaik

untuknya masa kini dan mendatang. Dari sisi lain manusia juga harus

yakin bahwa apa yang gagal diperolehnya setelah usaha semaksimal

mungkin itu hendaknya dia yakini bahwa hal tersebut adalah yang

terbaik untuk masa kini dan mendatang pula (Quraish Shihab, 2012:

76).

Dalam buku yang berjudul Al-Qur‟an dan Tafsirnya terbitan Depag

RI dijelaskan bahwa setelah menjelaskan ayat ke 29 tersebut

kemudian Allah melanjutkan pada ayat ke 30 yang menjelaskan

bahwa Dialah yang melapangkan rezeki kepada siapa yang

dikehendaki-Nya dan Dia pula yang membatasinya. Semua berjalan

menurut ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT terhadap

hamba-Nya dalam usaha mencari harta dan cara mengembangkannya. Hal ini

berhubungan erat dengan alat dan pengetahuan tentang pengolahan

harta itu, yang demikian adalah ketentuan Allah yang bersifat umum

dan berlaku bagi seluruh hamba-Nya. Namun demikian, hanya Allah

yang menentukan menurut kehendak-Nya. Kemudian di akhir ayat ini

Allah SWT menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui para

hamba-Nya, siapa diantara mereka yang memanfaatkan kekayaan demi

kemaslahatan dan siapa pula yang menggunakan untuk kemudaratan.

Dia juga mengatahui siapa diantara hamba-hambaNya yang dalam

(50)

34

menjadi orang yang berputus asa jauh dari rahmat Allah SWT. Allah

Maha Melihat bagaimana mereka mengurus dan mengatur harta

benda, apakah mereka itu membelanjakan harta pemberian Allah SWT

itu dengan boros ataukah bakhil (Depag RI, 2009: 469).

Oleh karena itu sudah sangat jelas di dalam ayat ini bahwasannya

manusia yang bersangkutan tidak perlu memanfaatkian hartanya

dengan melakukan kegiatan yang bertentangan dengan tuntunan Allah

SWT untuk memperoleh ataupun memanfaatkan rezekinya, karena

apa yang telah diperolehnya melalui jalan yang tidak direstui Allah

pasti akan merugikannya, kalau bukan sekarang di dunia ini maka di

(51)

35

BAB IV PEMBAHASAN

A. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Al-Qur’an Surat Al-Israa’ Ayat

29

Artinya: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal (QS. Al-Israa‟, 17: 29) (Al-Qur‟an dan Terjemah Al-„Aliyy, 2005: 227).

Didalam Al-Qur‟an surat Al-Israa‟ ayat 29 sangat jelas bahwa

terdapat beberapa nilai pendidikan akhlak yang harus diterapkan oleh

manusia dengan harapan agar manusia dalam menjalankan kehidupannya

senantiasa baik dalam kehidupan agama, pribadi, keluarga, bangsa dan

(52)

36

SWT bagi umatnya sebagai tolak ukur menjalankan kehidupannya, agar mampu membatasi dalam menggunakan hartanya dan juga agar senantiasa menghindari sifat boros dalam kehidupannya.

Dari redaksi ayat tersebut, terdapat nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung, yakni:

1. Larangan Kikir

Dalam hal ini, larangan berakhlak tercela dengan perbuatan kikir

merupakan hal yang dilarang oleh Allah SWT, yang dijelaskan dengan

firman dengan kalimat:

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada

lehermu…” (QS. Al-Israa‟, 17:29) (Al-Qur‟an dan Terjemah Al

-„Aliyy, 2005: 227).

(53)

37

Kikir menjadi sifat yang sangat dilarang oleh Allah SWT karena pada dasarnya, kikir merupakan perbuatan syetan. Boleh-boleh saja kita menjadi orang hemat bahkan disarankan terhadap barang dimiliki baik tetapi ada batasannya jangan sampai melampaui batas kehematan bahkan menjerumuskan kedalam sifat kikir terhadap harta yang dimilikinya. Meskipun dengan keadaan seperti itu, mungkin individu tersebut merasa bangga terhadap yang dimilikinya, bahkan menjadi lading kekayaan, tetapi tidak bagi orang lain. Hal tersebut bisa saja menjadi hal yang menjadikan iri dan sifat yang kurang baik bagi orang lain yang mengetahui gaya hidup tersebut. Untuk itu Allah SWT juga telah memperjelas di dalam Al-Qur‟an Al-Israa‟ ayat 29 tersebut.

Dari pokok bahasan ayat Al-Isra‟ : 29 tersebut mengenai akhlak yakni dalam menjalani kehidupan, hendaknya kita janganlah sampai kikir dalam memanfaatkan harta kita tetapi juga jangan sampai terlalu menghambur-hamburkan harta kita meskipun ditekankan dalam kitab tafsir Al-Maraghi bahwa kandungan ayat tersebut membahas tentang anjuran untuk gemar menafkahkan harta yang telah dimiliki

(54)

38

tersebut, bahwa sebagai manusia jaganlah terlalu kikir atau tidak

memberikan sesuatu kepada orang, Sebab, jika terlalu kikir maka akan

menjadi orang yang tercela (Hasbi As-Shiddieqy, 2000: 2320).

Selain pendapat beliau ada juga pendapat yang menjelaskan bahwa sebenarnya batasan-batasan dalam mengeluarkan harta dalam batasan jangan terlalu kikir yaitu pendapat dari Quraish Shihab dalam kitab tafsir Al-Misbah yaitu bahwa ayat Al-Israa‟ ayat 29 memiliki kandungan yang dapat diambil dari ayat sebelumnya bahwa kita

diperintahkan untuk bermurah tangan dan hati, selanjutnya ayat 29

memerintahkan untuk melakukan lawannya yaitu dengan : dan

janganlah engkau enggan mengulurkan tanganmu untuk kebaikan

seakan-akan engkau jadikan tanganmu terbelenggu dengan belenggu

kuat yang terikat ke lehermu sehingga engkau tak dapat

mengulurkannya (Shihab, 2012: 75). Sehingga bagaimanapun

keadaannya bahwa dalam menjalani kehidupan tentunya tidak terlepas

dari sisi memanfaatkan harta yang memang sudah dititipka oleh Allah

SWT tetapi dengan batasan yang demikian, seperti halnya pendidikan

akhlak yang terkandung dalam Al-Israa‟ ayat 29 yaitu dilarang kikir

atau bakhil. Karena orang yang bakhil akan tercela dalam pergaulan

hidupnya, sebab dengan tidak disadarinya seseorang tersebut telah

diperbudak oleh hartanya karena saking cinta kepada hartanya tersebut.

(55)

39

hawa nafsu akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Al-Qur‟an dan Terjemah Al-„Aliyy, 2005: 362).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa dalam menjalankan kehidupan di muka bumi ini hendaknya kita dapat mengendalikan nafsu kita, dalam konteks ini mengendalikan dengan kekang kendali agama. Sikap pengendalian inilah yang baik dan dibenarkan agama. Untuk itu tidak perlu sampai membunuh nafsu dan juga tidak membiarkan nafsu menjadi liar, cukup dengan mendidik dengan tujuan pokoknya supaya orang menjadi tuan bagi nafsunya bukan sebaliknya, sehingga dalam menjalankan kehidupannya manusia tidak di kekang oleh nafsu mereka sendiri. b) QS Al-Furqon ayat 43

Artinya: “ Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan

hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat

menjadi pemelihara atasnya.” (Al-Qur‟an dan Terjemah Al-„Aliyy, 2005: 290).

(56)

40

hidupnya hanya diabdikan kepada segala yang telah dititahkan oleh sang nafsu (Humaidi Tatapangarsa, 1980: 148). Dengan bukti tersebut Al-Qur‟an secara tegas melarang hal tersebut terjadi.

2. Larangan Menghambur-hamburkan Harta (Boros)

Larangan yang terkandung di dalam QS Al-Israa‟ ayat 29 selain

berbuat kikir yaitu larangan untuk tidak menghambur-hamburkan

harta secara boros, meskipun dengan tujuan yang baik. Hal tersebut

sesuai dengan kisah Nabi yang menjadi sebab turunnya ayat ke 29 dari

QS Al-Israa‟ tersebut. Dimana saat Rasulullah begitu baik kepada

umat yang membutuhkan bahkan sampai-sampai memberikan barang

yang dimiliki untuk orang tersebut padahal saat itu Rasulullah SAW

juga memerlukan barang tersebut. Sebagai umat manusia memang

dianjurkan untuk menjadi individu yang sadar akan kedudukannya

sebagai makhluk sosial pula, yang dalam kehidupan sehari-hari tidak

terlepas dari campur tangan dan pertolongan orang lain, namun dalam

hal saling membantu juga ada batasannya untuk tidak memanfaatkan

barang atau kebutuhan yang dimilikinya untuk diberikan secara

berlebihan kepada orang lain meskupun orang lain itu sangat

membutuhkan. Kita boleh-boleh saja membantu untuk meringankan

beban yang di pikul oleh orang lain, tetapi kita juga tidak melepaskan

kebutuhan diri sendiri. Bahkan secara jelas telah diperingatkan oleh

Allah SWT dalam QS Al-Israa‟ ayat 29 tersebut, Allah memberikan

(57)

41

terutama dalam membelanjakan dan memanfaatkan harta yang

dimilikinya, tetapi dengan batasan-batasan tertentu jangan sampai

melupakan kepentingan pribadi agar terhindar dari sifat boros atau

memanfaatkan harta secara berlebih-lebihan, namun juga jangan

terlalu pelit yang menjadikan tertanam dalam diri individu menjadi

kikir atau acuh terhadap orang lain yang sedang membutuhkan,

sebagaimana larangan yang telah dibahas dalam penjelasan

sebelumnya. Tentang larangan yang kedua yaitu selain perbuatan kikir

yang memang sudah jelas dibahas dalam bab sebelumnya yaitu

larangan untuk tidak berbuat boros, boros yang seperti apakah yang

menjadi masalah dalam hal ini. Dipertegas oleh Al-Maraghi dalam

kitab tafsirnya yang berisi tentang larangan berlaku boros, dengan

memberikannya kepada orang yang tidak pantas menerimanya, karena

dengan dilarangnya boros tersebut dapat memperbaiki keadaan

seseorang, dan tidak akan menjadi kacau penghidupannya, sedangkan

kebaikan yang dilakukan oleh seseorang tersebut termasuk upaya

dalam memperbaiki umat seluruhnya (Al-Maraghi, 1993: 68). Orang

yang menghambur-hamburkan harta disini yaitu orang yang

membelanjakan hartanya untuk melakukan maksiat kepada Allah

SWT, dan hal lain yang mengingkari dari ketaatan kepada Allah SWT,

maka mereka adalah kawan-kawan setan di dunia sampai akhirat

nantinya. Sehingga ayat tersebut sangat menganjurkan kepada umat

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut juga harus didukung oleh teori-teori estetikan untuk mempermudah dan memahami tentang cara olah seni terutama dalam mengungkapkan prinsip-prinsip dan

59 Adapun populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang termasuk kedalam kelompok perusahaan non-finansial yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta periode 2008- 2012

Nomina dari segi sintaksisnya, nomina yang bercirikan (a) sebagai fungtor subjek, objek, pelengkap dalam kalimat yang berpredikat verba, (b) tak bisa

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat No.22 Tahun 1998 tanggal 14 Desember 1998 tentang Perubahan Bentuk Hukum Bank Pembangunan Daerah Jawa

Jadi, permasalahan dalam penelitian ini, bagaimana menghasilkan cat tembok dari getah karet, tepung tapioka dan air sehingga dapat membentuk cat tembok dengan komposisi yang tepat

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah telah melimpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Akhir ini yang merupakan

Berdasarkan hasil analisis sistem akuntansi pembelian pada Notebook88 maka ditemukan kelemahan bahwa tidak terdapat pemisahan tugas dan tanggung jawab yang tepat,

As mentioned in the orders example in “Tip #1: Duplicate data for speed, reference data for integrity” on page 1 , you don’t actually want the information in the order to change if