NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF
AL-Q
UR’AN
Kajian Surat Al-
Israa’ Ayat 29
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Muzayanatul Maghfiroh
NIM : 111-14-053
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
iii
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF
AL-Q
UR’AN
(Kajian Surat Al-
Israa’ Ayat
29)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
Muzayanatul Maghfiroh
NIM : 111-14-053
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
iv HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Dr. M. Gufron, M. Ag. Dosen IAIN Salatiga Nota Pembimbing
Lampiran : 4 Eksemplar Hal : Naskah Skripsi
Kepada:
Yth. Dekan FTIK IAIN Salatiga di Salatiga
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Muzayanatul Maghfiroh NIM : 111-14-053
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Fakultas : Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Judul : NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Kajian Surat Al-Israa’ Ayat 29)
Dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga untuk diujikan dalam munaqosyah. Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Salatiga, 25 Juli 2018 Pembimbing
v HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Kajian Surat Al-Israa’ Ayat 29)
Disusun oleh:
Muzayanatul Maghfiroh NIM : 111-14-053
Telah dipertahankan di depan panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 20 September 2018 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd).
Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji : Dr. Fatchurrohman, S.Ag., M.Pd. Sekretaris : Dr. M. Ghufron, M.Ag.
Penguji I : Dr. Wahyudhiana, M.Pd. Penguji II : Dra. Siti Farikhah, M.Pd.
Salatiga, 20 September 2018 Dekan
Suwardi, M.Pd.
NIP.19670121 199903 10 002 KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
vi
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN DAN
KESEDIAAN DI PUBLIKASIKAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muzayanatul Maghfiroh
NIM : 111-14-053
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Judul :NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
PERSPEKTIF AL-QUR‟AN (KAJIAN SURAT AL
-ISRAA‟ AYAT 29)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Skripsi ini diperbolehkan untuk di publikasikan pada e-repository IAIN Salatiga.
Salatiga, 6 Juli 2018
Yang Menyatakan,
Muzayanatul Maghfiroh
vii
MOTTO
خ
ساٌلل نهعفًأ ساٌلا زي
“Sebaik
-baik manusia adalah yang paling
viii
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat serta karuniaNya, skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Ayahku dan ibundaku tersayang, Iskandar dan Sri Hastuti yang senantiasa memberikan dukungan baik materil maupun moril dan tak pernah berhenti memantau, memberikan do‟a, nasihat, kasih sayang, bimbingan, motivasi dan semangat untuk anak-anaknya.
2. Adikku tercinta Ahmad Abdurrozak dan Aliya Nur Inayah yang selalu berpartisipasi menemani, memberikan dukungan, support, dan do‟anya untukku.
3. Muhammad Furqon yang senantiasa menemani, memberikan dukungan,
semangat, motivasi, do‟a dan kasih sayang yang tiada henti.
4. Dosen pembimbing skripsiku, Bp. Dr. M. Gufron, M.Ag. yang selalu memberikan pengarahan serta bimbingan dengan penuh kesabaran selama proses skripsi ini.
5. Segenap keluarga besar Mbah Hanoto besserta anak cucu dan keluarga besar Mbah Muhrodi beserta anak cucu yang selalu membimbing dan memberikan motivasi, semangat yang tak henti-hentinya demi terselesaikan skripsi penelitian ini.
ix
7. Sahabat seperjuangan satu dosbing Tatu Mafazah, Laili Nur Fitriyani, Muna, Khusnadia, Fatin, Nur Khasanah, Kholiq, Rahmat dll yang selalu memberikan motivasi, semangat, dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Sahabat dan teman dekatku segenap keluarga “Purworejo Squad” Hikmah, Hana, Hima, Eka, Ida, Indri, Izza, Tatu, Uma yang selalu memberikan motivasi kepadaku dan membantu menyelesaikan skripsi ini.
9. Keluarga kost Salatiga, Nisa, Fajar, Nunung, Tika, Uus, Rana, Retno, Sofi, dan Zulfa yang selalu memberikan dukungan dan semangat.
10. Tim PPL SMP Negeri 1 Salatiga, Afif, Dwita, Ela, Irfan, Khamidah, Mui‟I, Rani, Riska, Sari, Tatu, dan Umam yang selalu memberikan motivasi.
11. Tim KKN Posko 123 (Lukas), mbak Alim, Anjar, Arif, Dani, Dwi Aryanti, Indah, Hasimah dan mbak Umi yang selalu support.
12. Tim kerja Marvel Salatiga, Mba Anggun, Eka, Nana, beserta karyawan Marvel lain yang telah memberikan pengalaman berharga, selalu memberikan motivasi dan dukungan untuk meraih kesuksesan.
13. Segenap keluarga besar PAI B Angkatan 2014. 14. Segenap keluarga besar PAI Angkatan 2014.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillahi robbil‟alamin, penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan nikmat, rahmat, karunia, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Persepektif Al-Qur‟an (Kajian Surat Al-Israa‟ Ayat 29) ini dengan baik dan lancar.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi agung
Muhammad SAW, semoga kelak dapat berjumpa dan mendapat syafa‟atnya di
yaumul akhir. aamiin.
Penulisan skripsi ini tidak akan pernah terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
4. Bapak Dr. M. Gufron, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan mengarahkan dari awal hingga akhir dalam proses penyelesaian skripsi ini.
xi
6. Bapak dan Ibu dosen yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan, serta karyawan IAIN Salatiga sehingga penulis dapat menyelesaikan jenjang pendidikan S1.
7. Keluarga besar PAI IAIN Salatiga angkatan 2014.
8. Seluruh pihak yang sudah mendukung dan memberikan semangat yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Terselesaikannya tulisan ini selain sebagai bentuk tanggung jawab pengenyam perguruan tinggi yang tentunya kelak akan menjadi salah satu referensi. Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta para pembaca pada umumnya. Aamiin.
xii ABSTRAK
Maghfiroh, Muzayanatul. 2018. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Perspektif Alqur‟an (Kajian Surat Al-Israa‟ Ayat 29). Prodi Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. M. Gufron, M.Ag.
Kata Kunci: Nilai. Pendidikan. Akhlak. Al-Israa‟ Ayat 29.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam Al-Qur‟an surat Al-Israa‟ ayat 29, kemudian untuk mengetahui bagaimana implementasi yang dapat dilakukan dalam dunia pendidikan berdasarkan isi dari surat Al-Israa‟ ayat 29.
Untuk menyelesaikan penelitian tentang kajian ayat Al-Israa‟ ayat 29 ini, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library resear), kemudian menggunakan dua sumber data, yakni data primer dari Al-Qur‟an, Tafsir Al Misbah, An-Nur dan Al-Misbah, metode pengumpulan datanya dengan mengumpulkan data dari sumber primer dan sekunder yang mendukung, setelah itu menganalisis data dengan teknik analisis isi (content analysis).
Berdasarkan permasalahan yang telah penulis rumuskan, maka diperoleh hasil penelitian bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat Al-Israa‟ ayat 29 ada dua, yang pertama larangan berbuat kikir yang dipertegas dalam kitab tafsir
Al-Maraghi agar gemar menafkahkan hartanya namun juga kendalikan nafsu, dalam tafsir An-Nur, bahwa jangan tidak memberikan sesuatu kepada orang lain karena bisa menyesal, dalam tafsir Al-Misbah, bahwa diperintahkan untuk bermurah tangan dan hati. Kedua larangan boros, dalam tafsir Al-Maraghi
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL LUAR ... i
LEMBAR BERLOGO IAIN ... ii
HALAMAN SAMPUL DALAM ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ... vi
MOTTO ... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... x
ABSTRAK ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Metode Penelitian ... 7
F. Kajian Pustaka ... 9
G. Penegasan Istilah ... 11
xiv
BAB II KOMPILASI AYAT ... 21
A. Redaksi Surat Al-Israa‟ Ayat 29 dan Terjemahannya ... 21
B. Arti Kosakata (Mufrodat)... 21
C. Pokok-pokok Kandungan Surat Al-Israa‟ Ayat 29 ... 23
BAB III ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH ... 26
A. Sejarah Turunnya Surat Al-Israa‟ ... 26
B. Tema dan Tujuan Utama Surat Al-Israa‟ ... 27
C. Asbabun Nuzul ... 29
D. Munasabah ... 31
BAB IV PEMBAHASAN ... 36
A. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Al-Israa‟ Ayat 29 ... 36
1. Larangan Kikir ... 37
2. Larangan Menghambur-hamburkan Harta (Boros) ... 41
B. Implementasi Nilai-Nilai Akhlak Al-Israa‟ 29 dalam Pendidikan ... 45
1. Menanamkan Sifat Dermawan ... 45
2. Gemar Berinfaq dan Berzakat ... 47
3. Hemat ... 50
xv
BAB V PENUTUP ... 55
A. Kesimpulan ... 55
B. Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 60
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akhlak dapat diartikan sebagai sebuah sistem lengkap yang terdiri
dari karakteristik-karakteristik atau tingkah laku yang membuat seseorang
menjadi istimewa. Karakteristik-karakteristik tersebut dapat membentuk
kerangka psikologi seseorang dan membuatnya berperilaku sesuai dengan
dirinya dan nilai yang cocok dengan dirinya dalam kondisi yang
berbeda-beda (Ali Abdul Halim Mahmud, 2004: 26). Dari pengertian tersebut
bahwa akhlak merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang
dimana dalam melakukan kebiasaan tersebut tanpa berfikir panjang
sehingga menghasilkan perbuatan yang dilakukan berkali-kali dan dalam
keadaan yang berbeda-beda sesuai kehendak masing-masing.
Pendidikan akhlak merupakan kaidah dasar yang harus ditanamkan
dalam diri setiap manusia. Karena bukan hanya sekedar tata aturan, tetapi
menjadi pedoman yang kokoh agar kehidupan manusia berjalan dengan
harmonis sebagaimana mestinya. Akhlak mencerminkan kehidupan yang
dijalani setiap manusia baik secara fisik maupun jiwanya, apabila
akhlaknya baik maka seluruh kehidupan jasmani dan rohaninya tentu akan
baik, begitu juga sebaliknya, jika akhlak melenceng dari kaidah agama,
maka sudah menjadi barang tentu jika aspek jasmani dan rohaninya akan
1
Kajian akhlak sangat luas, bahkan di dalam al-qur‟an tidak hanya
terdapat di dalam satu surat saja, akan tetapi disini penulis lebih
menekankan pada satu bahasan yakni firman Allah SWT di dalam surat
Al-Isra‟ ayat 29 yang berbunyi,
lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.Dilihat dari ayat tersebut, betapa pentingnya mengkaji dan
memaparkan apa yang sebenarnya dianjurkan di dalam Al-Qur‟an
mengenai bagaimana berakhlak yang baik dengan mengamalkan sifat
hemat dan tidak bermegah-megahan dalam membelanjakan harta, dan juga
tidak begitu kikir kepada sesama dengan harta yang telah dimiliki.
Menyikapi hal tersebut, dapat dikaitkan dengan pergaulan di era
globalisasi ini yang merupakan tuntutan bagi umat manusia tanpa
terkecuali. Semua orang dari berbagai kalangan mengalami dan mengikuti
arus modernisasi yang sedang terjadi. Sebagai manusia yang memahami
akan pengetahuan tentunya dapat memilih dan memilah mana yang
menjadi kebutuhan atau hanya kemauan untuk memenuhi trend masa kini.
Sebagai calon pendidik diharapkan mampu memberikan contoh yang baik
akan budaya dan etika berperilaku yang baik, sesuai dengan kaidah agama
2
perbincangan diantaranya terkait dengan kebutuhan food, fashion dan fun,
untuk itu menjadi sangat penting bagi penulis untuk dapat mengaitkan apa
yang sebenarnya terjadi di dunia ini sehingga berbagai kalangan
berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhannya tersebut, bahkan mereka tidak
sedikitpun memikirkan dan memprioritaskan manakah yang menjadi
kebutuhan utamanya ataupun sekedar kebutuhan penunjang.
Tidak sedikit dari kita yang menjadi korban globalisasi,
modernisasi yang dituntut mengikuti trend masa kini, karena dalam diri
mereka sudah tertanam pemikiran yang serba instan, bagaimanapun cara
yang akan ditempuh untuk memenuhi kebutuhannya tanpa memperhatikan
manfaat yang sebenarnya dibutuhkan. Sehingga dapat dikatakan kurang
memperhatikan bagaimana memanfaatkan dan membelanjakan harta kita
untuk memenuhi kebutuhan utama kita, sehingga dapat meminimalisir diri
kita untuk terhindar dari golongan pemboros atau israf. Untuk itu masalah
tersebut menjadi salah satu faktor yang dapat dikaitkan dengan firman
Allah SWT surat Al-Israa‟ ayat 29, karena Allah SWT telah menegaskan
di dalam ayat tersebut bahwa terdapat kalimat jangan terbelenggu pada
lehermu dan jangan terlalu mengulurkannya, dengan kata lain dapat
diartikan jangan terlalu kikir dan jangan terlalu berlebih-lebihan dalam
membelanjakan harta yang dimiliki.
Hal tersebut menjadikan keprihatinan yang mendalam, karena
termasuk dalam kemerosotan akhlak yang begitu cepat berkembang,
3
anak-anak, muda, dewasa bahkan orangtua tidak ketinggalan untuk
memenuhi kebutuhan instannya daripada mementingkan kebutuhan utama
atau bahkan sekedar menyisihkan untuk orang-orang yang lebih
membutuhkan, sehingga harta yang dimiliki begitu bermanfaat dan dapat
menjadi berkah tersendiri di dalam kehidupannya. Kemerosotan akhlak
yang menjadi kajian disini yakni sifat kikir dan sifat boros di kalangan
masyarakat.
Kikir atau cinta pada harta timbul akibat dua faktor yaitu: pertama,
cinta pada syahwat ditambah dengan ketakutan pada kefakiran dan
kurangnya kepercayaan pada datangnya rezeki, maka kekikiran sudah pasti
akan menguat. Kedua, mencintai wujud harta itu sendiri lalu mengetahui
bahwa dia sama sekali tidak membutuhkannya (Moh Yusni Amru Ghozali,
2017: 420). Hal tersebut merupakan salah satu penyakit hati yang rawan
terjadi bagi sebagian umat muslim. Kemerosotan akhlak yang kedua dari
ayat tersebut yaitu sifat boros yang dapat menyebabkan seseorang menjadi
hedonisme. Hedonisme berasal dari bahasa Yunani hedone yang berarti
nikmat atau kegembiraan, hedonisme bertolak dari anggapan bahwa
manusia hendaknya hidup sedemikian rupa sehingga ia dapat semakin
bahagia. Hedonisme memiliki makna kebenaran yang mendalam yakni
bahwa manusia menurut kodratnya hanya mencari kesenangan dan
berupaya menghindari ketidaksenangan (K. Bertens, 2002: 238) . Dengan
alasan mengapa penulis mengangkat judul bertema pendidikan akhlak
4
spesifik menegaskan bahwasannya terdapat makna yang mendasar tentang
memanfaatkan harta dilarang kikir dan jangan boros dan untuk
menghindari gaya hidup hedonisme. Selain itu, ayat ini juga belum
dibahas padahal di makna yang terkandung dapat dijadikan pedoman oleh
manusia dalam menjalankan kehidupannya selama di dunia yakni
memanfaatkan harta untuk tidak berlebihan sebagaimana fenomena yang
terjadi di kalangan masyarakat bahwa keinginan terhadap barang-barang
yang harus dimiliki meskipun itu belum tentu bermanfaat dan juga jangan
terlalu bakhil dalam menyimpan harta, karena di dalam rezeki kita yang
dimiliki ada hak orang lain artinya harus juga berbagi sesuai takarannya,
harta yang memang hanya titipan dari Allah SWT dan Allah pun
mempertegas perintah tersebut dalam ayat 29 dari surat al-Israa‟ ayat 29
ini, untuk itu menjadi sangat penting bagi penulis untuk mengangkat judul
“Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Perspektif Al-Qur’an Kajian Surat
Al-Isra’ ayat 29”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pertimbangan yang telah dipaparkan pada latar
belakang tersebut, maka penulis memiliki beberapa pokok permasalahan
yang dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah nilai tentang pendidikan akhlak dalam Al-Israa‟ ayat
29?
2. Bagaimanakah implementasi pendidikan akhlak yang terdapat di
5
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka
penulis dapat memaparkan tujuan dari penelitian ini yakni :
1. Untuk mengatahui nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam
surat Al-Isra‟ ayat 29.
2. Untuk mengetahui implementasi pendidikan akhlak yang sesuai
dengan surat Al-Isra‟ ayat 29.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sebuah informasi yang jelas kepada para pembaca untuk
mengetahui bagaimanakah menanamkan pendidikan akhlak yang terdapat
di dalam surat Al-Isra‟ ayat 29, sehingga hasil penelitian ini dapat
dijadikan bahan masukan dan acuan dalam melakukan penelitian sejenis di
masa yang akan datang.
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi:
1. Untuk Peneliti
Dapat dijadikan sebuah sarana untuk meningkatkan kemampuan
dalam bidang library research dan untuk dijadikan sebagai acuan
dalam berperilaku untuk menanamkan akhlak sesuai dengan kajian.
2. Untuk Pembaca
Dapat dijadikan rujukan dan motivasi untuk dapat melakukan
6
3. Untuk IAIN Salatiga
Dapat menambah perbendaharaan referensi karya tulis ilmiah
dan menambah khazanah keilmuan bagi para pembaca khususnya
yang melakukan penelitian sejenis.
E. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa
metode penelitian, baik dalam proses mencari data dan mengolah data
nantinya, diantaranya yakni :
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian kepustakaan (library
research), yaitu suatu penelitian terhadap buku-buku sebagai produk
ulama yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi. Dengan
demikian nantinya dari hasil literer dideskripsikan apa adanya
kemudian dianalisis.
2. Sumber Data
Karena berdasarkan jenis penelitian tersebut, yakni dengan
menggunakan metode library research, maka penulis mengambil data
dari berbagai sumber sebagai berikut :
a) Sumber Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari Al-Qur‟an dan
terjemah, kitab tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab, kitab tafsir
An-Nur dan kitab tafsir Al-Maraghi.
b) Sumber Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber yang
7
buku yang membahas tentang pendidikan akhlak dan buku yang
berkaitan dengan tafsir Al-Isra‟ ayat 29.
3. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah dengan mengumpulkan data yang menjadi sumber data
primer yaitu surat Al-Qur‟an surat Al-Israa‟ ayat 29 dan terjemahnya,
kitab tafsir Al-Misbah, kitab tafsir An-Nur dan kitab tafsir Al-Maraghi,
serta dari sumber data sekunder yang relevan seperti catatan, transkip,
buku, surat kabar dan sebagainya. Setelah data tersebut terkumpul
kemudian dilakukan penelaah secara sistematis yang berkaitan dengan
penelitian tersebut sehingga dapat diperoleh bahan-bahan dan
penyajian data.
4. Metode Analisis Data
Menulis menggunakan teknik analisis isi (content analysis) ini
merupakan teknik menulis dengan mencari kesimpulan yang shahih
dari sebuah buku atau dokumen, atau dengan mencari karakteristik
pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis (Moleong, 2011: 263). Cara kerja dari metode ini adalah dengan mengambil makna surat yang terkandung dalam sumber data primer yaitu Al-Quran
dengan menggabungkan penjelasan dari sumber data sekunder yakni
tafsir Al-Maraghi, Al-Misbah dan An-Nur, kemudian disimpulkan
8
F. Kajian Pustaka
Fungsi kajian penelitian adalah untuk mengemukakan hasil-hasil
penelitian terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan
dilakukan. Adapun beberapa penelitian yang dilakukan dan sejauh ini telah
penulis ketahui adalah sebagai berikut:
1. Sayidatul Muwafiqoh, IAIN Salatiga, Prodi PAI (2017), dengan judul skripsi “Pendidikan Akhlak Dalam Al-Qur‟an Surat Maryam ayat 41
-42”, menyimpulkan bahwa konsep pendidikan akhlak dalam al-qur‟an
yaitu perbuatan manusia yang dilakukan tanpa memerlukan pemikiran
terlebih dahulu karena telah menjadi kebiasaan yang mantab,
kemudian pada dasarnya akhlak dibagi menjadi 2, yaitu akhlak
mahmudah dan akhlak mazmumah. Dalam QS. Maryam ayat 41-42
secara garis besar mengandung nilai-nilai pendidikan kejujuran
(siddiq), selain itu aktualisasi dalam pendidikan karakter berupa:
menanamkan sifat jujur, sifat tauhid kepada anak sejak dini, sikap
lemah lembut terhadap orang tua, serta lemah lembut dalam membela
kebenaran.
2. Fifi Nor Kamila, IAIN Salatiga, Prodi PAI (2016), dengan judul skripsi “Dasar-Dasar Pendidikan Akhlak Telaah Surat Al-A‟raf Ayat
199-202)”, menyimpulkan bahwa dasar-dasar pendidikan akhlak dalam surat tersebut yaitu: memaafkan, mengerjakan yang ma‟ruf,
menjauhi orang-orang jahil atau kemungkaran, menahan amarah,
9
3. Kurniawati, IAIN Salatiga, Prodi PAI (2016), dengan judul skripsi “Konsep Pendidikan Akhlak Surat Luqman Ayat 12-19 Dalam Tafsir
Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab”, menyimpulkan bahwa konsep
pendidikan akhlak dalam surat Luqman menurut tafsir Al-Misbah
karangan M. Quraish Shihab yaitu: pertama, akhlak kepada Allah
SWT tentang ajaran ketauhidan, mensyukuri nikmat dan mentaati
segala perintah maupun larangan-Nya, kedua, aqidah yakni tentang
urusan yang harus diyakini kebenarannya oleh hati, yang berkaitan
dengan tauhid atau ajaran mengesakan Allah SWT, tidak
menyekutukan-Nya dan mensyukuri nikmat-Nya, ketiga, akhlak
kepada orangtua yang di wujudkan dengan menghormati dan berbakti
kepadanya dengan ketentuan tidak melenceng dari ketentuan Allah
SWT. keempat, akhlak kepada orang lain dan diri sendiri, yang
diwujudkan apabila berakhlak kepada orang lain keluarga
menanamkan tentang akhlak mulia sehingga anak tidak akan bertindak
melenceng dri norma yang telah diajarkannya, kemudian akhlak pada
diri sendiri bahwa anak akan memiliki kepribadian yang kuat jika
penanaman amar ma‟ruf nahi munkar sejak dini dalam keluarga.
Kemudian implementasi konsep pendidikan akhlak surat Luqman ayat
12-19 yaitu berbakti kepada orangtua, selalu rendah hati dan tidak
sombong, dari kisah Luqman juga dipaparkan seperti tidak boleh
10
menanamkan akhlak pada diri sendiri diterapkan dalam keluarga agar
dapat menanamkan nilai budi pekerti luhur dalam bermasyarakat.
Penelitian tersebut merupakan penelitian terdahulu yang memiliki
tema pendidikan akhlak sama halnya seperti tema yang penulis kaji, tetapi
menjadi berbeda dengan penelitian tersebut, karena nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam QS al Israa‟ ayat 29 yang penulis kaji
menekankan pada pendidikan akhlak kikir dan jangan boros, kemudian
perbedaan lain, metode ataupun hasil dari penjabaran pendidikan
akhlaknya pun berbeda dari kedua penelitian yang telah dilakukan kedua
peneliti tersebut.
G. Penegasan Istilah
Untuk meminimalisir kesalahpahaman dalam memaknai
permasalahan yang ada di dalam judul penelitian ini, maka penulis
menjelaskan beberapa istilah sebagai berikut :
1. Nilai Pendidikan Akhlak
Nilai adalah sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan atau nilai-nilai agama yang perlu kita indahkan
(Poerwadarminta, 2006: 801).
Pendidikan memiliki banyak arti diantaranya yaitu, pendidikan
sebagai suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan
lingkungan, pendidikan sebagai suatu pengarahan dan bimbingan yang
11
Akhlak secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang merupakan
jamak dari kata khuluq yang berarti adat kebiasaan, perangai, tabiat
dan muru‟ah atau budi pekerti, watak, tabiat (Samsul Munir Amin,
2016: 1). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan
sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun terambil
dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabiat, perangai, kebiasaan
bahkan agama), namun kata seperti itu tidak ditemukan dalam Al-Qur‟an. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut
khuluq yang tercantum dalam surat Al-Qalam ayat 4, ayat tersebut
dinilai sebagai konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad sebagai
Rasul (Quraish Shihab, 1996: 253).
yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4) (Al-Qur‟an dan Terjemah Al-„Aliyy, 2005: 451).
Selain surat Al-Qalam ayat 4, terdapat ayat lain yang menegaskan
bahwa kata khulq merujuk pada pengertian perangai yakni dalam Al-Qur‟an surat As-Syu‟ara ayat 137 yang berbunyi:
12
Artinya: “(agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu.”(QS. As-Syu‟ara: 137) (Al-Qur‟an dan Terjemah Al-„Aliyy, 2005: 297).
Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa kata khulq mengandung makna perangai atau tingkah laku yang dilakukan manusia.
Sedangkan pengertian akhlak secara terminologi menurut Ibnu Maskawaih yaitu keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Keadaan ini terbagi menjadi dua ada yang berasal dari tabiat aslinya ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang-ulang. Boleh jadi, pada mulanya tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan, kemudian dilakukan terus menerus, maka jadilah suatu bakat atau akhlak (Samsul Munir Amin, 2016: 3).
Dalam bukunya Samsul Munir Amin (2016: 8) juga dijelaskan bahwa Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya‟ Ulumuddin menyebutkan induk dari akhlak adalah empat hal yakni:
1. Al-Hikmah (Kebijaksanaan): Keadaan atau tingkah laku yang dapat menentukan sesuatu yang benar, dengan cara menyisihkan hal-hal yang salah dalam segala perbuatan, yang dilakukan secara ikhtiariah (tanpa paksaan).
13
3. Al-„Iffah (Pengekangan Hawa Nafsu): Mendidik kekuatan syahwat
atau kemauan, dengan berdasarkan akal pikiran dan syariat agama. 4. Al-„Adl (Keadilan): Suatu Keadaan jiwa yang dapat membimbing
kemarahan dan syahwat, serta membawanya ke arah yang sesuai dengan hikmah dan kebijaksanaan.
Setidaknya dalam menentukan akhlak manusia dapat dilihat dari keempat hal tersebut menurut Al-Ghazali. Sedangkan secara istilah menurut Al-Ghazali dalam bukunya Samsul Munir berarti sifat yang
tertanam dalam jiwa yang daripadanya lahir perbuatan-perbuatan yang
spontan tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Maka jika
sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut ketentuan
akal dan norma agama, ia dinamakan akhlak yang baik, tetapi jika
menimbulkan tindakan yang jahat, maka ia dinamakan akhlak yang
buruk (Samsul Munir, 2016: 3). Lebih dari itu, akhlak secara universal
berarti ilmu yang membicarakan tentang perbuatan manusia yang dapat
dinilai baik atau buruk (Abuddin Nata, 2013: 5). Standar akhlak yakni
berdasarkan Al-Qur‟an dan Sunnah (Yunahar Ilyas, 2007: 3). Akhlak
juga dapat diartikan sebagai etika dan moral :
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yang asal katanya yaitu
ethos dalam bentuk tunggal berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak,
perasaan. Sedangkan secar istilah etika berarti ilmu tantang apa yang
biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K. Bertens, 2002:
14
Etika merupakan usaha sadar manusia untuk memakai akal budi
dan daya fikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana seseorang
harus hidup jika ingin menjadi baik (Franz Magnis Suseno, 1987: 17).
Pendapat lain bahwa etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang
dihasilkan oleh akal manusia, dan etika berhubungan dengan empat
hal yaitu: pertama, dilihat dari pembahasannya bahwa etika
membahas tentang perbuatan yang dilakukan manusia, kedua etika
dilihat dari sumbernya bahwa etika bersumber pada akal pikiran atau
filsafat, ketiga dilihat dari segi fungsinya yakni sebagai penilai,
penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh
manusia yang dapat dinilai baik atau buruk, mulia, terhormat, hina
atau yang lainnya, keempat, dilihat dari segi sifatnya bahwa etika
bersifat relatif artinya dapat berubah-ubah sesuai dengan ketentuan
zaman (Abuddin Nata, 2013: 76-77). Untuk standar etika lebih
menekankan pada pertimbangan akal pikiran (Yunahar Ilyas, 2007: 3).
Dari beberapa pengertian tersebut secara umum dapat diartikan
bahwa etika merupakan suatu usaha yang dilakukan manusia untuk
menjadikan dirinya baik dipandang orang lain dengan melakukan
perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan atas dasar akal dan
kesadaran sehingga membentuk sebuah watak dan kepribadian yang
baik dari diri manusia tersebut.
Dengan demikian, jika dilihat dari pengertian di atas antara akhlak
15
keduanya sama-sama membahas masalah baik dan buruknya tingkah
laku manusia. Perbedaan diantara keduanya bahwa Etika bersumber
dari akal pikiran bukan dari agama, sedangkan akhlak berdasarkan
ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya.
Selain dikenal dengan istilah etika, kajian mengenai akhlak juga
dikenal dengan istilah moral. Secara etimologi, moral berasal dari
bahasa Latin mores yang merupakan bentuk jamak dari mos yang
berarti adat kebiasaan. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, merumuskan moral sebagai ajaran tentang baik buruknya
perbuatan dan kelakuan yang berupa akhlak, kewajiban, dan
sebagainya (Samsul Munir Amir, 2016: 15). Dalam KBBI dikatakan
bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan
kelakuan. Pengertian lain menjelaskan bahwa moral adalah suatu
tindakan manusia yang bercorak khusus, yaitu yang didasarkan
kepada pengertiannya mengenai baik buruk (Mudlor Ahmad: 41).
Sedangkan secara istilah bahwa moral berarti istilah yang digunakan
untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat
atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah , baik
atau buruk (Abuddin Nata, 2013: 78). Standar moral lebih
menekankan pada kebiasaan umum yang berlaku di masyarakat
(Yunahar Ilyas, 2007: 3). Dalam kajiannya kata etika dan moral
memiliki beberapa persamaan, bahwa secara etimologi, kata etika dan
16
lain, etika dengan rumusan yang sama dengan moral adalah nilai-nilai
dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Adapun perbedaannya,
etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral bersifat praktis.
Menurut pandangan para filsuf, etika membahas tingkah laku secara
universal (umum), sedangkan moral memandang secara spesifik.
Moral menyatakan ukuran, sedangkan etika menjelaskan ukuran
tersebut (Samsul Munir Amin, 2016: 15). Untuk itu dapat disimpulkan
bahwa antara moral dan etika memiliki persamaan dalam hal
pembahasannya yang berkaitan dengan masalah akhlak dan juga dapat
diartikan sebagai suatu kebiasan yang dilakukan oleh manusia secara
terus menerus sehingga menjadi sifat atau perangai baik sifat yang
baik ataupun yang buruk dari diri manusia tersebut dan moral lah yang
sebenarnya membedakan manusia dari makhluk Tuhan lainnya.
Sedangkan hubungan antara etika, moral dengan akhlak dapat
dilihat dari fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral
dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu
perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya
dimana dari ketiga komponen tersebut sama-sama menghendaki
terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai dan
tentram baik batiniah atau lahiriahnya.
Perbedaannya antara lain antara etika, moral dan akhlak terletak
17
buruk. Jika di dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat
akal pikiran dan pada moral berdasarkan kebiasaan yang berlaku
umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk
menentukan baik dan buruk itu adalah Al-Qur‟an dan hadist. Namun
demikian etika, moral dan akhlak tetap saling berhubungan dan
membutuhkan. Dengan kata lain jika etika dan moral berasal dari
manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan, selain itu bahwa akhlak
bersifat mutlak, absolute dan tidak dapat diubah, sementara etika,
moral dan susila sifatnya terbatas dan dapat diubah (Abuddin Nata,
2002: 95).
Dengan demikian pendidikan akhlak dapat diartikan sebagai usaha
sadar yang dilakukan oleh seseorang untuk menyiapkan dan
mendampingi dalam pembentukan tingkah lakunya agar sesuai dengan
kaidah yang berlaku sesuai dengan tuntunan Nabi dan Rasul sebelum
kita, sehingga menjadi insan kamil yang senantiasa berada pada suatu
perbuatan yang mulia disisi-Nya.
1. Surat Al-Israa’
Surah Al-Israa' (ارسلإا, al-Isrā, "Perjalanan Malam") adalah surah
ke-17 dalam al-Qur'an. Surah ini terdiri atas 111 ayat dan termasuk golongan surah-surah Makkiyah. Surah ini dinamai dengan Al-Israa‟
18
yakni pada ayat 101 sampai dengan ayat 104 di mana Allah
menyebutkan tentang Bani Israel yang setelah menjadi bangsa yang kuat lagi besar lalu menjadi bangsa yang terhina karena menyimpang dari ajaran Allah SWT. Dihubungkannya kisah Isra dengan riwayat Bani Israel pada surah ini, memberikan peringatan bahwa umat Islam
akan mengalami keruntuhan, sebagaimana halnya Bani Israel, apabila mereka juga meninggalkan ajaran-ajaran agamanya (Depag RI, 2009: 425).
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam mempelajari dan memahami skripsi
ini, maka penulis menggunakan sistematika sebagai berikut.
Bab I : Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, penegasan istilah
dan sistematika penulisan.
Bab II : Kompilasi Ayat
Bab ini berisi tentang surat Al-Israa‟ ayat 29, kosa kata (mufrodat) dan
pokok-pokok isi kandungan.
Bab III : Asbabun Nuzul dan Munasabah Ayat
Bab ini berisi sebab turunnya ayat dan tentang keterkaitan antara ayat yang
satu dengan ayat lain atau surat satu dengan surat yang lain baik dari segi
kronologi maupun asbabun nuzulnya.
19
Bab ini berisi tentang penafsiran surat Al-Israa‟ ayat 29 menurut beberapa
mufassirin, nilai-nilai akhlak dalam surat Al-Israa‟ ayat 29, urgensi nilai
akhlak dalam Al-Israa‟ ayat 29, serta analisis jawaban dan menarik
kesimpulan permasalahan yang merupakan bab inti yang membahas
jawaban dari rumusan masalah yang telah dirumuskan.
Bab V : Penutup
20
BAB II
KOMPILASI AYAT
A. Redaksi Surat Al-Israa’ Ayat 29 dan Terjemahanya
Untuk menyesuaikan dengan judul, dan untuk mengetahui maknya
yang terkandung di dalam Al-Isra‟ ayat 29, maka penulis menyajikan
kompilasi ayat-ayat yang menjadi tema pembahasan dalam skripsi ini.
Adapun yang dikaji yaitu surat Al-Isra‟ ayat 29.
lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal (Al-Qur‟an dan terjemah Al-„Aliyy, 2005: 227).B. Arti Kosa Kata (Mufrodat)
Setelah menyajikan teks ayat dan terjemahnya, perlu bagi penulis
untuk menyajikan beberapa kosa kata penting yang terkait dengan
ayat-ayat tersebut.
ً ةَلوُلْغَم
ًَكَدَي
ًْلَع ْجَت َلَ
ًَو
Terbelenggu Tanganmu jangan kamu
21
ًَدُعْقَت
ًَاف
ًِطْسَبْلا
ً لُاك
kamu akan
menjadi
Maka Uluran segala atau
habis-habis
ا روُس ْحَم
ً ام ْوُلَم
Menyesal Tercela
Dalam ayat ini akan disajikan seluruh kosa kata yang terdapat
dalam ayat 17 untuk memperjelas makna kosa kata seluruhnya.
1. Kata
لعجت
(taj‟al) berasal dari kataلعج
(ja‟ala) yang berartimenjadikan (Hisyam dan Rudi, 2006: 139). Dimana kata ja‟ala
tersebut mengikuti wazan fa‟ala- yaf‟alu- fa‟lan. Kemudian dalam
kalimat tersebut berbunyi
لعجت لا
yang merupakan fi‟il nahi karenaberupa perintah larangan yang memiliki makna jangan jadikan.
2. Kata
ةلىلغه
berasal dari kataاىلغ
-
ىلغي
-
لاغ
yang berartiberlebih-lebihan (Hisyam dan Rudi, 2006: 482).
3. Kata
اهطسبتلا
dari ayat tersebut merupakan fi‟il nahi yang berupalarangan untuk tidak memberikan sesuatu kepada orang lain. Akar
kata dari kata tersebut yaitu
اًطسَب
ـ ُطُسبي
-
طسب
dengan mengikutiwazan fa‟ala- yaf‟ulu (Hisyam dan Rudi, 2006: 83).
4. Kata
اهىله
(maluman) yang berarti tercela merupakan dampak dari22
5. Kata
ارىسحه
(mahsuran) berasal dari kataارى
سُح
-
ازْسَح
-
-
زسح
ُزُسحي
(hasara) (Hisyam dan Rudi, 2006: 176). Kata (hasara) tersebutmengikuti wazan fa‟ala- yaf‟ulu yang berarti tidak berbusana,
telanjang atau tidak sempurna. Seseorang yang tidak memakai tutup
kepala dinamakan Hasiru ar-Ra‟s. Seseorang yang keadaannya
tertutup, dari segi rezeki adalah yang memiliki kecukupan sehingga
dia tidak perlu berkunjung kepada orang lain dan menampakkan diri
untuk meminta karena itu berarti dia membuka kekurangan atau
aibnya. Tetapi ada juga ulama yang berpendapat bahwa kata tersebut
terambil dari kata
زيسح
(hasir) yang digunakan untuk menunjukbinatang yang tidak mampu berjalan karena lemahnya sehingga
berhenti di tempat. Hal tersebut diibaratkan seperti pemboros, pada
akhirnya akan berhenti dan tidak mampu melakukan aktivitas, baik
untuk dirinya sendiri apalagi bagi orang lain, sehingga terpaksa hidup
tercela. Dengan demikian kata mahsuran memiliki makna tidak
memiliki kemampuan sama saja dampak dari pemborosan (Shihab,
2012: 75).
C. Pokok-pokok Kandungan Surat Al-Israa’ Ayat 29
Setelah menyajikan teks ayat dan terjemahnya, selanjutnya penulis
akan menyajikan beberapa pokok kandungan ayat 29, adapun redaksinya
23
dalam membelanjakan harta. Allah menerangkan keadaan orang-orang
yang kikir dan pemboros dengan menggunakan ungkapan jangan
menjadikan tangan terbelenggu pada leher, tetapi juga jangan terlalu
mengulurkannya. Kedua ungkapan ini lazim digunakan orang-orang
Arab. Pertama dari ayat tersebut berarti larangan berlaku bakhil atau
kikir, sehingga enggan memberikan harta kepada orang lain, walaupun
sedikit. Ungkapan kedua berarti melarang orang berlaku boros dalam
membelanjakan harta, sehingga melebihi kemampuan yang dimilikinya.
Kebiasaan memboroskan harta akan mengakibatkan seseorang tidak
mempunyai simpanan atau tabungan yang bisa digunakan ketika
dibutuhkan sewaktu-waktu (Departemen Agama RI, 2009: 468).
Berdasarkan deskripsi tersebut, bahwa ayat 29 dari surat Al-Israa‟
ini memberikan cara yang baik dalam kita membelanjakan harta yang
telah dititipkan oleh Allah SWT dengan cara hemat, layak dan
sewajarnya, tidak terlalu bakhil dan tidak terlalu boros. Karena dengan
terlalu bakhil akan menjadikan seseorang tercela, sedangkan terlalu
boros akan menjadikan seseorang bangkrut di dalam kehidupannya.
Sehingga Nabi mengatakan bahwa orang yang selalu berhemat tidak
akan menjadi beban orang lain atau menjadi miskin dalam
24
Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Allah
benar-benar telah memberikan pedoman kepada hambanya melalui ayat
tersebut dalam membelanjakan harta yang baik dan Rasulullah juga
mempertegas dalam sebuah hadist yang tentunya tidak akan
menjerumuskan hambanya dalam berperilaku baik atau memanfaatkan
25
BAB III
ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH AL-ISRAA’ AYAT 29
A. Sejarah Turunnya Surat Al-Israa’
Surat Al-Israa‟ memiliki pengertian yaitu “memperjalankan di malam hari”, surat ini merupakan surat ke 17 dalam Al-Qur‟an dan terdiri
dari 111 ayat yang diturunkan di kota Mekkah sesudah surat Al-Qashash, hal ini berhubungan dengan peristiwa Isra‟ Mi‟raj Nabi Muhammad SAW
dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis
(Madinah), peristiwa ini dicantumkan pada ayat pertama di dalam surat ini. Peristiwa Israa‟ pada permulaan surat ini mengandung isyarat bahwa Nabi
Muhammad SAW beserta umatnya di kemudian hari akan mencapai
martabat yang tinggi dan akan menjadi umat yang besar. Surat ini juga
dinamakan dengan “Bani Israil” yang berarti keturunan Israil, hal ini
berkaitan dengan ayat ke-2 sampai dengan ayat ke-8 kemudian dilanjutkan
pada ayat 101 sampai dengan ayat 104, di dalam ayat tersebut Allah
menyebutkan tentang Bani Israil telah menjadi bangsa yang kuat dan besar
lalu menjadi bangsa yang terhina dan menyimpang dari ajaran Allah SWT. Hal ini dikaitkan dengan kisah Israa‟ dengan riwayat “Bani Israil” pada
surat ini dengan memberi peringatan bahwa umat Islam akan mengalami
keruntuhan sebagaimana yang dialami Bani Israil apabila mereka
meninggalkan ajaran-ajaran agamanya (Depag RI, 2009: 425). Nama Al-Israa‟ disebut dengan “Bani Israil” ini juga dibenarkan sebagaimana yang
26
Aisyah bahwa Nabi Muhammad SAW senantiasa membaca surat Bani
Israil dan surat Az-Zumar (Hasbi As-Shiddieqy, 2000: 2320).
Menurut Al-Baidhawi, bahwa seluruh ayat dari surat Al-Israa‟ ini
turun di kota Mekkah, meskipun banyak yang berpendapat bahwa ada ayat
yang diturunkan di kota Madinah yakni ayat ke 23, 26, 33, 57 kemudian
dari ayat 73 sampai ayat ke 80. Tetapi dalam hal tersebut pendapat
Al-Baidhawi lah yang paling shahih (Hasbi As-Shiddieqy, 2000: 2320).
Sehingga pendapat dari Al- Baidhawi tersebut dapat dijadikan pedoman
untuk mengetahui sejarah turunnya QS Al-Israa‟ yang sesungguhnya.
Sedangkan menurut Ibnu Katsir bahwa surat al-Israa‟ ini merupakan surat
Makkiyyah kecuali ayat 26, 32, 33 dan 57. Begitu pula dengan ayat 73
sapai dengan ayat 80. Jumlah ayat dalam surat al-Israa‟ ini ada 111 (Imam
As-Suyuti, 2017: 320).
B. Tema Dan Tujuan Utama Surat Al-Israa’
Tema bahasan surat Al-Israa‟ ini diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Masalah Keimanan
Di dalam surat ini ditekankan bahwa Allah SWT tidak mempunyai
anak, baik berupa manusia ataupun malaikat. Allah SWT pasti
memberi rizki kepada manusia dan Allah juga memiliki nama-nama
yang baik. Al-Qur‟an merupakan wahyu dari Allah SWT untuk
27
beriman, kemudian pokok pembahasan lain tantang keimanan yakni
adanya padang Mahsyar dan hari kebangkitan nantinya.
2. Masalah Hukum-hukum
Dalam surat ini juga tidak terlepas dari pembahasan menganai
hukum-hukum larangan Allah SWT yang harus dipatuhi oleh
umat-Nya, yakni: larangan menghilangkan jiwa manusia yang berzina,
larangan mempergunakan harta anak yatim kecuali dengan yang
dibenarkan oleh agama, ikut-ikutan dalam hal perkataan maupun
perbuatan yang di dalamnya ada dasar durhaka kepada orangtua.
Selain larangan juga ada hal yang diperintahkan oleh Allah SWT
yakni: perintah untuk memenuhi janji dan menyempurnakan
timbangan dan takaran, kemudian perintah untuk melakukan shalat 5
waktu.
3. Kisah-kisah Nabi
Di dalam surat Al-Israa‟ ini juga terdapat kisah teladan yang dapat
diambil hikmahnya dalam kehidupan kita yakni adanya peristiwa Israa‟ Nabi Muhammad SAW dan beberapa kisah ynag berkaitan
tentang Bani Israil.
Selain beberapa hal di atas, pelajaran yang dapat diambil sebagai tema
isi surat Al-Israa ini adalah beberapa hal yang harus
dipertanggungjawabkan oleh manusia atas segala perbuatannya, faktor
yang menyebabkan maju dan runtuhnya suatu umat, kemudian petunjuk
28
kedudukan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang mulia namun tetap
saja manusia memiliki sifat-sifat yang tidak baik seperti suka ingkar, putus
asa dan terburu-buru dalam mengambil keputusan, kemudian selain itu hal
yang dibahas yakni mengenai roh (Depag RI, 1967: 423).
Termasuk di dalamnya mengenai masalah yang akan dibahas oleh
penulis yakni memanfaatkan harta terkait Al-Qur‟an surat Al-Israa‟ ayat
29.
C. Asbabun Nuzul
Dalam kaitannya sebab-sebab turunnya Al-Qur‟an, al-Suyuti
mengatakan bahwa Al-Qur‟an dibagi menjadi dua bagian. Pertama,
diturunkan tanpa sebab dan kedua, diturunkan adanya sebab. Untuk itu ada
ilmu yang dinamakan Asbabun Nuzul di dalam mempelajari ilmu-ilmu
Al-Quran. Kata asbab al-nuzul, terdiri dari dua akar kata, yaitu: asbaab dan
nuzul. Kata asbab jamak dari sabab yang artinya sebab atau alasan.
Sedangkan kata nuzul berarti turun (M.Gufron dan Rahmawati, 2013: 21).
Untuk itu, dapat diartikan bahwa asbabun nuzul yaitu turunnya
ayat Al-Qur‟an yang terjadi karena adanya suatu peristiwa atau pertanyaan
yang diajukan kepada Rasulullah SAW, kemudian turunlah salah satu ayat
atau beberpa ayat Al-Qur‟an mengenai peristiwa atau pertanyaan tersebut.
Dimana dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa asbabun nuzul
berkisar pada dua hal yakni: pertama, terjadi karena suatu peristiwa dan
kedua, karena ada pertanyaan yang diajukan Rasulullah SAW. Al-Qur‟an
29
berangsur-angsur dalam masa kurang lebih 23 tahun. Al-Qur‟an
diturunkan untuk memperbaiki akidah, ibadah, akhlak dan pergaulan
manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran. Ayat Al-Qur‟an
diturunkan melalui musabah atau yang sering dikenal dengan Asbabun
Nuzul, namun tidak semua ayat yang ada di dalam Al-Qur‟an mempunyai
Asbabun Nuzul, dan Surat Al-Israa‟ ini termasuk ayat Al-Qur‟an yang
memiliki Asbabun Nuzul.
Sebab turunnya ayat Al-Israa‟ ayat 29 terdapat dalam sebuah hadist
yakni:
نلسو َيلع الله ىلص يبٌلا ىلإ ملاغ ءاج :لاق دىعسه يبا يع ٍزيغو َيودزه يبا
: لاقف
يٌسكا كل لىقتف لاق مىيلا ءيش اًذٌع اه لاق ، اذكو اذك كلأست يهأ ىإ
ازساح تيبلا يف سلجف َيلإ َعفذف َصيوق علخف ، كصيوق
Artinya: “Menurut Ibnu Marduwaih dari Ibnu Mas‟ud, bahwa pada suatu
hari datang seorang anak kecil kepada Rasulullah SAW, ia diutus ibunya
untuk meminta sesuatu kepada beliau. Anak kecil itu berkata: “Wahai Rasulullah, ibu menyuruhku agar meminta sesuatu kepadamu.” Kemudian Rasulullah SAW menjawab: “Kebetulan hari ini aku tidak memiliki
apa-apa.” Lalu anak itu berkata lagi: “Ibu mengharapkan agar tuan berkenan member aku pakaian.” Maka beliau melepas baju kurungnya dan
diberikan kepada anak kecil itu, sehingga dirumah beliau tidak mengenakan baju kurung” (Wahidi, 2008: 119).
Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT menurunkan ayat ke-29 dari surat Al-Israa‟ ini sebagai larangan terlalu membuka tangan (dermawan), ayat tersebut agar dijadikan sebagai petunjuk tentang cara mendermakan harta kekayaan. Yakni harus menggunakan perhitungan.
Jangan sekali-kali dihabiskan, sehingga tidak ada persiapan untuk
30
Oleh karena itu, dari riwayat-riwayat tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwasannya sebab turunnya surat Al-Israa‟ ayat 29 yaitu
adanya peristiwa yang dialami oleh Rasulullah SAW ketika itu
menafkahkan hartanya, atau harta yang ada untuk memenuhi kebutuhan
masa itu, sampai beliau merelakan kebutuhan yang Rasul sendiri perlukan
ketika itu untuk orang lain yang dirasa lebih membutuhkannya, sehingga
dari ayat tersebut kemudian Allah SWT menurunkan ayat tersebut yang di
dalamnya terkandung makna bahwasanya dalam kehidupan ini jangan
terlalu berlebih-lebihan dalam berinfaq sedangkan keadaan kita saja juga
masih membutuhkan. Dibenarkan bahwa infaq adalah perbuatan yang
sangat dianjurkan, namun menjadi tidak efektif ketika berinfaq itu
berlebih-lebihan bahkan sampai mengorbankan apa yang sedang menjadi
kebutuhan.
D. Munasabah
Secara bahasa, munasabah berarti saling mendekati dan saling
menyerupai. Sedangkan menurut istilah, munasabah adalah ilmu yang
menjelaskan tentang berbagai hubungan antara ayat satu atau surat yang
satu dengan ayat atau surat yang lain. Segi-segi hubungan yang dijelaskan
antara ayat yang satu atau surat yaitu: apakah hubungan tersebut berupa
ikatan antara „am (umum) dan khash (khusus), antara sebab akibat, antara
abstrak dan konkrit, antara rasional dan irrasional, antara „illah dan
ma‟lulnya atau hal yang berlawanan (M. Gufron dan Rahmawati, 2013:
31
Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa munasabah
merupakan keterkaitan antara surat yang satu dengan lainnya atau ayat
yang satu dengan lainnya di dalam Al-Qur‟an. Maka pada surat Al-Israa‟
ini dapat dicari munasabah ayat yang sesuai dengan surat tersebut, baik
dari segi munasabah dengan surat lain atau dengan ayat lainnya, berikut
keterkaitannya dapat penulis deskripsikan di bawah ini:
1. Keterkaitan surat Al-Israa‟ dengan Surat An-Nahl
Keterkaitan yang ada di dalam surat Al-Israa‟ dengan surat
sebelumnya yakni surat Al-Israa‟ yaitu bahwa:
a. Dalam surat An-Nahl dijelaskan perselisihan orang yahudi tentang hari Sabtu. Selain itu juga dijelaskan tentang syariat orang-orang
Yahudi yang dituangkan oleh Allah SWT dalam at-Taurat
b. Di dalam surat An-Nahl, Allah menyuruh Nabi Muhammad SAW bersabar dan melapangkan dada, sedangkan dalam surat ini Allah
menjelaskan kemuliaan Nabi Muhammad SAW dan ketinggian
martabatnya di sisi Allah SWT.
c. Dalam surat An-Nahl dijelaskan tentang berbagai nikmat, sehingga dimana kebanyakan manusia tidak mensyukurinya. Didalam surat
ini juga dijelaskan tentang beberapa nikmat yang khusus dan
nikmat yang umum. Kemudian dalam surah Al-Israa‟ disebutkan
lagi nikmat Allah yang lebih besar yang diberikan kepada Bani
32
bahkan mereka berbuat kerusakan di muka bumi. bahkan suurat ini
juga dinamakan surat An-Ni‟am (Quraish Shihab, 2012: 76).
d. Dalam surat An-Nahl dijelaskan pula bahwa madu itu mengandung obat yang menyembuhkan penyakit, sedangkan di dalam surat ini
dijelaskan bahwa Al-Qur‟an merupakan penawar dan rahmat bagi
para mukmin.
e. Dalam surat An-Nahl umat manusia diperintahkan untuk memberi bantuan dan pertolongan kepada kaum kerabat. Selain itu juga
diperintahkan untuk memberi pertolongan dan bantuan kepada
orang miskin dan ibnu sabil.
2. Keterkaitan dengan Ayat ke-30
Dalam Al-Israa‟ ayat 29 telah disebutkan bahwasannya salah satu
sebab utama kekikiran adalah rasa takut terjerumus dalam kemiskinan,
kemudian lebih lanjut ayat ke-30 ini mengingatkan bahwa:
Artinya: Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkan bagi siapa yang Dia kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat hamba-hamba-Nya (QS.Al- Israa‟: 30) (Al-Qur‟an dan Terjemah Al-„Aliyy, 2005: 227).
Ayat ini menunjukkan bahwa rezeki yang disediakan oleh Allah
SWT untuk setiap hamba-Nya mencukupi masing-masing yang
33
semaksimal mungkin guna memperolehnya, kemudian menerimanya
dengan rasa puas disertai dengan keyakinan bahwa itulah yang terbaik
untuknya masa kini dan mendatang. Dari sisi lain manusia juga harus
yakin bahwa apa yang gagal diperolehnya setelah usaha semaksimal
mungkin itu hendaknya dia yakini bahwa hal tersebut adalah yang
terbaik untuk masa kini dan mendatang pula (Quraish Shihab, 2012:
76).
Dalam buku yang berjudul Al-Qur‟an dan Tafsirnya terbitan Depag
RI dijelaskan bahwa setelah menjelaskan ayat ke 29 tersebut
kemudian Allah melanjutkan pada ayat ke 30 yang menjelaskan
bahwa Dialah yang melapangkan rezeki kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan Dia pula yang membatasinya. Semua berjalan
menurut ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT terhadap
hamba-Nya dalam usaha mencari harta dan cara mengembangkannya. Hal ini
berhubungan erat dengan alat dan pengetahuan tentang pengolahan
harta itu, yang demikian adalah ketentuan Allah yang bersifat umum
dan berlaku bagi seluruh hamba-Nya. Namun demikian, hanya Allah
yang menentukan menurut kehendak-Nya. Kemudian di akhir ayat ini
Allah SWT menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui para
hamba-Nya, siapa diantara mereka yang memanfaatkan kekayaan demi
kemaslahatan dan siapa pula yang menggunakan untuk kemudaratan.
Dia juga mengatahui siapa diantara hamba-hambaNya yang dalam
34
menjadi orang yang berputus asa jauh dari rahmat Allah SWT. Allah
Maha Melihat bagaimana mereka mengurus dan mengatur harta
benda, apakah mereka itu membelanjakan harta pemberian Allah SWT
itu dengan boros ataukah bakhil (Depag RI, 2009: 469).
Oleh karena itu sudah sangat jelas di dalam ayat ini bahwasannya
manusia yang bersangkutan tidak perlu memanfaatkian hartanya
dengan melakukan kegiatan yang bertentangan dengan tuntunan Allah
SWT untuk memperoleh ataupun memanfaatkan rezekinya, karena
apa yang telah diperolehnya melalui jalan yang tidak direstui Allah
pasti akan merugikannya, kalau bukan sekarang di dunia ini maka di
35
BAB IV PEMBAHASAN
A. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Al-Qur’an Surat Al-Israa’ Ayat
29
Artinya: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal (QS. Al-Israa‟, 17: 29) (Al-Qur‟an dan Terjemah Al-„Aliyy, 2005: 227).
Didalam Al-Qur‟an surat Al-Israa‟ ayat 29 sangat jelas bahwa
terdapat beberapa nilai pendidikan akhlak yang harus diterapkan oleh
manusia dengan harapan agar manusia dalam menjalankan kehidupannya
senantiasa baik dalam kehidupan agama, pribadi, keluarga, bangsa dan
36
SWT bagi umatnya sebagai tolak ukur menjalankan kehidupannya, agar mampu membatasi dalam menggunakan hartanya dan juga agar senantiasa menghindari sifat boros dalam kehidupannya.
Dari redaksi ayat tersebut, terdapat nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung, yakni:
1. Larangan Kikir
Dalam hal ini, larangan berakhlak tercela dengan perbuatan kikir
merupakan hal yang dilarang oleh Allah SWT, yang dijelaskan dengan
firman dengan kalimat:
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu…” (QS. Al-Israa‟, 17:29) (Al-Qur‟an dan Terjemah Al
-„Aliyy, 2005: 227).
37
Kikir menjadi sifat yang sangat dilarang oleh Allah SWT karena pada dasarnya, kikir merupakan perbuatan syetan. Boleh-boleh saja kita menjadi orang hemat bahkan disarankan terhadap barang dimiliki baik tetapi ada batasannya jangan sampai melampaui batas kehematan bahkan menjerumuskan kedalam sifat kikir terhadap harta yang dimilikinya. Meskipun dengan keadaan seperti itu, mungkin individu tersebut merasa bangga terhadap yang dimilikinya, bahkan menjadi lading kekayaan, tetapi tidak bagi orang lain. Hal tersebut bisa saja menjadi hal yang menjadikan iri dan sifat yang kurang baik bagi orang lain yang mengetahui gaya hidup tersebut. Untuk itu Allah SWT juga telah memperjelas di dalam Al-Qur‟an Al-Israa‟ ayat 29 tersebut.
Dari pokok bahasan ayat Al-Isra‟ : 29 tersebut mengenai akhlak yakni dalam menjalani kehidupan, hendaknya kita janganlah sampai kikir dalam memanfaatkan harta kita tetapi juga jangan sampai terlalu menghambur-hamburkan harta kita meskipun ditekankan dalam kitab tafsir Al-Maraghi bahwa kandungan ayat tersebut membahas tentang anjuran untuk gemar menafkahkan harta yang telah dimiliki
38
tersebut, bahwa sebagai manusia jaganlah terlalu kikir atau tidak
memberikan sesuatu kepada orang, Sebab, jika terlalu kikir maka akan
menjadi orang yang tercela (Hasbi As-Shiddieqy, 2000: 2320).
Selain pendapat beliau ada juga pendapat yang menjelaskan bahwa sebenarnya batasan-batasan dalam mengeluarkan harta dalam batasan jangan terlalu kikir yaitu pendapat dari Quraish Shihab dalam kitab tafsir Al-Misbah yaitu bahwa ayat Al-Israa‟ ayat 29 memiliki kandungan yang dapat diambil dari ayat sebelumnya bahwa kita
diperintahkan untuk bermurah tangan dan hati, selanjutnya ayat 29
memerintahkan untuk melakukan lawannya yaitu dengan : dan
janganlah engkau enggan mengulurkan tanganmu untuk kebaikan
seakan-akan engkau jadikan tanganmu terbelenggu dengan belenggu
kuat yang terikat ke lehermu sehingga engkau tak dapat
mengulurkannya (Shihab, 2012: 75). Sehingga bagaimanapun
keadaannya bahwa dalam menjalani kehidupan tentunya tidak terlepas
dari sisi memanfaatkan harta yang memang sudah dititipka oleh Allah
SWT tetapi dengan batasan yang demikian, seperti halnya pendidikan
akhlak yang terkandung dalam Al-Israa‟ ayat 29 yaitu dilarang kikir
atau bakhil. Karena orang yang bakhil akan tercela dalam pergaulan
hidupnya, sebab dengan tidak disadarinya seseorang tersebut telah
diperbudak oleh hartanya karena saking cinta kepada hartanya tersebut.
39
hawa nafsu akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Al-Qur‟an dan Terjemah Al-„Aliyy, 2005: 362).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa dalam menjalankan kehidupan di muka bumi ini hendaknya kita dapat mengendalikan nafsu kita, dalam konteks ini mengendalikan dengan kekang kendali agama. Sikap pengendalian inilah yang baik dan dibenarkan agama. Untuk itu tidak perlu sampai membunuh nafsu dan juga tidak membiarkan nafsu menjadi liar, cukup dengan mendidik dengan tujuan pokoknya supaya orang menjadi tuan bagi nafsunya bukan sebaliknya, sehingga dalam menjalankan kehidupannya manusia tidak di kekang oleh nafsu mereka sendiri. b) QS Al-Furqon ayat 43
Artinya: “ Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat
menjadi pemelihara atasnya.” (Al-Qur‟an dan Terjemah Al-„Aliyy, 2005: 290).
40
hidupnya hanya diabdikan kepada segala yang telah dititahkan oleh sang nafsu (Humaidi Tatapangarsa, 1980: 148). Dengan bukti tersebut Al-Qur‟an secara tegas melarang hal tersebut terjadi.
2. Larangan Menghambur-hamburkan Harta (Boros)
Larangan yang terkandung di dalam QS Al-Israa‟ ayat 29 selain
berbuat kikir yaitu larangan untuk tidak menghambur-hamburkan
harta secara boros, meskipun dengan tujuan yang baik. Hal tersebut
sesuai dengan kisah Nabi yang menjadi sebab turunnya ayat ke 29 dari
QS Al-Israa‟ tersebut. Dimana saat Rasulullah begitu baik kepada
umat yang membutuhkan bahkan sampai-sampai memberikan barang
yang dimiliki untuk orang tersebut padahal saat itu Rasulullah SAW
juga memerlukan barang tersebut. Sebagai umat manusia memang
dianjurkan untuk menjadi individu yang sadar akan kedudukannya
sebagai makhluk sosial pula, yang dalam kehidupan sehari-hari tidak
terlepas dari campur tangan dan pertolongan orang lain, namun dalam
hal saling membantu juga ada batasannya untuk tidak memanfaatkan
barang atau kebutuhan yang dimilikinya untuk diberikan secara
berlebihan kepada orang lain meskupun orang lain itu sangat
membutuhkan. Kita boleh-boleh saja membantu untuk meringankan
beban yang di pikul oleh orang lain, tetapi kita juga tidak melepaskan
kebutuhan diri sendiri. Bahkan secara jelas telah diperingatkan oleh
Allah SWT dalam QS Al-Israa‟ ayat 29 tersebut, Allah memberikan
41
terutama dalam membelanjakan dan memanfaatkan harta yang
dimilikinya, tetapi dengan batasan-batasan tertentu jangan sampai
melupakan kepentingan pribadi agar terhindar dari sifat boros atau
memanfaatkan harta secara berlebih-lebihan, namun juga jangan
terlalu pelit yang menjadikan tertanam dalam diri individu menjadi
kikir atau acuh terhadap orang lain yang sedang membutuhkan,
sebagaimana larangan yang telah dibahas dalam penjelasan
sebelumnya. Tentang larangan yang kedua yaitu selain perbuatan kikir
yang memang sudah jelas dibahas dalam bab sebelumnya yaitu
larangan untuk tidak berbuat boros, boros yang seperti apakah yang
menjadi masalah dalam hal ini. Dipertegas oleh Al-Maraghi dalam
kitab tafsirnya yang berisi tentang larangan berlaku boros, dengan
memberikannya kepada orang yang tidak pantas menerimanya, karena
dengan dilarangnya boros tersebut dapat memperbaiki keadaan
seseorang, dan tidak akan menjadi kacau penghidupannya, sedangkan
kebaikan yang dilakukan oleh seseorang tersebut termasuk upaya
dalam memperbaiki umat seluruhnya (Al-Maraghi, 1993: 68). Orang
yang menghambur-hamburkan harta disini yaitu orang yang
membelanjakan hartanya untuk melakukan maksiat kepada Allah
SWT, dan hal lain yang mengingkari dari ketaatan kepada Allah SWT,
maka mereka adalah kawan-kawan setan di dunia sampai akhirat
nantinya. Sehingga ayat tersebut sangat menganjurkan kepada umat