• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reaksi Sosial Terhadap Normalisasi Sungai Deli: (Studi Kasus di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Reaksi Sosial Terhadap Normalisasi Sungai Deli: (Studi Kasus di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

REAKSI SOSIAL

TERHADAP

NORMALISASI SUNGAI DELI

( Studi Kasus di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun

)

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

030902056

Erlangga. W.P

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha

Kuasa atas berkat, rahmat dan pengetahuan yang diberikan-Nya sehingga

penulisan skripsi ini dapat diselesaikan sebagaimana diharapkan.

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan guna memenuhi salah

satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah ini memiliki

kekurangan dan masih sangat jauh dari sempurna. Dengan menyadari kekurangan

dalam skripsi ini, penulis dengan senang hati mengharapkan kritik dan saran dari

berbagai pihak guna penyempurnaan karya ilmiah ini dimasa mendatang.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua

pihak yang telah memberikan dorongan, semangat, dan bahan-bahan pemikiran

sehingga skripsi ini dapat terwujud, dan secara khusus penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu

Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

3. Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah

banyak memberikan sumbangan pemikiran, bimbingan dan arahan yang

(3)

4. Kakanda Husni Tamrin, S.Sos, M.Sp yang telah memberikan sumbangan

pemikiran bagi penulis

5. Mbak Diah Susilowati, SH selaku pimpinan Kontras Sumatera Utara,

Kakanda Herdenci Adnin, S.Sos, Kakanda Rizal, dan staf-staf Kontras

lainnya yang telah banyak memberikan sumbangan pemikiran dan

bimbingan yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini

6. Bapak Drs. Ahmaddin selaku kepala kelurahan Sei Mati yang telah

memberikan izin bagi penulis untuk melakukan penelitian di kelurahan Sei

Mati

7. Teristimewa untuk kedua orang tua saya bapak P.Pane dan Ibu H.E. Sirait

yang telah membesarkan, mendidik, memberikan semangat dan doa yang

begitu besar bagi penulis, yang jasa-jasa mereka tidak akan pernah

terlupakan.

8. Teristimewa juga bagi seluruh keluarga saya, khususnya abang-abang dan

kakak-kakak saya yang selama ini telah banyak memberikan dukungan

semangat, doa, dan materi hingga teselesaikannya skripsi ini.

9. Teristimewa buat kawan-kawan saya yang selalu setia menemani dan

memberikan sumbangan pemikiran antara lain: Bang Yon, Edu, Nando,

Roy, Riski, Popoy, Bobi, Randi, Erik, Dika, Fajar, Anggiat, Aidil, Peno,

Agung, Jujur, dan adinda Meixi yang menjadi inspirasi bagi penulis dalam

(4)

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih semoga skripsi ini

bermanfaat bagi kita semua.

Medan, November 2007

(5)

Universitas Sumatera Utara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

ABSTRAK

REAKSI SOSIAL TERHADAP NORMALISASI SUNGAI DELI (Studi Kasus di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun)

Oleh: ERLANGGA. W.P NIM: 030902056

Skripsi ini berjudul “Reaksi Sosial Terhadap Normalisasi Sungai Deli” (Studi Kasus di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun). Skripsi ini terdiri atas enam BAB dengan jumlah halaman sebanyak 78 halaman. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Reaksi Sosial Terhadap Normalisasi Sungai Deli. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana reaksi sosial dan persepsi masyarakat terhadap normalisasi sungai Deli.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan studi kasus yakni untuk menggambarkan keadaan mengenai fakta tentang reaksi sosial terhadap normalisasi sungai Deli. Penelitian ini dilakukan di kelurahan Sei Mati, kecamatan Medan Maimun. Sementara itu, dalam pengambilan sampel, penulis menggunakan teknik proporsional sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 100 kepala keluarga. Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang terdiri dari observasi dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

(6)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ………VIII.

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang………...1

I.2. Perumusan Masalah………...9

I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….9

I.4 Sistematika Penulisan………...11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Aksi Komunitas (Masyarakat)………12

II.2 Gerakan Sosial……….20

II.3. Kerangka Aksi Kolektif………..21

II.4. Normalisasi Sungai………23

II.5. Perubahan Lingkungan Sosial Budaya………..24

II.6. Kerangka Pemikiran………..26

II.7. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional………29

BAB III METODE PENELITIAN III.1. Tipe Penelitian………..31

III.2. Lokasi Penelitian………...31

III.3. Populasi dan Sampel……….31

III.4. Teknik Pengumpulan Data………33

III.5. Teknik Analisis Data………34

(7)

IV.2. Sejarah Singkat Sungai Deli………36

IV.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jumlah Penduduk Pada Masing-Masing Lingkungan………..37

IV.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin……….38

IV.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan kelompok Umur………..38

IV.6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku………39

IV.7. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama………40

IV.8. Komposisi Penduduk BerdasarkanTingkat Pendidikan……….41

IV.9. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian………...41

IV.10. Sarana Pendidikan………..42

IV.11. Sarana Kesehatan………...43

IV.12. Sarana Olahraga……….44

BAB VI KESIMPULAN dan SARAN VI.1. Kesimpulan………...76

VI.2. Saran………78

(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Kerangka Pemikiran………28 Bagan 2 Bagan Struktur Organisasi Pemerintah

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Komposisi Penduduk Berdasarkan jumlah Penduduk

Pada Masing-Masing Lingkungan……….37

Tabel 2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin……….38

Tabel 3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur………38

Tabel 4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku………...39

Tabel 5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama………..40

Tabel 6 Komposisi penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan………..41

Tabel 7 Komposisi Penduduk Berdasarkan mata Pencaharian……….42

Tabel 8 Sarana Pendidikan………43

Table 9 Sarana Kesehatan………..44

Tabel 10 Sarana Olahraga………44

Table 11 Sarana Peribadatan………45

Tabel 12 Prasarana Air………45

Tabel 13 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin………...49

Tabel 14 Distribusi Responden Berdasarkan Umur………50

Table 15 Distribusi Responden Berdasarkan Agama……….50

Tabel 16 Distribusi Responden Berdasarkan Suku……….51

Table 17 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan………52

Tabel 18 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Bermukim………..52

Tabel 19 Distribusi Responden Berdasarkan Mata Pencaharian……….53

Tabel 20 Tahu Tidaknya Responden Tentang Suatu Gerakan Masyarakat Yang Menentang Normalisasi Sungai Deli………...56

Tabel 21 Tanggapan Responden Tentang Dukungan Terhadap Aksi Gerakan Masyarakat………57

Tabel 22 Tahu Tidaknya Responden Mengenai Kenapa Kelompok Aksi Terbentuk……….58

Table 23 Pernah Tidaknya Responden Mengikuti Aksi………..59

Tabel 24 Frekuensi Keterlibatan Responden Dalam Mengikuti Aksi………….61

(10)

Tabel 26 Frekuensi Keterlibatan Responden Dalam Mengikuti

Pertemuan di Kelurahan Sei Mati………65 Tabel 27 Antusias Responden Dalam Mengikuti Perkembangan

Kasus Sungai Deli………66 Table 28 Tanggapan Responden Terhadap Normalisasi Sungai Deli………….67 Tabel 29 Alasan ketidaksetujuan Responden Terhadap

Normalisasi Sungai Deli………...69 Table 30 Tanggapan Responden Terhadap Kondisi dan Bentuk Sungai Deli

Dikembalikan Seperti Keadaan Semula………70 Tabel 31 Frekuensi Banjir Sebelum Adanya Normalisasi Sungai Deli

Yang Terjadi Dalam Setahun………...72 Tabel 32 Frekuensi Banjir Sesudah Adanya Normalisasi Sungai Deli

Yang Terjadi Dalam Setahun………72 Tabel 33 Ada Tidaknya Harta Benda/Kekayaan yang Dibebaskan

(11)

Universitas Sumatera Utara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

ABSTRAK

REAKSI SOSIAL TERHADAP NORMALISASI SUNGAI DELI (Studi Kasus di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun)

Oleh: ERLANGGA. W.P NIM: 030902056

Skripsi ini berjudul “Reaksi Sosial Terhadap Normalisasi Sungai Deli” (Studi Kasus di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun). Skripsi ini terdiri atas enam BAB dengan jumlah halaman sebanyak 78 halaman. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Reaksi Sosial Terhadap Normalisasi Sungai Deli. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana reaksi sosial dan persepsi masyarakat terhadap normalisasi sungai Deli.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan studi kasus yakni untuk menggambarkan keadaan mengenai fakta tentang reaksi sosial terhadap normalisasi sungai Deli. Penelitian ini dilakukan di kelurahan Sei Mati, kecamatan Medan Maimun. Sementara itu, dalam pengambilan sampel, penulis menggunakan teknik proporsional sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 100 kepala keluarga. Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang terdiri dari observasi dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan merupakan usaha pemerintah dan segenap lapisan

masyarakat kita yang ditujukan guna mencapai kesejahteraan bagi masyarakat,

bangsa dan negara. Pembangunan menghasilkan manfaat di segala bidang

kehidupan, terutama pada bidang perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang

diharapkan hanya dapat dicapai melalui pelaksanaan pembangunan di segala

bidang.

Disamping membuahkan manfaat, pembangunan akan menyebabkan

timbulnya perubahan terhadap lingkungan. Karena pada hakekatnya

pembangunan adalah merupakan perombakan atau perubahan ke arah yang

dicita-citakan. Tanpa pembangunan kesejahteraan tak mungkin dapat dicapai dan

lingkungan hidup yang baik dan sehatpun tak mungkin dapat kita wujudkan.

Untuk dapat mencapai kesejahteraan dan lingkungan hidup yang baik dan sehat,

pembangunan mutlak harus dilakukan.

Pelaksanaan pembangunan sebagai kegiatan yang makin meningkat

mengandung resiko pencemaran dan perusakan lingkungan, sehingga struktur dan

fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat pula rusak

karenanya. Hal semacam itu akan merupakan beban social, karena pada akhirnya

masyarakat dan pemerintahlah yang menanggung beban pemulihannya.

Terpeliharanya ekosistem yang baik dan sehat merupakan tanggung jawab

(13)

dukung lingkungan. Oleh karena itu pembangunan yang bijaksana harus dilandasi

wawasan lingkungan sebagai sarana untuk mencapai kesinambungan dan menjadi

jaminan bagi kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang.

Di Indonesia pendekatan pembangunan masyarakat telah mulai dirasakan

perlunya diterapkan. Hal ini disebabkan karena makin banyaknya gejolak-gejolak

social akibat adanya aktivitas pembangunan. Aktivitas pembangunan yang

dimaksud pada umumnya telah dilengkapi dengan studi AMDAL termasuk aspek

sosialnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembangunan

yang telah di AMDAL belum tentu bisa diandalkan. Salah satu sebabnya adalah

kurang cermatnya studi social yang dilakukan, sehingga studi tersebut tidak

mampu memprediksi dan mengakomodasi aspirasi dan kepentingan masyarakt

local. Akibatnya tidak ada rekomendasi untuk antisipasi penanganan dampak.

Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan dalam menstudi proyek-proyek

tersebut lebih mengandalkan pendekatan teknis.

Salah satu contoh reaksi sosial social yang muncul dimana reaksi social ini

juga merupakan masalah yang akan diteliti penulis adalah kasus normalisasi

sungai deli. Normalisasi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah penimbunan,

penembokan, dan rencana pelurusan sungai Deli yang dilakukan oleh para

developer dengan tujuan untuk mengendalikan banjir.

Normalisasi merupakan pendekatan yang keliru dan tidak ramah

lingkungan. Penghilangan batuan dan tumbuhan dari daerah aliran sungai dengan

membangun dinding beton serta melakukan penimbunan, justru akan

menghilangkan fungsi kontrol aliran oleh biota dan materil di dalamnya. Selain itu

(14)

DR. Alvi Syahrin SH MS, pembentukan sungai merupakan suatu kejadian alam

yang berlangsung sangat lama. Tentunya alam atau ekosistem yang terkandung di

dalamnya akan rusak total jika diperbaharui tanpa kehati-hatian yang cermat. Di

dasar dan bibir sungai terdapat rongga-rongga tanah yang berisi air dan kehidupan

mikroorganisme, jika ditutup maka air tanah yang mengalir di dalam akan

mencari tempat yang paling terendah dan hal itu akan mempengaruhi keberadaan

rongga, sebab rongga akan menyebabkan amblasnya tanah penutup di atasnya

apabila terjadi gesekan atau pergerakan tanah. Hal ini bisa berakibat fatal bagi

kehidupan manusia diatasnya (Sumut Pos, 9 Desember 2006 hal 17)

Memang normalisasi sungai telah dilakukan dimasa lalu di dunia seperti di

negara-negara seperti Amerika Serikat, jerman, dan Belanda, Jepang dan lain-lain,

namun belakangan diketahui dampak negatif perubahan itu terhadap ekologi

sangat besar dan konsep itu pun kini sudah ditinggalkan dan tidak dilaksanakan

lagi.

Sementara itu berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari Kontras

Sumut, bahwa kronologis kasus Sungai Deli berawal sejak tahun 1990-an dimana

seorang pengusaha perbengkelan bernama Wijaya Kusuma mulai

mengembangkan usahanya secara bertahap dengan membeli tanah warga,

sehingga tanah yang dibelipun semakin bertambah luas. Akhirnya pada tahun

1999 terjadilah penembokan kawasan lingkungan penduduk. Akibatnya warga

yang belum menjual tanah dan rumahnya menjadi terisolir, karena dikelilingi

tembok.

Pada tahun 2000 terjadi konflik antara masyarakat dengan pengembang.

(15)

menimpa rumah penduduk. Selain rumah warga hancur, insiden ini

mengakibatkan 2 orang luka serius dan satu orang kritis. Warga pun kemudian

mengadukan masalah ini ke anggota DPRD Medan, dimana setelah

masing-masing pihak dipertemukan maka tercapai dua kesepakatan antara lain: Pertama,

tembok yang telah dibangun pengembang setinggi 4,5 meter harus dipotong

menjadi 3 meter. Kedua, pengembang diwajibkan membangun riol pembuangan

air di lingkungan rumah warga yang terkena penembokan . Akan tetapi pada

kenyataannya kesepakatan itu tidak pernah dilaksanakan oleh pihak pengembang

dan juga tidak ada tindakan dari DPRD dan PEMKO Medan untuk menyikapi

masalah tersebut.

Tahun 2003, pengembang mulai melakukan penimbunan dan membuat

satu jembatan lintas berbentuk terowongan, sehingga akibatnya warga pun merasa

tidak nyaman. Pada saat tejadi hujan banjir sering melanda pemukiman warga dan

bila cuaca panas abu sering berterbangan.

Pertengahan tahun 2003, warga kembali menggelar unjuk rasa ke DPRD

Medan. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh anggota dewan, Dinas PU kota

Medan, warga, dan pengacara pengembang diperoleh dua kesepakatan: Pertama,

tembok harus dirobohkan karena tidak memiliki izin. Kedua, timbunan tanah

harus diratakan kembali seperti keadaan yang semula. Namun lagi-lagi

kesepakatan ini juga tidak dijalankan.

Kemudian Pada bulan Maret 2005, terjadi perselisihan antara warga gang

Pelita II dengan pengembang akibat penimbunan jalan menuju masjid Ar Rahman.

(16)

dibangun warga untuk mengamankan jalan menuju mesjid dirusak oleh pihak

yang tidak bertanggung jawab.

Selanjutnya pada tahun 2006, pengembang memindahkan alur sungai

batuan yang bermuara ke sungai deli. Pemindahan alur sungai batuan ini

mengakibatkan ribuan warga di gang Alfajar, gang Bidan, dan gang Merdeka

selalu mengalami kebanjiran. Rumah warga banyak yang retak dan amblas karena

terhantam oleh arus sungai. Akibat penimbunan itu, kondisi ketiga gang layaknya

seperti kuali. Jika sungai deli dan sungai batuan meluap, warga akan mengalami

kebanjiran. Demikian juga nasib yang sama dialami oleh warga di gang satria dan

gang perwira. Banyak warga yang telah 40-50 tahun menempati tanah di gang itu

tergusur tanpa pemberian ganti rugi yang sepantasnya. Pasalnya, di tanah yang

ditinggali puluhan tahun dan PBBnya yang selalu dibayar dinyatakan tinggal

diatas tanah orang lain. Tanah itu sendiri telah dijual oleh yang mengaku sebagai

pemilik tanah kepada pengembang.

Sementara itu, disisi lain PT Kastil Kencana yang juga ikut melakukan

proyek pelurusan sungai deli akan tetap menjalankan proyek tersebut yang

nantinya pelurusan itu akan dilakukan sepanjang 500 meter. Pihak developer

menyatakan bahwa proyek pelurusan ini adalah bertujuan untuk mengendalikan

banjir. Target pelurusan adalah kelokan yang menjorok ke area bandara polonia

yang semulanya ada beberapa kelokan dengan panjang total sekitar 1.300 meter

dan pada akhirnya yang akan diluruskan hanya sekitar 450 meter.

KontraS SUMUT mengkaji bahwa dibalik proyek pelurusan sungai, PT

Kastil kencana menggerakkan kepentingan bisnis. Mereka akan membangun

(17)

akan meraup keuntungan yang besar di balik proyek pelurusan sungai ini, karena

kepentingan bisnis akan dibangun terkait rencana masa depan seiring lahan eks

bandara polonia akan dijadikan central bisnis distric jika bandara sudah

dipindahkan ke bandara kuala namu, Deli Serdang.

Dengan proyek pelurusan sungai, PT Kastil Kencana menjadikan kawasan

normalisasi sungai menjadi tempat yang elit dan bernilai tinggi. Tentunya jika

rencana pembangunan perumahan akan diwujudkan dengan harga jual yang

berkali-kali lipat. Bahkan untuk mewujudkan rencana proyek perumahan, PT

Kastil Kencana banyak membebaskan tanah warga.

Selain itu dengan adanya proyek ini warga pinggiran Sungai Deli juga

resah akibat ulah para makelar tanah terkait dengan pihak developer yaitu PT

Kastil Kencana yang melakukan pelurusan Sungai Deli. Selain persoalan harga

yang tak logis, para calo tersebut meresahkan karena sering membawa-bawa nama

PEMKO Medan dalam negosiasi dengan warga, sehingga ketika warga mematok

harga yang sesuai dengan pasaran, agar bisa membeli rumah lagi di daerah

pinggiran, banyak yang takut akibat intimidasi secara halus oleh para calo dan

Kepling setempat.

Disamping itu, berdasarkan catatan Kontras Sumatera Utara menunjukkan

bahwa pada periode Januari 2004-November 2006 frekuensi banjir di daerah

kelurahan Sei Mati meningkat, dari 2-4 kali dalam setahun menjadi 5-6 kali dalam

sebulan. Bagi masyarakat, normalisasi Sungai Deli bukanlah merupakan sebuah

solusi penyelesaian krisis banjir, tetapi justru memunculkan krisis baru, sebab

(18)

umum, terhambatnya aktivitas ekonomi dan berkurangnya penghasilan adalah

persoalan baru yang muncul akibat pelurusan sungai deli.

Disisi lain, Agus yang menjabat sebagai carateker Serikat Pengacara

Indonesia (SPI) SUMUT mengatakan bahwa, normalisasi juga dapat mengganggu

aktivitas social masyarakat yang bertempat tinggal di pinggiran daerah aliran

sungai tersebut. Sungai Deli digunakan multi fungsi oleh sebahagian masyarakat

mulai dari mencuci, kakus, hingga untuk mandi. Persoalan hukum juga

diperkirakan akan mencuat, sehubungan dengan pembebasan lahan yang terkena

pelurusan tersebut (Sumut Pos, 25 Juli 2006 hal18).

Dari data dan informasi yang diperoleh serta penjelasan yang telah

diuraikan dalam latar belakang masalah diatas, maka penulis memilih Kelurahan

Sei mati sebagai lokasi penelitian dan tertarik untuk melakukan penelitian di

kelurahan tersebut, dikarenakan penulis pernah meninjau lokasi bersama dengan

beberapa aktivis Kontras, para wartawan media cetak dan Wakil Kepala Dinas

Pengairan untuk mengamati langsung aktivitas dan kegiatan yang dilakukan oleh

para developer dalam melakukan proyek pembangunan di sekitar bantaran Sungai

deli serta meninjau lokasi penimbunan, penembokan serta lokasi rencana

pelurusan Sungai deli. Setelah mempertimbangkan, mempelajari dan meminta

petunjuk dari salah seorang aktivis Kontras, maka oleh karena itu penulis

memutuskan untuk memilih Kelurahan Sei mati Kecamatan Medan Maimun

sebagai lokasi penelitian.

Selanjutnya, setelah mempelajari kasus sungai deli dengan berbagai

pertimbangan dan masukan-masukan yang bermanfaat, maka penulis memilih

(19)

Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimun) sehingga ingin meneliti kasus itu

dan menyusun skripsi tentang kasus tersebut.

Adapun yang menjadi dasar ketertarikan penulis untuk meneliti kasus ini

adalah dikarenakan penulis pernah membaca di surat kabar SUMUT Pos tanggal

01 Oktober 2006 halaman 9 yang memuat berita tentang kasus normalisasi sungai

deli dan penulis mempelajari kasus ini sambil berdiskusi dengan salah seorang

aktivis Kontras, dimana kasus ini juga sedang ditangani oleh Perkumpulan

Kontras Sumatera Utara, sehingga atas dukungan bimbingan dan petunjuk mereka

maka penulis tertarik untuk meneliti kasus ini. Selain itu yang juga mendasari

ketertarikan penulis untuk meneliti kasus ini adalah belum ada penelitian

sebelumnya yang meneliti tentang kasus ini. Disamping itu, penulis juga selalu

mengikuti perkembangan seputar kasus ini sampai kepada advokasi dan

upaya-upaya hukum yang dilakukan oleh aktivis KontraS Sumatera Utara terhadap

masyarakat yang menjadi korban akibat dari normalisasi sungai deli yang

(20)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka yang menjadi perumusan

masalah yang dapat dirumuskan adalah, “Bagaimanakah Reaksi Sosial

Terhadap Normalisasi Sungai Deli ?”.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana reaksi social dari masyarakat Kelurahan Sei

Mati terhadap normalisasi sungai deli

2. Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap normalisasi sungai Deli

1.3.2. Manfaat

Adapun yang menjadi manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur yang

selanjutnya bisa memperkaya wacana mengenai Reaksi social terhadap

normalisasi sungai

2. Secara akademis, dapat memberikan kontribusi positif terhadap khasanah

keilmuan bagi Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar penelitian selanjutnya,

khususnya untuk penelitian tentang normalisasi sungai

4. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan

(21)

khususnya proyek pembangunan yang berada di kawasan lingkungan

(22)

1.4. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

BAB ini berisikan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan

Manfaat Penelitian serta Sistematika Penulisan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

BAB ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan

masalah dan objek yang akan diteliti

BAB III : METODE PENELITIAN

BAB ini berisikan Tipe Penelitian, Lokasi Penelitian, Populasi dan

Sampel, Teknik Pengumpulan Data serta Teknik Analisis Data

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

BAB ini berisikan Gambaran Umum mengenai lokasi dimana peneliti

melakukan penelitian

BAB V : ANALISIS DATA

BAB ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dalam

penelitian beserta analisisnya

BAB VI : PENUTUP

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Aksi Komunitas (Masyarakat)

Menurut Glen (dalam Adi 2003: 105) ada beberapa ciri khas dari aksi

komunitas, yaitu:

1. Tujuan Aksi Komunitas Terkait Dengan Penggalangan Kekuatan

Pada Isu-Isu Yang Konkrit

Glen menyatakan bahwa aksi komunitas biasanya terkait dengan suatu isu

khusus yang dirasa merisaukan oleh suatu komunitas. Isu tersebut mungkin

merupakan isu yang khusus bagi sekelompok orang yang berada di wilayah

tertentu, atau mungkin merupakan isu yang dirasakan oleh masyarakat secara

umum. Kesamaan pengalaman terhadap hal yang dianggap tidak menyenangkan

tersebut dapat menjadi tenaga penggerak untuk mengorganisir kekuatan yang akan

memunculkan kekuatan solidaritas kolektif. Solidaritas kolektif ini merupakan

tenaga penggerak yang utama untuk munculnya suatu gerakan komunitas. Tanpa

adanya solidaritas kolektif sebagai energi utama dari gerakan ini, aksi-aksi yang

akan dilakukan akan menjadi lemah dan tidak mempunyai cukup kekuatan untuk

mempengaruhi para pembuat kebijakan. Ketika masyarakat (komunitas) ingin

menggoyang suatu sistem yang sudah mapan, mereka sangat membutuhkan

(24)

2. Melakukan Pendekatan yang Menggunakan Strategi dan Teknik yang

Bersifat Konflik

Glen mengemukakan bahwa kelompok aksi komunitas seringkali

mengorganisir diri melalui struktur organisasi yang sederhana agar mereka dapat

mengambil keputusan dengan cepat. Mereka menggunakan strategi yang bersifat

konflik guna memperoleh dan mempertahankan kekuasaan sebagai sumber energi

mereka. Mereka memandang kelompok sasaran mereka sebagai musuh.

Penseleksian taktik sangat teragntung dengan peran kelompok sasaran dan posisi

nilai kelompok sasaran.

(a) Mereka akan menggunakan taktik bekerjasama seperti presentasi makalah,

memberikan penjelasan, dan sebagainya, bila kelompok sasaran mereka

pandang sebagai kelompok yang mempunyai wewenang untuk membuat

kebijakan dan mengalokasikan sumber daya, serta mereka menduga bahwa

kelompok sasaran tersebut akan mau bekerjasama sesuai dengan norma

yang dimiliki oleh kelompok mereka.

(b) Mereka menggunakan taktik kampanye, seperti membuat petisi, penulisan

surat terbuka untuk umum, atau pun pawai, ataupun taktik yang bersifat

memaksa seperti terlibat dalam konfrontasi langsung dengan kelompok

sasaran, bila kelompok sasaran mereka pandang sebagai kelompok yang

mempunyai kapasitas untuk membuat suatu keputusan ataupun kebijakan

tetapi tidak responsive (kurang mau menanggapi) tuntutan mereka,

(25)

3. Community Worker Ataupun Organizer dari Gerakan Ini Biasanya

Seorang Aktifis Profesional (Bukan tenaga Sukarela)

Seorang aktivis yang berasal dari luar komunitas pada dasarnya adalah

seseorang yang mempunyai pengalaman professional yang terkait dan mempunyai

perhatian dengan isu yang akan dibahas dalam aksi kelompok. Tugas-tugas dasar

dari seorang aktifis biasanya meliputi aspek pengorganisasian pergerakan,

mobilisasi dan agitasi. Dilema yang dihadapi komunitas denagn menggunakan

tenaga aktifis atau organizer dari luar adalah adanya kemungkinan bahwa seorang

aktifis tersebut adalah seorang yang secara politis jauh lebih canggih dari

komunitas yang sedang diorganisir. Bila hal ini terjadi maka organizer harus mau

meluangkan waktu untuk memberikan informasi, mendidik dan mempersuasi

(membujuk) masyarakat untuk mau terlibat dalam gerakan yang akan dilakukan.

Sementara itu Flood (dalam Adi 2003: 134) mengemukakan bahwa ada 12

bentuk-bentuk aksi komunitas antara lain adalah sebagai berikut:

1.Pemboikotan

Dalam kegiatan ini para partisipan perubahan didorong untuk tidak

menggunakan produk ataupun jasa yang dikeluarkan oleh kelompok sasaran.

Pemboikotan sangat bermakna dalam kaitan dengan peningkatan kesadaran

masyarakat akan hal yang sedang diperjuangkan oleh agen perubahan. Tetapi

pemboikotan akan dapat lebih efektif bila produk ataupun jasa yang lain yang

dapat dijangkau massa sebagai pengganti produk dan jasa ayng dikeluarkan oleh

kelompok sasaran. Sebaliknya, bila suatu produk dan jasa yang utama hanya

(26)

yang dilakukan agen perubahan seringkali kurang mendapat tanggapan yang

positif dari massa.

2. Grafiti

Merupakan aksi corat-coret pada tempat tertentu guna menarik perhatian

massa. Flood (dalam Adi 1994: 34) melihat bahwa salah satu bentuk grafiti yang

baik dan dapat menarik minat masyarakat adalah grafiti yang bersifat sederhana

dan kocak dalam menyerang hal yang mereka protes, serta ditempatkan di tempat

yang mudah dilihat masyarakat. Akan tetapi, grafiti yang dilakukan pada

gedung-gedung, tempat-tempat bersejarah ataupun rumah pribadi justru akan dapat

menimbulkan antipati masyarakat terhadap gerakan yang sedang mereka jalankan.

3. Pengalihan

Flood (dalam Adi 1994: 34) menyatakan bahwa di era 1990-an ini

semakin banyak kelompok penekan yang semakin terampil dalam

mengembangkan strategi yang tidak bersifat kekerasan, yang pada akhirnya dapat

meningkatkan penghormatan dan dukungan dari berbagai pihak terhadap gerakan

yang dilakukan.

4. Teater Jalanan

Flood melihat bahwa teater jalanan dapat dimanfatkan untuk

menyampaikan, mengalihkan ataupun memprovokasi massa mengenai suatu isu

tertentu. Teater jalanan biasanya dilaksanakan di tempat umum dan tanpa

dipungut bayaran, guna menarik minat dan pemirsa yang lebih besar. Teater

jalanan yang menarik dan simpatik biasanya lebih dapat menarik emosi

masyarakat dibandingkan dengan teater jalanan yang lebih menonjolkan pada

(27)

beberapa aktivis partai tertentu juga memfasilitasi kelompok buruh untuk

mngembangkan teater jalanan dalam upaya mengubah persepsi masyarakat dan

mempengaruhi pandangan kelompok elit perusahaan.

5. Blokade dan Memacetkan Jalanan

Flood menyatakan bahwa memacetkan, memperlambat bahkan

menghentikan arus lalu lintas untuk sementara waktu dapat pula dimanfaatkan

untuk menyampaikan suatu isu tertentu. Flood melihat bahwa pemblokadean

suatu tempat tertentu dalam jangka waktu yang pendek mungkin belum

merupakan suatu masalah yang serius dan dapat dianggap sebagai pengungkapan

perasaan partisipan terhadap situasi dan kondisi yang ada. Tetapi pemblokadean

dalam waktu yang relatif lama, cenderung untuk diinterpretasikan sebagai

pelanggaran hukum sehingga posisi partisipan akan menjadi lebih lemah dari

sebelumnya.

6. Pengambil-alihan dan Pendudukan

Flood memberikan gambaran bahwa ada kelompok-kelompok tertentu

yang berhasil mengambil alih alih tanah dan bangunan yang tidak digunakan dan

memanfaatkannya menjadi taman dan bengkel kerja.pengambil-alihan ini

tentunya tidak dilakukan secara semena-mena, tetapi melalui proses meyakinkan

pihak yng berkompeten yang terkait dengan tanah dan bangunan yang dimaksud.

Untuk mendapatkan lampu hijau dari otoritas local, aktivis harus dapat

meyakinkan bahwa proposal yang mereka ajukan akan dapat memberikan manfaat

bagi masyarakat, bila dibandingkan tanah dan bangunan tersebut diterlantarkan

tidak terpakai. Meskipun demikian, kadangkala pemilik tanah merasa keberatan

(28)

negara industri, para aktivis biasanya mendemonstrasikan manfaat tempat tersebut

pada hari-hari libur untuk menggerakkan hati si pemilik tanah.

7. Pemanfaatan Gedung Kosong

Menurut Flood, pemanfaatan gedung ataupun gudang yang sudah tidak

digunakan lagi merupakan hal yang berbeda dengan pencaplokan suatu gedung

atau gudang. Perbedaan yang mendasar adalah pada tujuannya. Pencaplokan suatu

gedung pada intinya adalah pengambil-alihan suatu gedung olah perorangan

ataupun kelompok untuk tempat tinggal mereka. Sedangkan pemanfaatan gedung

lebih mengarah pada pengambil-alihan fungsi gedung yang pada umumnya akan

dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat.

8. Prosesi dan Protes Keliling

Pada beberapa negara yang relatif maju seperti Australia, Inggris dan

Amerika, prosesi dan protes keliling di sepanjang jalan raya pada umumnya

bukanlah sesuatu hal yang bukan melanggar hukum. Hal tersebut lebih dilihat

sebagai bagian dari upaya warga masyarakat untuk menyatakan ketidakpuasannya

terhadap suatu isu tertentu. Meskipun hal tersebut bukanlah hal yang melanggar

hukum, tetapi pelaksana arak-arakan tersebut haruslah memberitahukan secara

tertulis pada pihak pemerintah daerah dan polisi mengenai rute, waktu dan tanggal

arak-arakan tersebut akan dilaksanakan. Bagi masyarakat di negara industri,

prosesi dan arak-arakan sudah menjadi bagian dari kehidupan demokrasi mereka.

Tetapi bagi beberapa negara di Asia tindakan ini seringkali ditafsirkan sebagai

(29)

9. Barisan Penghalang

Barisan penghalang biasanya merupakan bagian dari proses boikot dengan

cara membentuk barisan yang menghalangi orang-orang untuk mengakses produk

atau layanan dari kelompok sasaran. Di Australia, Flood (dalam Adi 1994: 34)

menyatakan bahwa barisan penghalang ini merupakan salah satu taktik yang

cukup efektif dalam pergerakan kaum buruh. Pembentukan barisan penghalang

dalam perselisahan perburuhan biasanya dilakukan dengan membujuk pekerja

untuk tidak bekerja dan membentuk barisan penghalang pada hari dan waktu yang

sudah disepakati. Sehingga pada hari yang sudah disepakati tersebut, tidak ada

pekerja yang dapat masuk ke dalam pabrik kantor karena terhalang oleh barisan

pekerja yang memagari pabrik dan kantor tempat bekerja mereka.

10. Pertemuan Terbuka

Pertemuan umum di tempat terbuka merupakan salah satu taktik yang

biasa digunakan para aktivis untuk menyebarkan informasi, menarik simpati

masyarakat dan memantapkan identitas mereka sebagai suatu kelompok.

11. Aksi Mogok Duduk

Menurut Flood, di Australia, taktik ini seringkali dilaksanakan

dikantor-kantor departemen, pemerintah daerah, perusahaan, agen perumahan, ataupun

kantor administrasi universitas guna memprotes kebijakan yang mereka terapkan.

Aksi mogok duduk di kantor-kantor pemerintahan ini seringkali didefenisikan

sebagai tindakan yang illegal, dan biasanya mengundang respon dari pihak

kepolisian. Oleh karena itu para pemrotes harus memilih tempat untuk melakukan

aksi mogok duduk secara bijak agar tujuan penyampaian pesan dan tanggapan

(30)

harus menjaga diri agar tidak melakukan nal yang destruktif, seperti vandalisme

(mencoret-coret dinding) yang biasanya dapat memunculkan rasa tidak simpati

pada pemrotes tersebut. Di Indonesia, untuk menarik perhatian dan simpati yang

lebih besar, aksi mogok duduk ini tidak jarang dikombinasikan juga dengan aksi

mogok makan dan mogok bicara.

12. Aksi Simbolis

Menurut Flood (dalam Adi 1994: 38) aksi simbolis ini sangat beragam.

Misalnya saja, aksi ini dapat berbentuk pengembalian atau penolakan suatu

penghargaan sebagai pernyataan protes. Hal ini dilakukan antara lain guna

mendapat liputan media, sehingga panitia pemberi penghargaan tesebut dapat

menyadari hal apa yang diprotes oleh aktivis tersebut.

Bila dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Flood maka akan terlihat

keragaman dari aksi komunitas yang dilakukan oleh berbagai aktivis di beberapa

negara. Protes yang dilakukan kelompok masyarakat tersebut dapat dimunculkan

dalam tindakan yang halus atau bahkan sampai ketingkat yang amat brutal dan

destruktif, yang pada negara-negara tertentu sering didefenisikan sebagai tindakan

makar. Untuk kondisi Indonesia, bentuk aksi komunitas yang paling mungkin

dilakukan pada satu era tentunya berbeda dengan era yang lain. Karena pilihan

aksi komunitas yang akan dilakukan sangat terkait dengan toleransi pemerintah

dan pihak keamanan terhadap suatu bentuk protes yang dapat diambil pada saat

itu.

(31)

II.2. Gerakan Sosial

Menurut Tarrow (dalam klandermans 1997: 3) yang mendasarkan diri

pada tulisan Charles Tilly bahwa gerakan social adalah tantangan kolektif yang

diajukan sejumlah orang yang memiliki tujuan dan solidaritas yang sama, dalam

konteks interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elite, lawan dan penguasa.

Tarrow melakukan elaborasi terhadap defenisi tersebut dengan menekankan

bahwa gerakan-gerakan tersebut (a) menyusun aksi mengacau, (disruptive)

melawan kelompok elite, penguasa, kelompok-kelompok lain, dan aturan-aturan

budaya tertentu, (b) dilakukan atas nama tuntutan yang sama terhadap lawan,

penguasa dan kelompok elite, (c) berakar pada rasa solidaritas atau identitas

kolektif, dan (d) terus melanjutkan aksi kolektifnya sampai menjadi sebuah

gerakan social.

Dengan demikian, gerakan social diikuti oleh sejumlah individu yang

memiliki tujuan dan identitas kolektif yang sama, yang secara bersama-sama

terlibat dalam aksi kolektif yang bertujuan mengacau. Individu-individu yang

semacam inilah yang menjadi pusat perhatian buku ini. Hal ini merupakan

pekerjaan yang membutuhkan banyak usaha karena, meskipun periode perluasan

pergolakan terjadi pada decade terdahulu, partisipasi individual di dalam

gerakan-gerakan social bukanlah kejadian yang lumrah dijumpai. Bahkan gerakan-gerakan-gerakan-gerakan

social yang besarpun biasanya hanya memobilisasi sejumlah kecil orang dari

seluruh populasi. Hal ini bukan berarti bahwa hanya ada sedikit orang yang

bersimpati terhadap gerakan tersebut, tetapi karena seperti yang akan kita lihat

berpartisipasi di dalam suatu gerakan tidak sama dengan sekadar bersimpati

(32)

Pada banyak kasus, partisipan gerakan akan selalu ingat rasa takut dan

gemetarnya ketika ia harus tampil ke garis depan untuk pertama kalinya.

Kebanyakan simpatisan tidak harus mengalami semua itu.

II.3. Kerangka Aksi Kolektif

Menurut Gamson (dalam Klandermans 1997: hal 7) sebuah kerangka aksi

kolektif adalah seperangkat keyakinan dan pemaknaan yang berorientasi pada

tindakan, yang memberi inspirasi dan melegitimasi berbagai kegiatan dan

kampanye gerakan sosial. Dengan kata lain, kerangka aksi kolektif adalah

seperangkat keyakinan kolektif yang memungkinkan suatu pemikiran tercipta

bahwa partisipasi dalam aksi kolektif tampak berarti. Gamson membedakan tiga

komponen kerangka aksi kolektif yaitu: (1) rasa ketidakadilan, (2) elemen

identitas, (3) faktor agensi.

Pertama, Rasa ketidakadilan. Rasa ketidakadilan muncul dari kegusaran

moral yang berhubungan dengan kekecewaan, seperti masyarakat Sei Mati yang

menerima kompensasi dari para developer untuk ganti rugi terhadap rumah dan

tanah yang dibebaskan tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan

untuk pindah ketempat yang lain. Selain itu adanya intimidasi yang dilakukan

oleh sekelompok oknum untuk menekan masyarakat agar tanahnya segera dijual

kepada para developer. Kegusaran moral ini seringkali berhubunagn denagn

ketidaksetaraan ayng tidak memiliki legitimasi yaitu perlakuan yang tidak

seimbang tehadap individu-individu atau kelompok-kelompok yang dipersepsikan

sebaagi ketidakadilan (Folger dalam Klandermans (1997: hal 7). Perasaan

(33)

seperti gerakan masyarakat Medan Maimun bersatu (GM3B) yang menentang

normalisasi sungai Deli.

Kedua, Elemen identitas. Pengidentifikasian mereka (penguasa, kelompok

elite) yang dianggap bertanggung jawab atas sebuah situasi negatif menyiratakn

adanya “kita’ sebagai lawannya. Dalam menetapkan “kita” komponen identitas

kerangka aksi kolektif ini adalah seperangkat keyakinan kolektif, yaitu keyakinan

yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang. Oleh karena itu, ketidakpuasan

yang dicakup oleh kerangka tersebut juga dirasakan bersama misalnya, adanya

niat pemerintah untuk melegalkan normalisasi terhadap sungai Deli, keprihatinan

tentang banjir di kelurahan Sei Mati.Sebagaiman kita ketahui bahwa komponen

identitas tidak hanya menekankan kebersamaan dalam merasakan ketidakpuasan,

komponen ini juga memantapkan sikap oposisi kelompok terhadap pelaku yang

dianggap bertanggungjawab terhadap ketidakpuasan itu. Jadi, atribusi kausal

merupakan elemen komponen identitas penting didalam kerangak aksi kolektif.

Ketiga, Agensi. Agensi mengacu pada keyakinan bahwa seseorang dapat

mengubah kondisi atau kebijakan melalui aksi kolektif. Rasa ketidakadilan atau

rasa beridentitas mungkin merupakan kondisi yang diperlukan untuk partisipasi

dalam gerakan, tetapi merasakan ketidakpuasan bersama dan menemukan

penguasa yang dapat dipersalahkan semata-mata tidak cukup dapat mendorong

orang untuk melibatkan diri di dalam aksi kolektif. Individu-individu harus

menjadi yakin bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengubah kondisi mereka.

Keyakinan semacam itu merupakan syarat bagi kemunculan agen-agen yang

memberikan kesan sangat berpengaruh secara politis, yang dibuktikan oleh

(34)

II.4. Normalisasi Sungai

Mengendalikan banji di daerah hilir dengan pelurusan sungai disebut

dengan istilah normalisasi. Penghilanagn batuan dan tumbuhan dari daerah aliran

sungai (DAS) dengan membangun dinding beton, justru akan menghilangkan

fungsi kontrol aliran oleh biota dan dan material di dalamnya. Selain itu juga

terjadi pendangkalan dan terputusnya daur ekosistem di DAS.

Dr. Gadis Sri Harayni, dalam Seminar Nasional bertema Pengelolaan

Sumber Daya Perairan Darat Secara terpadu Di Indonesia mengatakan bahwa

masalah banjir hendaknya tidak diatasi secara simptomatik sehingga

mengakibatkan over engineering atau terlalu berlebihan. Seharusnya dengan cara

mengerti atau mencari penyebab yang paling fundamental.

Pada kenyataannya berbagai sungai seperti ciliwung, cisadane, dan

khususnya sungai deli telah dinormalisasi. Normalisasi ini dilaksanakan dengan

melakukan pelurusan, penembokan, penimbunan, pengerasan dinding sungai,

pembuatan tanggul, pengerukan, serta penghilangan tumbuhan, Lumpur, pasir dan

batuan di tepi sungai. Hal ini mengakibatkan hilangnya fungsi daerah peralihan

dua ekosistem; lahan kering dan basah di tepi sungai. Dampaknya adalah hilang

pula kemampuan sungai mengontrol aliran energi dan nutrien yang diperlukan

biota yang hidup disana.

Dampak lebih lanjut adalah menurunnya keragaman hayati berbarengan

karena hilangnya spesies di lahan tersebut. Ini pada akhirnya mengakibatkan

perubahan ekosistem, hingga timbulnya bencana erosi dasar sungai, banjir dan

pendangkalan di hilir. Memang normalisasi sungai telah dilakukan di masa lalu di

(35)

Belanda. Namun dampak negatif perubahan ini terhadap ekologi sangat besar dan

konsep ini pun telah ditinggalkan. Banyak negara barat telah mengembalikan

kondisi sungainya pada kondisi alaminya, dengan mengembalikan aliran sungai

ke alur kelokan asli, mengisi bebatuan di sungai dan menanami kembali tepian

sungai dengan tuimbuhan aslinya.

II.5. Perubahan Lingkungan Sosial Budaya

Saat ini dengan derasnya modernisasi dan globalisasi, hubungan antar

manusia sangat dipengaruhi oleh dan diarahkan oleh kekuatan nafsu (pemenuhan

kebutuhan materil) manusia. Untuk memenuhi kebutuhan itu digunakan institusi

modern yang dikemas dalam bingkai modernisasi yang dikuasai (didominasi) oleh

pemilik modal (kapitalis) dan penguasa (pemerintah). Kekuatan dominasi kedua

institusi itu secara terencana dan sistematis mempengaruhi sikap, pola, dan gaya

hidup masyarakat. Meskipun, kesejahteraan dalam artian pemenuhan ekonomi,

terutama selama lebih kurang 30 tahun, mengalami perbaikan, tetapi tanpa

disadari cenderung menghancurkan dan memporakporandakan tatanan lingkunan

social budaya yang diikuti dengan menyurutnya kesadaran social. Pada gilirannya,

sistem nilai memudar menuju kearah anomi sehingga masyarakat mengalami

krisis moral.

Kondisi ini diperparah dengan masuknya pengaruh kekuatan hegemoni,

baik kekuatan internal, maupun eksternal (global). Menurut Gramsci (dalam

Lawner, 1989: 3-55) kekuatan hegemoni tidak hanya terjadi dalam sistem

ekonomi, social, politik, tetapi juga budaya. Bahkan, kekuatan hegemoni bisa

(36)

perlahan, tetapi pasti dapat meredusir dan mengikis habis daya kritis dan

mendorong masyarakat terpuruk ke dalam situasi tidak berdaya dan pasrah.

Bahkan, kekuatan hegemoni dapat membuat masyarakat tidak sadar dan tidak

merasa bahwa mereka ditindas. Kehilangan kesadaran ini menyebabkan kesadaran

social hilang dibarengi dengan munculnya gejala dehumanisasi.

Hegemoni ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam sistem

kehidupan. Dalam lingkungan politik muncul gejala dominasi dan memaksakan

kehendak sehingga hak-hak politik masyarakat hilang. Lingkungan politik

kehilangan mekanisme kontrol sehingga penguasa dan elit politik yang berkuasa

mengesampingkan nilai-nilai demokrasi. Kesewenang-wenangan dan penindasan

manusia atas manusia terjadi dalam sistem kehidupan.

Dalam lingkungan ekonomi muncul gejala monopoli dan penguasaan asset

ekonomi oleh kelompok yang berkuasa. Penguasaan dan monopoli melahirkan

sifat keserakahan. Segala macam cara dihalalkan, budaya malu dikesampingkan,

masa bodoh denan keadilan dalam upaya menumpuk kekayaan untuk kepentingan

sendiri/keluarga ditengah rakyat yang hidup dililit kemiskinan. Lingkungan

ekonomi yang sepeti itu menyebabkan institusi-institusi ekonomi sebagai

pendukung kelancaran ekonomi tidak berfungsi dengan baik. Lingkungan

ekonomi dikelola dengan cara kolusi antara penguasa dengan pengusaha. Korupsi

merajalela akibatnya aktivitas ekonomi tidak efisien. Akumulasi modal tidak

terjadi seperti yang diharapkan.

Keadaan diatas menyebabkan lingkungan social budaya tidak tumbuh dan

muncul sifat mental semu atau sifat pura-pura atau munafik. Standar moral lemah

(37)

bijaksana. Mental penjilat pada penguasa meluas. Ini yang menyebabkan muncul

budaya kekerasan sebagai bentuk perlawanan pada pengusaha yang menindas.

Apalagi, lingkungan hukum tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan

keadilan. Lingkungan hukum hanya berpihak pada penguasa. Ketidakadilan

hukum ini menyebabkan lingkungan ekonomi, politik, dansosial menjadi tidak

berfungsi dengan baik. Kesemua ini menyebabkan tidak terjadi keseimbangan

dalam sistem kehidupan dan akhirnya mengganggu lingkungan social budaya.

II.6. Kerangka Pemikiran

Ada beberapa perusahaan yang melakukan normalisasi (Penimbunan,

penembokan, dan rencana pelurusan) terhadap sungai Deli antara lain: PT. Eka

Wijaya Kusuma, PT. Kastil Kencana, dan SPBU Katamso. Akibat dari

normalisasi sungai deli, banyak rumah warga tergusur dan harus kehilangan

rumah karena dipaksa untuk meninggalkannya. Normalisasi tersebut juga

menyebabkan meningkatnya frekuensi banjir di sekitar bantaran sungai deli akibat

adanya penimbunan dan penembokan yang dilakukan oleh para developer,

ditambah lagi masyarakat juga harus kehilangan fasilitas-fasilitas umum yang ada

di lingkungan mereka seperti sekolah, mesjid, dan kuburan. Selain itu normalisasi

juga berdampak buruk terhadap kondisi social ekonomi masyarakat dimulai dari

menurunnya pendapatan, kehilangan pekerjaan, menurunnya kondisi kesehatan

dan juga memburuknya kondisi pendidikan bagi anak. Semua kerugian dan

penderitaan yang dialami masyarakat akibat normalisasi sungai deli, membuktikan

(38)

Akibat dampak negatif dari normalisai sungai deli, maka masyarakat tidak

tinggal diam begitu saja. Masyarakat melakukan aksi komunitas sebagai bentuk

perlawanan terhadap aktivitas normalisasi sungai Deli. Masyarakat menolak

dengan tegas keberadaan para developer yang melakukan normalisasi sungai,

dimana dibalik proyek tersebut mereka menggerakkan kepentingan bisnis yang

tidak menguntungkan sama sekali bagi masyarakat. Disamping itu masyarakat

juga menuntut para developer agar segera ditindak tegas oleh aparat hukum

karena mereka sudah terbukti melakukan pengrusakan terhadap lingkungan.

Dalam aksi komunitasnya masyarakat Sei Mati menggunakan strategi

yang bersifat konflik dengan taktik bekerjasama dan taktik kampanye. (Glen

dalam Adi, 2003: 106). Taktik bekerjasama tersebut berbentuk presentasi

makalah, memberikan penjelasan dan sebagainya. Sedangkan taktik kampanye

berbentuk penulisan surat terbuka untuk umum, taktik yang bersifat memaksa

seperti terlibat dalam konfrontasi langsung dengan kelompok sasaran ataupun

(39)

Bagan 1

Kerangka Pemikiran

NORMALISASI

SUNGAI DELI

- Frekuensi banjir meningkat sehingga menyebabkan terendamnya rumah warga - Sebahagian masyarakat

kehilangan tempat tinggal akibat penggusuran

- Menurunnya kondisi social ekonomi

MASYARAKAT

SEI MATI

Melakukan aksi komunitas untuk menentang aktivitas normalisasi sungai Deli

Strategi dan taktik yang digunakan oleh kelompok masyarakat adalah dengan menggunakan strategi yang bersifat konflik

(40)

II.7. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional

II.7.1. Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan

secara abstrak kejadian, keadaan kelompok, individu yang menjadi pusat

perhatian (Singarimbun, 1989: 33). Untuk memfokuskan penelitian ini penulis

memberikan batasan konsep yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu:

• Reaksi sosial yang dimaksud adalah Tindakan-tindakan yang dilakukan

oleh masyarakat kelurahan Sei Mati sebagai perwujudan sikap yang

menolak ataupun menentang adanya normalisasi sungai deli dalam bentuk

perlawanan yang berupa aksi komunitas.

• Normalisasi sungai Deli yang dimaksud adalah Penimbunan jalur hijau

pinggiran daerah aliran sungai Deli di kelurahan Sei mati sepanjang

kurang lebih 200 meter, dengan tinggi kurang lebih 10 meter, Penembokan

bibir sungai, dan rencana pelurusan sungai deli sepanjang 500 meter yang

dilakukan oleh para developer (pengembang).

II.7.2. Defenisi Operasional

Defenisi operasional merupakan unsur penelitian yang memberitahukan

bagaimana cara mengukur suatu variable (Singarimbun, 1989: 34). Yang menjad

indikator-indikator dalam penelitian ini yaitu:

• Aksi Komunitas

Aksi komunitas berkaitan dengan reaksi masyarakat terhadap normalisasi

(41)

dan tidak pernahnya masyarakat mengikuti aksi dan pertemuan, dan

frekuensi keterlibatan masyarakat dalam mengikuti aksi dan pertemuan

tersebut.

• Persepsi masyarakat

Persepsi ini berkaitan dengan tanggapan masyarakat yang meliputi: setuju

tidak setujunya masyarakat terhadap normalisasi sungai Deli, setuju tidak

setujunya masyarakat terhadap kondisi sungai Deli dikembalikan seperti

semula, frekuensi banjir sebelum dan sesudah adanya normalisasi sungai

Deli, dan proses pembebasan lahan atau harta benda masyarakat, sampai

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

dengan pendekatan studi kasus yakni untuk menggambarkan keadaan mengenai

fakta tentang reaksi social terhadap normalisasi sungai deli.

III.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan sei mati, Kecamatan Medan

Maimun, dimana dilokasi tersebut merupakan tempat para developer melakukan

normalisasi terhadap sungai deli yang menimbulkan reaksi social dari masyarakat.

III.3. Populasi dan Sampel

III.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bermukim di

Kelurahan Sei Mati khususnya masyarakat yang bermukim di bantaran sungai deli

yang melakukan reaksi social terhadap normalisasi sungai deli. Sebagai unit

(43)

III.3.2. Sampel

Dalam pengambilan sampel, penulis menggunakan teknik Proporsional

sampling. Dalam teknik ini penulis mengambil wakil dari unit-unit populasi

tersebut dengan sistem perwalian yang berimbang.

Kelurahan Sei Mati terdiri dari 12 lingkungan dengan jumlah kepala

keluarga sebanyak 2550. Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh penulis,

bahwa lokasi yang terkena dampak normalisasi sungai adalah lingkungan VII, IX,

X, dan XII sehingga penulis tidak mengambil sampel dari 12 lingkungan yang ada

di kelurahan Sei mati melainkan hanya mengambil 4 lingkungan sebagai sampel,

dimana hanya 4 lingkungan lah yang merasakan langsung dampak normalisasi

sungai Deli tesebut. Adapun perincian jumlah kepala keluarga dari lingkungan

tersebut adalah sebagai berikut:

(Unit I) Lingkungan VII jumlah kepala keluarga sebanyak 201 kk

(Unit II) Lingkungan IX jumlah kepala keluarga sebanyak 300 kk

(Unit III) Lingkungan X jumlah kepala keluarga sebanyak 270 kk

(Unit IV) Lingkungan XII jumlah kepala keluarga sebanyak 231 kk.

Jumlah keseluruhan kepala keluarga adalah sebanyak 1002 kk. Maka

dalam hal ini penulis menggunakan prosentasi untuk menakar pembagian yang

berimbang. Penulis menetapkan masing-masing unit diwakili oleh 10 % jumlah

seluruh unit, maka unit I diwakili oleh 20 kk, Unit dua diwakili oleh 30 kk, Unit

III diwakili oleh 27 kk, unit IV diwakili oleh 23 kk, total seluruhnya adalah 100

(44)

III.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian ini

menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah Teknik pengumpulan data atau informasi yang

menyangkut masalah yang diteliti dengan mempelajari dan menelaah buku,

majalah atau suratkabar dan bentuk tulisan lainnya yang ada relevansinya dengan

masalah yang diteliti

2. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan dengan mengumpulkan data langsung pada objek yang

diteliti sebagai data primer.

Pengumpulan data ini ditempuh dengan cara:

a. Observasi, yaitu pengamatan dan pencatatan dengan sistematik tentang

gejala-gejala yang diamati. Dengan observasi, peneliti akan memperoleh

informasi/data yang tidak mungkin bisa dihimpun melalui wawancara atau

kuesioner, misalnya partisipasi masyarakat. Hanya dengan observasi,

peneliti akan memperoleh data akurat, siapa yang biasanya hadir dalam

pertemuan warga yang membicarakan tentang perkembangan kasus

normalisasi sungai deli. Selain itu peneliti dapat memahami konteks

bagaimana proyek normalisasi dilaksanakan.

b. Wawancara, Teknik wawancara yang digunakan peneliti adalah dengan

menggunakan kuesioner melalui wawancara langsung dan wawancara

(45)

b.1. Kuesioner melalui wawancara langsung

Kuesioner ini ditujukan bagi responden sebanyak 100 orang. Dalam

membagikan kuesioner, peneliti langsung bertatap muka dengan

responden dan kuesioner tetap dipegang oleh pewawancara, lalu

membacakan pertanyaan kepada responden, baik dengan atau tanpa

option jawaban secara lengkap.

b.2.Wawancara mendalam.

Wawancara ini digunakan untuk mencari informasi dari beberapa

informan kunci yang dipilih dengan beberapa pertimbangan.

III.3.5. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik

analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif dalam bentuk penjelasan dan

(46)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

IV.1. Gambaran Umum Kelurahan Sei Mati

Kelurahan Sei mati adalah kelurahan yang terletak di kecamatan Medan

Maimun, Kotamadya Medan. Kelurahan ini memiliki luas yang terdiri dari: luas

pemukiman 0,18 km2, luas kuburan 0,01 km2, luas pekarangan 0,01 km2, luas

perkantoran 0,02 km2, luas prasarana umum lainnya 0,01 km2, dan total luas

keseluruhan adalah 0,23 km2.

Menurut data akhir tahun 2006 penduduk kelurahan ini berjumlah 13.138

jiwa. Kelurahan Sei mati terdiri atas 12 lingkungan yang masing-masing dipimpin

oleh kepala lingkungan. Selain itu kelurahan Sei Mati memiliki penduduk

mayoritas beragama Muslim dan mayoritas bersuku Batak Mandailing yang

tersebar di 12 lingkungan.

Ditinjau dari letak geografisnya kelurahan Sei mati memiliki batas-batas

wilayah yaitu sebelah barat bersebelahan dengan Bandara Polonia (kelurahan

Suka damai), sebelah timur bersebelahan dengan kelurahan Sitirejo serta pasar

merah darat. Dari segi pendidikan, mayoritas masyarakat kelurahan Sei mati

hanya tamat sekolah menengah pertama, dan wajar saja jika mayoritas dari

mereka bekerja di sector informal anatra lain: pedagang kaki lima, buruh,

kerajinan, pertukangan, karyawan swasta dan lain sebagainya.

(47)

IV.2. Sejarah Singkat Sungai Deli

Sungai Deli yang hulunya di Deli Tua, mengalir hingga ke Belawan, yang

mana di satu desa (Namu Rambe) ada situs bersejarah tentang Putri hijau, benteng

pertahanan, bekas istana, dan sumur tempat permandianyang kini merupakan

pancuran yang airnya sampai saat ini tetap mengalir. Sungai deli merupakan salah

satu kebanggaan masyarakat Deli tua sampai kemuara tepatnya Belawan yang

dahulunya mayoritas penduduknya adalah suku Karo dan Melayu.

Sejarah membuktikan bahwa sungai deli dahulunya pernah menjadi jalur

transportasi rakyat. Bahkan sungai ini pernah dilalui oleh perahu atau kapal

kerajaan Aceh dan kerajaan Haru ketika terjadi peperangan pada abad 16.

Sungai deli telah mengukir sejarah yang panjang. Kisah seorang Sultan

Muda dari kerajaan Aceh yang bernama Ali Mughayat Syah yang jatuh cinta

dengan Putri Hijau, tetapi cinta Sultan tersebut ternyata ditolak oleh Putri hijau.

Sehingga akibat penolakan tersebut menyebabkan terjadinya peperangan merebut

kerajaan Haru yang sekarang menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1552.

Peperangan tersebut terajdi didataran rendah diantara pertemuan sungai deli

dengan sungai babura yang dikenal sekarang menjadi Kampung Medan.

Sungai deli merupakan saksi sejarah yang bisu dari masa keemasan. Bukan

hanya kerajaan Aceh saja yang pernah melalui alur sungai deli, melainkan Sultan

Johor dengan armada lautnya pun pernah berlayar mengarungi sungai Deli untuk

membantu kerajaan Haru di abad ke 16 dalam peperangan melawan kerajaan

Aceh. Mengenai nama sungai Deli dalam peta Willem Ijsbrandtsz Bontekoe pada

10 April 1662, bahwa Sungai Deli diberi nama “Rio De Dalim” yang artinya

(48)

IV.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jumlah Penduduk Pada Masing-

Masing Lingkungan

Berdasarkan hasil sensus kelurahan Sei mati tahun 2006, diketahui bahwa

jumlah penduduk kelurahan ini mencapai 13.138 jiwa.yang tersebar di 12

lingkungan. Untuk mengetahui jumlah dan persentasinya dapat dilihat pada table

yang telah disajikan dibawah ini:

Tabel 1

Komposisi Penduduk Berdasarkan Jumlah Penduduk Pada

Masing-Masing Lingkungan

Lingkungan VIII 1161 8,84

Lingkungan IX 1514 11,52

Lingkungan X 1388 10,56

Lingkungan XI 1338 10,18

Lingkungan XII 1429 10,88

Total 13138 100,00

Sumber: Kantor Kelurahan Sei Mati, Agustus 2007

Berdasarkan table 1 diatas dapat dilihat bahwa lingkungan yang memiliki

jumlah penduduk yang terbanyak adalah lingkungan IX dengan jumlah sebanyak

1514 orang (11,52 %). Sementara itu lingkungan X, XI, XII memiliki jumlah

penduduk yang hampir berimbang, sedikit berada dibawah lingkungan IX, hal ini

dapat dilihat dari persentasi dari table yang telah disajikan diatas. Sedangkan

jumlah penduduk yang paling sedikit adalah lingkungan I yakni sebanyak 686

(49)

IV.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Dari total jumlah penduduk Kelurahan Sei mati sebanyak 13.138 jiwa,

bahwa jumlah jenis kelamin terbanyak adalah jenis kelamin perempuan dengan

jumlah 7124 orang (54,22 %) yang selisih perbedaannya tidak begitu mencolok

dengan jenis kelamin laki-laki dengan jumlah sebanyak 6014 orang (45,78 %).

Tabel 2

Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah %

1 Laki-Laki 6014 45,78

2 Perempuan 7124 54,22

Total 13138 100,00

Sumber: Kantor Kelurahan Sei Mati, Agustus 2007

IV.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur

Tabel 3

Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur

NO Kelompok Umur

(50)

Berdasarkan table 3 diatas jumlah kelompok umur yang paling banyak

adalah kelompok umur 0-3 tahun mencapai 776 orang dengan persentasi 5,91 %.

Sedangkan kelompok umur yang paling sedikit jumlahnya adalah kelompok umur

16-19 tahun sebanyak 652 orang dengan persentasi sebesar 4,96 %. Akan tetapi

data menunjukkan bahwa keseluruhan kelompok umur memiliki jumlah dan

persentasi yang berimbang.

IV.6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku

Secara etnis, kelurahan Sei mati terdiri atas berbagai macam suku. Untuk

melihat perinciannya dapat kita lihat pada table dibawah ini:

Tabel 4

Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku

NO Suku Jumlah %

Sumber: Kantor kelurahan Sei Mati, Agustus 2007

Dari perincian table 4 diatas dapat kita lihat bahwa jumlah suku yang

paling banyak mendiami kelurahan Sei mati adalah suku batak mandailing dengan

jumlah sebanyak 4227 orang (32,17 %). Kemudian pada posisi kedua yang

terbanyak dimiliki oleh suku Padang yang tidak begitu mencolok jumlah

(51)

169 orang (1,29 %) dimiliki oleh suku lainnya yang tidak diterterakan dalam

table, mereka adalah suku-suku seperti suku Jawa, Nias, karo, dan lain-lain.

IV.7. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

Penduduk kelurahan Sei mati menganut beberapa macam agama antara

lain agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Untuk mengetahui jumlah

dan persentasinya dapat kita lihat pada tabel dibawah ini

Tabel 5

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

NO Agama Yang Dianut Jumlah %

1 Islam 10561 80,39

2 Kristen 492 3,74

3 Katolik 180 1,37

4 Hindu 15 0,11

5 Budha 1890 14,39

Total 13138 100,00

Sumber: Kantor Kelurahan Sei Mati, Agustus 2007

Berdasarkan table 5 diatas yang memiliki jumlah yang paling banyak yang

menganut sebuah agama tertentu adalah agama Islam dengan jumlah penganut

sebanyak 10561 orang (80,39 5). Sedangkan jumlah penganut agama yang paling

sedikit adalah agama hindu sebanyak 15 orang (0,11 %). Dari jumlah tersebut

dapat disimpulkan bahwa mayoritas penduduk kelurahan Sei mati adalah

menganut agama Islam. Akan tetapi walaupun mayoritas penduduknya menganut

agama Islam, kerukunan beragama masih tetap terjaga dan terjalin dengan baik

(52)

IV.8. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Kondisi pendidikan penduduk kelurahan Sei mati dapat dikatakan relatif

rendah. Hal ini dapat kita lihat pada table yang telah disajikan dibawah ini yang

menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang tidak pernah sekolah sebanyak 1201

orang (20,84 %), tidak tamat SD sebanyak 965 orang (16,74 %), SD sebanyak 565

orang (9,80 %), SLTP sebanyak 525 orang (9,12 %), SLTA sebanyak 715 (12,41

%). Meskipun sudah ada yang mencapai gelar sarjana tetapi jumlahnya tidak

sebanding dengan jumlah penduduk yang tidak tamat SD, tamat SD, dan bahkan

yang tidak pernah sekolah.

Tabel 6

Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

NO Pendidikan Jumlah %

Sumber: Kantor Kelurahan Sei Mati, Agustus 2007

IV.9. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Ditinjau dari segi mata pencaharian, penduduk kelurahan Sei Mati

memiliki mata pencaharian yang beragam. Hal ini dapat dilihat dari tabel

(53)

Tabel 7

Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

NO Mata Pencaharian Jumlah %

Sumber: Kantor Kelurahan Sei Mati, Agustus 2007

Data dari table 7 diatas menunjukkan bahwasanya dari sejumlah penduduk

yang bekerja, karyawan swasta memiliki jumlah yang terbanyak yakni mencapai

2107 orang (62,47%), kemudian pada urutan kedua adalah pedagang dengan

jumlah 504 0rang (14,94) atau seperempat dari jumlah yang bekerja sebagai

karyawan swasta. Sedangkan yang memiliki pekerjaan dengan jumlah yang paling

sedikit adalah pensiunan ABRI yakni sebanyak 9 orang (0,27%).

IV.10. Sarana Pendidikan

Pembangunan sarana pendidikan di kelurahan Sei mati dirasakan masih

sangat perlu diperhatikan, sebab beberaap sarana pendidikan masih belum

terdapat di kelurahan ini. Adapun sarana pendidikan di kelurahan ini, dapat dilihat

(54)

Tabel 8

Lembaga Pendidikan Keagamaan 1

Jumlah 8 buah

Sumber: Kantor Kelurahan Sei Mati, Agustus 2007

Berdasarkan Data pada table 8 dapat dilihat bahwa jumlah TK di

kelurahan ini hanya 1 buah, SD 5 buah, TPA 1 buah, Lembaga pendidikan

keagamaan 1 buah. Data tersebut menunjukkan bahwa SD merupakan sarana

pendidikan yang paling banyak terdapat di kelurahan Sei mati. Kemudian data

menunjukkan bahwa sarana pendidikan untuk SLTP dan SLTA belum terdapat

didaerah ini, sehingga mengakibatkan banyak penduduk usia sekolah khususnya

SLTP dan SLTA terpaksa bersekolah untuk memperolaeh pendidikan SLTP dan

SLTA nya di luar kelurahan.

IV.11. Sarana Kesehatan

Kebutuhan akan saarna kesehatan oleh penduduk kelurahan Sei mati juga

dirasakan sangat penting. Oleh karena itu pemerintah maupun pihak swasta telah

membangun beberapa sarana kesehatan guna memenuhi kebutuhan penduduk di

bidang kesehatan. Untuk mengetahui sarana-sarana apa saja yang terdapat di

kelurahn ini dapat dilihat pada table dibawah.

Berdasarkan Data pada table 9 dapat dilihat bahwa poliklinik/balai

kesehatan tersedia hanya 1 unit, apotik 1 unit, posyandu tersedia 12 unit, dan

tempat Dokter praktek tersedia 3 unit. Data menunjukkan bahwa sarana kesehatan

(55)

di 12 lingkungan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sarana kesehatan di

kelurahan ini cukup memadai

Tabel 9

Sarana Kesehatan

Sarana Kesehatan Jumlah Unit

Poliklinik/Balai Pengobatan 1 Unit

Apotik 1 Unit

Posyandu 12 Unit

Tempat Dokter Praktek 3 Unit

Jumlah 17 Unit

Sumber: Kantor Kelurahan Sei Mati, Agustus 2007

IV.12. Sarana Olahraga

Di kelurahan Sei mati juga memiliki beberapa sarana olahraga yang terdiri

dari lapangan sepak bola sebanyak 1 buah, lapangan bulu tangkis 2 buah, dan

lapangan voli 1 buah. Kondisi fasilitas dan sarana olahraga tersebut masih dalam

keadaan yang cukup baik dan sampai sekarang fasilitas tersebut masih digunakan

oleh para pemuda-pemudi dan juga orangtua di kelurahan tersebut.

Tabel 10

Sarana Olahraga

Sarana Olahraga Jumlah

Lapangan Sepak bola 1 buah

Lapangan Bulu tangkis 2 buah

Lapangan Voli 1 buah

Jumlah 4 buah

Sumber: Kantor kelurahan Sei Mati, Agustus 2007

IV.13. Sarana Peribadatan

Di kelurahan Sei mati hanya terdapat beberapa tempat peribadatan bagi

agama tertentu, diantaranya adalah rumah peribadatan umat Islam dan umat

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku
Tabel 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran tindakan pencemaran sungai dan hubungan higiene pengguna air Sungai Deli dengan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui makna dan perilaku terhadap sampah bagi masyarakat di bantaran

Tingkat messo memberikan penjelasan bahwa anak turun ke jalanan dilatar belakangi oleh faktor masyarakat (lingkungan sosial), sebagai contoh: Pada. masyarakat miskin,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi Adaptasi Masyarakat dalam mengahadapi bencana banjir pada masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Kota Medan Kelurahan

Pada pukul 09.45 WIB saya pergi ke tempat tinggal masyarakat Melayu, saya melihat bahwa masyarakat Melayu Deli memliki sifat yang lemah lembut ketika

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi Adaptasi Masyarakat dalam mengahadapi bencana banjir pada masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Kota Medan Kelurahan

Maka, dapat dijelaskan bahwa dalam mengendalikan banjir memerlukan aksi atau tindakan sosial dari tiap individu di dalam masyarakat di Sekitar Sungai Deli untuk menjaga

Deli dalam membantu masyarakat yang terkena banjir seperti memberikan. bantuan makanan berupa mie instan, beras,nasi bungkus, tumpangan