REAKSI SOSIAL
TERHADAP
NORMALISASI SUNGAI DELI
( Studi Kasus di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun
)
SKRIPSI
Diajukan guna memenuhi salah satu syarat
Untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
030902056
Erlangga. W.P
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa atas berkat, rahmat dan pengetahuan yang diberikan-Nya sehingga
penulisan skripsi ini dapat diselesaikan sebagaimana diharapkan.
Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan guna memenuhi salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah ini memiliki
kekurangan dan masih sangat jauh dari sempurna. Dengan menyadari kekurangan
dalam skripsi ini, penulis dengan senang hati mengharapkan kritik dan saran dari
berbagai pihak guna penyempurnaan karya ilmiah ini dimasa mendatang.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua
pihak yang telah memberikan dorongan, semangat, dan bahan-bahan pemikiran
sehingga skripsi ini dapat terwujud, dan secara khusus penulis ucapkan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu
Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara
3. Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
banyak memberikan sumbangan pemikiran, bimbingan dan arahan yang
4. Kakanda Husni Tamrin, S.Sos, M.Sp yang telah memberikan sumbangan
pemikiran bagi penulis
5. Mbak Diah Susilowati, SH selaku pimpinan Kontras Sumatera Utara,
Kakanda Herdenci Adnin, S.Sos, Kakanda Rizal, dan staf-staf Kontras
lainnya yang telah banyak memberikan sumbangan pemikiran dan
bimbingan yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini
6. Bapak Drs. Ahmaddin selaku kepala kelurahan Sei Mati yang telah
memberikan izin bagi penulis untuk melakukan penelitian di kelurahan Sei
Mati
7. Teristimewa untuk kedua orang tua saya bapak P.Pane dan Ibu H.E. Sirait
yang telah membesarkan, mendidik, memberikan semangat dan doa yang
begitu besar bagi penulis, yang jasa-jasa mereka tidak akan pernah
terlupakan.
8. Teristimewa juga bagi seluruh keluarga saya, khususnya abang-abang dan
kakak-kakak saya yang selama ini telah banyak memberikan dukungan
semangat, doa, dan materi hingga teselesaikannya skripsi ini.
9. Teristimewa buat kawan-kawan saya yang selalu setia menemani dan
memberikan sumbangan pemikiran antara lain: Bang Yon, Edu, Nando,
Roy, Riski, Popoy, Bobi, Randi, Erik, Dika, Fajar, Anggiat, Aidil, Peno,
Agung, Jujur, dan adinda Meixi yang menjadi inspirasi bagi penulis dalam
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih semoga skripsi ini
bermanfaat bagi kita semua.
Medan, November 2007
Universitas Sumatera Utara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial
ABSTRAK
REAKSI SOSIAL TERHADAP NORMALISASI SUNGAI DELI (Studi Kasus di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun)
Oleh: ERLANGGA. W.P NIM: 030902056
Skripsi ini berjudul “Reaksi Sosial Terhadap Normalisasi Sungai Deli” (Studi Kasus di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun). Skripsi ini terdiri atas enam BAB dengan jumlah halaman sebanyak 78 halaman. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Reaksi Sosial Terhadap Normalisasi Sungai Deli. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana reaksi sosial dan persepsi masyarakat terhadap normalisasi sungai Deli.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan studi kasus yakni untuk menggambarkan keadaan mengenai fakta tentang reaksi sosial terhadap normalisasi sungai Deli. Penelitian ini dilakukan di kelurahan Sei Mati, kecamatan Medan Maimun. Sementara itu, dalam pengambilan sampel, penulis menggunakan teknik proporsional sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 100 kepala keluarga. Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang terdiri dari observasi dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ………VIII.
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang………...1
I.2. Perumusan Masalah………...9
I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….9
I.4 Sistematika Penulisan………...11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Aksi Komunitas (Masyarakat)………12
II.2 Gerakan Sosial……….20
II.3. Kerangka Aksi Kolektif………..21
II.4. Normalisasi Sungai………23
II.5. Perubahan Lingkungan Sosial Budaya………..24
II.6. Kerangka Pemikiran………..26
II.7. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional………29
BAB III METODE PENELITIAN III.1. Tipe Penelitian………..31
III.2. Lokasi Penelitian………...31
III.3. Populasi dan Sampel……….31
III.4. Teknik Pengumpulan Data………33
III.5. Teknik Analisis Data………34
IV.2. Sejarah Singkat Sungai Deli………36
IV.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jumlah Penduduk Pada Masing-Masing Lingkungan………..37
IV.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin……….38
IV.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan kelompok Umur………..38
IV.6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku………39
IV.7. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama………40
IV.8. Komposisi Penduduk BerdasarkanTingkat Pendidikan……….41
IV.9. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian………...41
IV.10. Sarana Pendidikan………..42
IV.11. Sarana Kesehatan………...43
IV.12. Sarana Olahraga……….44
BAB VI KESIMPULAN dan SARAN VI.1. Kesimpulan………...76
VI.2. Saran………78
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Kerangka Pemikiran………28 Bagan 2 Bagan Struktur Organisasi Pemerintah
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Komposisi Penduduk Berdasarkan jumlah Penduduk
Pada Masing-Masing Lingkungan……….37
Tabel 2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin……….38
Tabel 3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur………38
Tabel 4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku………...39
Tabel 5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama………..40
Tabel 6 Komposisi penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan………..41
Tabel 7 Komposisi Penduduk Berdasarkan mata Pencaharian……….42
Tabel 8 Sarana Pendidikan………43
Table 9 Sarana Kesehatan………..44
Tabel 10 Sarana Olahraga………44
Table 11 Sarana Peribadatan………45
Tabel 12 Prasarana Air………45
Tabel 13 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin………...49
Tabel 14 Distribusi Responden Berdasarkan Umur………50
Table 15 Distribusi Responden Berdasarkan Agama……….50
Tabel 16 Distribusi Responden Berdasarkan Suku……….51
Table 17 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan………52
Tabel 18 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Bermukim………..52
Tabel 19 Distribusi Responden Berdasarkan Mata Pencaharian……….53
Tabel 20 Tahu Tidaknya Responden Tentang Suatu Gerakan Masyarakat Yang Menentang Normalisasi Sungai Deli………...56
Tabel 21 Tanggapan Responden Tentang Dukungan Terhadap Aksi Gerakan Masyarakat………57
Tabel 22 Tahu Tidaknya Responden Mengenai Kenapa Kelompok Aksi Terbentuk……….58
Table 23 Pernah Tidaknya Responden Mengikuti Aksi………..59
Tabel 24 Frekuensi Keterlibatan Responden Dalam Mengikuti Aksi………….61
Tabel 26 Frekuensi Keterlibatan Responden Dalam Mengikuti
Pertemuan di Kelurahan Sei Mati………65 Tabel 27 Antusias Responden Dalam Mengikuti Perkembangan
Kasus Sungai Deli………66 Table 28 Tanggapan Responden Terhadap Normalisasi Sungai Deli………….67 Tabel 29 Alasan ketidaksetujuan Responden Terhadap
Normalisasi Sungai Deli………...69 Table 30 Tanggapan Responden Terhadap Kondisi dan Bentuk Sungai Deli
Dikembalikan Seperti Keadaan Semula………70 Tabel 31 Frekuensi Banjir Sebelum Adanya Normalisasi Sungai Deli
Yang Terjadi Dalam Setahun………...72 Tabel 32 Frekuensi Banjir Sesudah Adanya Normalisasi Sungai Deli
Yang Terjadi Dalam Setahun………72 Tabel 33 Ada Tidaknya Harta Benda/Kekayaan yang Dibebaskan
Universitas Sumatera Utara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial
ABSTRAK
REAKSI SOSIAL TERHADAP NORMALISASI SUNGAI DELI (Studi Kasus di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun)
Oleh: ERLANGGA. W.P NIM: 030902056
Skripsi ini berjudul “Reaksi Sosial Terhadap Normalisasi Sungai Deli” (Studi Kasus di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun). Skripsi ini terdiri atas enam BAB dengan jumlah halaman sebanyak 78 halaman. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Reaksi Sosial Terhadap Normalisasi Sungai Deli. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana reaksi sosial dan persepsi masyarakat terhadap normalisasi sungai Deli.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan studi kasus yakni untuk menggambarkan keadaan mengenai fakta tentang reaksi sosial terhadap normalisasi sungai Deli. Penelitian ini dilakukan di kelurahan Sei Mati, kecamatan Medan Maimun. Sementara itu, dalam pengambilan sampel, penulis menggunakan teknik proporsional sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 100 kepala keluarga. Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang terdiri dari observasi dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan merupakan usaha pemerintah dan segenap lapisan
masyarakat kita yang ditujukan guna mencapai kesejahteraan bagi masyarakat,
bangsa dan negara. Pembangunan menghasilkan manfaat di segala bidang
kehidupan, terutama pada bidang perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang
diharapkan hanya dapat dicapai melalui pelaksanaan pembangunan di segala
bidang.
Disamping membuahkan manfaat, pembangunan akan menyebabkan
timbulnya perubahan terhadap lingkungan. Karena pada hakekatnya
pembangunan adalah merupakan perombakan atau perubahan ke arah yang
dicita-citakan. Tanpa pembangunan kesejahteraan tak mungkin dapat dicapai dan
lingkungan hidup yang baik dan sehatpun tak mungkin dapat kita wujudkan.
Untuk dapat mencapai kesejahteraan dan lingkungan hidup yang baik dan sehat,
pembangunan mutlak harus dilakukan.
Pelaksanaan pembangunan sebagai kegiatan yang makin meningkat
mengandung resiko pencemaran dan perusakan lingkungan, sehingga struktur dan
fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat pula rusak
karenanya. Hal semacam itu akan merupakan beban social, karena pada akhirnya
masyarakat dan pemerintahlah yang menanggung beban pemulihannya.
Terpeliharanya ekosistem yang baik dan sehat merupakan tanggung jawab
dukung lingkungan. Oleh karena itu pembangunan yang bijaksana harus dilandasi
wawasan lingkungan sebagai sarana untuk mencapai kesinambungan dan menjadi
jaminan bagi kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang.
Di Indonesia pendekatan pembangunan masyarakat telah mulai dirasakan
perlunya diterapkan. Hal ini disebabkan karena makin banyaknya gejolak-gejolak
social akibat adanya aktivitas pembangunan. Aktivitas pembangunan yang
dimaksud pada umumnya telah dilengkapi dengan studi AMDAL termasuk aspek
sosialnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembangunan
yang telah di AMDAL belum tentu bisa diandalkan. Salah satu sebabnya adalah
kurang cermatnya studi social yang dilakukan, sehingga studi tersebut tidak
mampu memprediksi dan mengakomodasi aspirasi dan kepentingan masyarakt
local. Akibatnya tidak ada rekomendasi untuk antisipasi penanganan dampak.
Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan dalam menstudi proyek-proyek
tersebut lebih mengandalkan pendekatan teknis.
Salah satu contoh reaksi sosial social yang muncul dimana reaksi social ini
juga merupakan masalah yang akan diteliti penulis adalah kasus normalisasi
sungai deli. Normalisasi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah penimbunan,
penembokan, dan rencana pelurusan sungai Deli yang dilakukan oleh para
developer dengan tujuan untuk mengendalikan banjir.
Normalisasi merupakan pendekatan yang keliru dan tidak ramah
lingkungan. Penghilangan batuan dan tumbuhan dari daerah aliran sungai dengan
membangun dinding beton serta melakukan penimbunan, justru akan
menghilangkan fungsi kontrol aliran oleh biota dan materil di dalamnya. Selain itu
DR. Alvi Syahrin SH MS, pembentukan sungai merupakan suatu kejadian alam
yang berlangsung sangat lama. Tentunya alam atau ekosistem yang terkandung di
dalamnya akan rusak total jika diperbaharui tanpa kehati-hatian yang cermat. Di
dasar dan bibir sungai terdapat rongga-rongga tanah yang berisi air dan kehidupan
mikroorganisme, jika ditutup maka air tanah yang mengalir di dalam akan
mencari tempat yang paling terendah dan hal itu akan mempengaruhi keberadaan
rongga, sebab rongga akan menyebabkan amblasnya tanah penutup di atasnya
apabila terjadi gesekan atau pergerakan tanah. Hal ini bisa berakibat fatal bagi
kehidupan manusia diatasnya (Sumut Pos, 9 Desember 2006 hal 17)
Memang normalisasi sungai telah dilakukan dimasa lalu di dunia seperti di
negara-negara seperti Amerika Serikat, jerman, dan Belanda, Jepang dan lain-lain,
namun belakangan diketahui dampak negatif perubahan itu terhadap ekologi
sangat besar dan konsep itu pun kini sudah ditinggalkan dan tidak dilaksanakan
lagi.
Sementara itu berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari Kontras
Sumut, bahwa kronologis kasus Sungai Deli berawal sejak tahun 1990-an dimana
seorang pengusaha perbengkelan bernama Wijaya Kusuma mulai
mengembangkan usahanya secara bertahap dengan membeli tanah warga,
sehingga tanah yang dibelipun semakin bertambah luas. Akhirnya pada tahun
1999 terjadilah penembokan kawasan lingkungan penduduk. Akibatnya warga
yang belum menjual tanah dan rumahnya menjadi terisolir, karena dikelilingi
tembok.
Pada tahun 2000 terjadi konflik antara masyarakat dengan pengembang.
menimpa rumah penduduk. Selain rumah warga hancur, insiden ini
mengakibatkan 2 orang luka serius dan satu orang kritis. Warga pun kemudian
mengadukan masalah ini ke anggota DPRD Medan, dimana setelah
masing-masing pihak dipertemukan maka tercapai dua kesepakatan antara lain: Pertama,
tembok yang telah dibangun pengembang setinggi 4,5 meter harus dipotong
menjadi 3 meter. Kedua, pengembang diwajibkan membangun riol pembuangan
air di lingkungan rumah warga yang terkena penembokan . Akan tetapi pada
kenyataannya kesepakatan itu tidak pernah dilaksanakan oleh pihak pengembang
dan juga tidak ada tindakan dari DPRD dan PEMKO Medan untuk menyikapi
masalah tersebut.
Tahun 2003, pengembang mulai melakukan penimbunan dan membuat
satu jembatan lintas berbentuk terowongan, sehingga akibatnya warga pun merasa
tidak nyaman. Pada saat tejadi hujan banjir sering melanda pemukiman warga dan
bila cuaca panas abu sering berterbangan.
Pertengahan tahun 2003, warga kembali menggelar unjuk rasa ke DPRD
Medan. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh anggota dewan, Dinas PU kota
Medan, warga, dan pengacara pengembang diperoleh dua kesepakatan: Pertama,
tembok harus dirobohkan karena tidak memiliki izin. Kedua, timbunan tanah
harus diratakan kembali seperti keadaan yang semula. Namun lagi-lagi
kesepakatan ini juga tidak dijalankan.
Kemudian Pada bulan Maret 2005, terjadi perselisihan antara warga gang
Pelita II dengan pengembang akibat penimbunan jalan menuju masjid Ar Rahman.
dibangun warga untuk mengamankan jalan menuju mesjid dirusak oleh pihak
yang tidak bertanggung jawab.
Selanjutnya pada tahun 2006, pengembang memindahkan alur sungai
batuan yang bermuara ke sungai deli. Pemindahan alur sungai batuan ini
mengakibatkan ribuan warga di gang Alfajar, gang Bidan, dan gang Merdeka
selalu mengalami kebanjiran. Rumah warga banyak yang retak dan amblas karena
terhantam oleh arus sungai. Akibat penimbunan itu, kondisi ketiga gang layaknya
seperti kuali. Jika sungai deli dan sungai batuan meluap, warga akan mengalami
kebanjiran. Demikian juga nasib yang sama dialami oleh warga di gang satria dan
gang perwira. Banyak warga yang telah 40-50 tahun menempati tanah di gang itu
tergusur tanpa pemberian ganti rugi yang sepantasnya. Pasalnya, di tanah yang
ditinggali puluhan tahun dan PBBnya yang selalu dibayar dinyatakan tinggal
diatas tanah orang lain. Tanah itu sendiri telah dijual oleh yang mengaku sebagai
pemilik tanah kepada pengembang.
Sementara itu, disisi lain PT Kastil Kencana yang juga ikut melakukan
proyek pelurusan sungai deli akan tetap menjalankan proyek tersebut yang
nantinya pelurusan itu akan dilakukan sepanjang 500 meter. Pihak developer
menyatakan bahwa proyek pelurusan ini adalah bertujuan untuk mengendalikan
banjir. Target pelurusan adalah kelokan yang menjorok ke area bandara polonia
yang semulanya ada beberapa kelokan dengan panjang total sekitar 1.300 meter
dan pada akhirnya yang akan diluruskan hanya sekitar 450 meter.
KontraS SUMUT mengkaji bahwa dibalik proyek pelurusan sungai, PT
Kastil kencana menggerakkan kepentingan bisnis. Mereka akan membangun
akan meraup keuntungan yang besar di balik proyek pelurusan sungai ini, karena
kepentingan bisnis akan dibangun terkait rencana masa depan seiring lahan eks
bandara polonia akan dijadikan central bisnis distric jika bandara sudah
dipindahkan ke bandara kuala namu, Deli Serdang.
Dengan proyek pelurusan sungai, PT Kastil Kencana menjadikan kawasan
normalisasi sungai menjadi tempat yang elit dan bernilai tinggi. Tentunya jika
rencana pembangunan perumahan akan diwujudkan dengan harga jual yang
berkali-kali lipat. Bahkan untuk mewujudkan rencana proyek perumahan, PT
Kastil Kencana banyak membebaskan tanah warga.
Selain itu dengan adanya proyek ini warga pinggiran Sungai Deli juga
resah akibat ulah para makelar tanah terkait dengan pihak developer yaitu PT
Kastil Kencana yang melakukan pelurusan Sungai Deli. Selain persoalan harga
yang tak logis, para calo tersebut meresahkan karena sering membawa-bawa nama
PEMKO Medan dalam negosiasi dengan warga, sehingga ketika warga mematok
harga yang sesuai dengan pasaran, agar bisa membeli rumah lagi di daerah
pinggiran, banyak yang takut akibat intimidasi secara halus oleh para calo dan
Kepling setempat.
Disamping itu, berdasarkan catatan Kontras Sumatera Utara menunjukkan
bahwa pada periode Januari 2004-November 2006 frekuensi banjir di daerah
kelurahan Sei Mati meningkat, dari 2-4 kali dalam setahun menjadi 5-6 kali dalam
sebulan. Bagi masyarakat, normalisasi Sungai Deli bukanlah merupakan sebuah
solusi penyelesaian krisis banjir, tetapi justru memunculkan krisis baru, sebab
umum, terhambatnya aktivitas ekonomi dan berkurangnya penghasilan adalah
persoalan baru yang muncul akibat pelurusan sungai deli.
Disisi lain, Agus yang menjabat sebagai carateker Serikat Pengacara
Indonesia (SPI) SUMUT mengatakan bahwa, normalisasi juga dapat mengganggu
aktivitas social masyarakat yang bertempat tinggal di pinggiran daerah aliran
sungai tersebut. Sungai Deli digunakan multi fungsi oleh sebahagian masyarakat
mulai dari mencuci, kakus, hingga untuk mandi. Persoalan hukum juga
diperkirakan akan mencuat, sehubungan dengan pembebasan lahan yang terkena
pelurusan tersebut (Sumut Pos, 25 Juli 2006 hal18).
Dari data dan informasi yang diperoleh serta penjelasan yang telah
diuraikan dalam latar belakang masalah diatas, maka penulis memilih Kelurahan
Sei mati sebagai lokasi penelitian dan tertarik untuk melakukan penelitian di
kelurahan tersebut, dikarenakan penulis pernah meninjau lokasi bersama dengan
beberapa aktivis Kontras, para wartawan media cetak dan Wakil Kepala Dinas
Pengairan untuk mengamati langsung aktivitas dan kegiatan yang dilakukan oleh
para developer dalam melakukan proyek pembangunan di sekitar bantaran Sungai
deli serta meninjau lokasi penimbunan, penembokan serta lokasi rencana
pelurusan Sungai deli. Setelah mempertimbangkan, mempelajari dan meminta
petunjuk dari salah seorang aktivis Kontras, maka oleh karena itu penulis
memutuskan untuk memilih Kelurahan Sei mati Kecamatan Medan Maimun
sebagai lokasi penelitian.
Selanjutnya, setelah mempelajari kasus sungai deli dengan berbagai
pertimbangan dan masukan-masukan yang bermanfaat, maka penulis memilih
Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimun) sehingga ingin meneliti kasus itu
dan menyusun skripsi tentang kasus tersebut.
Adapun yang menjadi dasar ketertarikan penulis untuk meneliti kasus ini
adalah dikarenakan penulis pernah membaca di surat kabar SUMUT Pos tanggal
01 Oktober 2006 halaman 9 yang memuat berita tentang kasus normalisasi sungai
deli dan penulis mempelajari kasus ini sambil berdiskusi dengan salah seorang
aktivis Kontras, dimana kasus ini juga sedang ditangani oleh Perkumpulan
Kontras Sumatera Utara, sehingga atas dukungan bimbingan dan petunjuk mereka
maka penulis tertarik untuk meneliti kasus ini. Selain itu yang juga mendasari
ketertarikan penulis untuk meneliti kasus ini adalah belum ada penelitian
sebelumnya yang meneliti tentang kasus ini. Disamping itu, penulis juga selalu
mengikuti perkembangan seputar kasus ini sampai kepada advokasi dan
upaya-upaya hukum yang dilakukan oleh aktivis KontraS Sumatera Utara terhadap
masyarakat yang menjadi korban akibat dari normalisasi sungai deli yang
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka yang menjadi perumusan
masalah yang dapat dirumuskan adalah, “Bagaimanakah Reaksi Sosial
Terhadap Normalisasi Sungai Deli ?”.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana reaksi social dari masyarakat Kelurahan Sei
Mati terhadap normalisasi sungai deli
2. Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap normalisasi sungai Deli
1.3.2. Manfaat
Adapun yang menjadi manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur yang
selanjutnya bisa memperkaya wacana mengenai Reaksi social terhadap
normalisasi sungai
2. Secara akademis, dapat memberikan kontribusi positif terhadap khasanah
keilmuan bagi Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial
3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar penelitian selanjutnya,
khususnya untuk penelitian tentang normalisasi sungai
4. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan
khususnya proyek pembangunan yang berada di kawasan lingkungan
1.4. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
BAB ini berisikan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian serta Sistematika Penulisan
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
BAB ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan
masalah dan objek yang akan diteliti
BAB III : METODE PENELITIAN
BAB ini berisikan Tipe Penelitian, Lokasi Penelitian, Populasi dan
Sampel, Teknik Pengumpulan Data serta Teknik Analisis Data
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
BAB ini berisikan Gambaran Umum mengenai lokasi dimana peneliti
melakukan penelitian
BAB V : ANALISIS DATA
BAB ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dalam
penelitian beserta analisisnya
BAB VI : PENUTUP
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Aksi Komunitas (Masyarakat)
Menurut Glen (dalam Adi 2003: 105) ada beberapa ciri khas dari aksi
komunitas, yaitu:
1. Tujuan Aksi Komunitas Terkait Dengan Penggalangan Kekuatan
Pada Isu-Isu Yang Konkrit
Glen menyatakan bahwa aksi komunitas biasanya terkait dengan suatu isu
khusus yang dirasa merisaukan oleh suatu komunitas. Isu tersebut mungkin
merupakan isu yang khusus bagi sekelompok orang yang berada di wilayah
tertentu, atau mungkin merupakan isu yang dirasakan oleh masyarakat secara
umum. Kesamaan pengalaman terhadap hal yang dianggap tidak menyenangkan
tersebut dapat menjadi tenaga penggerak untuk mengorganisir kekuatan yang akan
memunculkan kekuatan solidaritas kolektif. Solidaritas kolektif ini merupakan
tenaga penggerak yang utama untuk munculnya suatu gerakan komunitas. Tanpa
adanya solidaritas kolektif sebagai energi utama dari gerakan ini, aksi-aksi yang
akan dilakukan akan menjadi lemah dan tidak mempunyai cukup kekuatan untuk
mempengaruhi para pembuat kebijakan. Ketika masyarakat (komunitas) ingin
menggoyang suatu sistem yang sudah mapan, mereka sangat membutuhkan
2. Melakukan Pendekatan yang Menggunakan Strategi dan Teknik yang
Bersifat Konflik
Glen mengemukakan bahwa kelompok aksi komunitas seringkali
mengorganisir diri melalui struktur organisasi yang sederhana agar mereka dapat
mengambil keputusan dengan cepat. Mereka menggunakan strategi yang bersifat
konflik guna memperoleh dan mempertahankan kekuasaan sebagai sumber energi
mereka. Mereka memandang kelompok sasaran mereka sebagai musuh.
Penseleksian taktik sangat teragntung dengan peran kelompok sasaran dan posisi
nilai kelompok sasaran.
(a) Mereka akan menggunakan taktik bekerjasama seperti presentasi makalah,
memberikan penjelasan, dan sebagainya, bila kelompok sasaran mereka
pandang sebagai kelompok yang mempunyai wewenang untuk membuat
kebijakan dan mengalokasikan sumber daya, serta mereka menduga bahwa
kelompok sasaran tersebut akan mau bekerjasama sesuai dengan norma
yang dimiliki oleh kelompok mereka.
(b) Mereka menggunakan taktik kampanye, seperti membuat petisi, penulisan
surat terbuka untuk umum, atau pun pawai, ataupun taktik yang bersifat
memaksa seperti terlibat dalam konfrontasi langsung dengan kelompok
sasaran, bila kelompok sasaran mereka pandang sebagai kelompok yang
mempunyai kapasitas untuk membuat suatu keputusan ataupun kebijakan
tetapi tidak responsive (kurang mau menanggapi) tuntutan mereka,
3. Community Worker Ataupun Organizer dari Gerakan Ini Biasanya
Seorang Aktifis Profesional (Bukan tenaga Sukarela)
Seorang aktivis yang berasal dari luar komunitas pada dasarnya adalah
seseorang yang mempunyai pengalaman professional yang terkait dan mempunyai
perhatian dengan isu yang akan dibahas dalam aksi kelompok. Tugas-tugas dasar
dari seorang aktifis biasanya meliputi aspek pengorganisasian pergerakan,
mobilisasi dan agitasi. Dilema yang dihadapi komunitas denagn menggunakan
tenaga aktifis atau organizer dari luar adalah adanya kemungkinan bahwa seorang
aktifis tersebut adalah seorang yang secara politis jauh lebih canggih dari
komunitas yang sedang diorganisir. Bila hal ini terjadi maka organizer harus mau
meluangkan waktu untuk memberikan informasi, mendidik dan mempersuasi
(membujuk) masyarakat untuk mau terlibat dalam gerakan yang akan dilakukan.
Sementara itu Flood (dalam Adi 2003: 134) mengemukakan bahwa ada 12
bentuk-bentuk aksi komunitas antara lain adalah sebagai berikut:
1.Pemboikotan
Dalam kegiatan ini para partisipan perubahan didorong untuk tidak
menggunakan produk ataupun jasa yang dikeluarkan oleh kelompok sasaran.
Pemboikotan sangat bermakna dalam kaitan dengan peningkatan kesadaran
masyarakat akan hal yang sedang diperjuangkan oleh agen perubahan. Tetapi
pemboikotan akan dapat lebih efektif bila produk ataupun jasa yang lain yang
dapat dijangkau massa sebagai pengganti produk dan jasa ayng dikeluarkan oleh
kelompok sasaran. Sebaliknya, bila suatu produk dan jasa yang utama hanya
yang dilakukan agen perubahan seringkali kurang mendapat tanggapan yang
positif dari massa.
2. Grafiti
Merupakan aksi corat-coret pada tempat tertentu guna menarik perhatian
massa. Flood (dalam Adi 1994: 34) melihat bahwa salah satu bentuk grafiti yang
baik dan dapat menarik minat masyarakat adalah grafiti yang bersifat sederhana
dan kocak dalam menyerang hal yang mereka protes, serta ditempatkan di tempat
yang mudah dilihat masyarakat. Akan tetapi, grafiti yang dilakukan pada
gedung-gedung, tempat-tempat bersejarah ataupun rumah pribadi justru akan dapat
menimbulkan antipati masyarakat terhadap gerakan yang sedang mereka jalankan.
3. Pengalihan
Flood (dalam Adi 1994: 34) menyatakan bahwa di era 1990-an ini
semakin banyak kelompok penekan yang semakin terampil dalam
mengembangkan strategi yang tidak bersifat kekerasan, yang pada akhirnya dapat
meningkatkan penghormatan dan dukungan dari berbagai pihak terhadap gerakan
yang dilakukan.
4. Teater Jalanan
Flood melihat bahwa teater jalanan dapat dimanfatkan untuk
menyampaikan, mengalihkan ataupun memprovokasi massa mengenai suatu isu
tertentu. Teater jalanan biasanya dilaksanakan di tempat umum dan tanpa
dipungut bayaran, guna menarik minat dan pemirsa yang lebih besar. Teater
jalanan yang menarik dan simpatik biasanya lebih dapat menarik emosi
masyarakat dibandingkan dengan teater jalanan yang lebih menonjolkan pada
beberapa aktivis partai tertentu juga memfasilitasi kelompok buruh untuk
mngembangkan teater jalanan dalam upaya mengubah persepsi masyarakat dan
mempengaruhi pandangan kelompok elit perusahaan.
5. Blokade dan Memacetkan Jalanan
Flood menyatakan bahwa memacetkan, memperlambat bahkan
menghentikan arus lalu lintas untuk sementara waktu dapat pula dimanfaatkan
untuk menyampaikan suatu isu tertentu. Flood melihat bahwa pemblokadean
suatu tempat tertentu dalam jangka waktu yang pendek mungkin belum
merupakan suatu masalah yang serius dan dapat dianggap sebagai pengungkapan
perasaan partisipan terhadap situasi dan kondisi yang ada. Tetapi pemblokadean
dalam waktu yang relatif lama, cenderung untuk diinterpretasikan sebagai
pelanggaran hukum sehingga posisi partisipan akan menjadi lebih lemah dari
sebelumnya.
6. Pengambil-alihan dan Pendudukan
Flood memberikan gambaran bahwa ada kelompok-kelompok tertentu
yang berhasil mengambil alih alih tanah dan bangunan yang tidak digunakan dan
memanfaatkannya menjadi taman dan bengkel kerja.pengambil-alihan ini
tentunya tidak dilakukan secara semena-mena, tetapi melalui proses meyakinkan
pihak yng berkompeten yang terkait dengan tanah dan bangunan yang dimaksud.
Untuk mendapatkan lampu hijau dari otoritas local, aktivis harus dapat
meyakinkan bahwa proposal yang mereka ajukan akan dapat memberikan manfaat
bagi masyarakat, bila dibandingkan tanah dan bangunan tersebut diterlantarkan
tidak terpakai. Meskipun demikian, kadangkala pemilik tanah merasa keberatan
negara industri, para aktivis biasanya mendemonstrasikan manfaat tempat tersebut
pada hari-hari libur untuk menggerakkan hati si pemilik tanah.
7. Pemanfaatan Gedung Kosong
Menurut Flood, pemanfaatan gedung ataupun gudang yang sudah tidak
digunakan lagi merupakan hal yang berbeda dengan pencaplokan suatu gedung
atau gudang. Perbedaan yang mendasar adalah pada tujuannya. Pencaplokan suatu
gedung pada intinya adalah pengambil-alihan suatu gedung olah perorangan
ataupun kelompok untuk tempat tinggal mereka. Sedangkan pemanfaatan gedung
lebih mengarah pada pengambil-alihan fungsi gedung yang pada umumnya akan
dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat.
8. Prosesi dan Protes Keliling
Pada beberapa negara yang relatif maju seperti Australia, Inggris dan
Amerika, prosesi dan protes keliling di sepanjang jalan raya pada umumnya
bukanlah sesuatu hal yang bukan melanggar hukum. Hal tersebut lebih dilihat
sebagai bagian dari upaya warga masyarakat untuk menyatakan ketidakpuasannya
terhadap suatu isu tertentu. Meskipun hal tersebut bukanlah hal yang melanggar
hukum, tetapi pelaksana arak-arakan tersebut haruslah memberitahukan secara
tertulis pada pihak pemerintah daerah dan polisi mengenai rute, waktu dan tanggal
arak-arakan tersebut akan dilaksanakan. Bagi masyarakat di negara industri,
prosesi dan arak-arakan sudah menjadi bagian dari kehidupan demokrasi mereka.
Tetapi bagi beberapa negara di Asia tindakan ini seringkali ditafsirkan sebagai
9. Barisan Penghalang
Barisan penghalang biasanya merupakan bagian dari proses boikot dengan
cara membentuk barisan yang menghalangi orang-orang untuk mengakses produk
atau layanan dari kelompok sasaran. Di Australia, Flood (dalam Adi 1994: 34)
menyatakan bahwa barisan penghalang ini merupakan salah satu taktik yang
cukup efektif dalam pergerakan kaum buruh. Pembentukan barisan penghalang
dalam perselisahan perburuhan biasanya dilakukan dengan membujuk pekerja
untuk tidak bekerja dan membentuk barisan penghalang pada hari dan waktu yang
sudah disepakati. Sehingga pada hari yang sudah disepakati tersebut, tidak ada
pekerja yang dapat masuk ke dalam pabrik kantor karena terhalang oleh barisan
pekerja yang memagari pabrik dan kantor tempat bekerja mereka.
10. Pertemuan Terbuka
Pertemuan umum di tempat terbuka merupakan salah satu taktik yang
biasa digunakan para aktivis untuk menyebarkan informasi, menarik simpati
masyarakat dan memantapkan identitas mereka sebagai suatu kelompok.
11. Aksi Mogok Duduk
Menurut Flood, di Australia, taktik ini seringkali dilaksanakan
dikantor-kantor departemen, pemerintah daerah, perusahaan, agen perumahan, ataupun
kantor administrasi universitas guna memprotes kebijakan yang mereka terapkan.
Aksi mogok duduk di kantor-kantor pemerintahan ini seringkali didefenisikan
sebagai tindakan yang illegal, dan biasanya mengundang respon dari pihak
kepolisian. Oleh karena itu para pemrotes harus memilih tempat untuk melakukan
aksi mogok duduk secara bijak agar tujuan penyampaian pesan dan tanggapan
harus menjaga diri agar tidak melakukan nal yang destruktif, seperti vandalisme
(mencoret-coret dinding) yang biasanya dapat memunculkan rasa tidak simpati
pada pemrotes tersebut. Di Indonesia, untuk menarik perhatian dan simpati yang
lebih besar, aksi mogok duduk ini tidak jarang dikombinasikan juga dengan aksi
mogok makan dan mogok bicara.
12. Aksi Simbolis
Menurut Flood (dalam Adi 1994: 38) aksi simbolis ini sangat beragam.
Misalnya saja, aksi ini dapat berbentuk pengembalian atau penolakan suatu
penghargaan sebagai pernyataan protes. Hal ini dilakukan antara lain guna
mendapat liputan media, sehingga panitia pemberi penghargaan tesebut dapat
menyadari hal apa yang diprotes oleh aktivis tersebut.
Bila dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Flood maka akan terlihat
keragaman dari aksi komunitas yang dilakukan oleh berbagai aktivis di beberapa
negara. Protes yang dilakukan kelompok masyarakat tersebut dapat dimunculkan
dalam tindakan yang halus atau bahkan sampai ketingkat yang amat brutal dan
destruktif, yang pada negara-negara tertentu sering didefenisikan sebagai tindakan
makar. Untuk kondisi Indonesia, bentuk aksi komunitas yang paling mungkin
dilakukan pada satu era tentunya berbeda dengan era yang lain. Karena pilihan
aksi komunitas yang akan dilakukan sangat terkait dengan toleransi pemerintah
dan pihak keamanan terhadap suatu bentuk protes yang dapat diambil pada saat
itu.
II.2. Gerakan Sosial
Menurut Tarrow (dalam klandermans 1997: 3) yang mendasarkan diri
pada tulisan Charles Tilly bahwa gerakan social adalah tantangan kolektif yang
diajukan sejumlah orang yang memiliki tujuan dan solidaritas yang sama, dalam
konteks interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elite, lawan dan penguasa.
Tarrow melakukan elaborasi terhadap defenisi tersebut dengan menekankan
bahwa gerakan-gerakan tersebut (a) menyusun aksi mengacau, (disruptive)
melawan kelompok elite, penguasa, kelompok-kelompok lain, dan aturan-aturan
budaya tertentu, (b) dilakukan atas nama tuntutan yang sama terhadap lawan,
penguasa dan kelompok elite, (c) berakar pada rasa solidaritas atau identitas
kolektif, dan (d) terus melanjutkan aksi kolektifnya sampai menjadi sebuah
gerakan social.
Dengan demikian, gerakan social diikuti oleh sejumlah individu yang
memiliki tujuan dan identitas kolektif yang sama, yang secara bersama-sama
terlibat dalam aksi kolektif yang bertujuan mengacau. Individu-individu yang
semacam inilah yang menjadi pusat perhatian buku ini. Hal ini merupakan
pekerjaan yang membutuhkan banyak usaha karena, meskipun periode perluasan
pergolakan terjadi pada decade terdahulu, partisipasi individual di dalam
gerakan-gerakan social bukanlah kejadian yang lumrah dijumpai. Bahkan gerakan-gerakan-gerakan-gerakan
social yang besarpun biasanya hanya memobilisasi sejumlah kecil orang dari
seluruh populasi. Hal ini bukan berarti bahwa hanya ada sedikit orang yang
bersimpati terhadap gerakan tersebut, tetapi karena seperti yang akan kita lihat
berpartisipasi di dalam suatu gerakan tidak sama dengan sekadar bersimpati
Pada banyak kasus, partisipan gerakan akan selalu ingat rasa takut dan
gemetarnya ketika ia harus tampil ke garis depan untuk pertama kalinya.
Kebanyakan simpatisan tidak harus mengalami semua itu.
II.3. Kerangka Aksi Kolektif
Menurut Gamson (dalam Klandermans 1997: hal 7) sebuah kerangka aksi
kolektif adalah seperangkat keyakinan dan pemaknaan yang berorientasi pada
tindakan, yang memberi inspirasi dan melegitimasi berbagai kegiatan dan
kampanye gerakan sosial. Dengan kata lain, kerangka aksi kolektif adalah
seperangkat keyakinan kolektif yang memungkinkan suatu pemikiran tercipta
bahwa partisipasi dalam aksi kolektif tampak berarti. Gamson membedakan tiga
komponen kerangka aksi kolektif yaitu: (1) rasa ketidakadilan, (2) elemen
identitas, (3) faktor agensi.
Pertama, Rasa ketidakadilan. Rasa ketidakadilan muncul dari kegusaran
moral yang berhubungan dengan kekecewaan, seperti masyarakat Sei Mati yang
menerima kompensasi dari para developer untuk ganti rugi terhadap rumah dan
tanah yang dibebaskan tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan
untuk pindah ketempat yang lain. Selain itu adanya intimidasi yang dilakukan
oleh sekelompok oknum untuk menekan masyarakat agar tanahnya segera dijual
kepada para developer. Kegusaran moral ini seringkali berhubunagn denagn
ketidaksetaraan ayng tidak memiliki legitimasi yaitu perlakuan yang tidak
seimbang tehadap individu-individu atau kelompok-kelompok yang dipersepsikan
sebaagi ketidakadilan (Folger dalam Klandermans (1997: hal 7). Perasaan
seperti gerakan masyarakat Medan Maimun bersatu (GM3B) yang menentang
normalisasi sungai Deli.
Kedua, Elemen identitas. Pengidentifikasian mereka (penguasa, kelompok
elite) yang dianggap bertanggung jawab atas sebuah situasi negatif menyiratakn
adanya “kita’ sebagai lawannya. Dalam menetapkan “kita” komponen identitas
kerangka aksi kolektif ini adalah seperangkat keyakinan kolektif, yaitu keyakinan
yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang. Oleh karena itu, ketidakpuasan
yang dicakup oleh kerangka tersebut juga dirasakan bersama misalnya, adanya
niat pemerintah untuk melegalkan normalisasi terhadap sungai Deli, keprihatinan
tentang banjir di kelurahan Sei Mati.Sebagaiman kita ketahui bahwa komponen
identitas tidak hanya menekankan kebersamaan dalam merasakan ketidakpuasan,
komponen ini juga memantapkan sikap oposisi kelompok terhadap pelaku yang
dianggap bertanggungjawab terhadap ketidakpuasan itu. Jadi, atribusi kausal
merupakan elemen komponen identitas penting didalam kerangak aksi kolektif.
Ketiga, Agensi. Agensi mengacu pada keyakinan bahwa seseorang dapat
mengubah kondisi atau kebijakan melalui aksi kolektif. Rasa ketidakadilan atau
rasa beridentitas mungkin merupakan kondisi yang diperlukan untuk partisipasi
dalam gerakan, tetapi merasakan ketidakpuasan bersama dan menemukan
penguasa yang dapat dipersalahkan semata-mata tidak cukup dapat mendorong
orang untuk melibatkan diri di dalam aksi kolektif. Individu-individu harus
menjadi yakin bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengubah kondisi mereka.
Keyakinan semacam itu merupakan syarat bagi kemunculan agen-agen yang
memberikan kesan sangat berpengaruh secara politis, yang dibuktikan oleh
II.4. Normalisasi Sungai
Mengendalikan banji di daerah hilir dengan pelurusan sungai disebut
dengan istilah normalisasi. Penghilanagn batuan dan tumbuhan dari daerah aliran
sungai (DAS) dengan membangun dinding beton, justru akan menghilangkan
fungsi kontrol aliran oleh biota dan dan material di dalamnya. Selain itu juga
terjadi pendangkalan dan terputusnya daur ekosistem di DAS.
Dr. Gadis Sri Harayni, dalam Seminar Nasional bertema Pengelolaan
Sumber Daya Perairan Darat Secara terpadu Di Indonesia mengatakan bahwa
masalah banjir hendaknya tidak diatasi secara simptomatik sehingga
mengakibatkan over engineering atau terlalu berlebihan. Seharusnya dengan cara
mengerti atau mencari penyebab yang paling fundamental.
Pada kenyataannya berbagai sungai seperti ciliwung, cisadane, dan
khususnya sungai deli telah dinormalisasi. Normalisasi ini dilaksanakan dengan
melakukan pelurusan, penembokan, penimbunan, pengerasan dinding sungai,
pembuatan tanggul, pengerukan, serta penghilangan tumbuhan, Lumpur, pasir dan
batuan di tepi sungai. Hal ini mengakibatkan hilangnya fungsi daerah peralihan
dua ekosistem; lahan kering dan basah di tepi sungai. Dampaknya adalah hilang
pula kemampuan sungai mengontrol aliran energi dan nutrien yang diperlukan
biota yang hidup disana.
Dampak lebih lanjut adalah menurunnya keragaman hayati berbarengan
karena hilangnya spesies di lahan tersebut. Ini pada akhirnya mengakibatkan
perubahan ekosistem, hingga timbulnya bencana erosi dasar sungai, banjir dan
pendangkalan di hilir. Memang normalisasi sungai telah dilakukan di masa lalu di
Belanda. Namun dampak negatif perubahan ini terhadap ekologi sangat besar dan
konsep ini pun telah ditinggalkan. Banyak negara barat telah mengembalikan
kondisi sungainya pada kondisi alaminya, dengan mengembalikan aliran sungai
ke alur kelokan asli, mengisi bebatuan di sungai dan menanami kembali tepian
sungai dengan tuimbuhan aslinya.
II.5. Perubahan Lingkungan Sosial Budaya
Saat ini dengan derasnya modernisasi dan globalisasi, hubungan antar
manusia sangat dipengaruhi oleh dan diarahkan oleh kekuatan nafsu (pemenuhan
kebutuhan materil) manusia. Untuk memenuhi kebutuhan itu digunakan institusi
modern yang dikemas dalam bingkai modernisasi yang dikuasai (didominasi) oleh
pemilik modal (kapitalis) dan penguasa (pemerintah). Kekuatan dominasi kedua
institusi itu secara terencana dan sistematis mempengaruhi sikap, pola, dan gaya
hidup masyarakat. Meskipun, kesejahteraan dalam artian pemenuhan ekonomi,
terutama selama lebih kurang 30 tahun, mengalami perbaikan, tetapi tanpa
disadari cenderung menghancurkan dan memporakporandakan tatanan lingkunan
social budaya yang diikuti dengan menyurutnya kesadaran social. Pada gilirannya,
sistem nilai memudar menuju kearah anomi sehingga masyarakat mengalami
krisis moral.
Kondisi ini diperparah dengan masuknya pengaruh kekuatan hegemoni,
baik kekuatan internal, maupun eksternal (global). Menurut Gramsci (dalam
Lawner, 1989: 3-55) kekuatan hegemoni tidak hanya terjadi dalam sistem
ekonomi, social, politik, tetapi juga budaya. Bahkan, kekuatan hegemoni bisa
perlahan, tetapi pasti dapat meredusir dan mengikis habis daya kritis dan
mendorong masyarakat terpuruk ke dalam situasi tidak berdaya dan pasrah.
Bahkan, kekuatan hegemoni dapat membuat masyarakat tidak sadar dan tidak
merasa bahwa mereka ditindas. Kehilangan kesadaran ini menyebabkan kesadaran
social hilang dibarengi dengan munculnya gejala dehumanisasi.
Hegemoni ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam sistem
kehidupan. Dalam lingkungan politik muncul gejala dominasi dan memaksakan
kehendak sehingga hak-hak politik masyarakat hilang. Lingkungan politik
kehilangan mekanisme kontrol sehingga penguasa dan elit politik yang berkuasa
mengesampingkan nilai-nilai demokrasi. Kesewenang-wenangan dan penindasan
manusia atas manusia terjadi dalam sistem kehidupan.
Dalam lingkungan ekonomi muncul gejala monopoli dan penguasaan asset
ekonomi oleh kelompok yang berkuasa. Penguasaan dan monopoli melahirkan
sifat keserakahan. Segala macam cara dihalalkan, budaya malu dikesampingkan,
masa bodoh denan keadilan dalam upaya menumpuk kekayaan untuk kepentingan
sendiri/keluarga ditengah rakyat yang hidup dililit kemiskinan. Lingkungan
ekonomi yang sepeti itu menyebabkan institusi-institusi ekonomi sebagai
pendukung kelancaran ekonomi tidak berfungsi dengan baik. Lingkungan
ekonomi dikelola dengan cara kolusi antara penguasa dengan pengusaha. Korupsi
merajalela akibatnya aktivitas ekonomi tidak efisien. Akumulasi modal tidak
terjadi seperti yang diharapkan.
Keadaan diatas menyebabkan lingkungan social budaya tidak tumbuh dan
muncul sifat mental semu atau sifat pura-pura atau munafik. Standar moral lemah
bijaksana. Mental penjilat pada penguasa meluas. Ini yang menyebabkan muncul
budaya kekerasan sebagai bentuk perlawanan pada pengusaha yang menindas.
Apalagi, lingkungan hukum tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan
keadilan. Lingkungan hukum hanya berpihak pada penguasa. Ketidakadilan
hukum ini menyebabkan lingkungan ekonomi, politik, dansosial menjadi tidak
berfungsi dengan baik. Kesemua ini menyebabkan tidak terjadi keseimbangan
dalam sistem kehidupan dan akhirnya mengganggu lingkungan social budaya.
II.6. Kerangka Pemikiran
Ada beberapa perusahaan yang melakukan normalisasi (Penimbunan,
penembokan, dan rencana pelurusan) terhadap sungai Deli antara lain: PT. Eka
Wijaya Kusuma, PT. Kastil Kencana, dan SPBU Katamso. Akibat dari
normalisasi sungai deli, banyak rumah warga tergusur dan harus kehilangan
rumah karena dipaksa untuk meninggalkannya. Normalisasi tersebut juga
menyebabkan meningkatnya frekuensi banjir di sekitar bantaran sungai deli akibat
adanya penimbunan dan penembokan yang dilakukan oleh para developer,
ditambah lagi masyarakat juga harus kehilangan fasilitas-fasilitas umum yang ada
di lingkungan mereka seperti sekolah, mesjid, dan kuburan. Selain itu normalisasi
juga berdampak buruk terhadap kondisi social ekonomi masyarakat dimulai dari
menurunnya pendapatan, kehilangan pekerjaan, menurunnya kondisi kesehatan
dan juga memburuknya kondisi pendidikan bagi anak. Semua kerugian dan
penderitaan yang dialami masyarakat akibat normalisasi sungai deli, membuktikan
Akibat dampak negatif dari normalisai sungai deli, maka masyarakat tidak
tinggal diam begitu saja. Masyarakat melakukan aksi komunitas sebagai bentuk
perlawanan terhadap aktivitas normalisasi sungai Deli. Masyarakat menolak
dengan tegas keberadaan para developer yang melakukan normalisasi sungai,
dimana dibalik proyek tersebut mereka menggerakkan kepentingan bisnis yang
tidak menguntungkan sama sekali bagi masyarakat. Disamping itu masyarakat
juga menuntut para developer agar segera ditindak tegas oleh aparat hukum
karena mereka sudah terbukti melakukan pengrusakan terhadap lingkungan.
Dalam aksi komunitasnya masyarakat Sei Mati menggunakan strategi
yang bersifat konflik dengan taktik bekerjasama dan taktik kampanye. (Glen
dalam Adi, 2003: 106). Taktik bekerjasama tersebut berbentuk presentasi
makalah, memberikan penjelasan dan sebagainya. Sedangkan taktik kampanye
berbentuk penulisan surat terbuka untuk umum, taktik yang bersifat memaksa
seperti terlibat dalam konfrontasi langsung dengan kelompok sasaran ataupun
Bagan 1
Kerangka Pemikiran
NORMALISASI
SUNGAI DELI
- Frekuensi banjir meningkat sehingga menyebabkan terendamnya rumah warga - Sebahagian masyarakat
kehilangan tempat tinggal akibat penggusuran
- Menurunnya kondisi social ekonomi
MASYARAKAT
SEI MATI
Melakukan aksi komunitas untuk menentang aktivitas normalisasi sungai Deli
Strategi dan taktik yang digunakan oleh kelompok masyarakat adalah dengan menggunakan strategi yang bersifat konflik
II.7. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional
II.7.1. Defenisi Konsep
Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak kejadian, keadaan kelompok, individu yang menjadi pusat
perhatian (Singarimbun, 1989: 33). Untuk memfokuskan penelitian ini penulis
memberikan batasan konsep yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu:
• Reaksi sosial yang dimaksud adalah Tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh masyarakat kelurahan Sei Mati sebagai perwujudan sikap yang
menolak ataupun menentang adanya normalisasi sungai deli dalam bentuk
perlawanan yang berupa aksi komunitas.
• Normalisasi sungai Deli yang dimaksud adalah Penimbunan jalur hijau
pinggiran daerah aliran sungai Deli di kelurahan Sei mati sepanjang
kurang lebih 200 meter, dengan tinggi kurang lebih 10 meter, Penembokan
bibir sungai, dan rencana pelurusan sungai deli sepanjang 500 meter yang
dilakukan oleh para developer (pengembang).
II.7.2. Defenisi Operasional
Defenisi operasional merupakan unsur penelitian yang memberitahukan
bagaimana cara mengukur suatu variable (Singarimbun, 1989: 34). Yang menjad
indikator-indikator dalam penelitian ini yaitu:
• Aksi Komunitas
Aksi komunitas berkaitan dengan reaksi masyarakat terhadap normalisasi
dan tidak pernahnya masyarakat mengikuti aksi dan pertemuan, dan
frekuensi keterlibatan masyarakat dalam mengikuti aksi dan pertemuan
tersebut.
• Persepsi masyarakat
Persepsi ini berkaitan dengan tanggapan masyarakat yang meliputi: setuju
tidak setujunya masyarakat terhadap normalisasi sungai Deli, setuju tidak
setujunya masyarakat terhadap kondisi sungai Deli dikembalikan seperti
semula, frekuensi banjir sebelum dan sesudah adanya normalisasi sungai
Deli, dan proses pembebasan lahan atau harta benda masyarakat, sampai
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
dengan pendekatan studi kasus yakni untuk menggambarkan keadaan mengenai
fakta tentang reaksi social terhadap normalisasi sungai deli.
III.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan sei mati, Kecamatan Medan
Maimun, dimana dilokasi tersebut merupakan tempat para developer melakukan
normalisasi terhadap sungai deli yang menimbulkan reaksi social dari masyarakat.
III.3. Populasi dan Sampel
III.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bermukim di
Kelurahan Sei Mati khususnya masyarakat yang bermukim di bantaran sungai deli
yang melakukan reaksi social terhadap normalisasi sungai deli. Sebagai unit
III.3.2. Sampel
Dalam pengambilan sampel, penulis menggunakan teknik Proporsional
sampling. Dalam teknik ini penulis mengambil wakil dari unit-unit populasi
tersebut dengan sistem perwalian yang berimbang.
Kelurahan Sei Mati terdiri dari 12 lingkungan dengan jumlah kepala
keluarga sebanyak 2550. Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh penulis,
bahwa lokasi yang terkena dampak normalisasi sungai adalah lingkungan VII, IX,
X, dan XII sehingga penulis tidak mengambil sampel dari 12 lingkungan yang ada
di kelurahan Sei mati melainkan hanya mengambil 4 lingkungan sebagai sampel,
dimana hanya 4 lingkungan lah yang merasakan langsung dampak normalisasi
sungai Deli tesebut. Adapun perincian jumlah kepala keluarga dari lingkungan
tersebut adalah sebagai berikut:
(Unit I) Lingkungan VII jumlah kepala keluarga sebanyak 201 kk
(Unit II) Lingkungan IX jumlah kepala keluarga sebanyak 300 kk
(Unit III) Lingkungan X jumlah kepala keluarga sebanyak 270 kk
(Unit IV) Lingkungan XII jumlah kepala keluarga sebanyak 231 kk.
Jumlah keseluruhan kepala keluarga adalah sebanyak 1002 kk. Maka
dalam hal ini penulis menggunakan prosentasi untuk menakar pembagian yang
berimbang. Penulis menetapkan masing-masing unit diwakili oleh 10 % jumlah
seluruh unit, maka unit I diwakili oleh 20 kk, Unit dua diwakili oleh 30 kk, Unit
III diwakili oleh 27 kk, unit IV diwakili oleh 23 kk, total seluruhnya adalah 100
III.4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian ini
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah Teknik pengumpulan data atau informasi yang
menyangkut masalah yang diteliti dengan mempelajari dan menelaah buku,
majalah atau suratkabar dan bentuk tulisan lainnya yang ada relevansinya dengan
masalah yang diteliti
2. Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan dengan mengumpulkan data langsung pada objek yang
diteliti sebagai data primer.
Pengumpulan data ini ditempuh dengan cara:
a. Observasi, yaitu pengamatan dan pencatatan dengan sistematik tentang
gejala-gejala yang diamati. Dengan observasi, peneliti akan memperoleh
informasi/data yang tidak mungkin bisa dihimpun melalui wawancara atau
kuesioner, misalnya partisipasi masyarakat. Hanya dengan observasi,
peneliti akan memperoleh data akurat, siapa yang biasanya hadir dalam
pertemuan warga yang membicarakan tentang perkembangan kasus
normalisasi sungai deli. Selain itu peneliti dapat memahami konteks
bagaimana proyek normalisasi dilaksanakan.
b. Wawancara, Teknik wawancara yang digunakan peneliti adalah dengan
menggunakan kuesioner melalui wawancara langsung dan wawancara
b.1. Kuesioner melalui wawancara langsung
Kuesioner ini ditujukan bagi responden sebanyak 100 orang. Dalam
membagikan kuesioner, peneliti langsung bertatap muka dengan
responden dan kuesioner tetap dipegang oleh pewawancara, lalu
membacakan pertanyaan kepada responden, baik dengan atau tanpa
option jawaban secara lengkap.
b.2.Wawancara mendalam.
Wawancara ini digunakan untuk mencari informasi dari beberapa
informan kunci yang dipilih dengan beberapa pertimbangan.
III.3.5. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik
analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif dalam bentuk penjelasan dan
BAB IV
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
IV.1. Gambaran Umum Kelurahan Sei Mati
Kelurahan Sei mati adalah kelurahan yang terletak di kecamatan Medan
Maimun, Kotamadya Medan. Kelurahan ini memiliki luas yang terdiri dari: luas
pemukiman 0,18 km2, luas kuburan 0,01 km2, luas pekarangan 0,01 km2, luas
perkantoran 0,02 km2, luas prasarana umum lainnya 0,01 km2, dan total luas
keseluruhan adalah 0,23 km2.
Menurut data akhir tahun 2006 penduduk kelurahan ini berjumlah 13.138
jiwa. Kelurahan Sei mati terdiri atas 12 lingkungan yang masing-masing dipimpin
oleh kepala lingkungan. Selain itu kelurahan Sei Mati memiliki penduduk
mayoritas beragama Muslim dan mayoritas bersuku Batak Mandailing yang
tersebar di 12 lingkungan.
Ditinjau dari letak geografisnya kelurahan Sei mati memiliki batas-batas
wilayah yaitu sebelah barat bersebelahan dengan Bandara Polonia (kelurahan
Suka damai), sebelah timur bersebelahan dengan kelurahan Sitirejo serta pasar
merah darat. Dari segi pendidikan, mayoritas masyarakat kelurahan Sei mati
hanya tamat sekolah menengah pertama, dan wajar saja jika mayoritas dari
mereka bekerja di sector informal anatra lain: pedagang kaki lima, buruh,
kerajinan, pertukangan, karyawan swasta dan lain sebagainya.
IV.2. Sejarah Singkat Sungai Deli
Sungai Deli yang hulunya di Deli Tua, mengalir hingga ke Belawan, yang
mana di satu desa (Namu Rambe) ada situs bersejarah tentang Putri hijau, benteng
pertahanan, bekas istana, dan sumur tempat permandianyang kini merupakan
pancuran yang airnya sampai saat ini tetap mengalir. Sungai deli merupakan salah
satu kebanggaan masyarakat Deli tua sampai kemuara tepatnya Belawan yang
dahulunya mayoritas penduduknya adalah suku Karo dan Melayu.
Sejarah membuktikan bahwa sungai deli dahulunya pernah menjadi jalur
transportasi rakyat. Bahkan sungai ini pernah dilalui oleh perahu atau kapal
kerajaan Aceh dan kerajaan Haru ketika terjadi peperangan pada abad 16.
Sungai deli telah mengukir sejarah yang panjang. Kisah seorang Sultan
Muda dari kerajaan Aceh yang bernama Ali Mughayat Syah yang jatuh cinta
dengan Putri Hijau, tetapi cinta Sultan tersebut ternyata ditolak oleh Putri hijau.
Sehingga akibat penolakan tersebut menyebabkan terjadinya peperangan merebut
kerajaan Haru yang sekarang menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1552.
Peperangan tersebut terajdi didataran rendah diantara pertemuan sungai deli
dengan sungai babura yang dikenal sekarang menjadi Kampung Medan.
Sungai deli merupakan saksi sejarah yang bisu dari masa keemasan. Bukan
hanya kerajaan Aceh saja yang pernah melalui alur sungai deli, melainkan Sultan
Johor dengan armada lautnya pun pernah berlayar mengarungi sungai Deli untuk
membantu kerajaan Haru di abad ke 16 dalam peperangan melawan kerajaan
Aceh. Mengenai nama sungai Deli dalam peta Willem Ijsbrandtsz Bontekoe pada
10 April 1662, bahwa Sungai Deli diberi nama “Rio De Dalim” yang artinya
IV.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jumlah Penduduk Pada Masing-
Masing Lingkungan
Berdasarkan hasil sensus kelurahan Sei mati tahun 2006, diketahui bahwa
jumlah penduduk kelurahan ini mencapai 13.138 jiwa.yang tersebar di 12
lingkungan. Untuk mengetahui jumlah dan persentasinya dapat dilihat pada table
yang telah disajikan dibawah ini:
Tabel 1
Komposisi Penduduk Berdasarkan Jumlah Penduduk Pada
Masing-Masing Lingkungan
Lingkungan VIII 1161 8,84
Lingkungan IX 1514 11,52
Lingkungan X 1388 10,56
Lingkungan XI 1338 10,18
Lingkungan XII 1429 10,88
Total 13138 100,00
Sumber: Kantor Kelurahan Sei Mati, Agustus 2007
Berdasarkan table 1 diatas dapat dilihat bahwa lingkungan yang memiliki
jumlah penduduk yang terbanyak adalah lingkungan IX dengan jumlah sebanyak
1514 orang (11,52 %). Sementara itu lingkungan X, XI, XII memiliki jumlah
penduduk yang hampir berimbang, sedikit berada dibawah lingkungan IX, hal ini
dapat dilihat dari persentasi dari table yang telah disajikan diatas. Sedangkan
jumlah penduduk yang paling sedikit adalah lingkungan I yakni sebanyak 686
IV.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Dari total jumlah penduduk Kelurahan Sei mati sebanyak 13.138 jiwa,
bahwa jumlah jenis kelamin terbanyak adalah jenis kelamin perempuan dengan
jumlah 7124 orang (54,22 %) yang selisih perbedaannya tidak begitu mencolok
dengan jenis kelamin laki-laki dengan jumlah sebanyak 6014 orang (45,78 %).
Tabel 2
Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah %
1 Laki-Laki 6014 45,78
2 Perempuan 7124 54,22
Total 13138 100,00
Sumber: Kantor Kelurahan Sei Mati, Agustus 2007
IV.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur
Tabel 3
Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur
NO Kelompok Umur
Berdasarkan table 3 diatas jumlah kelompok umur yang paling banyak
adalah kelompok umur 0-3 tahun mencapai 776 orang dengan persentasi 5,91 %.
Sedangkan kelompok umur yang paling sedikit jumlahnya adalah kelompok umur
16-19 tahun sebanyak 652 orang dengan persentasi sebesar 4,96 %. Akan tetapi
data menunjukkan bahwa keseluruhan kelompok umur memiliki jumlah dan
persentasi yang berimbang.
IV.6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku
Secara etnis, kelurahan Sei mati terdiri atas berbagai macam suku. Untuk
melihat perinciannya dapat kita lihat pada table dibawah ini:
Tabel 4
Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku
NO Suku Jumlah %
Sumber: Kantor kelurahan Sei Mati, Agustus 2007
Dari perincian table 4 diatas dapat kita lihat bahwa jumlah suku yang
paling banyak mendiami kelurahan Sei mati adalah suku batak mandailing dengan
jumlah sebanyak 4227 orang (32,17 %). Kemudian pada posisi kedua yang
terbanyak dimiliki oleh suku Padang yang tidak begitu mencolok jumlah
169 orang (1,29 %) dimiliki oleh suku lainnya yang tidak diterterakan dalam
table, mereka adalah suku-suku seperti suku Jawa, Nias, karo, dan lain-lain.
IV.7. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama
Penduduk kelurahan Sei mati menganut beberapa macam agama antara
lain agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Untuk mengetahui jumlah
dan persentasinya dapat kita lihat pada tabel dibawah ini
Tabel 5
Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama
NO Agama Yang Dianut Jumlah %
1 Islam 10561 80,39
2 Kristen 492 3,74
3 Katolik 180 1,37
4 Hindu 15 0,11
5 Budha 1890 14,39
Total 13138 100,00
Sumber: Kantor Kelurahan Sei Mati, Agustus 2007
Berdasarkan table 5 diatas yang memiliki jumlah yang paling banyak yang
menganut sebuah agama tertentu adalah agama Islam dengan jumlah penganut
sebanyak 10561 orang (80,39 5). Sedangkan jumlah penganut agama yang paling
sedikit adalah agama hindu sebanyak 15 orang (0,11 %). Dari jumlah tersebut
dapat disimpulkan bahwa mayoritas penduduk kelurahan Sei mati adalah
menganut agama Islam. Akan tetapi walaupun mayoritas penduduknya menganut
agama Islam, kerukunan beragama masih tetap terjaga dan terjalin dengan baik
IV.8. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Kondisi pendidikan penduduk kelurahan Sei mati dapat dikatakan relatif
rendah. Hal ini dapat kita lihat pada table yang telah disajikan dibawah ini yang
menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang tidak pernah sekolah sebanyak 1201
orang (20,84 %), tidak tamat SD sebanyak 965 orang (16,74 %), SD sebanyak 565
orang (9,80 %), SLTP sebanyak 525 orang (9,12 %), SLTA sebanyak 715 (12,41
%). Meskipun sudah ada yang mencapai gelar sarjana tetapi jumlahnya tidak
sebanding dengan jumlah penduduk yang tidak tamat SD, tamat SD, dan bahkan
yang tidak pernah sekolah.
Tabel 6
Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
NO Pendidikan Jumlah %
Sumber: Kantor Kelurahan Sei Mati, Agustus 2007
IV.9. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Ditinjau dari segi mata pencaharian, penduduk kelurahan Sei Mati
memiliki mata pencaharian yang beragam. Hal ini dapat dilihat dari tabel
Tabel 7
Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
NO Mata Pencaharian Jumlah %
Sumber: Kantor Kelurahan Sei Mati, Agustus 2007
Data dari table 7 diatas menunjukkan bahwasanya dari sejumlah penduduk
yang bekerja, karyawan swasta memiliki jumlah yang terbanyak yakni mencapai
2107 orang (62,47%), kemudian pada urutan kedua adalah pedagang dengan
jumlah 504 0rang (14,94) atau seperempat dari jumlah yang bekerja sebagai
karyawan swasta. Sedangkan yang memiliki pekerjaan dengan jumlah yang paling
sedikit adalah pensiunan ABRI yakni sebanyak 9 orang (0,27%).
IV.10. Sarana Pendidikan
Pembangunan sarana pendidikan di kelurahan Sei mati dirasakan masih
sangat perlu diperhatikan, sebab beberaap sarana pendidikan masih belum
terdapat di kelurahan ini. Adapun sarana pendidikan di kelurahan ini, dapat dilihat
Tabel 8
Lembaga Pendidikan Keagamaan 1
Jumlah 8 buah
Sumber: Kantor Kelurahan Sei Mati, Agustus 2007
Berdasarkan Data pada table 8 dapat dilihat bahwa jumlah TK di
kelurahan ini hanya 1 buah, SD 5 buah, TPA 1 buah, Lembaga pendidikan
keagamaan 1 buah. Data tersebut menunjukkan bahwa SD merupakan sarana
pendidikan yang paling banyak terdapat di kelurahan Sei mati. Kemudian data
menunjukkan bahwa sarana pendidikan untuk SLTP dan SLTA belum terdapat
didaerah ini, sehingga mengakibatkan banyak penduduk usia sekolah khususnya
SLTP dan SLTA terpaksa bersekolah untuk memperolaeh pendidikan SLTP dan
SLTA nya di luar kelurahan.
IV.11. Sarana Kesehatan
Kebutuhan akan saarna kesehatan oleh penduduk kelurahan Sei mati juga
dirasakan sangat penting. Oleh karena itu pemerintah maupun pihak swasta telah
membangun beberapa sarana kesehatan guna memenuhi kebutuhan penduduk di
bidang kesehatan. Untuk mengetahui sarana-sarana apa saja yang terdapat di
kelurahn ini dapat dilihat pada table dibawah.
Berdasarkan Data pada table 9 dapat dilihat bahwa poliklinik/balai
kesehatan tersedia hanya 1 unit, apotik 1 unit, posyandu tersedia 12 unit, dan
tempat Dokter praktek tersedia 3 unit. Data menunjukkan bahwa sarana kesehatan
di 12 lingkungan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sarana kesehatan di
kelurahan ini cukup memadai
Tabel 9
Sarana Kesehatan
Sarana Kesehatan Jumlah Unit
Poliklinik/Balai Pengobatan 1 Unit
Apotik 1 Unit
Posyandu 12 Unit
Tempat Dokter Praktek 3 Unit
Jumlah 17 Unit
Sumber: Kantor Kelurahan Sei Mati, Agustus 2007
IV.12. Sarana Olahraga
Di kelurahan Sei mati juga memiliki beberapa sarana olahraga yang terdiri
dari lapangan sepak bola sebanyak 1 buah, lapangan bulu tangkis 2 buah, dan
lapangan voli 1 buah. Kondisi fasilitas dan sarana olahraga tersebut masih dalam
keadaan yang cukup baik dan sampai sekarang fasilitas tersebut masih digunakan
oleh para pemuda-pemudi dan juga orangtua di kelurahan tersebut.
Tabel 10
Sarana Olahraga
Sarana Olahraga Jumlah
Lapangan Sepak bola 1 buah
Lapangan Bulu tangkis 2 buah
Lapangan Voli 1 buah
Jumlah 4 buah
Sumber: Kantor kelurahan Sei Mati, Agustus 2007
IV.13. Sarana Peribadatan
Di kelurahan Sei mati hanya terdapat beberapa tempat peribadatan bagi
agama tertentu, diantaranya adalah rumah peribadatan umat Islam dan umat