• Tidak ada hasil yang ditemukan

keberkahanfinansial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "keberkahanfinansial"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

S

S

S

a

a

a

f

f

f

a

a

a

k

k

k

M

M

M

u

u

u

h

h

h

a

a

a

m

m

m

m

m

m

a

a

a

d

d

d

K

K

K

E

E

E

B

B

B

E

E

E

R

R

R

K

K

K

A

A

A

H

H

H

A

A

A

N

N

N

F

F

F

I

I

I

N

N

N

A

A

A

N

N

N

S

S

S

I

I

I

A

A

A

L

L

L

Cara Mudah Mengelola Keuangan dan Melipatgandakan

Kekayaan dengan Kecerdasan Spiritual

P

P

P

e

e

e

n

n

n

g

g

g

a

a

a

n

n

n

t

t

t

a

a

a

r

r

r

:

:

:

K

(2)

Safak Muhammad

K

K

K

E

E

E

B

B

B

E

E

E

R

R

R

K

K

K

A

A

A

H

H

H

A

A

A

N

N

N

F

F

F

I

I

I

N

N

N

A

A

A

N

N

N

S

S

S

I

I

I

A

A

A

L

L

L

Cara Mudah Mengelola Keuangan dan Melipatgandakan

Kekayaan dengan Kecerdasan Spiritual

(3)

Buku ini tidak hanya menawarkan konsep pengelolaan keuangan berdasarkan hitungan matematis 1 + 1 = 2 atau 5 - 3 = 2, tetapi juga berdasarkan ‘matematika’’ Allah yang hasilnya sangat menakjubkan. Buku ini juga membeberkan rahasia melipatgandakan kekayaan ala model DISTRIBUTOR REZEKI dan prinsip MENGEJAR AKHIRAT berbuah UANG DI DUNIA serta prinsip

BERTAMBAH KAYA dengan MENSEJAHTERAKAN orang lain. Konsep – konsep tersebut diulas dengan logika yang sangat sederhana dan dapat diterima akal.

(4)

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Kaya Tanpa Bekerja/Safak Muhammad 184 halaman + xiii halaman 13.5 x 20.5 cm

Judul :

Keberkahan Finansial

ISBN : 979-25-9000-5 Penulis : Safak Muhammad Editor : Mohammad Sobar Desain cover

& Tata Letak : Dini Handayani & Novi Cetakan I : Juni 2006

Diterbitkan : SolusiQalbu Kelompok MediaSukses

Jl. Duren Tiga Selatan – Swadaya 31 C Jakarta Selatan 12760 Telp. (021) 98 700 202

Email : mediasukses@bukubagus.com

BERITA GEMBIRA!!!!

HAK CIPTA DILINDUNGI ALLAH, TUHAN SEMESTA ALAM

“Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, menjual kepada umum asli buku ini, atau mengutip sebagian isi buku dengan tetap

(5)

Daftar Isi

PERHATIAN

Keberkahan Finansial yang sedang anda baca ini adalah

versi

ebook

. Isinya sama persis dengan versi buku yang

diterbitkan oleh Penerbit SolusiQalbu

Anda bisa mendapatkan versi buku Keberkahan Finansial di

toko buku kesayangan anda atau

www.bukubagus.com

(

antique, unique & rare books center

)

Sedangkan versi

ebook

hanya bisa dapatkan di

www.keberkahanfinansial.com

(6)

Kata Pengantar KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) Dari Penulis

Rukun 1 : Revolusi Mental dan Keyakinan

• Kaya Berawal dari Pikiran • Kaya adalah Pilihan

• Memaknai Keberkahan Finansial • Membuang Keyakinan Salah

Rukun 2 : Memahami Rahasia Uang

• Ide = Uang • Uang Itu Netral

• Raihlah Akhiratnya, Dapatkan Uangnya

• Semakin Banyak Silaturahmi, Semakin Banyak Rejeki • Semakin Banyak Berbagi, Semakin Banyak Menerima • Uang Berpihak pada Orang Bijak

• Keputusan dan Konsisten

Rukun 3 : Perencanaan Keuangan 1000 Tahun

• Rencana Keuangan 1000 Tahun • Evaluasi Sumber Penghasilan • Perencanaan Pengeluaran

• Perencanaan Menyucikan Kekayaan

• Perencanaan Investasi : Halal Berkah Bertumbuh • Managemen Hutang - Piutang

• Perencanaan Pendidikan Anak • Perencanaan Pensiun & Wasiat • Perencanaan Risiko

Rukun 4 : Membuat Uang Beranak Pinak

• Kemandulan Finansial • Membuat Magnet Uang

• Melipatgandakan Kekayaan Secara Cepat dan Aman • Membuat Uang Beranak Pinak

Daftar Pustaka LAMPIRAN Profil Penulis

(7)

untuk orang – orang terkasih,

Istriku, Etika Nailur Rahma Putriku, Rifdah Azzura Fasya Putraku, Maulavi Nawwaf Ubada serta anak cucu sampai cicit – cicit ku yang Insya Allah akan terlahir di dunia ini,

(8)

Sebuah Pengantar dari

KH ABDULLAH GYMNASTIAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Saudaraku, mengapa uang yang banyak tidak selalu menjadi jaminan kebahagiaan? Mengapa rumah yang besar dan megah tidak selalu menimbulkan kebahagiaan dan kemuliaan? Mengapa istri yang jelita atau suami yang tampan tidak selalu mendatangkan kebahagiaan dalam berumah tangga? Mengapa ilmu yang luas tidak mengangkat derajat pemiliknya dan justru malah menghinakannya? Padahal, mereka berusaha mencari dan mendapatkannya melalui perjuangan yang susah payah, tapi ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Bahkan sebaliknya, bukan kebahagiaan atau ketentraman yang diperoleh melainkan masalah dan malapetaka. Apa sebabnya? Penyebabnya sederhana sekali, yakni semua yang dimilikinya itu tidak berkah!

Pembaca yang budiman, dalam hal apa pun; uang, rumah, istri, suami, harta, pangkat, maupun jabatan, yang harus kita khawatirkan terhadap semua itu adalah tidak adanya berkah dari Allah. Acapkali kita temukan, atau malah kita merasakan sendiri, orang menjadi sengsara dengan segala yang dimilikinya. Oleh karena itu, kita patut mencurigai, jangan-jangan sesuatu yang kita miliki, dalam mengusahakannya tercemari oleh hal-hal yang kurang berkah.

Kita lihat, misalnya, suatu rumah tangga yang penuh dengan percekcokan. Sebenarnya yang harus dicurigai adalah jangan-jangan prosedur, keilmuan, dan etika dalam berumah tangga tidak cocok dengan yang disyariatkan Allah. Atau, uang yang banyak malah membuat pusing pemiliknya, ilmu yang luas malah menghinakan dirinya. Ini pasti prosedur dalam mencari dan mengamalkannya bercampur dengan hal yang tidak disukai Allah. Oleh karena itu, apalah artinya kita memiliki sesuatu tetapi malah menghinakan dan menyengsarakan kita?

Secara sederhana, berkah adalah sesuatu yang multiguna, bermanfaat bagi kehidupan dunia dan bermanfaat bagi akhirat. Kita tidak boleh hanya senang dengan memiliki sesuatu, tetapi yang harus lebih kita senangi adalah keberkahan atas segala sesuatu itu. Kita tidak usah bangga dengan apa pun yang kita miliki, kalau ternyata itu tidak berkah. Jadi, bukan takut tidak memiliki sesuatu tetapi harus lebih takut sesuatu yang sudah dimiliki tidak membawa berkah.

Maka, kita harus sangat takut dengan hidup yang tidak berkah, yaitu yang tidak bermanfaat bagi dunia juga tidak bermanfaat bagi akhirat. Mulailah berhati-hati dengan uang. Usahakan supaya uang kita menjadi berkah. Seperti halnya gelas. Gelas hanya bisa enak digunakan untuk minum kalau terlebih dahulu gelas itu kita bersihkan.

Jangan sekali - kali mencoba-coba untuk tidak jujur. Untuk apa? Jujur atau tidak jujur tetap Allah yang memberi. Rezeki penjahat datang dari Allah, rezeki orang jujur juga datang dari Allah. Bedanya, rezeki yang diberikan kepada penjahat jadi haram, tidak berkah, sedangkan yang diberikan kepada orang yang sungguh-sungguh jujur adalah rezeki yang berkah.

(9)

Kalau kita ingin rezeki yang berkah, harus berjuang sekuat-kuatnya agar jangan sampai terlintas dalam hati secuil apa pun untuk berbuat tidak jujur dan licik, sebab akan menghilangkan keberkahannya. Sesudah kita berbuat jujur, hati-hati pula jangan sampai ada hak-hak orang lain yang terampas atau belum tertunaikan, apalagi hak umat. Na’udzubillahi min dzalik.

Pembaca yang dirahmati Allah, konsep yang tertuang dalam buku yang ditulis oleh sahabat kita Safak Muhammad ini sungguh menarik untuk kita renungkan. Keberkahan

Finansial, demikian sahabat kita ini memberi judul atas bukunya. Dalam hemat saya, ide

penulis tentang bagaimana kita merevolusi mental dan keyakinan dalam memaknai keberkahan finansial sungguh menarik untuk dicermati. Di dalam uraiannya penulis menjelaskan dengan lugas tentang lima langkah untuk mencapai keberkahan finansial. Ini menarik untuk dicermati, karena untuk mencapai suatu keberkahan dalam bidang apa pun tentu tidak cukup hanya dengan slogan kejujuran, melainkan harus ada langkah-langkah konkret yang dilakukan.

Dalam buku ini penulis tampaknya ingin mengajak kita untuk membangun fondasi kekuatan finansial dengan keutamaan sikap sebagai buah dari hati yang dikelola secara baik sehingga akan jauh dari kehinaan.

Oleh karena itu, saya menyambut baik upaya Penerbit SolusiQalbu dalam menerbitkan buku Keberkahan Finansial yang ditulis oleh Safak Muhammad. Semoga buku ini dapat membuka cakrawala baru dalam memaknai keberkahan melalui pengelolaan keuangan yang tepat menurut kegunaan dan benar secara syariat.

Akhirnya, semoga Allah memberikan karunia hikmah kepada kita agar kita mulai peka terhadap nikmat-nikmat yang tidak tampak secara fisik dan tidak kita genggam. Dan mudah-mudahan dengan kepekaan ini kita bisa meraba samudra nikmat yang tiada bertepi, yang membuat kita termasuk ahli syukur yang lebih layak dijamin oleh Allah. Percayalah Allah Maha Tahu kebutuhan kita daripada diri kita sendiri. Allah Mahakaya dan tidak mungkin lalai kepada hamba-hamba yang dia ciptakan yang mau gigih ikhtiar di jalan yang Allah sukai. Wallahu a' lam ***

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh Bandung, Desember 2005

(10)

Dari Penulis

Alhamdulillah, segala puji hanya milik-Mu ya Allah, Tuhan sekalian alam yang selalu memberikan kekuatan lahir dan batin. Kepada – Mu saya selalu berdo’a agar dapat ‘berguru’ langsung dan diberikan ilmu bermanfaat dunia – akhirat. Kepada – Mu pula saya berdo’a agar terhindar dari laknat sebagaimana firman-Mu, “kabura maqtan ‘indallah, antaquulu maala taf’ aluun” .

Pembaca yang budiman, sebelum menulis buku ini, dalam pikiran saya selalu berkecamuk pertanyaan, “Mengapa bangsa dengan kekayaan alam berlimpah dan penduduknya mayoritas muslim ini banyak yang miskin?”. Sementara pada saat yang sama saya juga mendapatkan kenyataan banyak saudara - saudara kita yang memiliki kekayaan berlimpah namun selalu merasa kekurangan bahkan tak peduli dengan saudaranya yang miskin. Mereka justru menumpuk - numpuk harta kekayaan tak peduli halal atau haram. Mereka mengira harta berlimpah bisa menjamin rasa aman dan kebahagiaan. Tapi nyatanya, banyak orang kaya menderita, kurang bahagia, dan banyak masalah!. Mengapa bisa terjadi? Saya yakin karena tidak ada keberkahan!

Buku ini mencoba mendiskusikan bagaimana membuat harta kita menjadi berkah, berdaya guna di dunia maupun di akhirat. Tidak peduli berapa pun uang kita, bila ada keberkahan di dalamnya Insya Allah hidup ini selalu terasa berkecukupan dan terasa indah. Penuh syukur kepada-Nya.

Buku yang saya beri judul Keberkahan Finansial ini membahas bagaimana merevolusi mental dan keyakinan untuk meraih sukses finansial. Bagaimana memanfaatkan rahasia uang untuk meningkatkan kekayaan, bagaimana melipatgandakan kekayaan dengan kecerdasan spiritual, memanfaatkan uang untuk ‘membeli’ surga, bagaimana membuat kekayaan beranak pinak secara cepat dan aman dunia – akhirat. Saya sengaja membagi buku ini menjadi 4 bagian, yang saya sebut 4

rukun. Rukun berarti syarat yang harus dilakukan untuk syahnya suatu ibadah.

Demikian juga dalam buku ini, ada 4 rukun yang harus kita lakukan bila kita ingin mencapai Keberkahan Finansial.

Apa yang saya sampaikan merupakan rangkuman dari berbagai pengalaman orang – orang yang sukses secara finansial. Juga dikaitkan dengan petunjuk Allah melalui Qur’an dan hadits terutama bagaimana membuat kekayaan beranak pinak dengan cara mensejahterakan orang lain lebih dulu. Inilah yang saya maksudkan sebagai kecerdasan spiritual yaitu bagaimana membuat hidup ini lebih bermakna. Sayangnya, kesalahan selama ini karena kita melupakan petunjuk itu. Hal ini karena persepsi dan keyakinan yang salah, bahwa mencari uang adalah urusan dunia belaka dan urusan pribadi!.

Saya berusaha menguraikan bahasa Ilahi itu dengan bahasa dan logika sederhana, sehingga tidak terkesan dogmatis. Meski demikian, saya menyadari bahwa saya menulis buku ini dengan modal nekad alias Bonek (Bondo nekat), karena ilmu dan pengalaman yang terbatas. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian.

Atas terbitnya buku ketiga ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya terutama kepada :

• Kedua orang tua saya, H.M Sadi dan Hj. Suwarti beserta mertua saya KH. A. Muchit Murtadlo dan Hj. Siti Cholifah, atas do’anya yang sangat tulus demi kebaikan hidup saya.

• Murobbi KH. Ahmad Shiddiq (Alm.) – mantan Ro’is Aam PBNU & anggota DPA RI - yang selalu menjadi inspirasi bagi saya untuk bersikap bijaksana.

(11)

• Mursyid Syech KH. Rachmat Hidayat, yang membimbing saya untuk menemukan ‘jati diri’ saya yang sebenarnya. Pemikiran beliau juga ikut memberikan ‘warna’ buku ini.

• KH. Abdullah Gymnastiar, Bambang Trims (Direktur MQS Publishing), KH. Ma’ruf Amin, H. Rahmat Hidayat, Safir Senduk, Ida Kuraeny, Aidil Akbar Madjid, DR. Ir. H. Wahyu Saidi, MSc, Irwan Kelana, Mohammad Sobar dan Yusuf Daud, atas testimoni, kritik dan sarannya.

• Guru – guru dan mentor saya yang tidak saya sebutkan satu per satu. Dengan tidak mengurangi hormat saya, semoga amal baiknya mendapatkan ganjaran yang baik di sisi Allah.

• Rekan – rekan di penerbit SolusiSukses dan pihak terkait lainnya.

Akhirnya, semoga buku ini dapat memberikan manfaat yang sebesar – besarnya kepada kita semua. Amiiinn….

Jakarta, April 2006 Salam sukses dunia akhirat, Safak Muhammad

(12)

Rukun 1

Revolusi Mental dan Keyakinan

• Kaya Berawal dari Pikiran

• Kaya adalah Pilihan

• Memaknai Keberkahan Finansial

• Membuang Keyakinan Salah

(13)

Kaya Berawal Dari Pikiran

Kaya bukan hanya tentang berapa banyaknya uang yang kita miliki, tetapi kaya lebih menyangkut pola berpikir dan berperilaku. Sebab bila kaya hanya menyangkut banyaknya uang, kita masih menyaksikan banyak orang memiliki kekayaan berlimpah tetapi tetap saja merasa kekurangan (miskin). Bila kaya juga identik dengan uang saja, nyatanya kita juga masih menyaksikan banyak orang memiliki kekayaan tapi tidak merasakan kemakmuran dan kebahagiaan dalam hidupnya. Disinilah pentingnya seseorang untuk mampu menata hati dan pikirannya agar dapat bermental kaya sebelum benar - benar kaya dan berkelimpahan dalam materi.

Dengan memiliki mental kaya, orang akan memiliki persepsi yang mendekati kesempurnaan terhadap harta - kekayaan. Pemahaman itu menyangkut hakikat kekayaan sebagai berikut : Pertama, besar kecil kekayaan tidak menjadi masalah, karena kekayaan hanyalah pelengkap dan sarana hidup di dunia. Ketika mendapatkan rejeki sedikit, kita tetap bisa bersyukur dengan tidak mengurangi kerja optimal. Begitu pula ketika diberikan kekayaan berlimpah, membuat mabuk ‘kepayang’ dan lupa bersyukur.

Bagi yang bermental kaya, besar maupun kecil harta yang dimiliki tetap saja cukup!. Sebab tidak sedikit lho, orang berpenghasilan besar dan memiliki kekayaan berlimpah tetapi hatinya masih merasa kekurangan (miskin). Sikap ini muncul karena menganggap harta dan kekayaan bisa dijadikan jaminan kehidupan dan kebahagiaan. Untuk itulah orang yang mentalnya miskin menumpuk-numpuk kekayaan dengan cara apa pun. Berbeda dengan orang yang bermental kaya, mereka tidak menganggap besar - kecilnya kekayaan sebagai jaminan kehidupan dan kebahagiaan. Sebab kecukupan itu adanya dalam pikiran, demikian juga kebahagiaan. Bila mereka mendapatkan rejeki sedikit mereka tetap merasa cukup, karena akan menggunakan dengan sebaik -baiknya.

Kedua, tidak melekatkan cinta harta - kekayaan ke dalam hati secara berlebihan. Seseorang yang bermental kaya tidak pernah menjadikan harta kekayaan sebagai tujuan akhir. Niat memiliki harta hanya sebagai ‘kendaraan’ dan ‘alat’ kehidupan. Sebagai alat, tentu akan digunakan sebaik - baiknya. Sekarang bayangkan peralatan mobil kita. Pernahkah kita merasa alat itu harus disimpan saja dan tidak boleh digunakan ketika mobil rusak? Tentu saja tidak. Kita gunakan alat tersebut secara maksimal, untuk apa saja. Kita tidak sayang menggunakannya. Kita tidak takut alat akan kotor, patah bahkan rusak sama sekali, karena tujuan kita bukan memiliki alat itu untuk disimpan tetapi untuk diambil manfaatnya. Begitu pula dengan harta yang kita miliki, seharusnya tidak dicintai secara berlebihan sehingga kita sibuk ‘merawat’ dan menumpuk-numpuknya. Kita tidak boleh sayang ketika harta dibutuhkan untuk ‘merawat’ kehidupan ini, seperti bersedekah dan ibadah.

Berlawanan dengan mental kaya adalah mental miskin. Seseorang yang bermental miskin selalu mengeluh, menyalahkan keadaan dan merasa kalah sebelum bertanding. Biasanya mereka mangatakan :

”Saya tidak akan pernah kaya!”.

“Saya tidak bisa sukses, karena pendidikan saya rendah”. Tetapi bila sudah sarjana mereka akan mengatakan :

(14)

“Bagaimana saya dapat bersaing dengan alumni universitas ternama seperti UI, IPB, UGM bahkan alumni luar negeri?. Saya sendiri hanya sarjana dari universitas tidak terkenal”

“Saya tidak punya modal”

“Penghasilan saya selalu tidak cukup, karena kebutuhan selalu meningkat”, dan lain sebagainya.

Mental miskin menyebabkan seseorang tidak mau berbuat banyak. Mengeluh, mengeluh dan mengeluh saja!. Orang bermental miskin merasa cepat lelah dan putus asa menghadapi kehidupan ini. Hal ini disebabkan karena apa pun yang tidak sesuai dengan keinginan, membuat dirinya kecewa. Dalam keyakinannya, apa yang akan dilakukan tidak akan memberikan hasil sesuai keinginan. “Kerja keras hanya sia-sia!”, begitu kira -kira yang selalu ada dalam pikirannya. Sikap pesimis mendominasi pikiran. Mereka berpikir bahwa sukses atau kaya adalah sebuah keberuntungan. Mereka lupa bahwa kekayaan dan kesuksesan dapat diraih oleh siapapun dari latar belakang apa apa pun.

Tidak benar jika cara untuk meraih ‘pohon uang’ itu sangat rahasia dan tidak dapat dipelajari semua orang. Tidak benar jika ‘pohon uang’ itu hanya untuk orang - orang pilihan. Sama halnya dengan kebahagiaan, uang juga timbul dari dalam diri sendiri. Uang hanyalah perwujudan lahiriah dari fokus batiniah dan pemikiran - pemikiran yang diarahkan kepada target spesifik, sehingga kaya itu sebenarnya bermula dari pikiran. Oleh karena itu kita harus mulai kaya dalam pikiran sebelum benar - benar kaya dalam materi. Sikap dan keyakinan ini harus ditanamkan sejak dini. Bila keyakinan ini sudah tertanam, seluruh langkah akan diarahkan menuju pencapaian dari keyakinan tersebut.

Keyakinan itu adanya dalam hati, seperti bahasa komputer (soft ware). Dalam bahasa komputer polanya selalu :

IF (JIKA) .... THAT (MAKA) ... Bila begini... maka ...

Keyakinan juga demikian, mengikuti pola (rumus) yang kita buat sendiri. Bila polanya salah, hasilnya juga salah. Bila kita yakin gagal... maka kita malas berbuat dan kita akan benar-benar gagal!. Bila kita yakin akan miskin, maka kita akan malas berpikir dan bekerja dan kita akan benar – benar miskin. Keyakinan bawah sadar kita mengatakan bahwa bekerja sekuat dan secerdas apapun toh hasilnya tetap miskin. Kita merasa semua adalah takdir dan kita akan berhenti bekerja!. Kita juga tidak berpikir panjang terhadap uang kita. Punya uang berapapun, habis untuk urusan perut dan kesenangan semu lainnya. Maka yang terjadi, akan miskin beneran! Begitu seterusnya. Pola itu berlanjut terus pada orang-orang bermental miskin. Kehidupan ini bermula dari pikiran dan keyakinan kita sendiri. Melalui pikiran, impian seseorang akan benar - benar menjadi kenyataan, sebagaimana hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Muslim :

“Aku (Allah) sesuai prasangka hamba-Ku pada-Ku dan Aku (Allah) bersamanya apabila ia memohon kepada-Ku”.

(15)

Nah, untuk mengubah pikiran dan keyakinan jelek, kita harus fokus pada kata-kata positif. Kita harus memilih kata-kata - kata-kata dan susunan kata-kata-kata-kata yang benar. Ini artinya kita harus mengubah kalimatnya. Misalnya :

• Ketika kita sedang bingung. Sebaiknya tidak mengatakan bingung, tetapi katakanlah, “Saya masih butuh informasi tentang hal itu”. Dengan mengatakan seperti itu, otak akan berpikir bagaimana mencari informasi tambahan, bukan mengeluh karena bingung.

• Ketika bisnis bangkrut sebaiknya mengatakan, ”Bisnis saya sedang butuh perhatian dan kerja keras”. Ini artinya, kita akan berusaha mencari solusi untuk mengatasi masalah kebangkrutan, bukan menyesali kondisi yang ada karena semakiin terpuruk.

• Gaji tidak naik, sebaiknya tidak mengatakan, “Bila gaji tidak naik, saya tidak perlu kerja keras lagi”. Kalimat seperti itu akan menjadikan kita semakin terpuruk karena semangat kerja menurun. Bandingkan bila diubah, “Kalau gaji tidak naik, saya harus bekerja lebih baik lagi, lebih berprestasi dan mudah -mudahan perusahaan meningkat dan gaji naik. Kalau tidak naik juga, perusahaan lain akan menawarkan kerja dengan fasilitas & gaji lebih menarik”.

• Uang kita sedikit, sebaiknya mengatakan, ”Uang saya perlu ditingkatkan, bagaimana caranya?” Dengan mengatakan seperti itu, otak akan berpikir mencari alternatif sumber penghasilan lainnya. Bandingkan bila kita mengatakan, “Uang saya hanya sedikit, walau saya sudah bekerja keras”. Mental jadi drop (turun) dan kita akan berhenti berpikir. Padahal dengan merasa sudah bekerja keras, apakah memang benar kita sudah bekerja keras? Bisa jadi itu hanya penilaian subyektif. Kita bekerja hanya 6 jam sehari dengan bersantai ria, tetapi kita sudah merasa bekerja keras. Masih banyak kata-kata positif untuk menggantikan kondisi yang negatif. Dengan kata-kata positif, motivasi akan meningkat dan menambah keyakinan untuk sukses. Mental kaya biasanya memiliki ciri sebagai berikut:

1. Optimis. Hidup ini berputar seperti roda. Kadang putarannya sangat cepat, lambat atau sedang - sedang saja. Ketika roda sedang diatas yang berarti kehidupan dalam keberuntungan, kita berharap posisi itu dapat dipertahankan. Tapi sebaliknya, bila posisi sedang dibawah roda kehidupan, maka kita berusaha agar dapat naik. Masalahnya, usaha untuk tetap beruntung atau usaha untuk bisa keluar dari penderitaan adalah sesuatu yang tidak pasti hasilnya. Inilah pentingnya sikap selalu optimis. Sikap yang selalu berharap kebaikan dan keberhasilan berpihak pada diri kita dan menerima hasil apa pun yang terjadi.

2. Selalu bersyukur. Seseorang yang memiliki mental kaya akan selalu bersyukur, apapun nikmat yang diterima. Bekerja dengan hasil kecil, kita tetap bisa bersyukur, apalagi bila hasilnya memuaskan. Orang seperti itu selalu ingat firman Allah, “Apabila engkau mensyukuri nikmat-Ku maka Aku akan menambahnya, dan apabila engkau mengingkari nikmat-Ku, sesungguhnya siksa-Ku amat pedih …….”

Berpikir salah Pekerjaan salah Hasil jelek Berpikir benar Pekerjaan

(16)

3. Tawakkal (berserah diri secara total). Orang yang bermental kaya selau sabar menerima hasil yang tidak diinginkan. Dia juga pasrah dan berserah diri kepada Allah, setelah berusaha dan bekerja maksimal. Dia percaya bahwa Allah selalu mencukupi kebutuhannya. Sebagaimana dalam firman-Nya : “…… dan memberinya rejeki dari arah yang tidak disangka - sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakkal (menyerahkan diri kepada Allah) niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya)…..”. QS At-Thalaaq (65) : 3.

(17)

Kaya adalah Pilihan

“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasan - perhiasannya, (niscaya) Kami penuhi kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka di dunia dan mereka di dunia tidak dirugikan.

QS. Huud, (11) : 15 Sangat jelas sekali firman tersebut bahwa Allah akan menjamin rejeki ummat-Nya asalkan mau berusaha. Allah memberikan pilihan apakah kita menghendaki kehidupan dunia (kaya) ataukah tidak, semua terserah kita.

Jadi, hidup adalah pilihan. Siapa pun yang hidup di dunia ini harus memilih dan siap menerima segala konsekuensinya. Memang ada hal - hal tertentu dimana kita tidak bisa memilih seperti bentuk phisik, asal – usul keturunan (etnis) serta lainnya. Dalam bahasa Islam ada dua jenis takdir yang diberikan kepada manusia yaitu takdir yang sudah terjadi dan sudah menjadi ketetapan Allah atau disebut Qadar dan takdir yang belum terjadi dan masih bisa berubah atau disebut Qadha. Artinya, manusia yang lebih banyak menentukan (memilih) apakah ia akan menjadi orang sukses, gagal, miskin, kaya, baik atau buruk. Masalahnya justru disini, karena pilihan manusia itu yang tidak pasti (bisa salah - bisa benar), sementara takdirnya sudah pasti.

Bila seseorang memilih bodoh, mereka memilih tidak belajar. Memilih miskin, dengan cara malas bekerja dan berusaha. Memilih gagal dalam hidup, jalannya bermalas - malasan dan sebagainya. Itulah sebabnya hidup kita sekarang ini sebenarnya merupakan hasil dari serangkaian pilihan-pilihan yang telah kita lakukan di masa lalu. Allah dengan jelas mengatakan bahwa Dia tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya. Ini suatu indikasi yang sangat - sangat jelas yang diberikan Allah kepada umat – Nya.

Kita hanya bisa memilih, melakukan usaha serta mengikuti proses sunnatullah. Kita tidak tahu berapa jumlah proses dan jumlah usaha yang harus kita lakukan. Ketika kita tidak melakukan sama sekali usaha, maka kita langsung mendapatkan Qadar (hasil akhir). Demikian juga ketika kita hanya melakukan usaha dan proses 2 kali padahal seharusnya 4 kali, maka pada saat itu kita juga langsung mendapatkan Qadar. Seandainya kita melakukannya 4 kali usaha, mungkin hasilnya akan berbeda.

“Kamu pasti menjalani (keadaan) tingkat demi tingkat”

QS. Al – Insyiqaaq (84) : 19

Qadha

1

Qadar

HASIL

AKHIR

Qadha

2

Qadha

3

Pilihan, Usaha 1

Proses 1 Pilihan, Proses 2

Usaha 2 Usaha 3Pilihan, dst …

(18)

Meski Allah secara jelas dan tegas telah memberikan keleluasaan kepada manusia untuk menentukan arah kehidupannya, namun anehnya masih banyak orang yang tidak memahami hal ini. Akibatnya masih banyak orang tidak memilih kaya karena beranggapan kaya atau miskin merupakan takdir dan harus diterima begitu saja. Persepsi ini berakibat ‘fatal’ karena (biasanya) orang tersebut tidak melakukan usaha - usaha yang signifikan. Mereka bersikap pasif, menerima begitu saja ‘takdir’ tanpa berusaha. Dalam bahasa Prof. Amartya Sen, penerima Nobel 1998 bidang ekonomi, “Orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu”.

Secara eksplisit (tersirat) maupun secara implisit (tidak tersirat) baik dalam Al - Qur’an maupun Hadits banyak berisikan anjuran dan petunjuk untuk hidup berkecukupan. Simak Hadits Nabi yang menganjurkan seorang muslim untuk berbuat sebaik-baiknya untuk dunianya seakan-akan hidup selamanya dan pada saat yang bersamaan dianjurkan untuk beribadah sebaik-baiknya seolah-olah akan mati besok. Dalam ibadah shalat yang berjumlah 17 raka’at dalam sehari disana juga berisi do’a – do’a agar diberikan rejeki, seperti pada do’a iftirasy (duduk diantara dua sujud) yang berbunyi : “Robbighfirlii (ampuni kami), warhamnii (sayangilah aku), wajburnii (tunjukkanlah kekurangan kami), warfa’nii (berilah derajad yang baik), Warzuqnii (berilah rejeki), wahdinii (berilah petunjuk), wa’afinii (berilah kesehatan), wa’fu’annii (ampunilah aku)”. Dalam shalat dhuha juga dianjurkan berdo’a, “Ya Allah, bila

rejekiku masih di langit, turunkanlah - bila masih di bumi, keluarkanlah - bila masih jauh dekatkanlah - bila haram, sucikanlah dan bila sulit mudahkanlah!”. Bahkan ketika Rasulullah hijrah dan tiba di Madinah, beliau

mendirikan pasar sesaat setelah membangun masjid Nabawi. Dari sini kita bisa menafsirkan bahwa begitu pentingnya masalah ekonomi umat, termasuk pentingnya hidup berkecukupan bahkan kaya.

Meski demikian, masih banyak umat Islam yang ‘keliru’ mempersepsikan kekayaan, sehingga banyak yang menjauhi kekayaan dan kegiatan bisnis. Dengan alasan sufi, para ustadz dan kiai ada yang berusaha menjauhi kekayaan dunia, padahal pengertian sufi

(zuhud) tidak demikian adanya. Harta kekayaan bagi sufi sejati sebenarnya hanyalah

sebagai pelengkap dunia, tetapi tidak dilekatkan dalam hatinya sampai menjadi

hubbuddun – yaa (cinta dunia berlebihan).

Beberapa faktor yang menyebabkan orang ‘tidak mau’ memiliki kekayaan diantaranya karena alasan bahwa kekayaan tidak dibawa mati, tidak dapat membeli kebahagiaan, tidak dapat membeli cinta, dapat menjauhkan diri dari Allah, menimbulkan keserakahan, sudah takdir miskin dan sebagainya. Kekayaan memang tidak dibawah mati. Tetapi bukankah kekayaan bisa dinikmati di alam kubur sampai akhirat karena kita telah membelanjakannya ke jalan Allah? Berapa harta yang kita amalkan atau belanjakan di jalan Allah, itulah harta kita sesungguhnya karena harta sesungguhnya bukan dari jumlah yang kita makan atau simpan didunia. Bila demikian, orang kaya memiliki peluang yang lebih besar untuk membelanjakan sebanyak - banyaknya hartanya di jalan Allah dibandingkan orang miskin. Dalam sebuah hadits disebutkan salah satu golongan umat Islam yang diutamakan masuk surga adalah orang kaya yang dermawan. Dalam hadits yang lain juga dijelaskan bahwa hanya ada tiga amalan yang berguna dan terus mengalir pahalanya bagi orang yang sudah meninggal dunia yaitu anak yang shalih – shalihah, sedekah jariyah dan ilmu yang bermanfaat.

Meski Islam menganjurkan kita meraih kekayaan, namun niat untuk hidup kaya harus didasarkan pada prinsip - prinsip yang benar. Diantara prinsip – prinsip itu adalah bahwa harta kekayaan hanyalah sasaran antara untuk menuju kehidupan lebih kekal di

(19)

akhirat. Kaya bukanlah tujuan, tetapi kaya hanyalah sarana. Konsep ini tidak terlepas dari prinsip bahwa kekayaan adalah amanah. Amanah berarti titipan yang sewaktu-waktu diberikan kembali kepada-Nya. Niat hidup kaya juga harus didasarkan pada prinsip bahwa sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi sesamanya. Dengan harta yang kita miliki, kita akan lebih bermanfaat karena tangan bisa selalu diatas dengan memberikan sedekah.

“Tangan diatas itu lebih baik dari tangan dibawah”

(HR.Bukhari). Islam memberikan warning (peringatan) agar umatnya tidak hidup miskin (fakir), karena kefakiran mendekatkan pada kekufuran!. Meskipun demikian Islam juga memberikan peringatan agar kita tidak hidup dalam kemewahan. Peringatan ini bisa dilihat dalam surat At-Takaatsur.

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Dan janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahanam. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul

yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai tentang kenikmatan (yang kamu megah -

megahkan di dunia itu)”.

Q.S At – Takaatsur (102) : 1 – 8 Bahkan karena kesempurnaan Islam, Allah melarang beramal dengan cara yang berlebih – lebihan. Mari perhatikan ayat berikut.

“Dan orang - orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah - tengah antara yang demikian”

Q.S Al - Furqaan (25) : 67 Inilah yang sangat membedakan antara hidup kaya dengan hidup dalam kemewahan. Orang kaya belum tentu hidup mewah, demikian juga orang miskin belum tentu hidup dengan kemiskinannya. Bisa saja orang miskin hidup dalam kemewahan karena selalu membelanjakan uangnya diatas kemampuan, gali lubang tutup lubang. Hutang sana-hutang sini!.

Kita bisa memilih akan dibawah kemana hidup ini. Kita memang boleh menyukai apa yang akan dikerjakan, tetapi harus ingat bahwa memilih sesuatu, menyukai sesuatu, semuanya harus dengan wajar. Janganlah kita memiliki sikap berlebihan, karena Allah berfirman :

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”

Q.S Al – Baqarah (2) : 216 Ini adalah indikasi bahwa sekuat apapun keinginan untuk menjadi dan memiliki sesuatu, akhirnya Allah juga yang menentukan. Allah yang mengetahui apakah itu baik atau tidak buat kita. Oleh karena itu apapun putusan-Nya harus diterima, pasrah dan tawakkal (berserah diri).

(20)

Bila ada orang yang mengatakan tidak ingin meraih kekayaan namun mereka menghabiskan waktu, pikiran dan tenaganya untuk mencari uang – demi ‘sesuap nasi’ – sebenarnya mereka itu orang ‘bodoh’. Mereka adalah orang - orang yang menjalani kehidupan dengan tidak ‘cerdas’. Mereka hanya BEKERJA, BEKERJA dan BEKERJA berdasarkan rutinitas dan lebih mengandalkan kenyamanan sesaat (status quo). Sebab bila berpikir secara cerdas, seharusnya mereka akan selalu berusaha meningkatkan kualitas hidupnya dengan cara - cara baru. Mereka akan berusaha memotong rantai kemiskinan yang melilit dirinya. Bila hal itu dilakukan dan berhasil, maka seseorang tidak lagi diperbudak oleh kebutuhan - kebutuhan sesaat – seperti urusan perut dan sejenisnya. Tidak lagi harus mengorbankan seluruh waktu dalam hidup ini hanya untuk mencari uang, kemudian habis begitu saja. Karena hidup ini hanya sekali dan waktu terbatas, alangkah indahnya bila waktu ini diberdayakan lebih baik lagi untuk bisa berkecukupan tapi tetap dekat Sang Khaliq, sang Pencipta Alam Semesta ini.

Oleh karena itu, mengapa kita tidak memposisikan diri agar bisa bebas secara finansial dan bebas menggunakan waktu? Kenapa tidak berusaha sedemikian rupa sehingga kita mempunyai lebih banyak waktu - untuk kegiatan lain yang lebih bervariasi dan bermanfaat – sementara tingkat kehidupan tetap berjalan normal? Inilah yang biasanya dilakukan oleh orang cerdas. Umat Islam harus cerdas dan janganlah kecerdasan itu hanya dimiliki oleh umat lain yang saat ini secara ekonomi kesejahteraannya lebih baik.

Memilih hidup kaya agar bebas secara finansial bukan berarti mengorbankan segalanya. Justru dengan memilih hidup kaya, kita akan bekerja secara efektif, efisien dan lebih cerdas lagi. Kegagalan dalam hidup atau kegagalan dalam mendapatkan uang, akan selalu dievaluasi untuk mendapatkan cara - cara yang lebih baik. Untuk itu kita harus menjadi manusia yang senantiasa mau belajar secara terus menerus dalam hidup. Tidak cepat puas dan tidak cepat menyerah. Semuanya adalah sebuah proses kehidupan yang senantiasa berubah dan harus disikapi dengan sikap yang berbeda pula. Sikap yang berbeda inilah mengharuskan ilmu yang selalu baru agar tidak ketinggalan dengan perubahan kehidupan ini.

Berkenaan dengan hal tersebut, umat Islam jangan ragu lagi memilih hidup kaya, hidup berkelimpahan!. Karena inilah salah satu cara umat Islam menjadi besar dan tidak mudah dipermainkan oleh orang - orang yang ingin menghancurkan Islam melalui penguasaan ekonomi. Dengan cara ini pula kita bisa membantu saudara - saudara yang tidak mampu. Kita juga bisa membangun dan menggerakkan perjuangan Islam melalui kemandirian ekonomi umat. Sebab bagaimana mungkin kita berjuang demi Islam bilamana masih disibukkan dengan urusan perut? Justru saya khawatir apa yang kita lakukan ‘demi’ Islam itu tidak lagi murni untuk Islam. Sebab bisa jadi kita mencari makan dengan ‘menjual’ atau mengatasnamakan demi Islam! Astaghfirullah, nauudzu min dzalik!

(21)

Memaknai Keberkahan Finansial

Akhir-akhir ini kata kebebasan finansial (financial freedom) menjadi perbincangan banyak orang. Istilah kebebasan finansial dipopulerkan oleh Robert T. Kiyosaki dalam beberapa bukunya seperti Rich Dad Poor Dad dan The Cashflow Quadrant. Dalam bukunya Kiyosaki menjelaskan kebebasan finansial adalah ketika seseorang berada pada jalur bisnis, dimana orang - orang bekerja untuknya dan dalam jalur kuadran investor dimana uang bekerja untuknya, sehingga orang tersebut telah bebas untuk bekerja atau tidak bekerja secara phisik.

Apakah kebebasan finansial tersebut identik dengan kaya? Masih menurut Kiyosaki, kaya lebih menekankan pada seberapa lama orang bisa bertahan hidup dengan tetap mempertahankan tingkat kehidupannya tanpa harus bekerja secara phisik atau tanpa siapapun dalam keluarganya bekerja secara phisik. Sedangkan dalam buku Wealth

Magic tulisan Peter Spann, kebebasan finansial adalah apabila penghasilan yang diterima

seseorang dari investasi melampaui jumlah yang dikeluarkan setiap tahunnya. Sedangkan kaya apabila seseorang memiliki banyak uang (tapi berapa jumlah minimalnya, tidak jelas!). Dengan kondisi demikian, menurut Spann orang tersebut dapat dikatakan kaya dan untuk mencapai hal tersebut seseorang harus bisa hidup dari tujuh puluh persen penghasilannya dan sisanya tiga puluh persen digunakan untuk mengumpulkan aset - aset yang akan menambah nilai.

Bila kita cermati, baik Kiyosaki maupun Peter Spann tidak mengaitkan pengertian kaya dan kebebasan finansial dalam jumlah tertentu, karena jumlah kekayaan itu sangat relatif. Tetapi mereka lebih menekankan kebebasan finansial semata - mata untuk kehidupan dunia, dengan segala kebutuhan materinya. Tidak terlihat dimensi ukhrowi (masa depan setelah mati) atau sentuhan spiritual.

Kebebasan finansial memang tidak identik dengan penghasilan berlimpah karena itu bukanlah jaminan. Kunci utamanya adalah untuk apa uang dibelanjakan atau di investasikan. Buktinya banyak kisah tragis orang-orang berpenghasilan melimpah akhirnya jatuh miskin karena gagal mengelola uangnya. Salah satu kasus yang pernah dibicarakan di berbagai media cetak maupun elektronik adalah Mike Tyson. Pada bulan Juni 2004 lalu, melalui pengacaranya, Tyson mengisi formulir proteksi kebangkrutan di pengadilan New York. Sementara itu Don King yang selama ini menjadi promotornya dipecat dan dituntut ke pengadilan karena dianggap salah dalam mengelola (menyelewengkan) uangnya. Bila dilihat dari sisi penghasilan selama berkarir, Tyson hampir mengumpulkan 400 juta dolar AS, namun semua itu habis akibat gaya hidup foya-foya dan ulahnya seperti membeli rumah mewah, mobil, perhiasaan, maupun tunjangan perceraian. Ironisnya, Tyson kini harus menanggung hutang sebesar 43 juta dolar.

Islam memiliki konsep yang sempurna terhadap harta (kekayaan), yaitu bagaimana cara memperolehnya dan membelanjakan. Bagaimana pula menempatkan hati terhadap kekayaan. Harta adalah titipan (amanah) Allah karena itu harus dipertanggungjawabkan di akhirat. Harta dikatakan sebagai titipan karena didalamnya terdapat hak orang lain seperti fakir miskin, anak yatim, kegiatan fisabilillah (berjuang di jalan Allah). Dalam mengelola harta seharusnya seperti kran air yang menyalurkan air kepada siapapun yang membutuhkan. Tidak pilih kasih, tidak pandang bulu!. Perhatikan kran air, siapa pun yang memutar kran, airnya akan keluar. Tugas kita juga seharusnya seperti tukang parkir yang menjaga mobil alias ‘kekayaan’ titipan. Sewaktu - waktu sang pemilik mobil pasti mengambilnya dan tukang parkir tidak merasa kehilangan. Ia rela

(22)

memberikan kepada pemiliknya, kapan pun juga!. Sikap ini muncul karena tidak ada

kemelekatan harta dalam hatinya.

Menurut Islam, orang disebut kaya bila bisa berbagi dengan berzakat, infak, sedekah serta kegiatan sosial lainnya. Harta atau kekayaan dunia bukanlah milik kita, tetapi seberapa besar ‘dibelanjakan’ itulah harta sebenarnya. Sikap ini harus kita tekankan karena kekayaan tidak dibawa mati. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa hanya ada tiga hal yang menjadi milik kita atas kekayaan yaitu : apa yang kita makan kemudian habis, apa yang kita pakai kemudian hancur dan apa yang kita sedekahkan (amal) kemudian kekal. Sisanya (diluar tiga hal itu) akan hilang atau diwariskan untuk anak, istri, atau bahkan orang lain.

Bila Kiyosaki berbicara hanya tentang kebebasan finansial dari sisi kemiskinan – karena dia sendiri pernah jatuh miskin, Islam tidak hanya berbicara kebebasan dari kemiskinan tetapi juga kebebasan dari kekayaan. Kita harus terbebas dari ‘cengkraman’

alias penjara harta. Dengan kebebasan dari kekayaan atau bisa disetarakan zuhud

(cinta dunia yang biasa -biasa saja, tidak berlebihan), maka seseorang bebas berbuat apa saja atas kekayaannya untuk beramal shaleh. Tidak pelit – bakhil, juga tidak takut kekurangan (miskin). Dengan konsep ini, seorang muslim seharusnya tidak lagi takut mencari dan memiliki kekayaan berlimpah. Tidak pula menonjolkan sisi negatif atas kekayaan, dengan alasan sufi. Tidak juga mengikuti Qorun atau Tsa’labah yang terperosok gara-gara harta.

Konsep ini didasarkan pada azas manfaat yang sebesar -besarnya kepada orang lain. Semakin besar penghasilan dan kekayaan seseorang maka semakin besar pula orang ‘membelanjakan’ hartanya di jalan Allah. Seorang berpenghasilan Rp.5 juta rupiah per bulan, zakatnya hanya Rp.125 ribu tentu sangat berbeda dengan orang berpenghasilan Rp.100 juta per bulan dengan zakat Rp.2,5 juta karena manfaatnya lebih besar kepada masyarakat. Selain zakat, orang berpenghasilan besar juga berpeluang mengeluarkan infaq dan sedekah lebih besar. Berkenaan dengan ini saya teringat sahabat saya yang mengatakan,”Hidup ini terlalu indah, jadi mengapa harus disia-siakan? Inilah kesempatan berbuat dan bermanfaat kepada umat, baik dengan harta, tenaga maupun pikiran. Seorang muslim jangan menjadi beban bagi Saudaranya!” Kalau dalam bahasa Paul Hana, motivator bisnis dari Australia,

“Cara terbaik untuk menolong orang miskin adalah dengan tidak menjadi salah satu dari mereka”.

Hana benar, karena bagaimana mungkin orang miskin atau orang lemah bisa membantu orang lain. Mengurus dirinya sendiri saja tidak becus!. Dengan pemahaman seperti itu, maka harta kekayaan akan membawa keberkahan - suatu kondisi dimana sesuatu yang kita miliki (kekayaan) berapapun jumlahnya akan memberikan manfaat optimal dunia – akhirat dan memberikan perasaan berkecukupan. Keberkahan bisa juga berarti ziyaadul

khair atau bertambahnya kebaikan. Dengan demikian, rejeki kecil cukup, apalagi rejeki

besar tambah cukup lagi. Inilah yang membedakan dengan kebebasan finansial yang dianut oleh orang - orang barat diantaranya Kiyosaki dan Peter Spann. Karena mereka tidak berbicara apakah uangnya bermanfaat secara optimal atau tidak. Mereka hanya fokus pada kecukupan materi semata, untuk apa pun sesuai nafsu pemiliknya. Bagi orang yang sudah mencapai kebebasan finansial ala orang barat, uang Rp.100 juta bisa dihabiskan dalam tempo beberapa menit tanpa manfaat jelas atau tanpa sentuhan spiritual. Perhitungan mereka semata-mata hanya berdasarkan apakah pengeluaran tersebut masih lebih besar dari penghasilan atau tidak.

(23)

Selama ini banyak orang mengidentikkan keberkahan finansial dengan kecukupan dalam jumlah kecil. Itulah sebabnya sering ada pernyataan, “Biar kecil yang penting berkah”. Jarang yang mengatakan, “Biar besar asalkan berkah”. Paradigma ini harus diluruskan agar orang terdorong untuk menjadi kaya dan setelah kaya tidak terikat oleh kekayaannya karena suka beramal. Demikian juga orang - orang kaya di negeri ini akan mendapatkan keberkahan, karena tidak menumpuk - numpuk harta dengan cara menghalalkan segala cara.

Kini saatnya orang tidak hanya mengharapkan keberkahan ketika rejekinya kecil, tetapi juga saat rejekinya berlimpah. Jadi kita tidak lagi berpikir minimalis dengan mengatakan, “BIAR MISKIN ASAL BERKAH” tetapi mengubah paradigma menjadi,

”BIAR KAYA ASAL BERKAH”. Dengan demikian, BIAR MISKIN ASAL BAHAGIA TENTU TIDAK CUKUP BILA BISA KAYA DAN BAHAGIA!

Untuk mendapatkan gambaran lebih lanjut tentang keberkahan finansial, saya memberikan contoh berikut. Cerita ini saya kutip dari sebuah harian Tempo yang menceritakan seorang pegawai sebuah perusahaan penerbitan di Kudus – Jawa Tengah. Gaji pegawai itu relatif kecil sekali bila dibandingkan kebutuhan hidup setiap bulannya apalagi dia harus menghidupi dan menyekolahkan enam anaknya. Bahkan kalau dihitung secara matematis, gajinya tidak akan cukup untuk sebulan. Anehnya pegawai itu bisa menyekolahkan 6 anaknya sampai ke perguruan tinggi menjadi sarjana. Dari mana dia bisa sukses secara finansial seperti itu? Dia mengatakan bahwa penghasilannya memberikan berkah. Karena dia meyakini pekerjaan mencetak buku - buku untuk keperluan pesantren membawa berkah. Contoh sebaliknya, seseorang yang memiliki pendapatan tinggi dan kekayaannya sudah berlimpah tetapi hidupnya serba kekurangan. Berapapun penghasilannya selalu kurang bahkan hutangnya bertambah. Inilah yang disebut tidak berkah. Mike Tyson, sebagaimana cerita diatas mungkin salah satu contohnya.

Faktor – faktor yang menyebabkan tidak adanya keberkahan dalam hidup ini, menurut Abu Al-Hamd Abdul Fadhil dalam buku 15 Sebab Dicabutnya Berkah adalah : a. Tidak adanya takwa dan rasa takut kepada Allah

b. Tidak adanya ikhlas dalam beramal

c. Tidak menyebut nama Allah ketika memulai pekerjaan, ketika berdzikir dan beribdah

d. Memakan harta haram

e. Tidak berbakti kepada kedua orang tua dan menelantarkan hak – hak anak f. Memutuskan tali kekeluargaan dan silaturrahmi

g. Tidak bertawakkal kepada Allah dengan sebenar – benarnya

h. Tidak senang dan tidak puas dengan apa yang telah ditentukan Allah i. Melakukan maksiat serta dosa, dan tidak mau bertaubat

j. Mendidik dan membesarkan anak – anak tidak berdasarkan agama k. Membuat kerusakan dibumi

l. Tidak mensyukuri nikmat Allah m. Percekcokan rumah tangga

(24)

Adapun untuk meraih keberkahan finansial, ada lima langkah atau tahapan yang harus dilalui yaitu:

Belajar Rahasia Uang Kecerdasan Finansial Kemapanan Finansial Kebebasan Finansial Keberkahan Finansial

Gambar : Tahapan Keberkahan Finansial

Tahap 1 : Belajar Rahasia Uang

Islam itu agama yang sangat peduli dengan pendidikan. Banyak ayat Al Qur’an maupun hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan umatnya agar selalu belajar. Bahkan dalam firman pertama - Nya, Allah berfirman. ‘IQRA’ – Bacalah!. Membaca apa? Khan waktu itu Rasul tidak bisa membaca? Sebagian ahli tafsir kemudian memaknai perintah itu sebagai seruan untuk belajar dan membaca fenomena alam dan lingkungan sekeliling. Hadits yang juga memerintahkan belajar diantaranya, “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China”, “Menuntut ilmu itu wajib bagi muslim dan muslimah” serta “Tuntutlah ilmu mulai dari kandungan hingga liang kubur”. Apa maknanya semua ini?

Ternyata Allah menghendaki agar manusia selalu belajar secara terus menerus. Apakah belajar hanya terbatas di sekolah sampai Perguruan Tinggi (PT)? Tentu saja tidak, karena ilmu yang sebenarnya banyak di dapat dari ‘sekolah besar kehidupan’ ini. Lalu apa yang harus dipelajari? Kita harus mempelajari semua aspek kehidupan ini, tidak terbatas pada ilmu agama saja. Ilmu kehidupan ini juga penting untuk dipelajari. Bagaimana bertahan hidup, bagaimana bisa mandiri, bagaimana hidup sejahtera sesuai aturan dan sebagainya.

Karena urusan dunia ini begitu luas dan selalu berkembang maka Islam tidak mengatur detail dengan aturan yang kaku. Nabi menyerahkan urusan dunia ini kepada umatnya dengan bersabda, “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu”. Jadi urusan bagaimana meraihnya dunia, bagaimana merekayasa untuk kesejahteraan adalah urusan manusia, selama tidak melanggar ketentuan-Nya.

Itulah pentingnya belajar, terutama belajar tentang finansial karena di dunia ini tidak ada yang bebas dari uang. Semuanya UUD, ujung-ujungnya duit!. Jadi apa pun profesi seseorang, belajar dan mengetahui rahasia uang hukumnya wajib. Apalagi sistem pendidikan di negeri ini belum memberikan pendidikan finansial secara memadai. Bahkan saya berani mengatakan sebagian besar sarjana, master sampai doktor belum tentu memiliki kecerdasan finansial sebanding dengan pendidikannya. Tidak ada jaminan pula kalau mereka memiliki pemahaman finansial yang lebih baik dibanding orang yang hanya lulusan SD, SMP atau SMA.

Karena pendidikan formal tidak mengajarkan ‘melek’ finansial, maka timbullah banyak persepsi - persepi keliru tentang finansial, diantaranya adalah :

1. Semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi penghasilan. Apa memang begitu adanya? Apakah orang berpendidikan tinggi (minimal sarjana), selalu memperoleh pekerjaan layak dan gaji tinggi sehingga hidupnya sejahtera?. Tentu tidak demikian adanya. Pendidikan tidak identik dengan pekerjaan layak karena toh nyatanya banyak pengangguran intelektual. Banyak sarjana yang penghasilannya jauh lebih

(25)

kecil dari lulusan SD - yang mampu belajar dari ‘sekolah kehidupan’ ini – dan sukses menjadi pengusaha. Akibat persepsi yang keliru, maka niat sekolah bagi sebagian besar orang hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Sekolah dan ijasah dianggap sebagai barang investasi dan jaminan mendapatkan pekerjaan sehingga orang yang tidak berpendidikan tinggi berarti tidak memiliki investasi dan masa depannya suram. Semuanya jadi kebalik-balik!. (Baca pula buku Kaya Tanpa Bekerja / Republika, 2004, sub bab : Sekolah, Buah Simalakama?)

2. Penghasilan tinggi, kehidupan aman. Persepsi seperti ini perlu diluruskan. Sudah banyak kisah orang berpenghasilan tinggi, tetapi kehidupannya berakhir tragis karena salah mengelola uang. Salah satunya Mike Tyson yang sudah saya sebutkan diawal. Seseorang akan aman atau tidak finansialnya tidak hanya tergantung tinggi rendahnya penghasilan. Keputusan yang sangat menentukan adalah untuk apa penghasilan itu dibelanjakan. Apakah konsumtif saja atau untuk membeli aset yang menambah nilai dan memberikan passive income?. Bila sebagian besar penghasilan yang diterima untuk membeli kebutuhan konsumtif, hasil akhirnya adalah ‘investasi’ di toilet. Sebaliknya bila untuk ditabung, investasi dan membeli barang produktif maka hasil akhirnya adalah kesejahteraan.

3. Uang adalah segalanya karena bisa menjamin keamanan hidup. Kenyataannya banyak orang memiliki uang banyak tetapi justru takut kehilangan uangnya. Merasa kekurangan terus, sehingga harus menumpuk-numpuk uang. Setelah uang terkumpul, tetap saja tidak membuat hidupnya aman. Yang terjadi sekarang takut miskin kembali!. Ini menunjukkan bahwa uang bukanlah garansi. Kemampuan mendapatkan uang, jauh lebih berharga daripada uang banyak tetapi tidak diimbangi keahlian mengelola dan mendapatkan uang. Buktinya, banyak anak orang kaya jatuh miskin kembali setelah ditinggalkan orang tuanya, meski dengan harta berlimpah.

4. Kekayaan identik dengan kemewahan. Sebenarnya kemewahan adalah satu hal dan kekayaan adalah hal lain. Dalam buku The Millionaire Next Door tulisan Thomas J Stanley dan William D. Danko disebutkan bahwa sebagian besar milyuner di Amerika hidupnya penuh dengan kesederhanaan bahkan tidak mencerminkan sebagai seorang milyuner.

Dalam hidup ini, kalau seandainya kita diberikan umur sampai dengan 65 tahun, maka kita dapat membaginya menjadi 3 (tiga) fase yaitu :

Umur 0 – 25 tahun : Masa Belajar secara formal (sekolah) Umur 26 – 40 tahun : Masa Produktif (bekerja)

Umur 41 – 65 tahun : Masa menikmati

Kalau seseorang ingin menikmati hidup lebih baik dengan waktu lebih, harus benar - benar memperhatikan fase kehidupan tersebut. Tentu kita tidak mau mengalami seperti kebanyakan orang yang menikmati kehidupan hanya pada saat - saat mendekati ajal (usia lanjut). Jangan pernah lagi memiliki persepsi yang keliru bahwa menikmati hidup adalah setelah pensiun. Memang kebanyakan orang menetapkan tujuan – tujuan keuangannya untuk dinikmati saat pensiun, umur 55 tahun. Kesalahan inilah yang kemudian menyebabkan seseorang untuk tidak banyak berpikir dan hanya bekerja santai. Paradigma itu harus diubah. Kalau bisa pensiun muda, mengapa harus pensiun tua? Lebih cepat pensiun (tidak terikat pekerjaan) tentu lebih baik.

Langkah pertama agar kita mampu meraih hal itu adalah belajar tentang kecerdasan finansial. Semakin awal belajar tentang finansial, Insya Allah semakin besar kesempatan meraih keberkahan finansial. Dalam bab - bab selanjutnya kita akan

(26)

berdiskusi tentang rahasia uang, bagaimana merencanakan keuangan dan bagaimana memanfaatkan uang untuk keperluan kita dan bukan kita yang ‘dimanfaatkan’ oleh uang atau dikekang oleh uang.

Tahap 2 : Kecerdasan Finansial

Mengetahui dan memahami kecerdasan finansial sangat perlu karena akan mengantarkan pada pengelolaan keuangan secara benar. Dalam buku The Cash Flow

Quadrant, kecerdasan finansial bukan terutama tentang berapa banyak uang yang

dihasilkan, tapi lebih mengenai berapa banyak uang yang disimpan, seberapa keras uang itu bekerja untuk kita dan berapa banyak generasi yang bisa kita hidupi dengan uang itu.

Dalam tahap ini, kita harus mulai meningkatkan kecerdasan finansial dengan cara :

1. Berpikir dan menyadari bahwa untuk mendapatkan uang tidak harus menggadaikan sebagian besar waktu sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang di dunia. Berdasarkan riset berskala global menunjukkan sekitar 85 persen penduduk dunia mencari uang dengan membarterkan waktunya. Orang - orang yang hidup dalam kategori ini biasanya selalu dalam tekanan waktu, takut di PHK, sakit-sakitan dan takut pensiun karena tidak ada pekerjaan atau penghasilan. Hanya 15 persen penduduk dunia yang bekerja lebih cerdas, lebih smart karena mereka tidak bekerja mencari uang, tetapi bekerja untuk mencari sumber uangnya (dalam bahasa iklan sebuah produk minuman energi, mencari biangnya!). Mereka mencari ‘biang’ uang dengan cara membangun aset yang akan menghasilkan uang. Dari sini kemudian timbul kesadaran bahwa bekerja itu sebenarnya bukan hanya rutinitas, tetapi sebuah proses belajar, belajar dan belajar untuk menemukan cara - cara baru yang lebih baik terutama cara berinvestasi. Dengan pemahaman ini, orang akan semakin bijaksana dalam mengelola uangnya dan menilai pekerjaannya. Tidak takut lagi di PHK atau tidak takut bangkrut karena sudah siap dengan ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki.

2. Mengendalikan hawa nafsu, menunda kesenangan. Setiap rupiah yang dikeluarkan akan diperhitungkan dengan kemanfaatan yang maksimal baik di dunia maupun di akhirat. Menjadi kaya atau bebas secara finansial bukan berarti pelit, tetapi bagaimana memahami bahwa semua itu ada aturannya. Menunda kesenangan bukan berarti tidak boleh menikmati kesenangan hidup, tetapi harus mampu membedakan kesenangan itu berdasarkan kemampuan finansial. Sebab ada kesenangan yang mampu dibiayai atau bahkan tanpa biaya, ada juga kesenangan yang membutuhkan biaya besar diluar kemampuan. Kita juga harus mampu membedakan apakah kesenangan itu diperlukan atau tidak. Sebagai contoh, kehidupan malam dengan nongkrong di kafe setiap hari tentu bukan lagi kebutuhan. Karena refreshing tidak ‘wajib’ setiap hari. Anda mungkin membutuhkan kegiatan tersebut 2 minggu atau 1 bulan sekali bahkan tanpa sama sekali. Contoh lain, misalkan Anda memiliki rumah bagus dan bersih, sementara Anda memaksa menggantikan warna atau mengganti pagarnya dengan yang lebih bagus lagi. Padahal sebenarnya kegiatan itu masih bisa ditunda.

3. Hidup dibawah kemampuan finansial. Artinya, seseorang harus mampu hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya dibawah penghasilan yang diterima, berapa pun. Tidak boleh lebih! Tidak lebih besar pasak dari pada tiang. Tidak ada aturan pasti berapa seseorang harus menggunakan penghasilannya, tapi sebagian besar ahli atau perencana keuangan menganjurkan maksimal 70 persen dari total penghasilan. Sisanya 30 persen untuk ditabung atau diinvestasikan untuk membangun aset

(27)

produktif. Hidup dibawah kemampuan adalah salah satu faktor keberhasilan untuk menjadi milioner.

4. Membayar diri sendiri lebih dulu. Kebanyakan orang membayar dirinya belakangan. Buktinya, ketika menerima gaji, mereka dengan cekatan membayar tagihan telepon, listrik, kartu kredit, dan kebutuhan nafsu lainnya (kebutuhan perut kebawah!). Baru setelah itu, kalau ada sisa ditabung. Tapi…. kenyataannya, tidak ada sisa untuk ditabung! Kondisi ini harus diubah dengan menabung lebih dulu (membayar diri sendiri) dan sisanya untuk digunakan keperluan rutin.

5. Mampu membedakan barang konsumtif dan aset produktif. Perbedaan yang paling signifikan antara kedua barang ini adalah barang konsumtif setiap tahunnya mengalami penurunan nilai dan biasanya membutuhkan biaya perawatan besar seperti mobil mewah, handphone, rumah mewah. Sedangkan barang produktif nilainya naik setiap tahun dan bisa menghasilkan seperti properti.

6. Mengetahui rahasia uang. Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini, Anda bisa membaca bab berikutnya.

Tahap 3 : Kemapanan Finansial

Apakah yang dimaksud dengan kemapanan finansial? Godo Tjahjono, perencana keuangan dari International Association Registered of Financial Consultant (IARFC) mendefinisikannya sebagai suatu kondisi dimana seseorang dapat memenuhi kebutuhannya, baik jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, dengan cara positif menggunakan kekuatan sendiri dan tidak tergantung pada orang lain (Bisnis Uang, No.28/II/18 – 31 Agustus 2005).

Kemapanan finansial ini lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan hidup hingga meninggal dunia, meski seseorang harus tetap bekerja sampai akhir hayatnya. Orang yang memiliki kemapanan finansial adalah orang – orang yang memiliki rencana finansial lengkap, sehingga kemungkinan besar orang tersebut mampu mencukupi kebutuhan - kebutuhan, tentu yang sesuai rencananya. Apakah status mereka bisa turun menjadi orang yang tidak mapan secara finansial? Tentu saja bisa, namun biasanya segala kemungkinan buruk sudah dipersiapkan dan diantisipasi.

Tahap 4 : Kebebasan Finansial

Masih menurut Robert T. Kiyosaki, kebebasan finansial adalah ketika seseorang berada pada jalur bisnis, dimana orang -orang bekerja untuknya dan dalam jalur kuadran investor dimana uang bekerja untuknya, sehingga memiliki passive income dan pengeluarannya lebih rendah dari passive income (penghasilan yang terus mengalir meski seseorang tidak bekerja lagi). Dengan kondisi seperti ini seseorang sudah tidak lagi ada ‘kewajiban’ secara phisik untuk bekerja.

Namun demikian, orang yang sudah meraih kebebasan finansial bisa saja kehilangan ‘status’nya atau statusnya turun karena adanya peningkatan pengeluaran atau kebutuhan hidup sementara passive income tetap atau bahkan menurun. Untuk itulah proses belajar dan perencanaan keuangan yang baik tetap diperlukan meski kondisinya sudah pada kebebasan finansial.

Tahap 5 : Keberkahan Finansial

Kondisi ini merupakan tahapan paling tinggi dalam pengelolaan keuangan, karena kita sudah bebas secara finansial dan karena setiap pengeluaran keuangan selalu memberikan manfaat sebesar - besarnya bagi kehidupan dan akhirat. Dalam keberkahan finansial ada dua hakikat yaitu :

(28)

1. Merdeka secara ruhani. Saya maksudkan sebagai kebebasan atau kemerdekaan seseorang terhadap mental, emosional serta spiritualnya. Orang tidak lagi terbelenggu oleh kekayaan, kekangan hawa nafsu dan kemelekatan dunia di hatinya. Seseorang sudah bebas dan mampu menerima apa pun dengan lapang dada. Orang seperti itu selalu mengatakan alhamdulillah dalam setiap detiknya. Tidak peduli berapa pun harta yang diperoleh, dia selalu bersyukur. Ketika memiliki harta berlimpah, digunakannya untuk amal, tidak takut kehabisan dan tidak takut kehilangan. Orang seperti ini juga tidak tergantung pada orang lain dalam mendapatkan rejekinya. Baginya rejeki sudah diatur oleh Allah. Kalau bekerja sebagai pegawai tidak takut dipecat hanya karena mengatakan yang benar. Kalau jadi pengusaha tidak takut bangkrut hanya karena berbuat jujur. Itulah orang - orang yang memiliki kemerdekaan ruhani. Bebas berbuat apa saja sesuai dengan norma, tak peduli apapun akibatnya terhadap rejeki, karir atau bahkan kehidupan yang lain. Baginya hanya kepasrahan total kepada Allah, Tuhan Maha Besar, Maha Kuasa. Pemenuhan kebebasan ruhani ini adalah pemenuhan kebutuhan dari leher ke atas (kepala).

2. Merdeka secara phisik. Seseorang mampu memerdekakan diri dari kebutuhan – kebutuhan dunia tanpa terikat dengan pekerjaan. Tidak hanya memerdekakan ruhani, tapi jasmani pun bebas – merdeka. Makan cukup, sandang terpenuhi, papan layak huni, olahraga teratur dan kebutuhan phisik lainnya. Sebab buat apa secara ruhani bebas bila secara phisik masih kekurangan? Kemerdekaan phisik ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dari leher ke bawah.

Dengan demikian, seseorang yang sudah meraih keberkahan finansial selalu ada keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dari leher keatas (kepala) yang mencerminkan nafsu kemanusiaan dan kebutuhan dari leher sampai kaki yang mencerminkan nafsu hewani.

(29)

Membuang Keyakinan Salah

Siapa sih yang tidak ingin punya banyak uang (kaya) sekaligus memiliki keberkahan? Hampir dipastikan sebagian besar orang ingin meraihnya. Tetapi mengapa banyak orang yang gagal? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, marilah perhatikan apakah mereka sudah memiliki mental kaya - sebagai modal awalnya, serta seberapa besar keinginan tersebut mampu menggabungkan pikiran, tenaga dan waktu yang dimiliki untuk meraihnya? Seringkali orang hanya ingin kaya dan bebas finansial tetapi tidak ada tindakan yang mengarah kesana dan tidak ada kerelaan untuk ‘membayar’ dengan pengorbanan. Padahal dibutuhkan kemauan sangat kuat untuk mewujudkan impian menjadi kenyataan. Dalam hal ini, NIAT dan KEPUTUSAN untuk hidup berkelimpahan harus dibarengi dengan TINDAKAN. Tidak ada sesuatu yang jatuh dari langit dan menghampiri kita begitu saja, tanpa ada usaha!.

Berdasarkan sebuah penelitian terhadap orang kaya di Amerika, ternyata 70 persen dari mereka memang sangat ingin kaya, 11 persen berharap kaya, 8 persen berhasrat kaya, 6 persen berkomitmen kaya, 4 persen berkeyakinan kaya dan 1 persen bertindak untuk kaya. Kalau boleh digambarkan dalam bahasa ‘ekstrim’, seseorang harus memiliki ‘dendam’ terhadap kemiskinan dan rindu berat terhadap kekayaan. Dengan ‘dendam’ pada kemiskinan, akan menimbulkan energi dahsyat untuk melawan kemiskinan tersebut. Sama halnya ketika seseorang dendam terhadap sesuatu, ia akan melakukan apa pun untuk melawannya.

Sebaliknya bila pikiran atau mental seseorang tidak memiliki berkeinginan kaya, maka sulit dia akan kaya, kecuali ada mu’jizat. Bila kondisi ini yang terjadi, ada dua kemungkinan penyebabnya yaitu pertama, orang tersebut benar - benar tidak memiliki keinginan karena pengaruh sufisme yang keliru atau merasa puas diri sehingga tidak berusaha meraih kekayaan. Baginya harta tidak perlu dicari dengan bersusah payah. Kemungkinan kedua, orang tersebut ‘munafik’ karena yang terjadi sebenarnya bukan tidak mau kaya, tidak mau bebas secara finansial. Tetapi mereka memiliki jiwa yang lemah, merasa tidak mampu, malas dan putus asa sebelum ‘berperang’. Mereka juga tidak mau ‘membayar’ harga yang diperlukan untuk kaya. Mereka berpura - pura mengutuk kekayaan sebagai sesuatu yang buruk, sebagai akar dari kejahatan. Anehnya mereka selalu mendambakan kehidupannya dengan mudah, seperti jatuh dari langit. Sikap seperti ini justru banyak terjadi di masyarakat.

Kita dapat membuktikan sikap tersebut dalam contoh berikut. Coba tanyakan kepada teman Anda, “Apakah kamu suka rumah di Pondok Indah – Jakarta dan mobil mewah seperti BMW atau Mercedez Benz?” Anda pasti mendapatkan jawaban, ”Pasti

pingin dong, tapi mana mungkin? Gaji saya kan hanya cukup sebulan, karir cuman

staff” atau “Tentu saja pingin, tapi ngimpi kali yeh…? dan masih banyak jawaban pesimistis yang isi dan nadanya “TIDAK MUNGKIN!” Mereka merasa seperti ‘pungguk merindukan bulan’. Pokoknya tidak mungkin aja!. Begitu yang sering terjadi. Padahal akan terjadi hal yang sebaliknya bila dia mengatakan, “Saya ingin memiliki rumah seperti di Pondok Indah, tapi bagaimana caranya?” Dengan mengatakan seperti itu, otak akan terangsang berpikir kreatif. Jika kita yakin gaji tidak akan mampu membeli semua itu, tentu kita akan mencari jawabannya, mencari alternatif lain. Misalnya meningkatkan pengetahuan dan ilmu agar karir bisa meningkat atau pindah pekerjaan yang lebih baik. Kita juga bisa mencari penghasilan tambahan dengan bisnis kecil-kecilan, mengurangi pengeluaran atau keluar kerja kemudian merintis bisnis yang menjanjikan penghasilan lebih besar.

(30)

Satu hal yang sangat penting dalam meraih apa pun, termasuk kekayaan adalah adanya keinginan dan alasan - alasan yang sangat kuat untuk menggerakkan pikiran, waktu dan tenaga untuk meraihnya. Bila hal ini belum ada dalam diri kita, jangan pernah bermimpi menjadi kaya. Salah satu kisah mengenai hal ini adalah Alberta Zebua (32 tahun), sebagaimana di muat dalam Majalah Sartika no.035/13 Des – 27 Des 2004. Berta, begitu ia dipanggil, menjalani perubahan hidupnya bagaikan mimpi. Bayangkan dalam waktu 10 bulan, mampu mengubah sebuah kemiskinan menjadi seorang miliuner yang memiliki mobil jaguar senilai Rp.1,8 miliar, rumah senilai Rp.1,3 miliar dan penghasilan puluhan juta perbulan. Ia adalah orang yang telah mengalami pedihnya kehidupan. Kekayaan yang diperolehnya saat ini ternyata berawal dari dendamnya yang mendalam terhadap kemiskinan.

Berta menceritakan bagaimana pedih hatinya ketika anaknya menderita demam berdarah. Dari pintu ke pintu mencari pinjaman untuk menebus biaya pengobatan anaknya di RS Elizabeth, Medan. “Saya bersama suami sempat berjalan kaki sekitar 7 kilometer dari rumah ke rumah untuk meminjam uang demi menyelamatkan nyawa anak kami. Namun tak seorangpun bersedia meminjamkan uang”, katanya. Saat kebingungan, Berta teringat pada adik perempuannya yang mempunyai perhiasan. Untungnya sang adik merelakan perhiasan tersebut untuk dijual. Tidak hanya sampai di situ kepedihan hidupnya. Karena penghasilan suaminya - sebagai sopir taksi gelap - tidak mencukupi, ia harus membantu sang suami dengan menjadi sales jamu.

Dengan penghasilannya yang minim - bahkan pernah diusir dari rumah karena tidak mampu bayar uang kontrakan - maka pada tahun 2002 memutuskan untuk mengubah hidupnya. Ia kemudian bergabung dengan sebuah perusahaan MLM, namun gagal karena sistemnya menurut dia tidak memberikan kesempatan sama untuk maju. Kemudian ia mencoba lagi bergabung dengan perusahaan MLM lain, yang dinilai memiliki sistem yang baik – tidak hanya membuat kaya sebagian kecil mitranya. Awalnya sang suami menolak karena trauma dengan kegagalan pada MLM sebelumnya. Namun dengan kegigihannya, ia tetap melangkah, meski gara-gara keputusannya ini ia hampir cerai. Ia berusaha membuktikan hingga pada akhirnya berhasil, keluar dari kemiskinan.

Dari cerita tersebut, hikmah yang dapat diambil adalah : apakah dalam meraih kekayaan selama ini kita sudah memiliki kemauan (niat) kuat, mengetahui rahasia uang dan memiliki keteguhan hati dalam menjalankannya? Bila ketiga hal tersebut belum ada, maka kita hanya menjadi pemimpi. Dalam kisah diatas diketahui bagaimana seorang Berta, yang mau belajar dari kegagalannya, mencoba mempelajari sebab - sebab kegagalannya - seperti menilai sistem perusahaan MLM pertama yang tidak fair - kemudian mencari perusahaan lain yang lebih fair. Ia juga memiliki keteguhan hati dan sikap pantang menyerah dalam menjalani hidupa. Baginya, jatuh bangun dalam menjalani kehidupan merupakan hal biasa yang harus dihadapi.

Hambatan paling besar yang menyebabkan seseorang tidak dapat kaya karena mentalnya miskin, selalu merasa kurang dan tidak bersyukur. Sulit bagi orang bermental miskin bisa menjadi kaya karena ia akan menjadi pecundang. Jadi faktor pertama adalah mental miskin, yang menjadi penghalang. Mental miskin selalu mencari berbagai alasan pembenar, menyalahkan kondisi dan menyerah sebelum berjuang. Selalu mencari alasan pembenar (justify) seperti bila melihat orang lain sukses mengatakan, “Wajar mereka sukses dan kaya, karena orang tuanya juga sukses dan kaya”. “Wajar mereka sukses karena orangnya pinter dan punya koneksi orang hebat, dan sebagainya”. Mental miskin juga tercermin dari sikap yang selalu menyalahkan kondisi atau dirinya sendiri. “Wah… saya tidak bisa kaya karena orang tua saya orang miskin, mana mungkin saya punya modal untuk memulai usaha”. “Saya tidak memiliki kemampuan bisnis, jadi tidak bisa menjadi pengusaha sukses”, dan sebagainya. Ada saja alasan - alasan untuk tidak

(31)

bertindak dan sayangnya mereka tidak fokus untuk mencari jalan keluar mengatasi masalah. Fokus mereka hanya pada kekurangan!

Faktor kedua, banyak orang tidak tahu caranya dan tidak mau belajar bagaimana menjadi kaya. Kesuksesan biasanya dimulai dari bawah dan bermula dari keunggulan seseorang. Sementara itu keunggulan berawal dari dalam, dari mental seseorang. Oleh karena itu mulailah dengan keunggulan yang dimiliki karena hanya orang - orang unggul yang bisa meraih sukses, termasuk mendapatkan kekayaan yang berkah. Semuanya itu hanya dapat diraih dengan proses belajar, belajar dan belajar!.

“ …. Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajad…”

Q.S Al - Mujaadilah (58) : 11 Rasulullah pun bersabda bahwa siapa pun yang ingin sukses dunia, hendaklah dia memiliki ilmu, untuk sukses akhirat dengan ilmu dan sukses dua - duanya (dunia – akhirat) juga dengan ilmu.

Kita jangan terjebak bahwa belajar hanya dilakukan secara formal di sekolah atau perguruan tinggi. Cara yang paling baik adalah belajar dari ‘sekolah besar kehidupan ini’ dan ukurannya bila hari ini kita lebih baik dari hari kemarin, esok lebih baik dari hari ini!. Dengan kata lain, orang yang selalu meningkat kualitas ilmunya, itulah orang beruntung. Kalau dalam bahasa Albert Einstein, “Belajarlah dari hari kemarin, hiduplah untuk hari ini dan berharaplah untuk hari esok. Hal yang penting adalah jangan berhenti untuk bertanya”.

Ketiga, pendidikan yang salah. Pendidikan seringkali menjadi penyebab seorang menjadi ‘miskin’. Lho, kok bisa? Masyarakat seringkali beranggapan bahwa semakin tinggi pendidikan semakin besar kemungkinan seseorang untuk hidup sejahtera bahkan kaya penuh berkah. Realitanya tidaklah demikian. Karena orang berpendidikan tinggi biasanya hanya menuntut pekerjaan tanpa mau mendirikan perusahaan. Mereka maunya hanya menjadi pegawai, dengan penghasilan terbatas. Mereka juga belum tentu memiliki kecerdasan finansial sesuai dengan tingkat pendidikannya. Buktinya, orang - orang berpendidikan tinggi banyak yang melakukan ‘gali lubang – tutup lubang’. Mereka terjerat hutang konsumtif seperti membeli mobil, rumah mewah, peralatan elektronik mewah yang bertujuan untuk memenuhi status dan gengsi. Biar dianggap kaya, padahal belum kaya!. Mereka merasa kaya, sehingga berperilaku seperti orang kaya, padahal pendapatannya tidak mendukung.

Keempat, faktor pekerjaan. Banyak orang beranggapan pekerjaan bisa membuat kaya. Kenyataannya tidak selalu demikian, karena ada pekerjaan justru membuat seseorang menjadi miskin, baik miskin waktu, miskin uang, maupun miskin harga diri. Miskin waktu, karena terikat dengan pekerjaan, sementara penghasilannya tetap ‘segitu

– gitu’ saja. Karyawan harus berangkat pagi pulang sore bahkan larut malam. Seakan

hidup hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Kegiatan sosial menjadi terlupakan. Contoh paling nyata adalah kehidupan karyawan di kota-kota besar seperti Jakarta. Mereka sesampai di rumah sudah larut malam, jarang ketemu anak-anak, apalagi tetangga. Kontak sosial jarang terjadi sehingga hidup individualistik memang menjadi keterpaksaan. Kenyataan ini dibuktikan oleh laporan National Sleep Foundation – AS, dimana jumlah ‘budak kerja’ cukup mencengangkan. Lebih dari 31% pekerja pria lulusan perguruan tinggi di AS lazim bekerja 50 jam atau lebih dalam sepekan di kantor, naik 22% pada 1980. Sekitar 60% orang disana sarapan pagi maupun makan siang dengan tergesa - gesa dan banyak dilakukan di meja kerja dan 34% makan siang dilakukan sambil beraktivitas.

Gambar

Gambar : Tahapan Keberkahan Finansial  Tahap 1 : Belajar Rahasia Uang
Gambar  Piramida  Maslow     Piramida  (seharusnya)  Pada piramida Abraham Maslow, kebutuhan fisik ( Basic Need)  menempati urutan  pertama, kemudian diikuti  Safety Need ,  Social Need, Self Esteem  dan  Self Actualization ,  sehingga yang terjadi manusia

Referensi

Dokumen terkait

Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1

Pada proyek ini praktekan berperan dalam membuat built in show unit dan gambar kerja wardrobe pada master bedroom dengan mengikuti desain yang sudah ada.. Gambar 2.3 Built

• INKP tergabung dalam Asia Pulp and Paper (Sinarmas Group) yang telah berdiri hampir 50 tahun dalam memproduksi pulp and paper, INKP sendiri memiliki 3 lokasi pabrik dengan

Pada konteks ini kita menyebutkan konjektur penyangkal Babai yang menye- butkan bahwa tidak hanya terdapat suatu graf Cayley yang bukan Hamiltonian, tapi untuk beberapa konstanta c ≥

B1C465 Sistem Informasi Manajemen 4 Sunu Widianto, SE., MM B1B433 Topik Khusus Ekonomi Keuangan 1 Dr.Nury Effendi, SE, MA.. B1B433 Topik Khusus Ekonomi Keuangan 1 Tito Dimas

Jika memang demikian, tentu saja orang-orang tersebut tidak bisa menjadi teman anda secara online, tetapi anda tidak perlu khawatir, karena anda bisa mengundang mereka

Jika Anda “nyatakan” bahwa ide itu adalah ide Anda, dan ternyata pembaca tahu bahwa itu bukan ide Anda, maka :.  Anda tidak tahu bahwa ide Anda itu sudah

Dalam tulisan ini dikemukakan hasil penelitian pembuatan papan untai bambu berarah yang dibuat dari bambu tali (Gigantochloa apus (J.A. Schultes) Kurz) menggunakan