• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemandulan Finansial

Dalam dokumen keberkahanfinansial (Halaman 112-117)

Banyak orang berjuang habis - habisan mengerahkan segala daya upaya untuk mendapatkan uang. Mereka fokus bagaimana mencari uang sebanyak - banyaknya, tetapi setelah uang diperoleh, mereka menggunakan ‘semau gue’, habis begitu saja tidak tahu bagaimana cara mengelola uang yang benar. Tetapi ada juga orang yang kurang peduli dengan jumlah penghasilan yang diterima – meski jumlahnya relatif kecil – tetapi mereka lebih fokus mengelola uang sebaik - baiknya agar tidak defisit, bahkan berusaha agar bisa menabung. Kedua golongan tersebut berada dalam kondisi ekstrim ‘kanan’ dan ekstrim ‘kiri’. Kondisi idealnya adalah tidak hanya memfokuskan pada sisi penerimaan saja, tetapi juga sisi pengeluaran.

Berkenaan dengan hal itu, kita akan membahas beberapa kesalahan yang sering dilakukan orang dalam mengelola uangnya, sehingga membuat uang mandul – tidak beranak, bahkan ‘mati’ alias bangkrut, habis begitu saja bagai ditelan ombak.

Kesalahan pertama, mengandalkan suatu hari nanti

Masih ingat cerita Nabi Nuh dan umatnya? Nabi Nuh berulang kali mengajak umat dan anaknya untuk bersiap - siap menghadapi masa depan yang tidak menentu karena akan ada banjir besar. Namun umat bahkan anaknya sendiri tidak mempercayai. Karena apa yang dikatakan dan dilakukan Nabi Nuh saat itu memang terasa aneh, membangun kapal ketika hari tidak hujan.

Demikian juga, kesalahan pertama kebanyakan orang dalam mengelola keuangan adalah mengandalkan suatu hari nanti. Mereka berpikir ‘biarlah bagaimana nanti saja” dan tidak mempersiapkan keuangan masa depan. Akibatnya mereka selalu berorientasi jangka pendek dalam setiap gerak langkahnya. Misalnya ketika mendapatkan uang sebesar Rp.50 juta, dia tidak berpikir bagaimana menggunakan uang itu sebaik - baiknya tetapi lebih fokus menghabiskan untuk kesenangan.

Kerugian - kerugian yang akan timbul akibat sikap “Mengandalkan Suatu Hari Nanti” adalah :

Kerugian materi. Bila dihitung secara materi, semakin terlambat mempersiapkan tujuan keuangan, semakin besar kerugian yang akan diterima. Sebagai contoh, ada dua orang, sebut saja namanya Pak Lelet dan Pak Giat. Pak Lelet selalu menunda – nunda menabung, karena berpikir ‘ntar aja’ . Pak Giat rajin menabung di bank setiap tahun sebesar Rp.15.000.000,- selama 5 tahun berturut – turut atau sebesar Rp.75.000.000,-. Bagi hasil investasi saat itu rata - rata 13 persen per tahun. Dengan cara itu, pada tahun ke – 20 uang Pak Giat sudah menjadi Rp. 686.972.729,- sedangkan Pak Lelet baru memulai pada tahun ke-6 sejak Pak Giat menabung. Hasilnya sangat jauh berbeda. Uang Pak Lelet hanya menjadi Rp. 685.076.022,- padahal uang yang ditabungkan selama 15 tahun sebesar Rp.225.000.000,- Perhitungannya menggunakan rumus FV = Po ( 1 + r )t atau KALKULATOR SATU.

No Pak Giat Pak Lelet

Awal Tahun Akhir Tahun Awal Tahun Akhir Tahun 1 15,000,000 16,950,000 - - 2 15,000,000 36,103,500 - - 3 15,000,000 57,746,955 - - 4 15,000,000 82,204,059 - -

5 15,000,000 109,840,587 - - 6 - 124,119,863 15,000,000 16,950,000 7 - 140,255,445 15,000,000 36,103,500 8 - 158,488,653 15,000,000 57,746,955 9 - 179,092,178 15,000,000 82,204,059 10 - 202,374,161 15,000,000 109,840,587 11 - 228,682,802 15,000,000 141,069,863 12 - 258,411,567 15,000,000 176,358,945 13 - 292,005,070 15,000,000 216,235,608 14 - 329,965,729 15,000,000 261,296,237 15 - 372,861,274 15,000,000 312,214,748 16 - 421,333,240 15,000,000 369,752,665 17 - 476,106,561 15,000,000 434,770,512 18 - 538,000,414 15,000,000 508,240,678 19 - 607,940,468 15,000,000 591,261,967 20 - 686,972,729 15,000,000 685,076,022 75,000,000 225,000,000

Jadi, semakin lama menunda-nunda untuk menabung, semakin besar kerugian materi yang harus ditanggung.

Rencana masa depan kemungkinan besar akan kacau, sementara waktu tidak dapat diputar ulang. Kita akan menyesal!. Waktu adalah modal penting dalam hidup ini. Bila kita tidak dapat memanfaatkan dengan baik, berarti kita mengabaikan modal yang sangat berharga dalam hidup ini. Allah memberikan modal yang sama kepada kita berupa waktu 24 jam sehari. Orang sukses atau kaya bukan berarti memiliki waktu 100 jam sehari, tetapi mereka lebih pandai memanfaatkan waktu.

Kesalahan kedua, tidak sedia ‘payung’ sebelum ‘hujan’

Krisis ekonomi yang menimpa negara kita pertengahan 1997 lalu telah membuat ratusan ribu hingga jutaan pekerja di PHK, termasuk pengusaha pun banyak yang bangkrut. Apakah mereka siap dengan keadaan tersebut? Coba ingat - ingat keluarga, teman, tetangga atau bahkan Anda sendiri yang di PHK, seberapa siap menerima keadaan itu? Saya yakin banyak yang tidak siap, bahkan tidak sedikit yang stress menghadapi kenyataan itu. Mengapa hal itu bisa terjadi? karena tidak ada persiapan atau antisipasi.

Ketika seseorang sudah menemukan kenyamanan (comfort zone) dalam pekerjaan atau bisnisnya, seringkali mereka lalai mengantisipasi risiko PHK atau bangkrut. Mereka lupa bahwa ada hal yang sangat pasti dalam hidup ini, yaitu ‘hidup ini tidak pasti’. Untuk itu diperlukan persiapan - persiapan menghadapi masa depan yang tidak pasti tersebut. Bila tidak, maka akibatnya adalah :

1. Tidak siap menerima risiko, sehingga membuat stress

3. Sulit mendapatkan keberuntungan. Keberuntungan akan tercipta dari adanya kesiapan dan kesempatan. Ketika ada kesempatan dan kita tidak siap, maka jangan berharap mendapatkan keberuntungan. Demikian sebaliknya, ketika kita sudah siap sementara tidak ada kesempatan maka tidak akan mendapatkan keberuntungan. 4. Mendapatkan kerugian yang lebih besar.

Kesalahan ketiga, mendahulukan simbol kemapanan

Fitrah manusia memang cenderung untuk hidup bermewah – mewahan. Bahkan tidak jarang orang melakukan apa pun untuk meraih kemewahan itu. Kecenderungan manusia juga ingin menunjukkan simbol - simbol kemapanan, status tertentu atau gengsi, meski secara finansial belum mampu.

Perilaku manusia dalam mengelola keuangannya dapat digolongkan menjadi tiga kategori yaitu boros, pelit dan sederhana. Orang yang boros, menghabiskan uangnya untuk membeli barang - barang hedonis. Baginya hidup harus ‘dinikmati’, dengan persepsi yang salah. Mereka merasa kaya, meski sebetulnya belum kaya. Mereka lupa bahwa menikmati hidup tidak identik dengan bermewah – mewahan. Mereka juga lupa bahwa menikmati hidup bukan berarti menghabiskan uang untuk kepentingan pribadi saja tanpa memedulikan kehidupan orang lain.

Anda mungkin pernah memperhatikan ibu - ibu yang suka ‘ngerumpi’ saat arisan atau saat mengantarkan anaknya sekolah?. Diantara mereka ada yang bangga menceritakan suaminya kerja di sebuah perusahaan bonafid dengan gaji puluhan juta dan mobil mewah yang baru saja dibeli. Ibu yang lain cerita kebiasaannya berlibur ke luar negeri, bermalam di hotel berbintang dan sebagainya. Namun setelah beberapa tahun berlalu - dalam sebuah reuni - kabar apa lagi yang mereka ceritakan? Ada yang dikabarkan pindah ke rumah kontrakan karena suaminya di PHK, ada yang dikejar - kejar tukang tagih, di adukan ke KPK karena tuduhan korupsi dan sebagainya.

Golongan kedua adalah orang yang sangat pelit, sampai tidak dapat menikmati hartanya. Justru yang menikmati adalah orang lain karena dia mati tidak membawa hartanya. Lalu ada pertanyaan, mengapa mereka bersusah payah mengumpul – ngumpulkan harta bila tidak dinikmati? Idealnya kita termasuk golongan ketiga yaitu hidup sederhana, sesuai dengan kemampuan finansial. Hidup sederhana bukan berarti tidak menikmati hidup ini dengan uang yang kita punya. Boleh saja kita beli mobil, rumah mewah, keliling dunia dan lainnya asalkan masih dibawah kemampuan finansial.

Contoh sederhananya demikian. Bila Anda memiliki penghasilan setiap bulan dua ratus juta rupiah dan punya uang tunai sepuluh milyar, punya rumah seharga 3 milyar, mobil seharga lima ratus juta dan setiap tahun keliling dunia. Itu sah-sah saja, asalkan Anda sudah menafkahkan sebagian uang untuk sosial. Bila dengan kekayaan sebesar itu, kemudian Anda hanya punya mobil ‘butut’ yang suka ngadat (mogok) dan makan tahu – tempe setiap hari, bekerja terus - menerus tanpa rekreasi memadai, Anda termasuk orang pelit. Anda mungkin juga termasuk orang yang mendewa - dewakan uang. Hidup seperti ini pun tidak dibenarkan. Jadi wajar atau tidak, semuanya dikembalikan pada hati nurani, kelaziman, serta kemampuan finansial. Adapun akibat mendahulukan simbol kemapanan adalah :

1. Ada kecenderungan hidup diatas kemampuan finansial, sehingga menyebabkan kebangkrutan finansial. Tidak ada orang yang mampu bertahan lama bila ia selalu hidup diatas kemampuan finansialnya.

2. Cenderung membelanjakan uang tidak sesuai kebutuhan, demi prestise untuk mendapatkan pengakuan orang lain, supaya dianggap lebih kaya, lebih baik dan sebagainya.

3. Berani menggunakan hutang untuk keperluan konsumtif, akibatnya terjebak hutang seumur hidup!

Kesalahan keempat, bertindak ekstrim dalam kebijakan finansial

Salah satu sikap manusia yang sering menimbulkan masalah dikemudian hari adalah serakah (geedy). Dengan sikap ini, manusia tidak hanya ingin cepat kaya, ingin cepat naik pangkat / jabatan atau keinginan lain yang serba cepat (instant). Tidak ada salah orang ingin cepat meraih sesuatu asal tetap memperhatikan rambu - rambu kaidah atau moral yang berlaku. Salah satunya adalah kita tidak boleh melakukan sesuatu dengan cara – cara ekstrim dengan harapan segera mendapatkan sesuatu dengan cepat. Misalnya kita boleh berhutang, asalkan memperhatikan kaidah hutang yang benar. Demikian juga dalam berinvestasi, meski tujuannya baik, jika tidak dilakukan secara bijaksana malah menyebabkan kerugian. Pun demikian, berasuransi dengan tujuan melindungi keuangan dan masa depan, bisa berubah menjadi masalah apabila tidak tahu caranya dan bertindak berlebihan. Jadi, sebagaimana ulasan pada bab sebelumnya, uang akan berpihak pada orang – orang bijaksana dalam mengelolanya. Uang akan lari jika diperlakukan tidak adil oleh pemiliknya.

Kesalahan kelima, tidak memanfaatkan daya ungkit finansial

Ada orang merasa harus bekerja sendirian dalam meraih tujuan yang diinginkan, termasuk dalam meraih kekayaan dan keberkahan finansial. Maka akibatnya tujuan itu lambat diraih, bahkan sangat sulit untuk diraih. Disinilah perlu memanfaatkan daya ungkit finansial. Selengkapnya baca sub bab berikutnya.

Kesalahan keenam, mengabaikan kesehatan demi uang

Kebanyakan orang mengejar uang tetapi mengabaikan kesehatannya. Mereka lupa kalau uang banyak tidak bisa membeli kesehatan, karena uang hanya bisa membayar dokter atau rumah sakit. Oleh karena itu menjaga kesehatan itu tetap lebih penting dalam mencari uang. Jangan sampai kesehatan dikorbankan demi uang. Maka olah raga, makan bergizi secara teratur, tidur dan istirahat cukup harus menjadi bagian terpenting dalam perencanaan keuangan. Tidak bisa diabaikan!

Kita sering menyaksikan orang - orang kaya menderita dengan berbagai penyakit berat. Mungkin hal itu karena kesalahan, ‘Mengabaikan Kesehatan demi Mengejar Uang’ atau karena pola makan berlebihan. Akibatnya, seringkali kali otak bawah sadar kita mengatakan, “Ah lebih baik seperti ini saja, daripada kayak si Rudi, punya uang banyak tapi tidak bisa menikmati uangnya karena sakit - sakitan, tidak boleh makan ‘ini-itu’. Makanannya dibatasi”. Nah, ketika hal ini terjadi, kita menjadikan realitas itu untuk malas bekerja keras atau tidak berusaha meraih kekayaan.

Sebenarnya tidak ada hubungan signifikan antara orang kaya dengan penyakit berat. Permasalahannya hanya karena lupa menjaga keseimbangan hidup. Bila keseimbangan hidup tidak dijaga, maka pada suatu kondisi tertentu kita akan merasa, uang berapa pun yang kita peroleh tidak akan ada gunanya.

Kesalahan ketujuh, kekacauan strategi pensiun

Pada bulan Nopember 2004 lalu, sekitar 4.5 juta pelamar Pegawai Negeri Sipil (PNS) berjubel di berbagai daerah. Para pelamar kerja itu memperebutkan lowongan pekerjaan yang hanya tersedia 200 ribu orang. Apa yang mendorong mereka sehingga rela mengadu nasib tersebut? Mereka ingin mendapatkan pensiun di masa depan. Mereka berharap hidup makmur setelah pensiun. Itulah alasan utamanya. Akankah harapan itu menjadi kenyataan? Mari kita simak analisis berikut ini.

Lembaga pensiun yang selama ini diharapkan ‘menjamin’ pembayaran uang pensiun pegawai negeri sipil (PNS), saat ini mulai diragukan kemampuannya. Perhatikan sistem pembayaran pensiun PNS. Sejak Januari 2003, sebanyak 79 persen dana pensiun mereka diambil dari APBN dan 21 persen dari PT.Taspen. Jika sistem ini diteruskan, maka pada tahun 2014 aset PT. Taspen akan habis, sehingga kemungkinan besar sebagian gaji pensiunan PNS tidak lagi terbayar.

Selain itu. untuk dapat hidup sejahtera di masa pensiun, seseorang tidak bisa bergantung dengan program pensiun, karena program pensiun hanya memberikan kontribusi pendapatan yang kecil. Menurut Hendri Hartopo (2003), sebesar 80 persen kecukupan sumber tabungan pensiun tersebut sangat ditentukan oleh program individu masing – masing dan sisanya sebesar 5 persen berasal dari bantuan pemerintah dan 15 persen dari program perusahaan. Jadi, sejahtera atau tidak pada masa pensiun nanti

sangat – sangat tergantung pada masing-masing individu.

Ironisnya, masih banyak orang yang menggantungkan nasib pensiunnya hanya pada perusahaan tempat bekerja, tanpa tahu berapa uang pensiun yang akan diterima di masa depan. Mereka tidak tahu berapa penghasilan minimal yang harus disediakan saat pensiun nanti. Mereka juga tidak menyadari bahwa menggantungkan sepenuhnya masa depan hanya pada perusahaan adalah langkah yang berbahaya. Buktinya ada lembaga pensiun atau perusahaan asuransi gulung tikar sebelum membayar uang pensiun nasabahnya. Tidak sedikit pula lembaga - lembaga itu tidak mampu membayar uang pensiun sesuai janjinya karena kesalahan managemen. Di Amerika, krisis seperti itu sudah mulai terasa, dimana sebagian perusahaan - perusahaan besar sudah tidak lagi memberikan jaminan pensiun kepada karyawannya dengan alasan efisiensi.

Oleh karena itu, alangkah bijaksananya bila mulai sekarang tidak lagi mengandalkan jaminan pensiun seperti itu. Banyak cara untuk menggantikan program pensiun yang dapat dilakukan sendiri, sebagaimana dibahas bab sebelumnya.

Dalam dokumen keberkahanfinansial (Halaman 112-117)