• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Sumber Penghasilan

Dalam dokumen keberkahanfinansial (Halaman 78-81)

Salah satu syarat mendapatkan keberkahan finansial adalah harta kekayaan harus diperoleh dengan cara yang benar. Untuk memastikan hal itu, kita harus melakukan evaluasi kembali atas sumber penghasilan. Tujuannya untuk mengetahui apakah penghasilan kita sudah sesuai syariah atau tidak. Selain itu untuk mengetahui apakah masih ada potensi sumber penghasilan yang bisa digali. Bila sudah tidak ada alias seluruh potensi sudah maksimal digunakan, maka pertanyaannya apakah hasil yang diperoleh sudah sebanding atau tidak dengan yang kita usahakan. Bila tidak, ada baiknya mempertimbangkan kembali strategi dalam mencari penghasilan. Atau mempertimbangkan cara - cara lain yang lebih cerdas. Sebab tidak mungkin mengharapkan hasil yang berbeda bila menggunakan cara yang sama berulang-ulang untuk masalah yang sama.

Bila kita bekerja sebagai pegawai, yang di evaluasi adalah apakah tempat kerja kita sudah memberikan gaji yang cukup adil? Bagaimana prospek pengembangan karir di masa depan? Bila tidak adil atau tidak ada pengembangan karir, adakah kemungkinan diperbaiki? Bila berbisnis, kita dapat mengevaluasi kekurangan - kekurangan agar bisnis menjadi maju dan penghasilan meningkat. Bila potensi belum dimanfaatkan secara optimal atau perusahaan tidak memberikan kesempatan yang memadai maka dapat melakukan hal-hal berikut :

1. Meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kinerja. Dengan demikian, suatu saat perusahaan akan memberikan penghargaan yang wajar atau kesempatan karir yang lebih baik. Bila tidak, maka kita percaya bahwa perusahaan lain yang akan memanfaatkan keahlian kita.

2. Kerja sampingan untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Kerja sampingan ini bisa mengandalkan keahlian seperti menjadi Master of Ceremony (MC), mengajar bahasa, menjadi dosen dan sebagainya. Bisa juga dengan cara bekerja part time di perusahaan lain.

3. Pindah pekerjaan yang memberikan peluang karir dan penghasilan yang lebih baik. 4. Bergabung dengan pemasaran jaringan (multi level marketing / MLM). Sambil tetap

bekerja kita dapat memanfaatkan waktu luang untuk merintis bisnis ini. Kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar sangat terbuka pada bisnis ini. Buktinya banyak orang-orang kaya baru (OKB) berawal dari bisnis ini.

5. Keluar pekerjaan dan merintis bisnis. Keputusan ini harus dipertimbangkan secara matang. Kalau pun harus keluar dari kerja, harus dipersiapkan dengan baik. Untuk mengetahui bagaimana persiapan dan bagaimana caranya orang gajian menjadi pengusaha, Anda dapat membaca buka saya, ’Cara Mudah Orang Gajian Menjadi

Entrepreneur’ (MediaSukses, September 2005).

Bila yang diperoleh rezeki haram, kita harus membersihkan. Caranya dengan meminta ampun pada Allah dan mengembalikan harta kepada yang berhak. Jika harta itu didapatkan dari kecurangan terhadap satu sampai sepuluh orang mungkin masih gampang mengembalikan kepada yang berhak. Bagaimana jika kita melakukannya terhadap banyak orang dan bertahun - tahun? Seperti seorang pejabat menerima uang sogokan dari banyak rakyatnya, bagaimana mengembalikannya? Ada tiga alternatif mengenai hal ini. Pertama, harta dibuang, tetapi sangat disayangkan karena menjadi tidak berguna. Kedua, diamalkan meski tidak mendapatkan pahala. Ketiga, dinikmati sendiri tetapi malah menambah dosa. Dari ketiga alternatif itu, alternatif kedua adalah alternatif yang terbaik.

Harta perlu dibersihkan, karena beberapa alasan. Pertama untuk menghindari siksaan didunia dan akhirat. Kedua, harta yang kotor menyebabkan hidup tidak nyaman dan tidak tenang. Buktinya banyak pejabat dan mantan pejabat korup tidak nyaman dengan hartanya. Mereka menyembunyikan harta bendanya atas nama sanak keluarganya bahkan atas nama orang lain. Mereka takut hartanya diketahui publik (masyarakat) apalagi KPK (Komisi Pemberantas Korupsi). Ketiga, cenderung mendorong pemiliknya berbuat maksiat yang lebih besar. Misalnya pejabat korup menutup masalahnya dengan menyuap polisi, hakim bahkan membunuh orang-orang yang dianggap tidak bisa diajak kompromi. Keempat, harta kotor berpengaruh negatif pada anak - anak, karena harta kotor akan menjadi bara api dalam perut dan menjadikan hati menjadi keras, sulit menerima kebenaran. Kita banyak menyaksikan, bagaimana anak - anak pejabat korup menjadi anak durhaka, terlibat dalam perbuatan kriminal, narkoba dan lainnya.

Banyak kasus yang membuktikan uraian diatas. Seorang teman bercerita kepada saya. Dia memiliki teman yang bekerja sebagai audit internal di sebuah bank BUMN,

menilep (korupsi) uang Rp.1.4 milyar. Peristiwa yang terjadi pada 1990-an itu berawal

ketika di tempatnya bekerja ada pergantian sistem teknologi. Dalam pergantian sistem teknologi biasanya selalu ada selisih antara catatan keuangan sebelum dan sesudah pergantian sistem. Sebagai seorang audit internal seharusnya dia mencari sebab - sebab terjadinya selisih itu, tetapi dia justru mentransfer selisih uang ke rekening saudaranya. Perbuatan ini dilakukan bersama rekannya sesama audit. Untuk mengelabui perusahaan, mereka meminta kepada salah seorang nasabah yang memiliki rekening besar untuk menandatangani pencairan dana dengan alasan perbaikan dana pada nasabah tersebut.

Kejahatan mereka sukses karena tidak diketahui perusahaan. Pelaku kejahatan, sebut saja Rulan dan Rulin. Atas persekongkolan tersebut disepakati pembagian Rp.350 juta untuk Rulan dan Rp.1.050 juta untuk Rulin. Rulan yang sudah memiliki bisnis berupa toko kelontong dan beberapa angkutan umum, memutuskan pensiun dini dan mengurus bisnis secara full time. Ternyata harapan si Rulan diluar dugaan. Bisnis yang sudah berjalan lancar - yang selama ini dikelola istrinya, justru bangkrut setelah ditambah uang jarahan. Bahkan untuk mencukupi hidupnya saja, dia sangat kesulitan.

Cerita lain dikutip dari buku ‘Mengubah Tidak Mungkin Menjadi Mungkin’ tulisan Basuki Subianto. Dalam buku tersebut diceritakan seorang mantan bupati di Jawa Timur mengalami kecelakaan setelah diingatkan oleh seorang ustadz agar bertobat dan menyerahkan seluruh harta haramnya yang mencapai 70%. Berikut ini cerita selengkapnya.

Mantan bupati – yang saat itu sudah pensiun dan berumur 65 tahun, banyak hartanya dan rajin shalat serta berkebun. Pak ustadz bertanya, “Pak, mohon maaf, harta Anda yang banyak ini kira - kira berapa persen yang halal dan berapa persen haram?”. Pertanyaan yang menohok itu tak segera dijawab. Maka pertanyaan berlanjut dengan pertanyaan, “Sebelum keburu meninggal, hilangkan saja harta yang haram agar tidak menjadi beban Anda dalam menghabiskan sisa hidup ini, lebih-lebih jadi beban diakhirat nanti”. Mantan bupati itu masih terdiam lama sekali sampai akhirnya air matanya membasahi pipi. “Kalau diukur dari total gaji saya sebagai pegawai negeri dan bupati, kira-kira yang halal cuma 30 persen,” katanya terbata-bata. Bapak ustadz mengaku tertegun mendengar jawaban mantan pejabat tinggi itu.”Apa Anda mau mengeluarkan 70 persen dari harta haram itu?”.

Mantan orang penting di tingkat kabupaten di Jawa Timur itu tidak menjawab, tetapi balik bertanya, “Yang termasuk harta haram itu apa saja, Pak?”. Bapak ustadz menjawab, “harta haram itu prinsipnya harta yang didapat di luar yang ditetapkan negara saat Anda menjadi bupati, termasuk harta yang belum dikeluarkan zakatnya”.

“Kalau ada rekanan atau relasi yang memberi uang secara ikhlas kepada saya, apa itu haram?” Tanya mantan bupati. “Kalau Anda sudah tidak jadi bupati seperti ini, ada atau tidak relasi yang memberi uang?” Pak ustadz balik bertanya. Mantan bupati itu terdiam lalu berkata, “Baik Pak, saya akan rundingkan dengan keluarga untuk mengeluarkan sebagian harta ini.” Pertemuan pun berakhir.

Setelah perbincangan itu, cukup lama ustadz dan mantan bupati tidak bertemu lagi. Kontak telepon pun tak pernah. Tiga tahun kemudian ada kabar, sang mantan bupati kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya dihantam truk trailer. Dia luka parah dan cacat permanen. “Saya sempat menjenguk, tapi dia (mantan bupati) tak bercerita tentang harta haramnya itu. Mungkin malu,’ ujar pak ustadz. Empat tahun dia hidup dalam cacat dan setiap hari dirawat seperti bayi, kemudian meninggal dunia. Hartanya lalu menjadi rebutan anak-anaknya hingga habis. Istrinya mengontrak rumah kecil dan kumuh.”Melihat kondisinya sekarang, tak ada orang yang menyangka dia dulu istri bupati,’kata pak ustadz. Tragis memang nasibnya. Sayang, penyesalan selalu datang belakangan. Bapak ustadz menyebut musibah yang dialami mantan bupati itu sebagai ‘siksaan sementara’ yang diberikan Allah kepada umat-Nya yang memakan harta haram.

Sebenarnya banyak cerita semacam itu, apalagi kita hidup di negeri paling korup. Cerita itu menunjukkan bahwa penghasilan yang diperoleh secara tidak benar, tidak memberikan manfaat malah menimbulkan kemudlaratan (kesengsaraan). Wajar bila Islam menganjurkan mencari penghasilan halal, karena masih banyak jalan memperoleh penghasilan halal.

Banyak cara Allah memberikan rejeki kepada kita. Allah menciptakan manusia, Allah pula yang menghidupi dengan menjamin rejeki hamba-Nya. Jangankan manusia sebagai ciptaan paling mulia dan sempurna, binatang melata pun dijamin rejekinya. Lihatlah cicak yang hanya merayap di dinding tidak pernah kelaparan. Burung yang terbang pagi dan pulang sore hari dengan paruhnya penuh makanan. Begitu pula dengan binatang lain, tidak ada yang kelaparan selama mereka ‘bekerja’ dengan baik.

Rejeki yang diberikan kepada kita melalui berbagai cara, tidak selalu dalam bentuk uang. Kenaikan pangkat adalah salah satunya. Biaya sekolah gratis ke luar negeri, badan sehat dan masih banyak lagi. Jadi apabila kita sudah berusaha maksimal sementara uang tidak banyak bertambah, bersyukurlah dengan kondisi itu. Coba introspeksi dalam bentuk apa Allah memberikan rejekinya. Kalau mau jujur, setiap hari kita selalu mendapatkan nikmat tiada terhingga. Bahkan nikmat berupa kentut (maaf) adalah rejeki yang berharga. Bayangkan bila tidak bisa kentut, maka berapa biaya (rupiah) yang harus dikeluarkan untuk berobat ke dokter. Wajar bila Allah berfirman,

Waintaudduu ni’matallah laatuhsuuha“ Dan seandainya engkau menghitung nikmat-Ku,

niscaya tidak akan mampu (menghitungnya)”. Wajar pula bila dalam ayat lain Allah bertanya berulang - ulang sebanyak 31 kali, Fabiayyi aalaa irobbikuma tukaddzibaan.

“Maka nikmat Allah yang manakah yang kamu dustakan?” Q.S Ar - Rahmaan (55) : 13

Selain alasan - alasan diatas, evaluasi sumber penghasilan juga dimaksudkan untuk menemukan penghasilan passive income (penghasilan yang diperoleh tanpa mengharuskan kerja atau usaha secara phisik terus menerus, seperti hasil investasi, sewa properti, royalti hak cipta, dan sebagainya. Menurut Robert T Kiyosaki dalam buku

The Cashflow Quadrant, sumber penghasilan seseorang dapat dikelompokkan menjadi

Dalam dokumen keberkahanfinansial (Halaman 78-81)