• Tidak ada hasil yang ditemukan

Managemen Hutang - Piutang

Dalam dokumen keberkahanfinansial (Halaman 95-100)

Dalam kehidupan modern dengan gaya konsumerisme, sulit menemukan orang yang bebas hutang. Selain tuntutan kebutuhan yang meningkat, juga godaan berbagai iklan produk yang setiap tahun bertambah jumlahnya. Tidak hanya itu, jika dulu orang ‘malu’ berhutang, kini hutang justru menjadi produk yang menguntungkan dan pasarnya luas. Kita dapat saksikan betapa banyak bank dan lembaga perkreditan gencar menawarkan hutang kepada masyarakat. Bila melalui hutang belum berhasil menggaet debitur (konsumen), mereka berusaha menawarkan barang dengan berbagai kemudahan pembayarannya. Bahkan untuk paket liburan wisata saja, orang ditawari bayar secara kredit!.

Menghadapi kondisi yang demikian itu, kita harus mampu menahan dan membedakan mana kebutuhan dan mana yang hanya keinginan. Kita harus pula mengetahui managemen hutang yang baik. Hutang memang tidak dilarang, apalagi diharamkan. Akan tetapi mengurangi hutang dan memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan adalah cara bijak. So ….. sebelum berhutang harus memperhatikan hal-hal berikut :

Niat baik

Jangan pernah sekali-kali berniat untuk tidak membayar hutang, karena selain harus dipertanggung jawabkan di akhirat, di dunia pun akan menemukan kesulitan. Kalau pun si pemilik uang (kreditor) tidak melakukan perlawanan, nama baik akan tercemar dan orang tidak akan percaya lagi pada Anda. Akibatnya, bila sewaktu - waktu membutuhkan uang atau modal, maka jangan harap mendapatkan kembali. Masalah uang dan hutang ini sangat sensitif, sehingga perbuatan jelek Anda akan cepat menyebar ke berbagai kalangan.

Islam mengajarkan kepada kita, agar hutang segera dilunasi bila sudah mampu membayarnya. Islam juga memberikan ajaran berupa do’a agar kita diberikan kemudahan membayar hutang.

Tingkat prioritas kebutuhan

Benarkah kita membutuhkan hutang baik berupa uang tunai atau dalam bentuk barang? Kadang - kadang orang lebih mengikuti keinginan daripada kebutuhan yang seharusnya. Misalkan saja Anda mendapatkan tawaran handphone dengan cicilan selama 12 bulan. Saat itu Anda memiliki handphone tapi fitur dan teknologinya belum mutakhir. Karena nafsu, godaan dan dorongan penjual, Anda menerima tawaran itu. Padahal HP Anda saat itu masih bisa digunakan. Anda juga sebenarnya tidak membutuhkan fitur-fitur lain yang lebih canggih karena kebutuhan utamanya hanya menelepon dan menerima panggilan. Dengan demikian, membeli HP yang lebih baru bukanlah kebutuhan mendesak, dibandingkan dengan biaya anak sekolah misalnya.

Kemampuan Membayar

Kita sering lupa kalau berhutang harus memperhatikan kemampuan membayar. Bahkan saking semangatnya, kita memaksakan berhutang – meski sudah tidak memiliki kemampuan membayar, dengan harapan ada rejeki dikemudian hari. Sebagai contoh, banyak pegawai tidak sabar membelanjakan ‘bonus’ yang akan diterima. Mereka membeli barang konsumtif dengan cara kredit dan akan dibayar saat bonus dibagikan. Padahal, kebiasaan membayar bonus itu tidak dapat dipastikan karena tergantung kinerja perusahaan. Bila perusahaan untung maka bonus dibayarkan, tetapi bila tidak

memenuhi target atau rugi maka bonus pasti tidak dibayarkan. Dalam managemen hutang, kejadian seperti ini tidak dapat dibenarkan karena uang yang belum diterima tidak dapat dijadikan ‘jaminan’ membeli barang yang tidak penting dan tidak mendesak.

Tidak ada aturan pasti berapa persen dari penghasilan yang bisa digunakan untuk membayar hutang, namun sebagian pakar keuangan menyarankan maksimal 30 persen. Misalnya penghasilan Anda sebesar Rp.5.000.000,- per bulan, maka maksimal Rp.1.500.000,- yang dapat digunakan untuk mengangsur.

Bila tidak memperhatikan kemampuan membayar, kita bisa terpuruk bahkan terjebak seumur hidup membayar angsuran kredit.

Persetujuan pasangan

Hutang menjadi taruhan di akhirat. Itulah sebabnya kita harus memberitahukan kepada pasangan (suami / Istri), agar mereka juga ikut bertanggung jawab atas hutang kita. Lebih baik bila tidak hanya memberitahukan tetapi juga persetujuan dan kerelaan pasangan. Langkah ini untuk memudahkan mengatur keuangan secara keseluruhan. Bayangkan bila Anda ngumpet terhadap pasangan, maka bila suatu saat tidak mampu membayar hutang, Anda akan merepotkan pasangan bahkan bisa memicu hubungan keluarga menjadi tidak nyaman. Sebaliknya bila hutang sudah dibicarakan, maka suka - dukanya hutang akan dipikul berdua. Lebih penting dari itu, apabila meninggal, mereka berusaha melunasi.

Hutang Baik Vs Hutang Buruk

Tidak semua hutang itu jelek, tergantung jenis dan peruntukannya. Bila digunakan untuk membeli kebutuhan konsumtif (barang – barang yang nilainya menurun) seperti membeli HP terbaru, mobil baru dan lainnya itu termasuk hutang jelek. Berbeda bila hutang untuk keperluan produktif seperti modal kerja, investasi ruko, rumah, rukan dan lainnya. Jadi untuk keperluan produktif, silahkan Anda berhutang! Namun untuk keperluan konsumtif, langkah yang paling bijaksana adalah tidak memaksakan diri membeli secara kredit. Barang konsumtif sebaiknya dibeli secara tunai. Bila belum mampu, tunda sementara waktu untuk membeli barang tersebut. Prinsip buy now pay

later (beli sekarang bayar kemudian) harus dibuang jauh-jauh untuk barang konsumtif,

karena prinsip itu menyusahkan dikemudian hari.

Bagaimana bila kita butuh uang mendesak seperti untuk berobat atau mengganti kompor gas yang rusak?. Untuk berobat tentu tidak bisa ditunda – tunda, demikian juga untuk membeli kompor gas juga tidak bisa ditunda karena sangat dibutuhkan untuk kegiatan masak – memasak.

Agar hutang dapat memberikan manfaat yang sebesar – besarnya maka kita dapat melakukan strategi berikut ini :

(a) Mempercepat pelunasan hutang konsumtif

Semakin lama mengangsur barang - barang konsumtif, semakin besar kerugian yang akan terjadi. Maka dari itu percepatlah pelunasan hutang konsumtif. Saya justru menyarankan, untuk barang konsumtif sebaiknya tidak dibeli secara kredit tetapi lebih baik dengan tunai. Bila tidak mampu tunai, tabunglah sampai cukup membelinya.

(b) Memperbesar dan memperlambat pelunasan hutang produktif

Tidak ada salahnya memperbesar hutang produktif asalkan secara kalkulasi keuangan mampu terbayar. Tidak selamanya hutang itu buruk, karena untuk kasus-kasus tertentu hutang malah ‘dianjurkan’, seperti membeli rumah, kios, ruko atau barang-barang yang menghasilkan atau nilainya naik setiap tahun. Dalam jangka

panjang, membeli barang seperti itu biasanya menguntungkan. Kenaikan harga barang biasanya lebih besar dari angsuran dan bagi hasil (bunga).

Misalnya Anda membeli ruko seharga Rp.500 juta dengan kredit sebesar Rp.400 juta selama 10 tahun. Dalam hitungan 3 tahun, harga ruko bisa naik hampir 2 kali lipat. Bila Anda ingin menjual ruko tersebut dengan harga Rp.1 milyar, Anda akan mendapatkan keuntungan kotor sebesar Rp.600 juta. Setelah dikurangi dengan

opportunity cost (peluang yang hilang dari uang muka Rp.100 juta, bila

diinvestasikan dengan asumsi hasil investasi 10% selama 3 tahun ± Rp.30 juta) dan biaya kredit Rp. 400 juta selama 3 tahun ± Rp.168 juta (asumsi bunga 14%) maka keuntungan Anda ± Rp.462 juta. Inilah strategi hutang yang oleh sebagian pengusaha dimanfaatkan untuk meningkatkan asetnya dalam waktu cepat, dengan cara memperbesar hutang produktif.

Memperlambat pelunasan, otomatis memperkecil jumlah angsuran dengan jangka waktu yang panjang. Dengan cara ini, Anda tidak dirugikan karena barang yang dibeli nilainya akan naik setiap tahun, disamping barang tersebut memberikan penghasilan (sewa dan lainnya)

Kamuflase kartu kredit

Kartu kredit bisa memberikan dampak psikologis seolah-olah kita merasa kaya dengan plafon kredit tersebut Dengan kartu kredit, kita merasa diberikan kemudahan sehingga kemudahan itu harus dimanfaatkan. Padahal kemudahan kartu kredit akan menjadi bumerang bila salah memanfaatkannya. Kartu kredit selain memberikan manfaat juga memberikan keburukan!.

Meski demikian kita jangan ‘anti’ kartu kredit, karena kita bisa memanfaatkan kartu kredit untuk keuntungan kita. Kartu kredit bisa digunakan sebagai alat pembayaran. Kartu kredit juga bisa untuk memperoleh kredit dan modal kerja tanpa bunga, karena kita bisa memanfaatkan pembayaran mundur (kredit) hampir 2 bulan. Penjelasannya begini. Dalam tagihan kartu kredit ada dua tanggal yang harus diperhatikan. Pertama, tanggal cetak, tanggal dimana seluruh transaksi yang telah dilaksanakan. Tanggal cetak transaksi biasanya memiliki beberapa pilihan. Kita bisa memilih tanggal cetak 25, 30 atau tanggal 5 dab sebagainya, tergantung masing-masing penerbit kartu kredit. Kedua, tanggal jatuh tempo pembayaran. Jarak antara tanggal cetak dan tanggal jatuh tempo pembayaran antara 14 – 20 hari.

Untuk ‘memanfaatkan’ pembayaran mundur tanpa bunga kita harus memperhatikan kedua tanggal tersebut. Perhatikan penjelasan berikut.

Selisih 20 hari

10 30

(Tanggal Cetak) (Tanggal Jatuh Tempo)

Ambil contoh sekarang bulan Juli 2005. Bila Anda memilih tanggal cetak tanggal 10, maka seluruh transaksi selama satu bulan mulai tanggal 11 Juni sampai 10 Juli akan tercetak dan jatuh tempo pembayaran pada 30 Juli 2005. Bila Anda bertransaksi pada tanggal 11 Juni, Anda harus membayar tanggal 30 Juli 2005 (ada kelonggaran 1 bulan 20 hari). Bank tidak akan membebankan bunga bila Anda membayar lunas.

Catatan yang baik

Sebagian besar hutang – piutang itu berjangka cukup panjang. Mulai bulanan sampai puluhan tahun seperti kredit kepemilikan rumah (KPR). Dengan rentang waktu yang begitu panjang kita memerlukan dokumentasi yang baik. Bila tidak, kredit bisa menjadi masalah. Meski pihak kreditur (pemberi hutang) memiliki catatan lengkap seperti bank misalnya, namun kita tetap harus memiliki catatan tersendiri. Bila dikemudian hari terjadi perselisihan atau perbedaan catatan, kita sudah memiliki bukti -bukti yang mendukung. Islam sudah mengatur mengenai hal ini, sebagaimana firman Allah :

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah (berjual beli, berhutang piutang atau sewa menyewa dan lainnya) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. …..”

Q.S Al - Baqarah (2) : 282

Selain memperhatikan hal-hal diatas, kita juga harus memahami strategi dalam berhutang agar hutang tidak hanya memberatkan keuangan tetapi lebih dari itu, hutang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bahkan bisa meningkatkan kekayaan. Ini bukan berlebihan, karena banyak pengusaha sukses yang sudah membuktikan hal ini. Mengubah hutang menjadi kekayaan!. (Dibahas dalam bab berikutnya).

Sisakan kapasitas untuk hutang darurat

Kita tidak tahu apakah kondisi keuangan selalu cukup atau tidak sepanjang masa. Hari ini rejeki berlimpah, mungkin tahun depan rejeki tersendat. Maka tidak selayaknya kita menggunakan sebagian besar penghasilan untuk membayar angsuran kredit. Kita perlu menyediakan ‘ruang’ untuk berjaga - jaga manakala membutuhkan dana darurat. Idealnya kita memiliki dana cadangan berupa uang tunai untuk kondisi darurat tersebut. Namun bila kondisi keuangan masih belum memungkinkan untuk itu, tidak ada salahnya jika kita tidak ‘rakus’ dengan hutang sehingga tidak ada ‘ruang’ untuk berhutang lagi.

Prioritaskan pembayaran hutang berbunga besar.

Bila memiliki beberapa sumber hutang, kita harus memprioritaskan untuk melunasi hutang yang berbunga besar. Kartu kredit, hutang rentenir atau kredit tanpa agunan biasanya berbunga besar. Jenis kredit seperti itu harus segera dilunaskan, agar tidak membebani keuangan. Bila kita memiliki dua kartu kredit dengan penggunaan maksimal, prioritaskan pelunasan kartu kredit berbunga besar. Saat ini banyak bank penerbit kartu kredit menawarkan transfer balance (melunasi outstanding kredit di tempat lain, dan memindahkan hutangnya ke tempat penerbit kartu kredit baru). Kita dapat memanfaatkan fasilitas itu, bila bunga yang ditawarkan lebih rendah untuk melunasi kartu kredit yang sedang berjalan. Setelah lunas, sebaiknya tidak menggunakan lagi kartu kredit untuk kepentingan konsumtif.

Selain memperhatikan managemen hutang, kita harus memperhatikan pula managemen piutang (memberikan hutang kepada pihak lain). Bagi pengusaha, hutang – piutang adalah hal biasa. Namun bagi pegawai, piutang yang diberikan biasanya hanya berhubungan dengan bantuan kepada pihak lain, jarang yang berhubungan dengan bisnis.

Kita tentu tidak bisa menolak begitu saja bila ada teman, saudara atau orang dekat kita yang memerlukan bantuan keuangan. Misalnya ada saudara membutuhkan biaya sekolah atau berobat, sebaiknya kita memberikan bantuan atau hutang sesuai

kemampuan. Syukur-syukur bila memberikan bantuan sesuai permintaannya. Meski niat memberikan hutang untuk menolong, tidak jarang uang kita tidak dibayar. Oleh karena itulah kita harus selektif dalam memberikan hutang. Apakah hutang benar-benar sesuai kebutuhannya ataukah si peminjam sengaja ingin ngemplang (tidak mau bayar).

Berkenaan dengan piutang tersebut, Islam mengajarkan bila ada orang yang tidak mampu membayar hutangnya akan lebih baik bila diberikan kelonggaran sampai kita sedekahkan, sebagaimana firman Allah :

“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh (waktu) sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.

Dalam dokumen keberkahanfinansial (Halaman 95-100)