• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membuang Keyakinan Salah

Dalam dokumen keberkahanfinansial (Halaman 29-35)

Siapa sih yang tidak ingin punya banyak uang (kaya) sekaligus memiliki keberkahan? Hampir dipastikan sebagian besar orang ingin meraihnya. Tetapi mengapa banyak orang yang gagal? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, marilah perhatikan apakah mereka sudah memiliki mental kaya - sebagai modal awalnya, serta seberapa besar keinginan tersebut mampu menggabungkan pikiran, tenaga dan waktu yang dimiliki untuk meraihnya? Seringkali orang hanya ingin kaya dan bebas finansial tetapi tidak ada tindakan yang mengarah kesana dan tidak ada kerelaan untuk ‘membayar’ dengan pengorbanan. Padahal dibutuhkan kemauan sangat kuat untuk mewujudkan impian menjadi kenyataan. Dalam hal ini, NIAT dan KEPUTUSAN untuk hidup berkelimpahan harus dibarengi dengan TINDAKAN. Tidak ada sesuatu yang jatuh dari langit dan menghampiri kita begitu saja, tanpa ada usaha!.

Berdasarkan sebuah penelitian terhadap orang kaya di Amerika, ternyata 70 persen dari mereka memang sangat ingin kaya, 11 persen berharap kaya, 8 persen berhasrat kaya, 6 persen berkomitmen kaya, 4 persen berkeyakinan kaya dan 1 persen bertindak untuk kaya. Kalau boleh digambarkan dalam bahasa ‘ekstrim’, seseorang harus memiliki ‘dendam’ terhadap kemiskinan dan rindu berat terhadap kekayaan. Dengan ‘dendam’ pada kemiskinan, akan menimbulkan energi dahsyat untuk melawan kemiskinan tersebut. Sama halnya ketika seseorang dendam terhadap sesuatu, ia akan melakukan apa pun untuk melawannya.

Sebaliknya bila pikiran atau mental seseorang tidak memiliki berkeinginan kaya, maka sulit dia akan kaya, kecuali ada mu’jizat. Bila kondisi ini yang terjadi, ada dua kemungkinan penyebabnya yaitu pertama, orang tersebut benar - benar tidak memiliki keinginan karena pengaruh sufisme yang keliru atau merasa puas diri sehingga tidak berusaha meraih kekayaan. Baginya harta tidak perlu dicari dengan bersusah payah. Kemungkinan kedua, orang tersebut ‘munafik’ karena yang terjadi sebenarnya bukan tidak mau kaya, tidak mau bebas secara finansial. Tetapi mereka memiliki jiwa yang lemah, merasa tidak mampu, malas dan putus asa sebelum ‘berperang’. Mereka juga tidak mau ‘membayar’ harga yang diperlukan untuk kaya. Mereka berpura - pura mengutuk kekayaan sebagai sesuatu yang buruk, sebagai akar dari kejahatan. Anehnya mereka selalu mendambakan kehidupannya dengan mudah, seperti jatuh dari langit. Sikap seperti ini justru banyak terjadi di masyarakat.

Kita dapat membuktikan sikap tersebut dalam contoh berikut. Coba tanyakan kepada teman Anda, “Apakah kamu suka rumah di Pondok Indah – Jakarta dan mobil mewah seperti BMW atau Mercedez Benz?” Anda pasti mendapatkan jawaban, ”Pasti

pingin dong, tapi mana mungkin? Gaji saya kan hanya cukup sebulan, karir cuman

staff” atau “Tentu saja pingin, tapi ngimpi kali yeh…? dan masih banyak jawaban pesimistis yang isi dan nadanya “TIDAK MUNGKIN!” Mereka merasa seperti ‘pungguk merindukan bulan’. Pokoknya tidak mungkin aja!. Begitu yang sering terjadi. Padahal akan terjadi hal yang sebaliknya bila dia mengatakan, “Saya ingin memiliki rumah seperti di Pondok Indah, tapi bagaimana caranya?” Dengan mengatakan seperti itu, otak akan terangsang berpikir kreatif. Jika kita yakin gaji tidak akan mampu membeli semua itu, tentu kita akan mencari jawabannya, mencari alternatif lain. Misalnya meningkatkan pengetahuan dan ilmu agar karir bisa meningkat atau pindah pekerjaan yang lebih baik. Kita juga bisa mencari penghasilan tambahan dengan bisnis kecil-kecilan, mengurangi pengeluaran atau keluar kerja kemudian merintis bisnis yang menjanjikan penghasilan lebih besar.

Satu hal yang sangat penting dalam meraih apa pun, termasuk kekayaan adalah adanya keinginan dan alasan - alasan yang sangat kuat untuk menggerakkan pikiran, waktu dan tenaga untuk meraihnya. Bila hal ini belum ada dalam diri kita, jangan pernah bermimpi menjadi kaya. Salah satu kisah mengenai hal ini adalah Alberta Zebua (32 tahun), sebagaimana di muat dalam Majalah Sartika no.035/13 Des – 27 Des 2004. Berta, begitu ia dipanggil, menjalani perubahan hidupnya bagaikan mimpi. Bayangkan dalam waktu 10 bulan, mampu mengubah sebuah kemiskinan menjadi seorang miliuner yang memiliki mobil jaguar senilai Rp.1,8 miliar, rumah senilai Rp.1,3 miliar dan penghasilan puluhan juta perbulan. Ia adalah orang yang telah mengalami pedihnya kehidupan. Kekayaan yang diperolehnya saat ini ternyata berawal dari dendamnya yang mendalam terhadap kemiskinan.

Berta menceritakan bagaimana pedih hatinya ketika anaknya menderita demam berdarah. Dari pintu ke pintu mencari pinjaman untuk menebus biaya pengobatan anaknya di RS Elizabeth, Medan. “Saya bersama suami sempat berjalan kaki sekitar 7 kilometer dari rumah ke rumah untuk meminjam uang demi menyelamatkan nyawa anak kami. Namun tak seorangpun bersedia meminjamkan uang”, katanya. Saat kebingungan, Berta teringat pada adik perempuannya yang mempunyai perhiasan. Untungnya sang adik merelakan perhiasan tersebut untuk dijual. Tidak hanya sampai di situ kepedihan hidupnya. Karena penghasilan suaminya - sebagai sopir taksi gelap - tidak mencukupi, ia harus membantu sang suami dengan menjadi sales jamu.

Dengan penghasilannya yang minim - bahkan pernah diusir dari rumah karena tidak mampu bayar uang kontrakan - maka pada tahun 2002 memutuskan untuk mengubah hidupnya. Ia kemudian bergabung dengan sebuah perusahaan MLM, namun gagal karena sistemnya menurut dia tidak memberikan kesempatan sama untuk maju. Kemudian ia mencoba lagi bergabung dengan perusahaan MLM lain, yang dinilai memiliki sistem yang baik – tidak hanya membuat kaya sebagian kecil mitranya. Awalnya sang suami menolak karena trauma dengan kegagalan pada MLM sebelumnya. Namun dengan kegigihannya, ia tetap melangkah, meski gara-gara keputusannya ini ia hampir cerai. Ia berusaha membuktikan hingga pada akhirnya berhasil, keluar dari kemiskinan.

Dari cerita tersebut, hikmah yang dapat diambil adalah : apakah dalam meraih kekayaan selama ini kita sudah memiliki kemauan (niat) kuat, mengetahui rahasia uang dan memiliki keteguhan hati dalam menjalankannya? Bila ketiga hal tersebut belum ada, maka kita hanya menjadi pemimpi. Dalam kisah diatas diketahui bagaimana seorang Berta, yang mau belajar dari kegagalannya, mencoba mempelajari sebab - sebab kegagalannya - seperti menilai sistem perusahaan MLM pertama yang tidak fair - kemudian mencari perusahaan lain yang lebih fair. Ia juga memiliki keteguhan hati dan sikap pantang menyerah dalam menjalani hidupa. Baginya, jatuh bangun dalam menjalani kehidupan merupakan hal biasa yang harus dihadapi.

Hambatan paling besar yang menyebabkan seseorang tidak dapat kaya karena mentalnya miskin, selalu merasa kurang dan tidak bersyukur. Sulit bagi orang bermental miskin bisa menjadi kaya karena ia akan menjadi pecundang. Jadi faktor pertama adalah mental miskin, yang menjadi penghalang. Mental miskin selalu mencari berbagai alasan pembenar, menyalahkan kondisi dan menyerah sebelum berjuang. Selalu mencari alasan pembenar (justify) seperti bila melihat orang lain sukses mengatakan, “Wajar mereka sukses dan kaya, karena orang tuanya juga sukses dan kaya”. “Wajar mereka sukses karena orangnya pinter dan punya koneksi orang hebat, dan sebagainya”. Mental miskin juga tercermin dari sikap yang selalu menyalahkan kondisi atau dirinya sendiri. “Wah… saya tidak bisa kaya karena orang tua saya orang miskin, mana mungkin saya punya modal untuk memulai usaha”. “Saya tidak memiliki kemampuan bisnis, jadi tidak bisa menjadi pengusaha sukses”, dan sebagainya. Ada saja alasan - alasan untuk tidak

bertindak dan sayangnya mereka tidak fokus untuk mencari jalan keluar mengatasi masalah. Fokus mereka hanya pada kekurangan!

Faktor kedua, banyak orang tidak tahu caranya dan tidak mau belajar bagaimana menjadi kaya. Kesuksesan biasanya dimulai dari bawah dan bermula dari keunggulan seseorang. Sementara itu keunggulan berawal dari dalam, dari mental seseorang. Oleh karena itu mulailah dengan keunggulan yang dimiliki karena hanya orang - orang unggul yang bisa meraih sukses, termasuk mendapatkan kekayaan yang berkah. Semuanya itu hanya dapat diraih dengan proses belajar, belajar dan belajar!.

“ …. Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajad…”

Q.S Al - Mujaadilah (58) : 11 Rasulullah pun bersabda bahwa siapa pun yang ingin sukses dunia, hendaklah dia memiliki ilmu, untuk sukses akhirat dengan ilmu dan sukses dua - duanya (dunia – akhirat) juga dengan ilmu.

Kita jangan terjebak bahwa belajar hanya dilakukan secara formal di sekolah atau perguruan tinggi. Cara yang paling baik adalah belajar dari ‘sekolah besar kehidupan ini’ dan ukurannya bila hari ini kita lebih baik dari hari kemarin, esok lebih baik dari hari ini!. Dengan kata lain, orang yang selalu meningkat kualitas ilmunya, itulah orang beruntung. Kalau dalam bahasa Albert Einstein, “Belajarlah dari hari kemarin, hiduplah untuk hari ini dan berharaplah untuk hari esok. Hal yang penting adalah jangan berhenti untuk bertanya”.

Ketiga, pendidikan yang salah. Pendidikan seringkali menjadi penyebab seorang menjadi ‘miskin’. Lho, kok bisa? Masyarakat seringkali beranggapan bahwa semakin tinggi pendidikan semakin besar kemungkinan seseorang untuk hidup sejahtera bahkan kaya penuh berkah. Realitanya tidaklah demikian. Karena orang berpendidikan tinggi biasanya hanya menuntut pekerjaan tanpa mau mendirikan perusahaan. Mereka maunya hanya menjadi pegawai, dengan penghasilan terbatas. Mereka juga belum tentu memiliki kecerdasan finansial sesuai dengan tingkat pendidikannya. Buktinya, orang - orang berpendidikan tinggi banyak yang melakukan ‘gali lubang – tutup lubang’. Mereka terjerat hutang konsumtif seperti membeli mobil, rumah mewah, peralatan elektronik mewah yang bertujuan untuk memenuhi status dan gengsi. Biar dianggap kaya, padahal belum kaya!. Mereka merasa kaya, sehingga berperilaku seperti orang kaya, padahal pendapatannya tidak mendukung.

Keempat, faktor pekerjaan. Banyak orang beranggapan pekerjaan bisa membuat kaya. Kenyataannya tidak selalu demikian, karena ada pekerjaan justru membuat seseorang menjadi miskin, baik miskin waktu, miskin uang, maupun miskin harga diri. Miskin waktu, karena terikat dengan pekerjaan, sementara penghasilannya tetap ‘segitu

– gitu’ saja. Karyawan harus berangkat pagi pulang sore bahkan larut malam. Seakan

hidup hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Kegiatan sosial menjadi terlupakan. Contoh paling nyata adalah kehidupan karyawan di kota-kota besar seperti Jakarta. Mereka sesampai di rumah sudah larut malam, jarang ketemu anak-anak, apalagi tetangga. Kontak sosial jarang terjadi sehingga hidup individualistik memang menjadi keterpaksaan. Kenyataan ini dibuktikan oleh laporan National Sleep Foundation – AS, dimana jumlah ‘budak kerja’ cukup mencengangkan. Lebih dari 31% pekerja pria lulusan perguruan tinggi di AS lazim bekerja 50 jam atau lebih dalam sepekan di kantor, naik 22% pada 1980. Sekitar 60% orang disana sarapan pagi maupun makan siang dengan tergesa - gesa dan banyak dilakukan di meja kerja dan 34% makan siang dilakukan sambil beraktivitas.

Selain itu, pekerjaan juga sering membuat ‘miskin’ uang (tidak kaya) karena jarang pekerjaan yang membuat kaya karyawannya. Mengapa demikian? Logika sederhananya, seorang karyawan adalah ‘abdi’ bagi juragannya (pemilik perusahaan). Ia hanya mendapatkan gaji dari perusahaan, yang jumlahnya sudah ditentukan. Kalau gaji yang diterima cukup besar, masih lumayan. Tetapi tidak sedikit gaji karyawan yang untuk kebutuhan pokok saja tidak sampai satu bulan sudah habis – karena saking rendahnya gaji tersebut (bukan karena boros lho…). Gaji mereka juga tidak serta merta naik, meski kebutuhan hidupnya naik setiap tahun. Jadi untuk menjadi kaya hanya dengan gaji saja, merupakan suatu hal yang sulit.

Wajar bila ada guyonan, sebagian besar pegawai adalah anggota BP7 (berangkat pagi, pulang petang, pegel-pegel dan penghasilan pas-pasan). Ada juga istilah 5K (Kagum, karena baru diterima menjadi pegawai, Kaget, setelah beberapa tahun tidak ada perubahan signifikan terhadap gaji dan karir, Kecewa, Korupsi, Kerangkeng

(Penjara).

Memang ada sebagian kecil pegawai yang kaya hanya dengan gajinya yaitu direktur perusahaan besar, sales yang berhasil dan bisnis MLM. Penelitian Thomas J. Stanley terhadap lebih dari 730 keluarga milioner di Amerika, menunjukkan bahwa dua pertiga keluarga milyuner adalah bekerja sendiri menjadi wirausaha dan sisanya sebagai profesional yang bekerja sendiri (self employee) seperti dokter dan akuntan publik.

Demikian juga berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan Harvard University Survey, pada umur 65 tahun, hanya 1% orang yang benar-benar kaya, dimana sebanyak 74% orang kaya tersebut adalah mereka yang berprofesi sebagai pengusaha, 1% pemenang lotre atau undian, 5% sales asuransi & properti, 10% CEO, Top Management, 10% profesional, dokter, pengacara, atlet dan artis. Demikian pula Islam menunjukkan bahwa sumber rejeki utama adalah berdagang (menjadi pengusaha). “Sembilan dari sepuluh pintu rejeki adalah berdagang”, demikian sebuah hadits Nabi. Dalam hadits yang lain juga dikatakan bahwa pedagang yang jujur dijamin masuk surga oleh Allah. Jadi, dimana posisi pegawai?

Bila demikian, apakah kita tidak boleh menjadi pegawai? Saya tidak melarang siapa pun untuk menjadi pegawai. Silahkan menjadi apa pun sesuai pilihan, asalkan kita memilih dan menjalankannya dengan cerdas. Artinya, bila pilihan menjadi pegawai sudah menjadi keharusan, maka jangan sampai pilihan tersebut menjadi sebuah ketergantungan yang menyebabkan kita harus menerima pekerjaan apa pun, meskipun tidak menyukainya.

Dalam memilih pekerjaan, setidaknya ada tiga hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, memilih pekerjaan berdasarkan kesenangan. Kedua, jenis pekerjaan memungkinkan kita untuk mendapatkan ilmu yang selalu baru. Jangan melakukan pekerjaan yang sifatnya rutin seperti pekerjaan yang biasa dikerjakan robot. Dengan jenis pekerjaan yang dinamis, kita tertantang untuk selalu belajar terus menerus. Ketiga, pekerjaan bisa menjadi sumber ide usaha yang dapat direalisasikan bilamana kita sudah tidak mau menjadi pegawai. Sebagai contoh, bila Anda bekerja di Hotel, Anda dapat memilih koki daripada menjadi housekeeping (merapikan kamar). Mengapa? Dengan memilih menjadi koki, Anda akan ahli memasak. Keahlian itu dapat Anda manfaatkan membuka usaha bila sewaktu - waktu Anda tidak mau bekerja lagi atau di PHK. Contoh ini saya kemukakan karena saya masih ingat PHK besar - besaran pada Hotel Indonesia pertengahan 2004 lalu. Kebetulan ada salah satu teman saya yang di PHK. Untungnya, selama itu dia bekerja sebagai koki sehingga masih bisa membuka usaha catering, dengan uang pesangon.

Jika harus menjadi pegawai, sebaiknya jangan terlalu lama karena bisa mematikan kreatifitas dan membentuk comfort zone (daerah kenyamanan) sehingga

semakin lama semakin takut keluar kerja meski pekerjaan tidak menyenangkan dan gaji yang tidak layak. Jadikanlah sasaran menjadi pegawai untuk mencari pengalaman, ilmu dan memperluas pergaulan yang diperlukan ketika bisnis. (Baca pula buku Cara Mudah

Orang Gajian Menjadi Entrepreneur, Penerbit MediaSukses, 2005).

Kelima, teman hidup atau pasangan. Pasangan hidup adalah semua orang yang berada di ‘dekat’ kita, termasuk teman bermain, teman kantor, teman bisnis dan terutama istri / suami. Mereka itulah orang - orang yang selalu mempengaruhi perilaku kita, bahkan ikut berperan terhadap sukses atau gagalnya hidup kita. Pepatah yang mengatakan, “bila kita bergaul dengan penjual minyak wangi, kita akan menjadi wangi”, juga berlaku dengan masa depan finansial kita.. Bila istri atau suami boros, kita akan kewalahan mengatur keuangan. Akibatnya sudah pasti, gagal finansial!

Itulah sebabnya dalam mencari istri atau suami juga harus memperhatikan kecerdasan finansialnya atau memiliki visi dan misi yang sama dalam mengelola keuangan keluarga. Bila tidak, istri atau suami akan menjerumuskan dalam tindak kejahatan. Islam pun menganjurkan dalam memilih pasangan hidup agar memperhatikan empat hal berikut : (1) ketaqwaan (2) keturunan (3) phisik – kecantikan atau ketampanan (4) harta – kekayaan. Dari keempat pertimbangan tersebut, ketaqwaan atau tingkat keimanan menjadi prioritas utama. Tapi yang sangat menarik adalah Islam menganjurkan untuk memilih calon suami / istri yang memiliki harta - kekayaan.

Demikian juga dengan teman, sangat menentukan finansial di masa depan. Contoh sederhana adalah apabila Anda memiliki teman suka berhura-hura alias menghabiskan sebagian besar uangnya di dunia gemerlap (dugem). Secara langsung atau tidak Anda akan terpengaruh mengikuti pola hidupnya (bila Anda tidak memiliki prinsip untuk menolaknya).

Kondisi finansial seseorang biasanya juga tidak jauh berbeda dengan temannya. Sekarang silahkan buat daftar 5 teman dekat Anda dan pekerjaannya serta perkirakan berapa rata – rata penghasilannya dalam setahun. Anda akan menemukan bahwa rata-rata penghasilan teman Anda tidak akan jauh berbeda dengan penghasilan Anda. Apa yang dapat diperoleh dari kondisi ini? Hal ini menunjukkan bahwa teman sangat penting dalam kehidupan. Mereka akan menjadikan kehidupan ini menjadi ‘hitam atau putih’, kaya atau miskin, sukses atau gagal. Apabila Anda ingin mengubah kehidupan ini menjadi lebih baik, carilah teman - teman yang lebih baik karena Anda dapat belajar darinya.

Bila Anda ingin kaya, belajarlah kepada orang kaya, karena mustahil bila teman Anda miskin bisa memberikan ilmu bagaimana memperoleh kekayaan. Saya tidak memberikan saran agar Anda meninggalkan teman - teman Anda sekarang ini, tetapi Anda bisa menambah teman - teman baru. Keluarlah dari kebiasaan selama ini. Untuk jelasnya saya akan memberikan ilustrasi mengenai hal ini. Di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) sudah menjadi ‘budaya’. Apa yang dilakukan oleh mereka yang ber-KKN? Mereka memanfaatkan hubungan pertemanan, keluarga ataupun kolega. Tidak ada yang salah dengan pemanfaatan seperti itu. Namun yang menjadi masalah ketika sudah tidak lagi mengindahkan norma - norma. Saya tidak menganjurkan Anda seperti itu, tetapi Anda harus tahu bahwa mereka dapat kaya karena teman – temannya juga ‘kaya’ (bisa berarti kaya jabatan / memiliki kekuasaan). Anda dapat ‘memanfaatkan’ teman - teman Anda yang kaya, pintar dan sukses. Bagaimana bila Anda tidak memiliki teman yang kaya atau sukses? Minimal Anda mau belajar dari buku-buku, majalah atau koran dan lainnya yang memberikan tip-tip bagaimana menjadi kaya dan belajar dari kisah perjuangannya.

Keenam, kesalahan menetapkan gaya Hidup. Kesalahan menetapkan gaya atau standar hidup bisa menyebabkan hidup semakin jatuh ke jurang kesengsaraan. Pada awalnya hidup ‘kelihatan’ enak, tetapi bila kondisi keuangan tidak mampu menanggungnya, tunggul saja kehancurannya. Sampai kapan uang kita mampu menanggung biaya hidup yang selalu melebihi penghasilan?

Wallahu a’lam bishawaab.

Rukun 2 :

Memahami Rahasia Uang

Dalam dokumen keberkahanfinansial (Halaman 29-35)