• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASSESSMENT CEPAT PROSES PENGELOLAAN DAN LEMBAGA KEBIJAKAN DI INDONESIA. Proyek Prakarsa Strategis Bappenas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASSESSMENT CEPAT PROSES PENGELOLAAN DAN LEMBAGA KEBIJAKAN DI INDONESIA. Proyek Prakarsa Strategis Bappenas"

Copied!
249
0
0

Teks penuh

(1)

ASSESSMENT CEPAT PROSES

PENGELOLAAN DAN LEMBAGA

KEBIJAKAN DI INDONESIA

Proyek Prakarsa Strategis Bappenas

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... 2

BAGIAN I : LAPORAN SINTESA ... 7

BAB I ... 8

PENDAHULUAN ... 8

1.1 Perubahan lingkungan kebijakan ... 8

1.2 Tantangan konsolidasi demokrasi ... 9

1.3 Pentingnya proses kebijakan ... 11

1.4 Dimensi-dimensi reformasi proses kebijakan ... 13

BAB II ... 16

TUJUAN DAN METODOLOGI ... 16

2.1 Tujuan ... 16

2.2 Ruang Lingkup... 16

2.3 Metodologi ... 18

BAB III ... 19

PROSES KEBIJAKAN SEBAGAI PERMASALAHAN ... 19

3.1 Proses kebijakan sebagai bagian dari effective governance ... 19

3.1 Tantangan Indonesia ... 22

BAB IV ... 23

PERMASALAHAN DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN ... 23

4.1 Ketiadaan kerangka strategi yang utuh ... 23

4.2 Kebijakan yang berorientasi sektoral ... 25

4.3 Konsultasi internal pemerintah dan konsultasi publik ... 27

BAB V ... 30

PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI DAN MONITORING KEBIJAKAN ... 30

5.1 Masalah lembaga koordinator ... 30

5.3 Kapasitas kelembagaan ... 34

5.4 Manajemen transisi dari kebijakan lama ke kebijakan baru ... 34

5.5 Proses implementasi kebijakan yang terlalu inward looking ... 35

5.6 Strategi komunikasi dalam implementasi kebijakan yang tidak efektif ... 36

5.7 Monitoring kebijakan ... 37

BAB VI ... 39

LEMBAGA-LEMBAGA KEBIJAKAN ... 39

(3)

BAB VII ... 44

LANGKAH-LANGKAH KE DEPAN ... 44

7.1 Perubahan lingkungan kebijakan ... 45

7.2 Respon lembaga-lembaga kebijakan terhadap perubahan lingkungan kebijakan ... 45

7.3 Proses kebijakan dalam alam demokratis ... 45

7.4 Pokok-pokok implementasi reformasi proses kebijakan di Indonesia ... 46

Bagian II : Studi Kasus... 47

Kerangka Koordinasi Lembaga-Lembaga Kebijakan ... 48

1 Latar belakang ... 48

2 Permasalahan ... 49

2.1 Ruang lingkup dan metodologi ... 50

3 Identifikasi dan analisis kelembagaan yang terlibat dalam proses kebijakan ... 50

3.1 Presiden dan Kantor Kepresidenen ... 50

3.2 Hubungan Eksekutif dan Parlemen dalam pembuatan kebijakan ... 66

3.3 Perubahan Domestik dalam Konteks Pembuatan Kebijakan di Indonesia ... 69

3.3.1 Perubahan besar dalam parameter kebijakan ... 69

3.3.3 Makin sempitnya waktu antara munculnya masalah dengan respon pemerintah ... 70

3.3.4 Pemerintahan yang terdesentralisasi ... 71

3.3.5 Strategy Pembangunan Nasional dan Perubahan Peran Perencanaan Pembangunan ... 72

4. Masalah yang muncul dari sistem pembuatan kebijakan saat ini ... 73

4.1 Hilangnya Visi Strategis dan Pengemasan Efektif Program Reformasi ... 74

4.2 Menetapkan fokus tanpa melupakan visi strategis ... 75

4.3 Hancurnya kapasitas untuk melakukan riset dan perumusan kebijakan ... 76

4.4 Kebijakan yang tidak efektif: kegagalan desain atau implementasi? ... 78

5. Kasus-kasus dalam proses kebijakan ... 79

6. Rangkuman dan implikasi bagi studi lanjutan ... 81

Proses Pembuatan Kebijakan Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran di Indonesia ... 83

1. Latar belakang ... 83

2. Tujuan, ruang lingkup dan metodologi penelitian ... 84

2.1. Tujuan ... 84

2.2. Ruang lingkup ... 84

(4)

3. Policy Regime mengenai perencanaan pembangunan dan anggaran di

Indonesia ... 86

3.1. Regulasi dan struktur... 87

3.1.1. Bappenas ... 87

3.1.2. Departemen Keuangan ... 89

3.1.3. Lembaga lainnya (DPR, lembaga pemeriksa pembangunan, departemen terkait) ... 90

3.2. Proses kebijakan ... 90

3.2.1. Alur kerja penyusunan perencanaan pembangunan dan anggaran ... 91

3.2.2. Siklus dan evaluasi atas pelaksanaan pembangunan dan anggaran... 94

4. Analisis studi kasus proses kebijakan perencanaan dan anggaran ... 96

4.1. Musrenbang: partisipasi publik dalam menyusun rencana kerja pemerintah (RKP) ... 97

4.2. Kebijakan anggaran di era demokrasi ... 105

4.3. Peran Bappenas dalam penanggulangan bencana alam nasional ... 112

4.4. Monitoring and evaluation atas pembangunan dan penggunaan anggaran ... 118

5. Kesimpulan dan rekomendasi ... 124

Proses Kebijakan Ekonomi Makro ... 126

1 Latar belakang ... 126

2 Tinjauan, ruang lingkup dan metodologi ... 128

2.1. Tinjauan dan ruang lingkup kebijakan moneter ... 128

2.2. Hubungan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah ... 130

2.3 Tinjauan dan ruang lingkup kebijakan fiskal ... 132

3 Policy regime ... 134

3.1. Kebijakan moneter ... 134

3.1.1. Kebijakan moneter dengan sasaran kestabilan harga: menuju Inflation Targeting ... 135

3.1.2. Dasar Pemilihan Kebijakan Inflation Targeting ... 136

3.1.3. Faktor–Faktor Lain yang Terkait dengan Kebijakan Inflation Targeting ... 137

3.1.4 Konsep Dasar Kebijakan Moneter Bank Indonesia dengan Kerangka Inflation Targeting ... 139

3.1.5. Implementasi Kebijakan Inflation Targeting di Indonesia ... 141

(5)

3.1.8. Bank Indonesia Sebagai Pengelola Cadangan Devisa ... 144

3.1.9. Wewenang BI atas Cadangan Devisa: ... 144

3.1.10. Kebijakan Bank Indonesia terhadap Nilai Tukar ... 146

3.1.11. Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa ... 147

3.2 Kebijakan fiskal ... 148

3.2.1. Struktur APBN ... 151

3.2.2. Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal ... 152

4 Evaluasi Proses Kebijakan ... 155

4.1. Evaluasi Proses Kebijakan Moneter ... 155

4.2. Evaluasi Proses Kebijakan Fiskal ... 157

4.3. Evaluasi Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter ... 160

5 Rangkuman dan implikasi studi lanjutan ... 164

Daftar Pustaka ... 165

Proses Kebijakan Sektor Riil ... 166

1 Latar Belakang ... 166

2 Tinjuan dan Ruang Lingkup ... 170

2.1 Peningkatan investasi, ekspor dan perluasan kesempatan kerja ... 172

2.2 Revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan dan pembangunan pedesaan ... 174

2.3 Percepatan pembangunan infrastruktur dan pengelolaan energi ... 176

3 Policy Regime ... 177

3.1. Pembangunan Sektor Riil ... 177

3.1.1. Bentuk koordinasi ... 179

3.1.2. Tim Eksternal Pemantau ... 180

3.2. Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi (TIMNAS PEPI) ... 181

3.2.1. Tugas dari Sekretariat Timnas PEPI tersebut adalah sebagai berikut: .. 181

3.2.2. Kelompok Kerja Timnas PEPI (Pokja Timnas PEPI) ... 182

3.3. Tim Nasional Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (Timnas KEKI) ... 185

3.3.1. Organisasi Pelaksanaan ... 185

3.3.2. Model Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus ... 187

3.3.3. Insentif Fiskal... 188

3.3.4 Insentif Non Fiskal ... 188

3.4. Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) ... 189

3.4.1. Latar Belakang KKPPI ... 190

3.4.2. Struktur Organisasi KKPPI ... 191

3.4.3. Lingkup Infrastruktur ... 192

(6)

3.4. Revitalisasi Kehutanan ... 194

3.6. Revitalisasi Perikanan ... 199

4 Evaluasi Kebijakan Sektor Riil ... 201

5 Rangkuman dan Implikasi Studi ke Depan ... 204

Daftar Pustaka ... 205

Proses Pembuatan Kebijakan Sosial di Indonesia ... 206

1. Latar belakang ... 206

2. Tujuan, ruang lingkup dan metodologi penelitian ... 207

2.1. Tujuan ... 207

2.2. Ruang lingkup ... 207

2.3. Metodologi penelitian ... 208

3. Policy regime mengenai penanggulangan kemiskinan di Indonesia ... 209

3.1. Regulasi dan struktur... 210

3.2. Proses kebijakan ... 214

3.2.1. Proses pembuatan kebijakan anti kemiskinan ... 214

3.2.2. Implementasi kebijakan anti kemiskinan ... 216

3.2.3. Pengawasan dan evaluasi kebijakan anti kemiskinan ... 218

4. Analisis studi kasus proses kebijakan penanggulangan kemiskinan ... 218

4.1. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) ... 219

4.2. Legalisasi atas Corporate Social Responsibility ... 231

4.3. Reformasi agraria untuk kaum miskin ... 234

5. Kesimpulan dan rekomendasi ... 240

(7)

BAGIAN I : LAPORAN

SINTESA

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Perubahan lingkungan kebijakan

Perubahan sistem politik di Indonesia dengan reformasi pada tahun 1998 telah menciptakan proses transisi dari suatu sistem yang cenderung otoriter menjadi ke arah demokratis. Perubahan ini juga memiliki pengaruh pada proses pengelolaan kebijakan publik di mana cara-cara lama sudah tidak berlaku dan lembaga-lembaga pembuat kebijakan kunci harus menyesuaikan diri dengan melakukan efisiensi, pengembangan kapasitas dan akuntabilitas publik agar selaras dengan proses demokratisasi yang sedang terjadi.

Pemerintah menyadari perlunya menata kembali pengelolaan proses kebijakan publik. Antara lain, pemerintah telah menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi yang disponsori bersama oleh Bappenas dan Kementrian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada November 2005. Kesimpulan penting dari pertemuan tersebut adalah pentingnya dilakukan suatu studi yang lebih jauh untuk memperkuat kapasitas kelembagaan institusi-institusi pembuat kebijakan didalam proses pembuatan kebijakan yang stratejik dan demokratis.

Reformasi proses pembuatan kebijakan bukan hal mudah. Di tingkat praktis, upaya ini mencakup cara mengefisienkan dan membangun kapasitas agar kebijakan dapat dirumuskan, dikoordinasikan, dan dilaksanakan untuk semua isu di seluruh wilayah. Di tingkat yang lebih teoretis, perlu dikaji apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di alam demokrasi. Literatur ekonomi pembangunan dan teori politik banyak sekali mencurahkan perhatian pada topik ini. Tak kunjung dicapainya konsensus dari kedua disiplin ilmu tersebut menunjukkan pandangan yang dikemukakan dan kepentingan yang bersaing memang amat kompleks.

(9)

sistemik seperti yang dialami Indonesia dengan mulus dan terencana dalam waktu amat singkat. Perhatian yang lebih besar selama ini diarahkan pada reformasi lembaga yang terkait dengan pasar seperti undang-undang dan pengadilan kepailitan, reformasi tatakelola bank dan swasta, lembaga moneter dan anggaran. Hal itu juga tidak mengherankan. Pada tahun 1997/1998 hanya sedikit yang berpikir Indonesia menghadapi lebih dari sekadar krisis moneter parah.

Meski demikian, terlambat tidak selalu berarti merugi. Setelah didera goncangan ekonomi terburuk dan melakukan reformasi politik dan konstitusional secara mengesankan, Indonesia kini dalam posisi mencoba untuk fokus pada problem pengambilan keputusan internal. Banyak sekali pengalaman internasional yang dapat dijadikan pelajaran. Juga makin tumbuh kesadaran bahwa benar-benar tidak ada tidak ada jalan keluar selain mengkonsolidasikan struktur dan nilai demokrasi. Perbaikan proses pembuatan kebijakan merupakan unsur yang amat diperlukan dalam konsolidasi demokrasi.

Berbeda dengan demokrasi yang lebih dahulu dan mapan, demokrasi muda seperti Indonesia selain harus menyelesaikan dilema menyelaraskan representasi dengan pengambilan keputusan di tengah-tengah struktur kelembagaan sistem politiknya yang belum selesai ditata. Tentu saja ini tugas yang pelik. Jika gagal dilaksanakan, kerap kali akibatnya adalah kembalinya sistem kediktaktoran atau krisis politik yang tak kunjung usai yang dapat berujung pada kondisi negara gagal (failed state). Pelajaran penting pertama dari pengalaman transisi adalah bahwa konsolidasi demokrasi suatu negara bukan sesuatu yang taken for granted.

1.2 Tantangan konsolidasi demokrasi

Perubahan seluruh kultur politik merupakan prasyarat agar demokrasi terkonsolidasi. Bahan yang harus tersedia bagi resep transisi demokrasi adalah dibangunnya legitimasi politik, yakni sebuah proses membangun kepercayaan publik kepada keseluruhan struktur lembaga demokrasi sehingga publik yakin dan bersedia berpartisipasi dalam proses politik. Lebih dari itu, legitimasi politik berarti pula memastikan agar pejabat atau wakil yang dipilih melalui pemilu demokratis handal dalam mengambil keputusan di berbagai bidang yang mempengaruhi kehidupan

(10)

mereka –bukan hanya ekonomi- dalam kerangka kelembagaan baru yang demokratis tersebut.

Kegagalan banyak transisi demokrasi bermula dari kenyataan bahwa penekanan hanya pada jangka pendek atas pengambilan kebijakan, dan kebutuhan pemerintahan untuk bertindak, lebih didahulukan ketimbang upaya pelembagaan praktik demokrasi seharisehari. Hasil yang tak terelakkan ialah rangkaian beragam sistem politik yang arahnya tidak dapat ditebak, khususnya ketika demokrasi yang belum matang dengan drastic berubah arah menjadi demokrasi semu dan semi-diktaktor. Ketika ini terjadi, keputusan publik tidak dibuat oleh pejabat terpilih, namun dibuat di belakang layar oleh sekelompok elit dengan -kerap kali- dukungan kekuatan militer.

Pengalaman transisi demokrasi menggambarkan bahwa reformasi gelombang pertama tidak selalu mampu mengantarkan ke tahap konsolidasi demokrasi. Untuk itu, dibutuhkan reformasi gelombang kedua untuk menjawab bukan saja problem anomali konstitusional dan kerancuan konseptual dalam hukum dan pemisahan kelembagaan, tetapi sekaligus meraih legitimasi dan konsolidasi politik menuju akhir transisi. Reformasi efektif atas proses pembuatan kebijakan misalnya mendorong dialog dan pemahaman publik tentang rumusan kebijakan terkini dan alternatifnya, termasuk identifikasi masalah-masalah yang mengemuka di tingkat nasional dan internasional menjadi bagian krusial agenda Gelombang Kedua tersebut.

Legitimasi politik terutama akan bergantung pada kemampuan negara demokrasi untuk memerintah. Hal ini bukan saja berarti menyediakan keamanan fisik dan regulasi dan hukum yang sahih secara konstitusional, tetapi juga menjamin seperangkat kebebasan dan kapabilitas warga negara untuk menentukan standar kehidupan yang diinginkan. Tumbangnya otokrasi dengan perekonomian yang sukses sekalipun adalah pengalaman yang menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup. Tugas utama Gelombang Kedua adalah memperbaiki kualitas demokrasi yang telah ada dan juga pertumbuhan ekonominya. Hal ini membutuhkan pendekatan pembuatan kebijakan yang inklusif, saling terkait dan bersifat lintas sektoral.

(11)

1.3 Pentingnya proses kebijakan

Meski subyek ini amat penting, reformasi lembaga-lembaga penyusun kebijakan melalui penguatan pemerintahan dan demokrasi kurang menarik minat akademisi, pemerintah, atau lembaga donor di Indonesia. Sekalipun isu tata pemerintahan dipandang sebagai problem utama dalam isu kebijakan di Indonesia, namun mekanisme untuk perumusan dan implementasi kebijakan, yang amat diperhatikan di negara demokrasi lain, nyaris hilang dari wacana kebijakan di Indonesia.

Yang amat mengkhawatirkan dari pengingkaran ini adalah kenyataan bahwakesemuanya itu berlangsung saat elemen konseptual dan institusional dalam pembuatan kebijakan nasional sedang berubah dalam kecepatan semakin tinggi dan dihadapkan pada tantangan dan beberapa permasalahan yang ada saat ini dan di masa yang akan datang.

Keharusan untuk memperkuat proses pengelolaan kebijakan public juga tidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Inti globalisasi bukan saja soal perubahan lingkungan ekonomi di mana antarnegara dapat saling berdagang dan meminjamkan uang. Globalisasi juga membawa perubahan politis secara fundamental melalui beberapa cara. Pertama, ketimpangan aksesterhadap pasar modal global41 suatu negara memiliki implikasi politik

regional. Ketika Indonesia menjalani restrukturisasi ekonomi dan politik, modal dalam jumlah luar biasa besar dilarikan ke luar negeri, terutama Cina dan India42. Ini mengubah

pola perdaganganantarnegara Asia dan mengubah bobot politik Indonesia di kawasan ini. Kedua, globalisasi dan penggunaan informasi media secara cepat menciptakan lingkungan pengaruh dan tindakan politik baru. Bukan saja berkat media televisi dan cetak internasional yang terintegrasi, namun juga berkat lobi-lobi internasional43 yang

berdampak politis dalam isu hak asasi manusia, lingkungan, kesehatan, dan keselamatan kerja. Dampaknya adalah reaksi yang serba cepat terhadap munculnya berbagai problem kebijakan seperti pemboman tempat wisata, tumpahnya minyak di laut, merebaknya wabahpenyakit tertentu, dan respon pemerintah.

Ketiga, tidak kalah pentingnya, adalah pandangan bahwa lahirnya lembagatransnasional, ditambah dengan kekuasaan lembaga donor dan lobi internasional, telah mengurangi kedaulatan negara bangsa44. Pembuatan kebijakan nasional makin terbatasi oleh tindakan

lembaga pemeringkat, perilaku kompak investor asing, keputusan mengikat WTO, dan standar kesehatan dan keselamatan kerja yang dikaitkan dengan pembatasan eskpor

(12)

barang ke negara maju45. Bagi banyak kalangan, perubahan ini menandai berakhirnya

kedaulatan negara bangsa dan membatasi pembuatan kebijakan nasional.

Medan pertempuran kebijakan mendatang adalah dalam organisasi regional (seperti EU, NAFTA, ASEAN), dalam konvensi-konvensi internasional, dalam pertemuan tingkat tinggi dan dalam dewan pengurus di lembaga keuangan internasional. Dengan demikian di dalam negeri, subjek kebijakan yang harus ditangani menjadi lebih sedikit, namun perumusan kebijakan di luar negeri menjadi lebih rumit, termasuk dalam hal negosiasi dengan lebih banyak pemain atau pihak yang terlibat.

Perubahan-perubahan yang disebut di atas dalam struktur perdagangan dan kelembagaan pasar global dan perubahan peran badan-badan supranasional, ditambah dengan pendeknya waktu yang tersedia dari munculnya problem kebijakan hingga tindakan penyelesaiannya, berimplikasi besar bukan hanya pada cakupan pembuatan kebijakan nasional, namun juga pada kapasitas pemerintah untuk menangani makinbanyak isu yang melibatkan makin banyak kelompok pemain yang kuat. Ini tugas yangkompleks. Dan itu belum semua. Dasawarsa terakhir abad 20 juga ditandai berkembangnya ide dan paradigma pembangunan. Yang makin kompleks bukan saja problem kebijakannya, namun juga solusi yang dikemukakan, khususnya yang terkait dengan peran negara dan interaksinya dengan pasar.

Akibat dari perubahan besar di lingkungan kebijakan global, dan dalam pemikiran pembangunan, adalah preferensi untuk mekanisme perumusan kebijakan yang makin fleksibel, basis informasi yang lebih beragam, kemitraan kelembagaan dan mekanisme koordinasi, digunakannya komisi khusus dan kelompok kerja independen, dan dimanfaatkannya jaringan kebijakan. Perubahan tersebut juga mengakui pentingnya identifikasi masalah secara cepat agar ada peringatan dini atas krisis yang muncul tiba-tiba dan isu kebijakan jangka panjang seperti urbanisasi, populasi yang menua, riset, dan teknologi.

Perubahan-perubahan di atas bukannya mengakhiri peran negara, namun justru melahirkan tuntutan kepada pemerintah—yakni sebagai pengatur dan fasilitator bisnis, penyelenggara konsensus sosial, dan penyedia akhir barang publik—yang sangat azasi bagi negara demokrasi dan sebagai partner dalam pengawasan kesehatan, serta ancaman kejahatan dan keamanan internasional. Tantangan yang beragam ini mengubah cara

(13)

antara negara danmasyarakat sipil dan negara dengan komunitas lokal dalam merancang kebijakan publik.

Banyak negara yang beruntung mampu memelihara struktur kelembagaandomestik yang stabil yang dapat dimodifikasi seperlunya untuk merespon perubahan dalam lingkungan kebijakan global. Indonesia belum berada di tahap tersebut. Indonesiamenghadapi bukan saja tugas menyesuaikan praktik pembuatan kebijakan dengan tantangan global yang baru, namun juga mengubah kinerja jejaring institusi yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya. Transisi demokrasi Indonesia telah mengubah medan kebijakan domestik.

1.4 Dimensi-dimensi reformasi proses kebijakan

Terdapat sejumlah tantangan dan permasalahan dalam pengelolaan kebijakan publik saat ini dan yang akan datang. Pertama, pemisahan yang nyata dari kekuasaanantar cabang dan tingkat pemerintahan, dan juga pendirian lembaga-lembaga regulasi dan judisial yang independen seperti Bank Sentral, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Konstitusitelahmeningkatkan jumlah dan ragam pemangku kepentingan di semua tingkat prosespembuatan kebijakan

Kedua, karena resesi ekonomi yang berlarut-larut dan juga karena munculnya keprihatinan atas kondisi kesejahteraan sosial sebagian besar rakyat, sejumlah isu kebijakan yang lintas-sektor dan multidimensional makin mendominasi agendakebijakan. Bahkan, nyaris seluruh isu besar kebijakan di Indonesia saat ini dapat dikatakan berada dalam kategori lintas sektor dan multi dimensi: korupsi, pengangguran, kemiskinan, ketimpangan, keadilan sosial, investasi asing, bantuan asing, pembangunan perkotaan, infrastruktur publik, pemeliharaan lingkungan, kekerasan etnis, terorisme, polarisasi keagamaan dan terutama tatakelola.

Ketiga, munculnya media cetak dan televisi yang bebas telah mengurangi jeda waktu yang tersedia dari munculnya masalah hingga diambilnya tanggapan kebijakan. Makin bebasnya media ini juga menampakkan kesan, atau menunjukkan kenyataan, bahwa ada perpecahan dalam kabinet atau kemacetan di cabang pemerintahan tertentu yang dalam waktu singkat mempengaruhi kepercayaan bisnis dan publik.

Keempat, Undang-undang tentang desentralisasi di Indonesia, yang diberlakukandi awal era demokrasi, mempunyai dampak besar terhadap proses pembuatan kebijakan. Selain

(14)

pengalihan sebagian besar personil pegawai pemerintahan ke daerah dalam waktu singkat, proses desentralisasi juga melemahkan kewenangan pemerintah provinsikarena arus keuangan langsung dikucurkan pemerintah pusat ke kabupaten/kota berdasarkan rumus yang masih terus dikembangkan agar kebutuhan biaya rutin dan biaya khusus daerah yang kurang mampu dapat dipenuhi.

Kelima, ada perubahan besar dalam perumusan prioritas nasional dan peran yang dimainkan lembaga perencanaan pembangunan dalam proses tersebut.

Terbebani dengan agenda reformasi ekonomi dan politik yang luar biasa berat selama sepuluh tahun terakhir, dengan lembaga masyarakat sipil dan pemerintahan yang tidak berfungsi menangani beragamnya isu kebijakan dan hubungan antar lembaga yang baru, membuat pemerintah baru tidak mampu membangun tanggapan yang terorganisir terhadap lingkungan yang telah berubah. Akibatnya ialah hilangnya kendali atas agenda kebijakan, melemahnya struktur koordinasi antar departemen, penurunan kualitas yang dramatis dalam dokumentasi latar belakang dan pengkajian alternatif pilihan kebijakan yang tersedia, dan kaburnya batasantara tanggungjawab dan kewenangan.

Barangkali dampak paling serius dari kegagalan proses kebijakan adalah ketidakmampuan untuk menyusun visi kebijakan dan program prioritas yang jelas dan dapat dikomunikasikan dan didukung publik. Kejelasan visi kebijakan selalu penting kapanpun juga. Namun kejelasan ini menjadi teramat penting khususnya di masa transisi sistemik karena melibatkan pergeseran besar dalam politik, sementara kekuatan dan keunggulan ekonomi melemah dan memburuk. Khususnya di bawah situasi sepertiinilah, pertanyaan kebijakan yang penting saat ini bukan tentang hal teknis, namun tentang kepercayaan, sistem nilai, dan insentif yang berubah. Misalnya, upaya mempromosikan program keadilan sosial hanya akan berhasil jika dapat dibuat definisi yang diterima secara luas mengenai batas ketidakadilan, ketimpangan atau perbedaan ekonomi yang dapat ditoleransi

Kegagalan untuk membangun visi strategis di Indonesia membuahkan reformasi yang oportunis atau yang secara halus disebut pragmatis, yaitu reformasi bergerak di areayang punya agen perubahan yang kuat atau di mana ada jendela kesempatan (window of

opportunity). Cara ini mungkin dapat diterima dalam situasi di mana struktur

(15)

menentukanbagian mana dari orde sebelumnya yang harus dipertahankan dan mana yang harusdireformasi. Juga akan sulit dalam membedakan isu taktis dan pertanyaan strategis Ketidakpuasan atas rancangan kebijakan, tumpang tindih tanggungjawabkementerian dan inisiatif kebijakan yang tidak terkoordinasi dan paralel antarkementeriandan badan-badan makin memperkuat kesan bahwa kegagalan kebijakan hanya masalah kegagalan implementasi, bukan kegagalan desain kebijakan. Pengalaman internasionalmenunjukkan bahwa ini merupakan dikotomi yang keliru.

Jelas, tanpa rancangan kebijakan yang memuat “pertimbangan hati-hati atas pilihan-pilihan kebijakan” atau yang memuat rencana pembiayaan dan lembaga pelaksana yang rinci, pelaksanaan kebijakan dan kegagalan pelaksanaan akan sulit dibedakan. Proses kebijakan yang ada di Indonesia sekarang masih tertinggal dibanding negara-negara lain merujuk daftar ADB (1999). Persoalan serius terutama dihadapi dalam bidang mekanisme pembiayaan dan pelaksanaan, sementara pilihan-pilihan alternatif hampir tidak pernah dipertimbangkan secara rinci. Dalam konteks seperti itulah, menyalahkan kegagalan kebijakan hanya dari sisi pelaksanaan hanya akan membuat kita tidak melihat perlunya reformasi menyeluruh dalam proses pembuatan kebijakan.

(16)

BAB II

TUJUAN DAN METODOLOGI

2.1 Tujuan

Laporan ini merupakan sebuah studi awal mengenai proses dan kapasitas dalam pengelolaan kebijakan publik di Indonesia yang ditujukan untuk melihat adanya permasalahan di kedua hal tersebut dan diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya upaya memperkuat proses pengelolaan kebijakan publik di Indonesia. Beberapa latar belakang permasalahan yang telah diuraikan menunjukkan bahwa perlu adanya perbaikan dalam proses pengelolaan kebijakan publik di Indonesia. Sebagai sebuah negara yang sedang berada dalam proses demokratisasi, maka beberapa perbaikan dalam proses pengelolaan kebijakan untuk dapat menyesuaikan dengan sistem politik saat ini.

Studi pada tahap awal ini merupakan sebuah asesmen cepat (rapid assessment) terhadap proses pengelolaan kebijakan publik di Indonesia serta lembaga-lembaga yang terlibat di dalamnya. Pada tahap awal ini, penelitian belum dilakukan secara komprehensif namun ditujukan untuk memberikan gambaran awal mengenai permasalahan yang ada. Dengan mencoba melihat permasalahan yang terjadi, diharapkan dapat memberikan identifikasi akan masalah-masalah pengelolaan kebijakan yang terjadi dan setelah masalah dapat diidentifikasi diharapkan dapat diketahui sektor-sektor apa saja yang memiliki kelemahan dan langkah-langkah apa yang perlu diambil untuk dapat memperbaiki kualitas dari proses pengelolaan kebijakan ini.

2.2 Ruang Lingkup

Dalam laporan ini, ruang lingkup yang coba diangkat adalah melihat permasalahan pada proses pengelolaan kebijakan publik serta kapasitas lembaga-lembaga yang terlibat didalamnya. Proses kebijakan yang akan dibahas meliputi proses perumusan,

(17)

apakah struktur yang ada memadai atau memiliki kapasitas untuk melakukan suatu proses pengelolaan kebijakan publik yang baik.

Dalam melihat permasalahan proses perumusan kebijakan publik terdapat beberapa hal pokok yang akan dibahas. Hal-hal ini termasuk apakah suatu kebijakan memiliki sebuah kerangka strategi (white paper), apakah terdapat proses konsultasi yang terstruktur dan intensif, apakah proses ini melibatkan pendekatan yng terintegrasi dan lain-lain.

Berikutnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan implementasi kebijakan. Permasalahan umum yang terjadi dalam implementasi kebijakan adalah koordinasi, terutama koordinasi kebijakan lintas sektor. Selain itu, masalah implementasi kebijakan juga dapat terjadi apabila terjadi perumusan kebijakan yang salah, kurangnya kapasitas lembaga yang bertugas mengimplementasikan kebijakan, atau memang karena faktor lain di luar dari kedua hal tersebut.

Pengamatan permasalahan pada proses evaluasi akan melihat bagaimana proses evaluasi saat ini berjalan. Penekanan terutama untuk melihat apakah saat ini telah dilakukan evauasi yang menilai keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan berdasarkan tujuan dari kebijakan tersebut serta dampak-dampak lain yang ditimbulkannya (impact assessment), sehingga evaluasi tidak sekedar melihat pada hal-hal yang bersifat administratif.

Dalam melihat lebih jauh mengenai kapasitas kelembagaan, laporan akan mencoba melihat struktur dari lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pengelolaan kebijakan dan kinerjanya saat ini. Laporan ini ingin mengetahui apakah struktur yang ada saat ini memiliki kapasitas untuk melakukan proses pengelolaan kebijakan publik yang baik. Beberapa hasil studi banding dengan institusi-institusi serupa dari negara lain akan coba dijadikan sebagai referensi terhadap upaya reformasi kelembagaan pengelola kebijakan.

Laporan ini mencakup permasalahan pada tahapan proses pengelolaan kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah dan memerhatikan pola hubungan antar-lembaga baik secara vertikal maupun horizontal.

(18)

2.3 Metodologi

Dalam mengumpulkan data sebagai bahan untuk melakukan analisis, laporan ini menggunakan beberapa metode pengumpulan data yaitu wawancara, studi literatur yang diperoleh dari hasil studi banding di luar negeri dan juga masukan dari beberapa diskusi dan seminar yang telah dilaksanakan.

Sumber data lisan diperoleh melalui wawancara yang dilakukan untuk mengkonstruksi mengenai aktor, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, dan tuntutan dari proses pengelolaan kebijakan publik yang ada pada masa lalu, sekarang, dan yang diharapkan pada masa yang akan datang. Melalui wawancara diharapkan dapat memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari data yang telah ada. Wawancara dilakukan terhadap praktisi dan akademisi/pengamat kebijakan publik dari dalam dan luar negeri.

(19)

BAB III

PROSES KEBIJAKAN SEBAGAI PERMASALAHAN

3.1 Proses kebijakan sebagai bagian dari effective governance

Perubahan lingkungan kebijakan seperti yang telah disebutkan pada pembukaan laporan ini satu sama lain telah meningkatkan berbagai risiko dan ketidakpastian dalam proses ekonomi, politik, sosial dan keamanan. Hal-hal ini antara lain berkaitan dengan kekuasaan pemerintah pusat telah berkurang karena proses globalisasi, liberalisasi dan devolusi; perlindungan masyarakat menjadi semakin penting karena sering terganggu oleh gejolak ekonomi yang bersumber dari luar (external shocks), gejolak politik dan konflik masyarakat baik dari dalam maupun dari luar; kemerosotan lingkungan hidup yang seringkali menimbulkan bencana dalam skala luas dan menghambat kelangsungan hidup; masalah keamanan global dan regional; dan masalah-masalah baru seperti narkotika, terorisme, perdagangan manusia.

Di samping itu, berakhirnya perang dingin telah pula memunculkan konflik-konflik lokal lama yang selama ini tidak muncul ke permukaan. Pecahnya Uni Soviet dan Yugoslavia, gerakan-gerakan kemerdekaan di berbagai penjuru seperti Kosovo, Tibet baru-baru ini telah membuat lingkungan kebijakan penuh dengan masalah-masalah mendadak dan sukar diantisipasi oleh pembuat kebijakan.

Oleh karena perubahan dan gejolak tersebut di atas merupakan ranah public goods maka repons Pemerintah di banyak negara pada umumnya menjelma dalam dua hal yang penting, yaitu (i) imperative terhadap peran Pemerintah yang semakin meningkat dalam kehidupan ekonomi dan sosial dan (ii) pendekatan governance dalam proses kebijakan.

Peran Pemerintah yang meningkat dalam bidang ekonomi dan sosial terlihat dari peningkatan yang sistematik dari pangsa anggaran terhadap PDB di negara-negara barat selama kurun waktu 400 tahun seiring dengan keterbukaan ekonomi.1

1

Lihat misalnya D. Rodrik, Has globalization gone too far?

Semakin terbuka sebuah perekonomian, semakin besar risiko sosial dan politik dari gejolak ekonomi sehingga kegiatan perlindungan sosial juga meningkat. Bersamaan dengan

(20)

itu pula, ruang gerak dari kebijakan fiskal (discretionary fiscal policy) juga menyempit karena sebagian besar alokasi anggaran sudah tidak dapat diganggu-gugat (earmarked) untuk program-program perlindungan sosial, perlindungan dan pemeliharaan lingkungan, pertahanan dan keamanan, pendidikan, riset, pengembangan teknologi dan lain-lain. Di Australia dan Jerman, misalnya, sekitar 70% anggaran sudah earmarked sehingga ruang lingkup kebijakan fiskal hanya sekitar 30%. Hal ini sangat kontras dengan Indonesia di mana Depkeu seolah-olah memiliki full discretion dalam pengelolaan anggaran belanja.

Peningkatan peran Pemerintah ini juga diikuti dengan pengketatan dalam koordinasi kebijakan. Peran dari kantor pusat pemerintah (kantor PM atau Presiden) menjadi lebih besar dan aktif dalam menggalang sinergi antar berbagai kebijakan sektor dan memimpin proses kebijakan strategik. Kantor PM atau Presiden di banyak negara menjadi central policy hub dengan kekuasaan, kapasitas, staf dan anggaran yang meningkat dengan tajam selama 30 puluh tahun terakhir ini (lihat selanjutnya uraian dalam Bab VII).

Meskipun peran Pemerintah cenderung meningkat akan tetapi pendekatan nya dalam proses kebijakan telah mengalami transformasi dari pendekatan Government ke pendekatan governance. Yang pertama menekankan kepada “the structure and function of public institutions” sedangkan yang terakhir menekankan “the way government gets its job done”.2 Good governance dalam konteks proses kebijakan berarti bahwa kebijakan harus bersifat inkusif dan terintegrasi.3

Kebijakan yang inklusif

Kebijakan yang

berarti bahwa kebijakan tersebut harus memandang ke depan, adil dan melibatkan semua pemangku kepentingan. Dengan demikian, good governance dalam proses kebijakan harus melibatkan lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi non-pemerintah dalam kegiatan ke-pemerintah-an.

terintegrasi

berarti bahwa proses kebijakan harus beralih dari orientasi vertikal, yang menekankan pendekatan rasional, teknikal dan konsisten secara formal ke arah kombinasi antara pendekatan vertikal dan pendekatan horisontal. Dengan kata lain, birokrasi yang disusun seperti silo-silo, dengan penyakit

(21)

yang kita kenal sebagai “ego sektoral”, harus dapat berubah ke pendekatan whole government di mana kerjasama antar berbagai departemen dan organisasi pemerintah menjadi penting, baik untuk program sektor maupun untuk program strategik.

Proses kebijakan horisontal memiliki beberapa keuntungan. Pertama, adalah sengketa antar departemen dan organisasi pemerintah yang lain dapat diselesaikan lebih awal dan tanpa harus melibatkan penggunaan kekuasaan. “Governments rule by consent as much as they do by command”.4 Kedua, pengertian dan penyelesaian yang lebih baik dari masalah-masalah kebijakan yang pelik akan tetapi harus segera diatasi namun hal ini tidak dapat ditangani dengan metoda rasional seperti birokrasi dan perencanaan— masalah-masalah kebijakan seperti perubahan iklim, persediaan air, kemerosotan kesuburan tanah, penggundulan hutan yang dikenal sebagai the wicked problems.5

Di bidang kelembagaan dan sistem penganggaran, juga terdapat beberapa perubahan terutama yang berkaitan dengan kebijakan yang lintas sektor(cross cutting) dan strategik. Lembaga yang diberi tugas koordinasi (bisa berupa lead agency, dewan, badan otorita dan lain-lain) memiliki wewenang untuk mengambil keputusan yang Ketiga, pendekatan ini akan membuat hubungan yang lebih erat antara Pemerintah dengan para pemilih nya.

Pendekatan kebijakan yang terintegrasi ini memiliki dampak dalam proses kebijakan, kelembagaan dan sistem anggaran. Proses kebijakan yang terintegrasi mensyaratkan konsultasi yang intensif dan terstruktur di antara lembaga-lembaga kebijakan. Meskipun yang akan dirumuskan adalah kebijakan sektor, proses ini mensyaratkan adanya konsensus lintas departemen-departemen yang terkait atau yang akan terkena dampak dari kebijakan tersebut. Tanpa adanya konsensus, maka usulan kebijakan tertentu tidak dapat dimasukan ke dalam agenda sidang kabinet. Konsultasi dan screening tentang hal ini dilakukan oleh kantor kabinet yang berada di dalam kantor PM atau Presiden.

4 Lihat Matheson, “Policy formulation in the Austrtalian Government” dalam Australian

Journal of Public Administration, vol. 59, no. 2, 2000; The UK Cabinet Office, PM’s Strategy Unit, Professional policy making for the 21st century, London, 2001 dan Strategy survival guide, London: 2004; UK Comptroller and Auditor General, Joining up to improve public services, London: National Audit Office, 2000, H. Sullivan dan C. Skelcher., Working across boundaries: collaboration in public services, Basingstoke: Palgrave, 2002..

5 Australian Public Service Commission, Tackling wicked problems, Canberra: 2007; N.

Roberts, Dialogue mapping: building shared understanding of wicked problems, Chichester, West Sussex: John Wiley & Sons, 2006.

(22)

harus ditaati oleh departemen dan organisasi pemeirintahan yang terlibat dan memiliki wewenang untuk mengelola mata anggaran tertentu (yang berkaitan dengan program yang terkait) yang terdapat di masing-masing departemen, di samping memiliki anggaran tersendiri yang memadai untuk kegiatan organisasi dan koordinasi.

3.1 Tantangan Indonesia

Sampai saat ini, reformasi proses kebijakan belum menjadi agenda nasional. Reformasi birokrasi yang dilakukan terbatas kepada masalah-masalah memelihara rumah tangga pemerintah untuk menjadi lebih baik, semacam good house keeping. Oleh karena itu, banyak sumberdaya dicurahkan kepada perbaikan fungsi dan struktur organisasi, perbaikan gaji, uraian tugas dan penilaian kinerja. Hal-hal ini memang perlu untuk diperbaiki namun mengingat besarnya tantangan kebijakan yang dihadapi, tanpa melakukan upaya reformasi proses kebijakan, negara dan pemerintah tidak akan mampu menghadapi ancaman-ancaman dahsyat yang mungkin muncul dari perubahan lingkungan kebijakan.

Agenda reformasi kebijakan sangat luas seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Termasuk ke dalam agenda ini adalah transformasi dari birokrasi yang masih disusun seperti silo-silo dan kelemahan-kelemahan dalam pusat komando kebijakan yang seharusnya dilakukan oleh kantor Presiden, birokrasi yang belum independen dari proses politik dan belum profesional, kapasitas birokrasi untuk melaksanakan keputusan-keputusan strategik dan lintas sektor (gejala paralysed bureaucracy), proses konsultasi yang melembaga, terstruktur dan intensif, riset kebijakan dan lain-lain.

Uraian berikut ini adalah pemantauan sekilas tentang proses dan struktur kebijakan di Indonesia. Pengamatan ini merupakan kesimpulan sementara yang dihasilkan lewat serangkaian wawancara dan konsultasi. Dengan kata lain, hasil dari pemantauan ini dapat merupakan working hypothesis bagai penilaian yang komprehensif di masa depan.

(23)

BAB IV

PERMASALAHAN DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN

Dalam banyak diskusi di Indonesia, arah pembicaraan tentang proses kebijakan mengacu kepada masalah implementasi kebijakan. Berbagai masalah implementasi dikemukakan seperti masalah kepemimpinan yang lemah, kabinet yang terdiri artas berbagai tokoh politik, birokrasi yang lemah dan berbelit-belit. Pendapat semacam ini sebenarnya menganggap bahwa desain kebijakan sudah baik, soalnya adalah implementasi. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena implementasi yang kurang baik seringkali juga berasal dari desain kebijakan yang kurang baik, tidak lengkap atau tidak relevan. Pada gilirannya, kelemahan dari desain kebijakan juga sangat dipengaruhi oleh proses perumusan kebijakan yang baik.

Uraian berikut ini (dan dalam Bab V, Vidan VII) mencoba memberikan gambaran tentang masalah-masalah yang muncul dalam proses perumusan kebijakan. Hal-hal di bawah ini merupakan rangkuman dari berbagai studi kasus yang dilaksanakan oleh Tim Prakarsa Strategis BAPPENAS. Tulisan yang rinci dari beberapa studi kasus tersebut terdapat dalam Bagian II dari Laporan ini dan tidak akan diulangi lagi di sini.

Patut dicatat bahwa pokok masalah di bawah ini seringkali berkaitan satu sama lain dan saling tumpang-tindih, tidak mutually exclusive, dan masing-masing sukar untuk dipilah-pilah dalam sebuah kelompok tersendiri.

4.1 Ketiadaan kerangka strategi yang utuh

Gagasan atau ide mengenai sebuah kebijakan di Indonesia cenderung berada dalam suatu perspektif yang sempit di mana kebijakan hanya dilihat semata-mata merupakan masalah perumusan undang-undang atau peraturan-peraturan (Peraturan Presiden, Menteri, dsb) dan perencanaan pembangunan beserta kaitannya dengan program dan pembiayaan. Kerangka strategik sebuah kebijakan yang seharusnya tertuang di dalam suatu dokumen kebijakan yang melandasi perencanaan dan undang-undang cenderung diabaikan saat ini.

Oleh karena itu, jarang sekali dijumpai dokumen-dokumen kebijakan strategik yang memayungi kebijakan tertentu—dokumen yang dikenal sebagai white paper atau

(24)

strategy paper. Dokumen semacam ini merupakan road map yang komprehensif, lintas sektor, mengidentifkasi masalah-masalah kebijakan atau mengantisipasi nya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, mengevaluasi opsi-opsi kebijakan dan memperkirakan komitmen pemerintah untuk pembiayaan jangka panjang. Dokumen ini juga mengidentifikasi serangkaian undang-undang yang harus disusun atau dirubah, lembaga-lembaga yang harus ditingkatkan kapasitasnya atau pembentukan lembaga-lembaga baru.

Dengan kata lain, instrumen kebijakan yang utama di Indonesia adalah undang-undang dan dokumen perencanaan berserta implikasi anggaran belanja. Beberapa akibat dari pendekatan ini adalah:

• Sampai sekarang, Indonesia belum memiliki payung strategi kebijakan menghadapi tantangan dan kesempatan yang muncul dari proses globalisasi dan regionalisasi (percepatan perdagangan intra regional, munculnya Cina dan India). Sebagai akibatnya, implikasi perkembangan ini juga tidak dirumuskan. Misalnya, perumusan kebijakan industri, teknologi dan investasi sebagai kebijakan yang saling terkait sampai sekarang belum ada. Tidak adanya kebijakan yang saling terkait ini juga merupakan percerminan dari pendekatan super sektoral

• Fungsi undang-undang di dalam sebuah kebijakan seharusnya menjadi rambu-rambu dari sebuah road map bagi kebijakan yang ada, namun di Indonesia hal ini menjadi rancu karena apa yang seharusnya merupakan white paper dijadikan undang-undang. Sebagai contoh adalah Propenas 2000-2004 dikukuhkan menjadi undang-undang, untuk pertama kalinya sebuah rencana Pemerintah ditetapkan sebagai undang-undang. Begitu pula halnya kemudian dengan PJP.

dalam proses kebijakan (lihat uraian selanjutnya di bawah).

• Ketiadaan white paper juga mengakibatkan kebijakan hanya berorientasi jangka pendek dan ad hoc. Seringkali pula kebijakan terkesan tanpa arah. Contoh yang mencolok adalah kebijakan subsidi BBM yang dilakukan tanpa sebuah kebijakan energi yang komprehensif.

(25)

pelaksanaan nya. Dalam tempo singkat, undang-undang tentang desentralisasi telah diamandemen.

• Ketiadaan white paper ini juga telah mengakibatkan masalah-masalah strategik seperti peningkatan kesempatan kerja, lingkungan hidup, keamanan dan konflik sosial, perlindungan sosial, munculnya mega-cities, pengangguran kaum muda terdidik di kota-kota besar dan lain-lain tidak ditangani dengan baik. Atau bahkan tidak ada kerangka kebijakan sama sekali terkecuali secara ad hoc.

• Antisipasi terhadap persoalan yang muncul juga sangat lemah. Banyak masalah-masalah yang bila tidak ditangani sejak dini akan mempunyai dampak yang baru akan terasa dalam jangka panjang dan pada saat itu biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasinya menjadi sangat mahal. Hal-hal ini termasuk masalah penggundulan hutan, penggundulan hutan bakau dengan dampak kepada banjir, kuantitas dan kualitas jaringan infrastruktur, transportasi di daerah kota.6

4.2 Kebijakan yang berorientasi sektoral

Saat ini proses pembuatan kebijakan di Indonesia pada dasarnya masih berjalan dalam skema birokrasi yang sektoral, sebuah proses yang berlangsung dalam birokrasi yang menyerupai silo-silo. Dalam konteks ini, setiap institusi birokrasi lebih mementingkan koordinasi yang bersifat vertikal dan tidak memerhatikan keterkaitan horizontal seperti koordinasi antar-departemen atau antar-daerah.

Akibatnya, banyak kebijakan yang lahir seperti terpenggal-penggal. Terpenggal-penggalnya kebijakan ini selain membuat perumusan kebijakan cenderung lambat, tidak konsisten dengan kebijakan lain dan tidak mendukung pendekatan whole government. Hal ini juga akan menciptakan masalah implementasi terutama dalam hal koordinasi dan tindakan bersama (lihat Bab V).

Yang patut diperhatikan adalah proses kebijakan di Jerman, yang menganut sistem kontinental yang kurang lebih sama dengan Indonesia. Hampir semua kebijakan

6 Dalam kasus sistem transportasi kota, sangat menarik untuk melihat kota London yang telah

membangun jaringan underground sejak akhir abad 19, jauh sebelum kota tersebut dipadati oleh kendaraan bermotor.

(26)

Pemerintah Jerman juga dirumuskan dan diputuskan oleh kementrian yang terkait. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak dapat diambil tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan kementrian-kementrian lain yang terkait atau akan terkena dampak dari kebijakan tersebut dan dengan kantor PM. Tanpa konsensus lintas kementrian terkait, kebijakan tidak dapat diputuskan.

Pendekatan sektoral dalam proses kebijakan antara lain mengakibatkan:

• Kebijakan ekonomi makro hanya berorientasi kepada variabel-variabel keuangan dan moneter seperti inflasi, nilai tukar, neraca pembayaran, pertumbuhan, sementara variabel ekonomi makro yang sangat penting, yaitu kesempatan kerja, tidak berada dalam ranah kebijakan ini. Upaya stabilisasi ekonomi makro tidak memperhitungkan dampak nya terhadap perkembangan sektor riel dan juga kesempatan kerja. Di samping itu, pendekatan yang sangat terkotak-kotak ini juga tidak memungkinkan adanya konsultasi horizontal yang terstruktur antara penguasa moneter dan fiskal. Ini merupakan dampak dari BI yang merupakan lembaga independen dari eksekutif, bahkan “super independent”.7

• PJM yang terjemurus ke dalam pendekatan sektoral. Meskipun pada bab Pertama telah mencanangkan serangkaian pendekatan yang strategik dan lintas sektor akan tetapi dalam bab-bab selanjutnya dokumen ini hanya berisi program-program sektoral. Tidak ada bab-bab PJM yang membahas program lintas sektor beserta kerangka kelembaaan untuk menanganinya. PNPM sebagai program komprehensif dan lintas sektor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat baru dirumuskan belakangan dan hal ini tidak tercantum dalam PJM.

Salah satu akibatnya adalah upaya fine-tuning beserta sequencing kebijakan seringkali berakibat parah terhadap pertumbuhan dan pemerataan seperti yang sering terjadi di mana kebijakan moneter dan kebijakan fiskal keduanya sama-sama ketat.

• Referensi lintas sektor dari banyak dokumen kebijakan tidak terjadi. Misalnya, Kebijakan Industri tidak memiliki referensi tentang globalisasi karena terpaku

7 Di negara-negara lain, meskipun memiliki bank sentral yang independen tetap ada lembaga

konsultasi atau pengambil keputusan yang melibatkan pejabat fiskal, moneter dan masyarakat. Bank of England misalnya memiliki Dewan Moneter, yang memutuskan tingkat bunga bank sentral, yang terdiri dari perwakilan bank sentral dan kementrian keuangan (atau tokoh ekonomi terkemuka yang

(27)

kepada masalah dalam negeri. Kebijakan Pengembangan UKM hanya mengacu kepada Departemen Koperasi dan UKM padahal terdapat banyak departemen-departemen lain yang memiliki program UKM. Begitu pula dengaan Kebijakan Perluasan Kesempatan Kerja hanya mengacu kepada program Departemen Tenaga Kerja sedangkan banyak departemen yang juga memiliki program tersebut.

• Keterkaitan antar sektor dalam membangun sinergi antar kebijakan terlihat lemah. Masing-masing departemen melihat hal ini sebagai grey area akibatnya tidak ada yang menaruh minat terhadap masalah ini. Kembali lagi ini adalah korban dari birokrasi dengan mental silo. Misalnya, penanganan masalah pasca panen beserta skema pembiayaannya, industri yang berbasis pertanian yang mengembangkan produk derivatif seperti oleochemicals dari minyak kelapa sawit yang sampai sekarang tidak berkembang. Padahal, nilai tambah dari industri agro sangat besar. Apalagi permitaan terhadap bio-fuel sekarang ini tinggi dan akan menanjak dengan cepat.

• Lebih parah lagi, banyak sekali kebijakan dan undang-undang yang saling bertabrakan satu sama lain. Misalnya, UU tentang Kehutanan dan UU tentang Pertambangan, UU Keuangan Negara dengan UU Perencanaan, SK Menkeu dan SK Mendagri tentang pelaksanan desentralisasi fiskal, PP no... (sebagai peraturan pelaksanaan UU Penanaman Modal) yang memuat Daftar Negatif Investasi yang bertentangan dengan visi dan misi dari undang-undang nya.

4.3 Konsultasi internal pemerintah dan konsultasi publik

Sebagai akibat dari pendekatan sektoral, konsultasi lintas departemen jarang sekali terjadi. Kalaupun ada, frekwensi nya rendah dan pembahasan seringkali ad hoc dan tidak sistematik dan terstruktur. Jarang sekali ada dokumen kebijakan yang dilengkapi dengan latar belakang studi kebijakan, analisis yang mendalam tentang persoalan yang dihadapi dan penilaian terhadap pilihan-pilihan kebijakan, sehingga konsultasi terstruktur, kalaupun ada, tidak memiliki bahan konsultasi yang berbobot.

Terbatasnya konsultasi mengakibatkan lemahnya pembentukan konsensus tentang kebijakan tertentu. :Para pemangku kepentingan tidak terlibat secara penuh termasuk

(28)

parlemen, media dan organsasi masyarakat. Pada gilirannya, hal ini menciptakan komplikasi dan konflik dalam implementasi kebijakan.

Dalam konteks ini, menarik untuk mengutip laporan ADB “...In practice, policy statements on which proposed legislation is to be based give inadequate guidance, if at all, to the formulating team. As public consultations are often minimal, inter-minsterial teams cannot assure that the interests of parties concerned are considered. Position papers are rarely prepared [emphasis added] , and if they are, the public has no access to them, limiting the effectiveness of public debate and consequent development of a political consensus. Although Presidential decree 188/1998 requires inter-ministerial coordination and consultations, the minister concerned often does not engage other ministries in the process. This promotes ministerial ownership of laws [emphasis added] instead of government ownership...”8

• Konsultasi yang terbatas dan tidak melibatkan para pemangku kepentingan telah mengakibatkan serangkaian masalah dalam penyelenggaraan negara. Banyak sekali undang-undang yang tidak konsisten, hambatan dalam implementasi kebijakan, pengertian dan partisipasi masyarakat yang kurang, bahkan dalam banyak telah menimbulkan protes.

Beberapa pengamatan tentang konsultasi kebijakan adalah:

• Diplomasi ekonomi menjadi sangat lemah karena seringkali posisi perundingan diambil tanpa dukungan bahan yang cukup dari departemen-departemen yang terkait. Kepentingan nasional tidak pernah secara jelas dirumuskan karena kerangka kebijakan strategik yang tidak ada atau tidak jelas. Koordinasi lintas sektor, yang sangat azasi dalam perundingan internasional, juga sangat lemah. Dalam membuat komitmen internasional, karena lemah nya dukungan departemen terkait, seringkali para perunding membuat komitmen yang sukar dilaksanakan, tidak relevan atau bahkan merugikan kepentingan nasional. Contoh mutakhir adalah kesepakatan kemitraan ekonomi antara Indonesia dan Jepang (IJEPA) di mana keuntungan bagi Indonesia tidak terlalu jelas dan sangat minimal sedangkan bagi Jepang cukup berarti, yaitu keamanan pasokan energi dan kemudahan bea

(29)

masuk bagi komponen dan suku cadang yang diimpor dari Jepang bagi industri nya yang beroperasi di Indonesia.

• Ketiadaan konsultasi intern pemerintah yang terlembaga juga telah menyebabkan usulan-usulan kebijakan yang masih mentah dilontarkan kepada publik. Seringkali usulan tersebut bahkan belum dikonsultasikan dalam lingkungan departemen itu sendiri. Salah satu kasus yang menarik adalah usulan Menteri Pertambangan, Energi dan Sumber Daya Mineral pada akhir tahun lalu untuk menghentikan pasokan bensin Premium di kota-kota besar di Jawa pada awal tahun ini demi penghematan subsidi BBM. Selang beberapa hari, Pertamina membuat pernyataan bahwa mereka belum siap untuk mengganti bensin Premium tersebut dengan Pertamax. Selesai usulan tersebut, menyusul usulan menerapkan sistem kuota dengan menggunakan Smart card. Kemudian, usulan itu juga ditunda karena sistem nya tidak bisa disiapkan dalam tempo singkat. Para pejabat saling berdebat di muka umum jelas membingungkan masyarakat dan kredibilitas Pemerintah menurun.

• Musrenbang adalah salah satu dari sedikit konsultasi yang terstruktur yang disertai dengan dokumen yang akan dikonsultasikan. Proses perencanaan dari bawah ini berjalan dengan cukup baik. Akan tetapi, hasil akhir dari konsultasi Musrenbang seringkali tidak menjelma dalam rencana kerja Pemerintah. Hal ini karena pengambilan keputusan di tingkat pemerintah pusat banyak dipengaruhi oleh perundingan antar departemen, pemerintah daerah dan parlemen.

• Konsultasi publik yang mulai berjalan dengan terstruktur justru terjadi di beberapa daerah. Bahkan di beberapa kabupaten upaya awal ke arah pro poor budgeting telah dilakukan seperti di daerah Sulawesi Selatan. Di Manado, pemerintah setgempat juga memiliki komunikasi yang erat dengan masyarakat, termasuk penyampaian keluhan-keluhan masyarakat, melalui radio dan pertemuan-pertemuan.

• Koordinasi horizontal antar lembaga-lembaga pemerintah daerah juga telah terjadi di beberapa kabupaten, bahkan beberapa koordinasi lintas kabupaten telah mulai berjalan seperti di daerah Solo, Manado dan lain-lain.

(30)

BAB V

PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI DAN

MONITORING KEBIJAKAN

Masalah koordinasi seringkali dikemukakan sebagai masalah utama dalam implementasi kebijakan namun seperti yang telah dikemukakan sebelumnya masalah ini bukan satu-satunya yang dihadapi dalam implementasi kebijakan. Sebagian koordinasi berasal dari beberapa kelemahan konsep kebijakan yang secara garis besar telah dibahas dalam Bab IV. Selain beberapa kelemahan dalam struktur dan kapasitas Pemerntiah dalam melakukan koordidnasi masih terdapat beberapa hal penting yang selama ini kurang mendapat perhatian seperti manajemen transisi dari satu kebijakan ke kebijakan yang lain karena sikap yang terburu-buru dan ketiadaan strategi komunikasi kebijakan yang efektif sehingga pengertian dan pembentukan konsensus dengan para pemangku kepentingan praktis tidak ada.

Seperti uraian dalam Bab IV, berikut ini adalah pokok-pokok pengamatan sementara dalam bidang implementasi kebijakan. Karena kompleksitas masalah nya, pokok-pokok masalah implementasi kebijakan di bawah ini banyak yang saling tumpang tindih dan penuh dengan pengulangan.

Beberapa pokok permasalahan implementasi adalah:

5.1 Masalah lembaga koordinator

Terdapat beberapa model koordinasi lintas sektor, yang utama adalah model komite koordinsi, model lead agency dan model dewan atau badan.9 Komite koordinasi merupakan kerjasama yang longgar di antara departemen dan organisasi pemerintah yang terlibat, masing-masing anggota menyediakan sumber daya nya untuk melaksanakan kegiatan tertentu dari suatu program. Model ini mirip dengan cara kerja Menko atau panitia antar departemen. Dalam model lead agency departemen atau organisasi yang ditunjuk memiliki kewenangan eksekutif yang besar terhadap departemen atau oranisasi lain, termasuk penggunaan sumber daya manusia dan mata anggaran dari organisasi yang menjadi anggota nya. Tanggung jawab keseluruhan

(31)

program berada sepenuhnya pada lead agency. Di Indonesia, bentuk lead agency tidak dikenal. Dewan atau badan merupakan lembaga yang berdiri sendiri untuk melaksanakan kerjasama lintas sektor. Lembaga semacam ini yang cukup berhasil di Indonesia antara lain BKKBN dan BNN.

• Ketiadaan lembaga koordinator. Beberapa program lintas sektoral yang penting tidak memiliki lembaga koordinator yang jelas. Program-program ini antara lain adalah program pengembangan UKM, revitalisasi pertanian dan pedesaan, peningkatan kesempatan kerja.

• Lembaga koordinasi yang tidak jelas. Dalam beberapa bidang, di mana koordinasi diperlukan, struktur dan mekanisme nya berjalan tanpa arah yang jelas. Contoh klasik sampai sekarang adalah di bidang diplomasi ekonomi. Tidak jelas lembaga mana yang menjadi koordinator, apakah Deplu atau Depdag. Juga tidak jelas bagaimana Pemerintah menyusun posisi diplomasi nya dengan rincian yang relevan sehingga tidak ada petunjuk yang rinci bagi para perunding ketika melakukan perundingan internasional. Demikian pula dengan penentuan tariff. Tariff pada hakekatnya adalah instrumen perdagangan akan tetapi wewenang penentuan tariff masih berada di Depkeu.

• Koordinasi yang lemah. Ketiadaan wewenang penuh bagi lembaga koordinasi dalam melaksanakan tugasnya telah menghambat sinergi antar program dalam pelaksanaan berbagai program lintas sektor. Segagai contoh adalah program PNPM di mana Tim Pengendali memiliki kendali yang lemah karena dalam kenyataanya mereka sangat tergantung kepada Departemen/LPND, yang menguasai penggunaan anggaran, dalam implementasi program. Kasus lain adalah Menko dengan wewenang yang terbatas terhadap departemen-departemen di bawah nya dan, karena pengelompokan nya berdasarkan sektor, sujkar untuk melakukan koordinasi lintas sektor seperti antara seoktor ekonomi dan politik. Kapasitas Menko juga amat terbatas, dengan sumber daya manysia dan enggaran yang terbatas. Untuk masalah lintas sektor yang sangat penting seperti terorisme, misalnya, Menko Polhukam hanya memiliki sebuah desk dengan dua atau tiga orang staf. Begitu pula dengan PEPI, dengan tugas yang berat untuk melakukan koordinasi lintas sektor untuk pengembangan ekspor dan investasi, yang henya memiliki sekretariat yang terdiri dari beberapa orang. Atau UKP3ER, semacam

(32)

delivery unit di kantor Presiden, yang hanya terdiri atas 3 orang pejabat, sekretariat yang kecil dan staf profesional dan anggaran yang sangat kecil (kalau ada). Lembaga ini juga tidak memiliki komite-komite yang beranggotakan perwakilan dari departemen-departemen sehingga kerjasama yang terstruktur dalam mempercepat implementasi menjadi sukar untuk dilaksanakan. Bandingkan ini dengan Cabinet Implementation Unit di Asutralia atau Delivery Unit di Inggris, keduanya merupakan bagian yang integral dari kantor PM nya masing-masing. Kedua organisasi ini selain memiliki staf yang cukup juga menjadi pimpinan beberapa komite koordinasi pelaksanaan yang beranggotakan perwakilan dari departemen-departemen terkait. Tentu tidak semua program lintas sektor yang berada di bawah koordinasi mereka, hanya beberapa program yang dinilai sangat strategik.

• Lembaga kordinasi dengan wewenang yang besar. BKKBN atau BNN adalah contoh dari lembaga-lembaga koordinasi yang cukup kuat dan relatif berhasil. Namun, perkembangan setelah desentralisasi telah memasung wewenang BKKBN, kinerja nya menjadi merosot dan tanda-tanda kenaikan angka kelahiran sudah mulai muncul. Depkeu memiliki wewenang yang sangat luar biasa besar dalam penentuan budget. Bisa dikatakan bahwa Depkeu memiliki full discretion sehingga dapat memaksa pemotongan anggaran tanpa konsultasi dengan departemen-departemen. Hal ini dimungkinkan antara lain karena aturan anggaran disusun secara konvensional dan inkremental dan tidak ada aturan tentang earmarking. Kapasitas Depkeu dalam melaksanakan unified budget system juga terbatas karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk menilai proyek-proyek pembangunan secara teknis yang diajukan oleh departemen-departemen. Kapasitas tersebut berada di BAPPENAS, yang meskipun telah dilibatkan kembali dalam “koordinasi” akan tetapi wewenang akhir tetap berada di Depkeu. Keadaan ini seringkali membuat proses budgeting menjadi kurang berbobot, lebih lagi bila proses tersebut pada akhirnya juga seringkali terseret ke dalam bargaining politik-birokratik antara Depkeu, departemen-departemen, pemerintah daerah dan parlemen.

(33)

• Kerangka pelaksanaan koordinasi juga sering menimbulkan masalah implementasi. Salah satu contohnya adalah proses anggaran, khususnya dalam kaitannya dengan DPR. Dengan kewenangan DPR, yaitu berhak mencampuri anggaran sampai dengan tingkat proyek, yang terlalu jauh dan tidak lazim dibandingkan dengan negara-negara dmokrasi modern yang lain, maka proses budget terjerumus ke dalam pembahasan yang terlalu rinci, rawan politisasi, tidak relavan dengan tugas, wewenang dan kapasitas DPR sambil sekaligus cenderung mengabaikan fungsi utama nya yaitu pembahasan program dan konsistensi program dengan strategi umum Pemerintah.

• Koordinasi kebijakan ekonomi makro yang lemah. Seperti yang telah dikemukakan di atas, tidak terdapat forum koordinasi yang terstruktur antara kebijakan moneter dan fiskal, dan pelaksanaan kebijakan makro tidak memperhitungkan dampaknya kepada kesempatan kerja dan perkembangan sektor riel. Kerangka kebijakan yang terpenggal-penggal ini menghasilkan sebuah anomaly di mana di satu pihak sektor keuangan kelebihan dana, di mana sekitar hampir Rp 300 triliun diserap oleh SBI (semacam sterilization bond) untuk menekan inflasi, dan di pihak lain sektor riel yang memerlukan dana, tidak mampu meminjam karena tingkat bunga domestik yang terlalu tinggi. Hal ini tidak terlalu merupakan masalah bagi pengusaha besar yang bergerak di bidang ekspor karena mereka bisa meminjam dalam mata uang asing dengan bunga yang jauh lebih rendah, akan tetapi sangat menghambat UKM yang berorientasi ekspor dan pengusaha-pengusaha pada umumnya yang berorientasi ke pasar dalam negeri.

• Konsep keseluruhan, konsensus kebijakan dan kapasitas kelembagaan yang lemah telah menimbulkan banyak masalah dalam implementasi kebijakan. Termasuk ke dalam kasus ini adalah program konversi dari kompor minyak tanah ke kompor gas, pelaksanaan program pengembangan bio-fuel dan program KEKI. Yang disebut terakhir ini, seperti sebagian besar kebijakan di Indonesia, tidak memiliki konsep yang menyeluruh termasuk kaitan program KEKI dengan industrialisasi, pengembangan teknologi, riset dan pelatihan dan ekonomi daerah. Konsep free trade area dalam undang-undang juga masih kabur dengan penafsiran yang berbeda antara kantor bea dan cukai dengan badan pelaksana di Batam, Bintan dan Karimun.

(34)

5.3 Kapasitas kelembagaan

• Hampir semua lembaga mengalami kekurangan sumber daya baik manusia maupun anggaran dalam melaksanakan implementasi kebijakan. Moril kerja pegawai negeri tetap rendah dengan gaji yang rendah. Dikhotomi antara program rutin dan pembangunan (sekarang bernama pembelajaan modal) tetap berlangsung dengan korban utama adalah masalah operation and maintenance.

• Banyak kebijakan dan program baru dilaksanakan akan tetapi pelatihan untuk melaksanakan nya tidak memadai, terlambat. Program desentralisasi misalnya, dilakukan tanpa pelatihan yang memadai dari pejabat dan staf pemerintah daerah dalam hal-hal teknis pelaksanaan program. Hal ini menjadi lebih parah lagi dalam hal kemampuan pegawai negeri dalam menjalankan program lintas sektor.

5.4 Manajemen transisi dari kebijakan lama ke kebijakan baru

Perumusan kebijakan di Indonesia seperti telah dibahas sebelumnya banyak bersifat ad hoc, tidak lengkap, tidak dipikirkan dan dikonsultaskan dengan pemangku kepentingan dan, lebih dari pada itu, implementasi yang seringkali terburu-buru. Tidak ada strategi transisi yang memadai antara kebijakan lama ke kebijakan baru. Tanpa manajemen transisi yang memadai, bagaimana pun baiknya suatu tujuan kebijakan hasil yang kurang baik bisa menghilangkan dukungan terhadap kebijakan baru itu sendiri. Akibatnya, dengan banyak kritik yang dilontarkan kepada kebijakan tersebut maka tekanan masyarakat meningkat agar pemerintah kembali ke kebijakan lama.

• Kita bisa melihat hal ini dari proses desentralisasi. Desentralisasi adalah sebuah perubahan radikal dalam Government dan governance yang akan memiliki dampak yang panjang. Namun proses transisi dari sistem pemerintah pusat ke sistem desentralisasi hanya dilakukan dalam tempo yang sangat singkat, yaitu satu atau dua tahun. Lebih dari pada itu, proses desentralisasi ini berlangsung di tengah-tengah krisis ekonomi, politik, sosial, hukum dan kelembagaan nya. Kondisi ini sangat kontras dengan Scottish devolution di Inggris, sebuah negara dengan kondisi

(35)

dari proses ini memakan waktu 10 tahun dan dilakukan secara bertahap terhadap fungsi-fungsi negara dan pemerintahan.

• Contoh lainnya adalah munculnya gagasan untuk menghapus perencanaan pembangunan dalam sistem penyelenggaraan negara. Hal ini menjadi permasalahan karena sebuah gagasan tiba-tiba saja menjadi undang-undang tanpa konsultasi yang mendalam kepada pemangku kepentingan secara luas serta tanpa persiapan yang cukup terhadap langkah-langkah lanjutan yang diperlukan khususnya pengembangan kapasitas di Depkeu atau transfer sebagian fungsi dan staf BAPPENAS ke Depkeu.

5.5 Proses implementasi kebijakan yang terlalu inward looking

Perumusan dan implementasi kebijakan selama ini berlangsung seolah-olah Indonesia adalah planet tersendiri yng terpisah dari proses global. Cara kerja seperti ini membuat Indonesia selalu terlihat panik ketika menghadapi permasalahan yang muncul yang bersumber dari perkembangan global.

Contoh terakhir adalah kepanikan menghadapi kenaikan global dari harga minyak bumi dan beberapa komoditi bahan pangan impor. Kenaikan tersebut tidak tiba-tiba, sesungguhnya dapat diperkirakan sebelumnya.

• Dalam kaitannya dengan komoditi pangan adalah yang agak menggelikan adalah ucapan para pejabat BI dan pemerintah yang menjelang Lebaran 2007 yang beramai-ramai mennyatakan bahwa inflasi pada bulan September dan Oktober adalah “inflasi musiman” dan tekanan tersebut akan merosot sesudah Lebaran. Padahal pada bulan September 2007, beberapa komoditi impor seperti kedelai, jagung, terigu dan biaya pengapalan telah meningkat rata-rata sebesar lebih dari 60% dibandingkan dengan Oktober 2006 (artinya pererakan harga selama satu tahun ke belakang, tidak mendadak).

• Begitu pula halnya dengan minyak bumi, ketika pemerintah memperkirakan dalam anggaran 2007 sebesar USD 60 per barrel. Pada waktu itu, sekitar Maret 2007, sudah terdapat semacam konsensus dari pengamat minyak dan energi bahwa harga

(36)

minyak diperkirakan akan melambung tinggi, disebabkan antara lain karena permintaan yang meningkat dengan cepat dari Cina dan India, dan bukan tidak mungkin harga minyak bumi akan berada di atas USD 100 per barrel dalam jangka dekat sampai menengah. Ramalan itu ternyata terjadi lebih cepat dari perkiraan para ahli dan Indonesia tidak siap untuk itu karena tidak mengantisipasinya.

• Karena perkembangan global dan regional dianggap kurang penting terkecuali dalam tingkat retorika, dalam praktek kebijakan sehari-hari pemantauan yang cermat terhadap perkembangan global jarang dilakukan secara rutin dan terus menerus. Kalau pun ada, tidak terdapat umpan balik kepada kebijakan tertentu. Tidak mengherankan kalau Indonesia sampai sekarang tidak memiliki pusat kajian global dan regional yang berfungsi untuk memantau perkembangan politik, ekonomi, keamanan yang terjadi di berbagai kawasan dan memiliki dampak terhadap keadaan di dalam negeri. Oleh karena “navigasi” terhadap perkembangan luar jarang dilakukan, Indonesia tidak siap untuk gejolak dan selalu menjawabnya melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat ad hoc.

• Hal ini sangat berbeda dengan negara-negara lain. Hampir semua negara memiliki beberapa pusat kajian dan think-tank untuk memantau perkembangan eksternal dan melakukan antisipasi terhadapnya. Begitu pula kantor PM atau Presiden yang senantiasa melakukan kajian-kajian kebijakan untuk mengantisipasi perkembangan eksternal yang akan mempengaruhi pemerintah, negara dan masyarakat nya.

• Indonesia barangkali merupakan satu-satu nya negara besar di dunia ini yang tidak memiliki pusat-pusat kajian dan think-tank dalam masalah internasional dan regional yang berbobot..

5.6 Strategi komunikasi dalam implementasi kebijakan yang tidak efektif Kelemahan dalam proses perumusan dan konsultasi kebijakan membawa dampak yang tidak baik terhadap komunikasi kebijakan dari Pemerintah ke masyarakat. Pertama-tama, sikap Pemerintah yang memandang masyarakat sebagai obyek sudah tidak sesuai dengan alam demokrasi yang lebih menuntut partisipasi masyarakat

(37)

kebijakan yaitu sosialisasi yang mengandung konotasi komunikasi dari atas ke bawah harus dihilangkan dan diganti dengan konsultasi

• Dalam hal desentralisasi, di samping proses transisi kilat, komunikasi kebijakan juga sangat tidak efektif dan membingungkan.

. Kedua adalah kemampuan lembaga pemerintah sendiri dalam memanfaatkan media massa. Kapasitas mereka masih amat terbatas baik dalam hal isi dari pesan kebijakan, cara penyampaian maupun instrumen yang digunakan nya.

• Dalam menghadapi krisis harga energi dan BBM, masyarakat dihadapkan kepada berbagai pernyataan yang membingungkan dari pejabat. Begitu pula halnya dengan metoda penentuan tarif listrik yang baru dengan sistem kuota, sampai sekarang tidak jelas padahal akan ditetapkan segera (pada bulan Maret 2008 meskipun kemudian diundur lagi, kemungkinan menjadi April 2008 meskipun petunjuk tentang metoda tersebut sampai dengan pertengahan Maret 2008 belum dikeluarkan PLN).

5.7 Monitoring kebijakan

Kegiatan monitoring kebijakan jarang dilakukan pemerintah, kalau pun ada, laporannya tidak dipublikasikan. Selama ini monitoring terbatas kepada monitoring proyek dengan ruang lingkup yang sangat terbatas seperti masalah akuntibilitas, keuangan, kepatuhan kepada sistem dan prosedur. Penilaian dampak strategik dari suatu program jarang sekali dilakukan.

Kenyataan bahwa pejabat pemerintah seringkali mengeluhkan pelaksanaan kebijakan akan tetapi selalu tidak ada perbaikan menunjukkan bahwa tidak ada upaya yang sistematik untuk melakukan monitoring yang strategik dan memberikan umpan balik dari kegiatan tersebut yang mengarah kepada perubahan kebijakan. 10

• Keluhan tentang “ego sektoral” seringkali dikemukakan oleh para pejabat, para pakar, dunia usaha dan masyarakat sebagai penghambat kebijakan lintas sektor. Akan tetapi sampai sekarang belum muncul upaya yang serius untuk mengatasi hal

10 Baru pada awal tahun 2008, BAPPENAS memiliki seorang Deputi di bidang monitoring dan

(38)

ini, sesuatu yang menandakan bahwa evaluasi terhadap sistem birokrasi yang masih terkotak-kotak seperti serangkaian silo tidak yang dilakukan secara substansial.

• Hampir semua pihak mengeluhkan lambatnya kegiatan procurement untuk pembelanjaan modal, bukan hanya para pejabat akan tetapi juga Menkeu, akan tetapi dari tahun ke tahun tetap tidak ada perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kegiatan monitoring yang serius atau, kalau pun ada, tidak memberikan dampak kepada perubahan kebijakan.

• Kondisi yang serupa berlaku juga untuk kebijakan-kebijakan lain yang penting seperti desentralisasi.

Referensi

Dokumen terkait

Fungsional Fungsional Ruang dirancang sesuai kebutuhan ruang Terdiri dari bentuk geometri sederhana Bentuk menyesuaikan dengan alam lingkungannya Menggunakan geometri

Setiap materi akan mengalami perubahan. Perubahan materi meliputi: Setiap materi akan mengalami perubahan. Perubahan materi meliputi: Perubahan fisika, yaitu perubahan

Penelitian diawali dengan pengambilan bahan baku berupa POME di Pabrik Kelapa Sawit Kertajaya PTPN VIII Banten, Jawa Barat, dilanjutkan dengan pengambilan kotoran sapi potong

LAMPI RAN I .2 PERDA PERTANGGUNGJAWABAN - RI NCI AN LAPORAN REALI SASI ANGGARAN MENURUT URUSAN PEMERI NTAHAN DAERAH, ORGANI SASI , PENDAPATAN, BELANJA DAN PEMBI AYAAN. BULUKUMBA,

Sehubungan dengan Pelelangan Paket Pekerjaan Peningkatan Jaringan Irigasi D.I Bunga Melur pada Dinas Pengairan Kabupaten Aceh Tenggara Sumber Dana APBK Aceh Tenggara Tahun

PERANCANGAN PENGENDALIAN KUALITAS DENGAN METODE SIX SIGMA PADA PRODUK SINGLET POLOS RENDA CABUT

Tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani baik uasahatani lahan sawah maupun lahan kebun serta usahatani ternak sangat ditentukan oleh kegiatan yang dilakukan pada setiap

[r]