• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian II : Studi Kasus

4. Analisis studi kasus proses kebijakan perencanaan dan anggaran

4.2. Kebijakan anggaran di era demokrasi

Perencanaan keuangan negara belum dijalankan dengan mengacu kepada kelanggengan fiskal (fiscal sustainability). Sistem yang banyak dianut oleh negara-negara lain untuk menjaga kelanggengan fiskal ini antara lain dengan rancangan Medium Term Expenditure Framework (MTEF). Di dalam sistem ini tidak dipisahkan kategori-kategori penganggaran yang selama beberapa dekade dipergunakan di Indonesia, yakni pemisahan antara anggaran pembangunan dan anggaran rutin. Hal yang menjadi acuan adalah kegiatan apa yang akan dilakukan oleh instansi yang bersangkutan, baik untuk investasi (pembangunan) maupun konsumsi dan pemeliharaan (rutin), dalam menunjang rencana kerja pemerintah.

Perubahan paradigma pengelolaan keuangan ini telah diantisipasi dengan diundangkannya UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Namun demikian, penganggaran secara multi-years maupun jangka menengah belum diterapkan16

Persetujuan anggaran pemerintah oleh DPR akan melihat dan mengkaji dokumen anggaran yang mendetail hingga satuan kerja anggaran

; yang terjadi justru perencanaan anggaran selalu disiplin pada 1 tahun berjalan saja. Ini memberikan kesulitan pendanaan bagi proyek pembangunan fisik berjangka waktu lama, seringkali proyek terhanti pada awal tahun karena menunggu pencairan dana. Pada tahun 2007, juga tidak terdapat dana luncuran (dana sisa anggaran yang belum digunakan dan bisa digunakan untuk tahun berikutnya) dari anggaran 2006 yang kemudian akan ditarik kembali dalam kas negara. Hal ini disepakati oleh Departemen Keuangan dan Bappenas tahun lalu. Hal penting lainnya adalah: pertanyaan mengenai pelaksanaan anggaran berbasis kinerja (sesuai dengan UU No 17/2003).

17

Dalam pengajuan RAPBN, pemerintah selalu memberikan target fiskal, target defisit anggaran dan asumsi dasar (yakni nilai tukar, inflasi, pertumbuhan ekonomi dan juga harga minyak). RAPBN yang disetujui oleh DPR menjadi APBN dan kemudian dilaksanakan, masih memiliki kemungkinan untuk direvisi terutama atas ketiga item tersebut

atau dengan kata lain seperti dokumen satuan 3 pada masa orde baru. DPR masih berfokus pada sisi input anggaran berdasarkan pos line-item yang sangat rinci. Di satu sisi, DPR memang mengikuti amanah yang telah digariskan dalam UU Keuangan Negara, namun di sisi lain mereka tampak tidak menyadari bahwa kewenangan tersebut berpotensi menghambat arus kelancaran anggaran. Waktu justru “dihabiskan” untuk proses rapat dengar, negosiasi, dan perdebatan; padahal sangat sulit untuk mengatur jadwal pertemuan antara pemerintah dan DPR. Sisi mendetail dari anggaran satuan kerja pemerintah banyak dibahas pada komisi yang terkait dengan kementrian/lembaga teknis.

Jika anggaran pemerintah dari telah disetujui komisi terkait, maka akan dibawa dalam panitia anggaran DPR. Panitia anggaran pada dasarnya merupakan komisi yang khusus mengurusi tentang anggaran pemerintah secara keseluruhan (tidak lagi sektoral). Komisi ini berisi wakil-wakil anggota DPR lintas fraksi dan lintas komisi, sehingga pemantauan dan perkembangan mengenai persetujuan rencana dan anggaran pemerintah dapat terus dilaksanakan.

18

16 Rencananya Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah (MTEF) secara menyeluruh baru akan dilaksanakan mulai tahun anggaran 2008.

17 Satuan anggaran adalah dokumen anggaran yang menetapkan alokasi dana per . Revisi ini dapat saja saja dilakukan sewaktu-waktu, jika terjadi

kejadian mendesak (UU Keuangan Negara No 17/2003, pasal 27 ayat 1 hingga 5). Revisi besar-besaran pernah terjadi pada tahun 2005, ketika selisih harga minyak dunia dengan asumsi minyak domestik. Sebagai catatan, sejak tahun 2001 selalu terjadi selisih antara asumsi harga minyak pada anggaran dan realisasi. Padahal revisi terkadang berjalan alot dan memberikan efek pada kelancaran anggaran pada tahun berjalan.

Kemelesetan ini mengindikasikan adanya kemampuan yang lemah dalam menentukan asumsi dasar APBN dan juga kesan ”meremehkan” bahwa APBN selalu dapat direvisi. Pengajuan asumsi dasar dan indikator makro ekonomi terletak pada kewenangan Departemen Keuangan, khususnya pada Badan Kebijakan Fiskal. BKF ini memiliki fungsi yang berkaitan dengan analisis kebijakan fiskal dan kerjasama internasional. Pada November 2007 ini misalkan, BKF-Departemen Keuangan memberikan pemaparan tentang prospek perkembangan APBN dengan adanya kenaikan harga minyak duniayang mencapai US$98 per barrel.

Memang benar, asumsi harga minyak ataupun nilai tukar rupiah dalam anggaran bukanlah sebuah “harga mati”. Asumsi dasar memang akan semakin akurat searah dengan berjalannya waktu hingga akhir tahun anggaran. Perubahan asumsi APBN dapat dibahas setiap waktu jika ada perubahan yang drastis dalam asumsi, kebijakan fiskal dan alokasi anggaran. UU Keuangan Negara No 17 tahun 2003, pasal 27 ayat 1 hingga 5 telah memaparkan penjelasan tentang perubahan asumsi ini. Masalah yang muncul adalah terkadang pembahasan mengenai perubahan APBN terutama yang terkait dengan asumsi berjalan sangat alot dan memakan waktu lama di DPR. Hal ini jelas memberikan jangka waktu kelancaran anggaran pada tahun berjalan.

Permasalahan lain timbul, ketika anggaran dibatasi oleh adanya batas anggaran pendidikan yang dipatok minimal pada tingkat 20%. Hal ini jelas membuat sebuah kebingungan. Bagaimana tidak, sejak pengesahan amandemen UUD 1945 anggaran pendidikan masih berada di bawah angka 20% tersebut karena alokasi anggaran yang masih sangat diperlukan di bidang lainnya, terutama pembayaran cicilan hutang. Walau begitu, seiring berjalannya waktu anggaran pendidikan selalu mendapat prosentase tertinggi. Kasus menarik tentang alokasi anggaran pendidikan terjadi saat UU No. 13 Tahun 2005 (APBN 2006) diuji materiilkan kepada Mahkamah Konsititusi karena anggaran pendidikan hanya sekitar 9%; UU No 13 / 2005 dianggap inkonstitusional. Hal ini jelas menciptakan dilema kepada MK; jika APBN 2006

rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi : a). perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; b). perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.

dianggap tidak memiliki hukum yang mengikat, maka proses anggaran akan dimulai kembali dari awal. Ketetapan alokasi anggaran pendidikan pada UUD 1945 (amandemen) jelas memberikan infleksibilitas dalam menyusun alokasi anggaran.

Ketika menyusun anggaran yang dibutuhkan untuk rencana kerjanya, Kementerian/lembaga akan mengacu pada prioritas pembangunan dan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas mengenai pagu indikatif. Pagu indikatif ini merupakan pagu anggaran bayangan yang nantinya akan diberikan kepada Kementerian/Lembaga terkait. Renja K/L yang akan dibuat nantinya harus memperhatikan koordinasi dengan Depkeu dan Bappenas dalam penyusunan dan harus disampaikan ke mereka paling lambat sekitar bulan April (sesuai dengan PP No 21/2004 tentang Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga). Disamping itu dalam menyusun Renja KL agar Kementerian/Lembaga memperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) Program dan kegiatan yang mendukung pencapaian prioritas pembangunan nasional dan/atau Prioritas Kementerian Negara/Lembaga; (2) Kebutuhan anggaran yang bersifat mengikat; (3) Kebutuhan Dana Pendamping untuk kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan Pinjaman/Hibah Luar Negeri; (4) Kebutuhan Anggaran untuk kegiatan lanjutan yang bersifat tahun jamak (multi Years); (5) Penyediaan dana untuk mendukung pelaksanaan Inpres-Inpres yang berkaitan dengan percepatan pemulihan pasca konflik.

Departemen Keuangan juga berperan besar dalam penilaian APBD dengan membatasi maksimum kumulatif defisit sebesar 3% setiap tahunnya (UU No 23/2004 pasal 83). Selain itu, Menteri Keuangan menetapkan kriteria defisit APBD dan batas maksimal defisit APBD masing-masing Daerah setiap tahun anggaran. Setiap pelanggaran menganai hal ini akan dikenakan sanksi penundaan penyaluran dana perimbangan.

4.2.2. Problematika baru seputar anggaran

Pelaksanaan anggaran dilakukan oleh pemerintah (lembaga eksekutif) lewat Kementerian/Lembaga pengguna anggaran, dengan pengawasan oleh DPR serta auditor internal dan eksternal. Di Indonesia, auditor internal pemerintah adalah BPKP (di bawah koordinasi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara), Bawasda (auditor pemerintah daerah di bawah Gubernur/bupati) dan Inspektur Jenderal (di bawah setiap kementerian); sedangkan auditor eksternalnya hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang meyelenggarakan audit kepada seluruh pemerintah.

belanja modal dan 72% belanja barang. Trend yang terjadi adalah realisasi anggaran yang semakin cepat dan besar dengan mendekatnya pada akhir tahun anggaran. Rendahnya penyerapan anggaran tiap tahunnya memberikan banyak pertanyaan apakah, ada masalah struktural ataupun proses kebijakan pelaksanaan anggaran?

Selain itu, permasalahan bersumber dari kelengkapan dokumen pengeluaran anggaran (DIPA) yang mensyaratkan dicantumkannya nama pimpinan proyek, bendahara dan staf bagian pengadaan. Padahal, dengan pada awal tahun proses seleksi tim proyek biasanya belum dilaksanakan secara penuh akibatnya pencairan dana anggaran terlambat dan ditunda hingga menunggu kelengkapan pencantuman nama tersebut. Untuk proyek berjangka waktu lama, di awal tahun biasanya departemen dan lembaga baru menunjuk kembali pejabat kuasa pengguna anggaran, kemudian membuat komitmen dan menetapkan bendahara. Di lain pihak, ada yang baru memulai proses pengadaan sehingga pada bulan-bulan pertama pencairan memang rendah.

Kegiatan pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan publik memainkan peran penting dalam kelancaran proses pembangunan. Kegiatan ini dipayungi oleh Keppres No 80 Tahun 2003, yang menjelaskan tata cara proses pengadaan barang dan jasa secara transparan, efisien, adil dan ekonomis. Namun, di sisi lain dengan hirarki hukum yang tidak begitu tinggi tersebut (hanya keppres) telah menyebabkan lemah dan tidak strategisnya kebijakan mengenai hal ini. Masing-masing departemen ataupun kementerian justru membuat rumusan sendiri tentang proses pengadaan barang dan jasa di instansinya. Perkembangan ini membuat simpang siurnya proses pengadaan barang dan jasa di sektor pemerintah. Sejauh ini, belum ada lembaga yang memiliki kewenangan dalam mengatur proses kegiatan ini; walau ide pembentukan Lembaga Kebijakan Pengadaan Nasional yang mandiri telah ada disebutkan dalam Keppres No 80/2003. Sampai saat ini, persiapan LKPN masih berlangsung dan selama itu pula lembaga ini masih berada di bawah Bappenas.

Hal yang tidak kalah penting adalah praktik dana anggaran daerah yang diletakkan pada instrumen keuangan. Pemerintah daerah justru kerap memutar anggarannya pada instrumen keuangan dalam rangka mencari gain Data Departemen Keuangan menunjukkan, total dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2006 yang "diparkir" di Sertifikat Bank Indonesia mencapai Rp 43 triliun. Hingga saat ini, tidak ada ketentuan ataupun regulasi yang mengatur tentang tidak dibenarkannya penempatan anggaran di instrumen keuangan (baik swasta maupun pemerintah). Walau demikian, tata cara pelaksanaan anggaran yang benar secara garis besar sudah terdapat pada UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU Perimbangan Pusat dan Daerah, UU Audit Keuangan Negara dan yang utama adalah UU APBN serta Perda APBD tiap tahunnya.

Departemen dan lembaga nondepartemen cenderung menaikkan anggaran belanja barang dan modal di atas harga pasar karena ingin memaksimalkan usulan permintaan dananya. Hal itu menimbulkan ketidakefisienan anggaran karena pada akhirnya tidak terserap. Namun, perkembangan 2 tahun terakhir menunjukkan bahwa kapasitas penyerapan anggaran di Kementerian dan Lembaga sudah meningkat. Walau begitu, ditenggarai penyerapan yang tinggi ini dapat saja disebabkan oleh tekanan untuk menggunakan anggaran yang melebihi kapasitas.

Proses anggaran masih banyak dinodai dengan praktik percaloan dan lobi. Praktek percaloan anggaran dapat diklasifikasikan pada 2 lapisan. Lapisan pertama yakni pada saat anggaran belum ditetapkan (finalisasi akhir) oleh DPR, biasanya praktik percaloan dan lobi akan terjadi di DPR. Misalkan, untuk dana dekonsentrasi khususnya Dana Alokasi Khusus (DAK) yang sebenarnya sudah diatur lewat UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Celah untuk melakukan praktik percaloan atau lobi muncul, karena besaran DAK untuk tiap daerah ditentukan dari formula pembobotan yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan jumlah penduduk miskin (formula disusun oleh Departemen Keuangan dan Bappenas). Data kependudukan tersebut bisa saja direkayasa (diperbesar) oleh daerah, demi mendapatkan alokasi DAK yang lebih besar. Maka, pada saat pembahasan menganai anggaran antara pemerintah dan DPR (pertengahan tahun), banyak ditemui utusan-utusan daerah ataupun “rapat-rapat” di luar sidang antara pejabat pemerintah dengan anggota DPR khususnya yang berasal dari panitia anggaran.

Pada lapis kedua, terjadi ketika anggaran sudah disetujui. Praktik pecaloan dan lobi banyak dilakukan di sekitar Departemen Keuangan, karena pencairan dana berada dalam wilayah kewenangan mereka19

4.2.3. Rangkuman analisis

. Memang terkadang praktik percaloan oleh anggota DPR sangat berbeda tipis dengan dalih perjuangan bagi konstituen. Untuk dana bagi hasil, lobi bupati biasanya dilakukan ke Depkeu. Kalaupun dilakukan ke DPR, itu hanya untuk menekan Depkeu agar segera mencairkan dana bagi hasil sesuai target waktu yang ditetapkan.

Pada era Soharto, Bappenas melakukan perencanaan kegiatan fisik/proyek bersama dengan departemen teknis maupun perencanaan kebijakan untuk menopang

19 Komentar Drajad Wibowo, anggota DPR Komisi XI: ”Jadi, proses lobinya itu sendiri wajar karena di negara-negara maju juga ada lobi-lobi seperti itu. tidak jarang suatu proposal proyek atau anggaran yang sudah masuk dalam hitung-hitungan Depkeu atau Bappenas mentah lagi pada saat pembahasan di Panitia Anggaran DPR. Demikian pula sebaliknya, proposal proyek yang sudah dicoret di Depkeu atau Bappenas biasanya juga sulit muncul lagi di Panitia Anggaran. Kalau sudah

kegiatan fisik pemerintah. Untuk menjamin rencana pemerintah ini diikuti oleh semua pihak, termasuk departemen teknis terkait, maka Bappenas diberikan wewenang pembiayaan pembangunan. Sekarang dengan hanya peran perencanaan saja, Bappenas tidak memiliki kemampuan untuk “memaksa” secara langsung departemen teknis terkait untuk tunduk pada prioritas pembangunan. Bappenas hanya memeriksa konsistensi program yang ada dengan rancangan RKP yang sudah disusun.

Kuatnya posisi Depkeu (UU Keuangan Negara No 17 Tahun 2003) memberikan peluang dikesampingkannya Bappenas dalam pengajuan Renja-KL oleh Kementrian/lembaga. Kementrian/lembaga akan lebih gigih dalam mengejar dan konsultasi dengan Depkeu, dibandingkan dengan “ke Bappenas”. Selain itu, pengukuran kinerja dan monitoring dari Renja KL akan tidak dilihat sebagai faktor utama. Hal ini mengingat karena penilaian indikator kinerja akan banyak berada dalam kapasitas yang dimiliki Bappenas. Indikator kinerja di dalam kabinet akhirnya tidak berjalan dengan baik. Pada kenyataannya, penilain dan evaluasi justru banyak dilakukan oleh DPR dan publik, namun tidak ada lembaga dengan kapasitas sekelas Bappenas yang kini mengontrol kinerja dari dalam kabinet. Peran konsultatif yang dimiliki Bappenas menjadikan “wibawa” lembaga ini di mata departemen/kementrian lain berkurang. Tidak jarang terjadi praktik “potong kompas” atas usulan program yang ada di departemen teknis/terkait langsung kepada Departemen Keuangan sebagai pemain kunci dari persetujuan program yang ada.

Kewenangan Departemen Keuangan kini menjadi terlalu banyak, namun belum didukung oleh SDM yang merata secara kualitas. Maksudnya, sebagai sebuah institusi Depekeu tidak didukung oleh ahli di bidang kajian dan planning, namun lebih pada keahlian akuntan, keuangan dan penilai proyek. Kini, SDM yang berada di Bappenas justru semakin tidak difungsikan secara maksimal.

Realisasi anggaran selalu telat yang menunjukkan adanya hambatan struktural dalam siklus anggaran; termasuk ketentuan dokumen yang telalu rinci, prosedur revisi anggaran yang terlalu panjang dan rumit, revisi anggaran besar-besaran pada pertengahan tahun, dan proses pengadaan jasa dan barang yang lamban. Maka dari itu, perlu disusun kerangka pengeluaran jangka menengah, membuka peluang pengajuan anggaran multitahun untuk kategori belanja modal dan penyederhanaan ketentuan mengenai luncuran anggaran pada tahun berikutnya. Bisa berupa otorisasi pengajuan anggaran untuk beberapa tahun, terutama untuk proyek-proyek infrastruktur yang besar.

Ketergantungan eksekutif sebagai perencana dan pelaksana anggaran dengan legislatif sebagai pemegang kendali budget menjadi sangat tinggi sehingga mengurangi fleksibilitas eksekutif dalam kebijakan fiskal. Ada hubungan yang lemah

antara perencanaan dan penentuan anggaran, hal ini bermuara dari berkurangnya peran Bappenas dalam proses perencanaan dan anggaran.