• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terdapat beberapa model koordinasi lintas sektor, yang utama adalah model komite koordinsi, model lead agency dan model dewan atau badan.9 Komite koordinasi merupakan kerjasama yang longgar di antara departemen dan organisasi pemerintah yang terlibat, masing-masing anggota menyediakan sumber daya nya untuk melaksanakan kegiatan tertentu dari suatu program. Model ini mirip dengan cara kerja Menko atau panitia antar departemen. Dalam model lead agency departemen atau organisasi yang ditunjuk memiliki kewenangan eksekutif yang besar terhadap departemen atau oranisasi lain, termasuk penggunaan sumber daya manusia dan mata anggaran dari organisasi yang menjadi anggota nya. Tanggung jawab keseluruhan

program berada sepenuhnya pada lead agency. Di Indonesia, bentuk lead agency tidak dikenal. Dewan atau badan merupakan lembaga yang berdiri sendiri untuk melaksanakan kerjasama lintas sektor. Lembaga semacam ini yang cukup berhasil di Indonesia antara lain BKKBN dan BNN.

• Ketiadaan lembaga koordinator. Beberapa program lintas sektoral yang penting tidak memiliki lembaga koordinator yang jelas. Program-program ini antara lain adalah program pengembangan UKM, revitalisasi pertanian dan pedesaan, peningkatan kesempatan kerja.

• Lembaga koordinasi yang tidak jelas. Dalam beberapa bidang, di mana koordinasi diperlukan, struktur dan mekanisme nya berjalan tanpa arah yang jelas. Contoh klasik sampai sekarang adalah di bidang diplomasi ekonomi. Tidak jelas lembaga mana yang menjadi koordinator, apakah Deplu atau Depdag. Juga tidak jelas bagaimana Pemerintah menyusun posisi diplomasi nya dengan rincian yang relevan sehingga tidak ada petunjuk yang rinci bagi para perunding ketika melakukan perundingan internasional. Demikian pula dengan penentuan tariff. Tariff pada hakekatnya adalah instrumen perdagangan akan tetapi wewenang penentuan tariff masih berada di Depkeu.

• Koordinasi yang lemah. Ketiadaan wewenang penuh bagi lembaga koordinasi dalam melaksanakan tugasnya telah menghambat sinergi antar program dalam pelaksanaan berbagai program lintas sektor. Segagai contoh adalah program PNPM di mana Tim Pengendali memiliki kendali yang lemah karena dalam kenyataanya mereka sangat tergantung kepada Departemen/LPND, yang menguasai penggunaan anggaran, dalam implementasi program. Kasus lain adalah Menko dengan wewenang yang terbatas terhadap departemen-departemen di bawah nya dan, karena pengelompokan nya berdasarkan sektor, sujkar untuk melakukan koordinasi lintas sektor seperti antara seoktor ekonomi dan politik. Kapasitas Menko juga amat terbatas, dengan sumber daya manysia dan enggaran yang terbatas. Untuk masalah lintas sektor yang sangat penting seperti terorisme, misalnya, Menko Polhukam hanya memiliki sebuah desk dengan dua atau tiga orang staf. Begitu pula dengan PEPI, dengan tugas yang berat untuk melakukan koordinasi lintas sektor untuk pengembangan ekspor dan investasi, yang henya memiliki sekretariat yang terdiri dari beberapa orang. Atau UKP3ER, semacam

delivery unit di kantor Presiden, yang hanya terdiri atas 3 orang pejabat, sekretariat yang kecil dan staf profesional dan anggaran yang sangat kecil (kalau ada). Lembaga ini juga tidak memiliki komite-komite yang beranggotakan perwakilan dari departemen-departemen sehingga kerjasama yang terstruktur dalam mempercepat implementasi menjadi sukar untuk dilaksanakan. Bandingkan ini dengan Cabinet Implementation Unit di Asutralia atau Delivery Unit di Inggris, keduanya merupakan bagian yang integral dari kantor PM nya masing-masing. Kedua organisasi ini selain memiliki staf yang cukup juga menjadi pimpinan beberapa komite koordinasi pelaksanaan yang beranggotakan perwakilan dari departemen-departemen terkait. Tentu tidak semua program lintas sektor yang berada di bawah koordinasi mereka, hanya beberapa program yang dinilai sangat strategik.

• Lembaga kordinasi dengan wewenang yang besar. BKKBN atau BNN adalah contoh dari lembaga-lembaga koordinasi yang cukup kuat dan relatif berhasil. Namun, perkembangan setelah desentralisasi telah memasung wewenang BKKBN, kinerja nya menjadi merosot dan tanda-tanda kenaikan angka kelahiran sudah mulai muncul. Depkeu memiliki wewenang yang sangat luar biasa besar dalam penentuan budget. Bisa dikatakan bahwa Depkeu memiliki full discretion sehingga dapat memaksa pemotongan anggaran tanpa konsultasi dengan departemen-departemen. Hal ini dimungkinkan antara lain karena aturan anggaran disusun secara konvensional dan inkremental dan tidak ada aturan tentang earmarking. Kapasitas Depkeu dalam melaksanakan unified budget system juga terbatas karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk menilai proyek-proyek pembangunan secara teknis yang diajukan oleh departemen-departemen. Kapasitas tersebut berada di BAPPENAS, yang meskipun telah dilibatkan kembali dalam “koordinasi” akan tetapi wewenang akhir tetap berada di Depkeu. Keadaan ini seringkali membuat proses budgeting menjadi kurang berbobot, lebih lagi bila proses tersebut pada akhirnya juga seringkali terseret ke dalam bargaining politik-birokratik antara Depkeu, departemen-departemen, pemerintah daerah dan parlemen.

• Kerangka pelaksanaan koordinasi juga sering menimbulkan masalah implementasi. Salah satu contohnya adalah proses anggaran, khususnya dalam kaitannya dengan DPR. Dengan kewenangan DPR, yaitu berhak mencampuri anggaran sampai dengan tingkat proyek, yang terlalu jauh dan tidak lazim dibandingkan dengan negara-negara dmokrasi modern yang lain, maka proses budget terjerumus ke dalam pembahasan yang terlalu rinci, rawan politisasi, tidak relavan dengan tugas, wewenang dan kapasitas DPR sambil sekaligus cenderung mengabaikan fungsi utama nya yaitu pembahasan program dan konsistensi program dengan strategi umum Pemerintah.

• Koordinasi kebijakan ekonomi makro yang lemah. Seperti yang telah dikemukakan di atas, tidak terdapat forum koordinasi yang terstruktur antara kebijakan moneter dan fiskal, dan pelaksanaan kebijakan makro tidak memperhitungkan dampaknya kepada kesempatan kerja dan perkembangan sektor riel. Kerangka kebijakan yang terpenggal-penggal ini menghasilkan sebuah anomaly di mana di satu pihak sektor keuangan kelebihan dana, di mana sekitar hampir Rp 300 triliun diserap oleh SBI (semacam sterilization bond) untuk menekan inflasi, dan di pihak lain sektor riel yang memerlukan dana, tidak mampu meminjam karena tingkat bunga domestik yang terlalu tinggi. Hal ini tidak terlalu merupakan masalah bagi pengusaha besar yang bergerak di bidang ekspor karena mereka bisa meminjam dalam mata uang asing dengan bunga yang jauh lebih rendah, akan tetapi sangat menghambat UKM yang berorientasi ekspor dan pengusaha-pengusaha pada umumnya yang berorientasi ke pasar dalam negeri.

• Konsep keseluruhan, konsensus kebijakan dan kapasitas kelembagaan yang lemah telah menimbulkan banyak masalah dalam implementasi kebijakan. Termasuk ke dalam kasus ini adalah program konversi dari kompor minyak tanah ke kompor gas, pelaksanaan program pengembangan bio-fuel dan program KEKI. Yang disebut terakhir ini, seperti sebagian besar kebijakan di Indonesia, tidak memiliki konsep yang menyeluruh termasuk kaitan program KEKI dengan industrialisasi, pengembangan teknologi, riset dan pelatihan dan ekonomi daerah. Konsep free trade area dalam undang-undang juga masih kabur dengan penafsiran yang berbeda antara kantor bea dan cukai dengan badan pelaksana di Batam, Bintan dan Karimun.