• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah yang muncul dari sistem pembuatan kebijakan saat ini

Bagian II : Studi Kasus

4. Masalah yang muncul dari sistem pembuatan kebijakan saat ini

Terbebani dengan agenda reformasi ekonomi dan politik yang luar biasa berat selama tujuh tahun terakhir, dengan lembaga masyarakat sipil dan pemerintahan yang tidak berfungsi menangani beragamnya isu kebijakan dan hubungan antarlembaga yang baru, membuat pemerintah baru tidak mampu membangun tanggapan yang terorganisir terhadap lingkungan yang telah berubah.

Akibatnya ialah hilangnya kendali atas agenda kebijakan, melemahnya struktur koordinasi antardepartemen, penurunan kualitas yang dramatis dalam dokumentasi latar belakang dan pengkajian alternatif pilihan kebijakan yang tersedia, dan kaburnya batas antara tanggungjawab dan kewenangan

Hal tersebut menimbulkan dampak berikutnya: upaya untuk memotong struktur dan birokrasi pemerintahan melalui penciptaan organisasi baru seperti komisi khusus, lembaga penasihat, dan bahkan penasihat ahli perorangan, yang semuanya menambah ketidakpastian dalam proses pembuatan kebijakan. Banyak dari komisi-komisi yang dibentuk, misalnya komisi yang menangani pengentasan kemiskinan, telah mengalami berkali-kali perubahan bentuk hanya dalam waktu tiga tahun sehingga kehilangan banyak focus dan legitimasi, komisi lain seperti Dewan Penasihat Ekonomi hanya menambah daftar bentuk kelembagaan baru yang tidak berfungsi sejak awal.

Sejumlah konsekuensi serius muncul dari menjamurnya masalah yang terkait dengan proses kebijakan. Kecuali ditangani sebagai masalah mendesak, masalah-masalah tersebut akan dengan cepat menggerogoti legitimasi yang perlu dibangun oleh system demokrasi baru. Hal ini dapat berdampak pada instabilitas politik yang panjang dan melemahkan. Atau, yang terburuk, ini akan berdampak pada berkembangnya ideology ekstrem yang akan merusak tujuan dan nilai demokrasi itu sendiri.

4.1 Hilangnya Visi Strategis dan Pengemasan Efektif Program Reformasi

Barangkali dampak paling serius dari kegagalan proses kebijakan adalah ketidakmampuan untuk menyusun visi kebijakan dan program prioritas yang jelas dan dapat dikomunikasikan dan didukung publik. Kejelasan visi kebijakan selalu penting kapanpun juga. Namun kejelasan ini menjadi teramat penting khususnya di masa transisi sistemik karena melibatkan pergeseran besar dalam politik, sementara kekuatan dan keunggulan ekonomi melemah dan memburuk. Khususnya di bawah situasi seperti inilah, pertanyaan kebijakan yang penting saat ini bukan tentang hal teknis, namun tentang kepercayaan, sistem nilai, dan insentif yang berubah. Misalnya, upaya mempromosikan program keadilan sosial hanya akan berhasil jika dapat dibuat definisi yang diterima secara luas mengenai batas ketidakadilan, ketimpangan atau perbedaan ekonomi yang dapat ditoleransi

Visi strategis yang disusun secara hati-hati dan menyeluruh juga amat penting untuk memelihara keutuhan bingkai dan tahapan tiap komponen reformasi dan penetapan biaya serta kecepatan yang dibutuhkan. Tiadanya visi semacam ini pada tahun-tahun awal transisi berarti bahwa perhatian kebijakan dititikberatkan pada aspek transformasi ekonomi, melalui alokasi sumber secara tidak tepat untuk restrukturisasi perbankan dan swasta. Hal itu juga berakibat pada kokohnya kepercayaan bahwa transisi politik hanya dapat sukses dengan dukungan pemulihan ekonomi meski harus mengorbankan aspek kualitas pertumbuhan ekonomi seperti dampak lingkungan atau meningkatnya ketimpangan. Hasilnya adalah meluruhnya daya tarik demokrasi dan munculnya keraguan tentang keberlangsungan demokrasi politik. Intinya, bukan berarti pandangan tersebut keliru. Intinya adalah bahwa tanpa pemikiran strategis, demokrasi yang baru muncul hanya akan meretas jalan yang melemahkan landasan politiknya sendiri. Ini contoh yang buruk bagi pembuatan kebijakan.

4.2 Menetapkan fokus tanpa melupakan visi strategis

Kegagalan untuk membangun visi strategis di Indonesia membuahkan reformasi yang oportunis atau yang secara halus disebut pragmatis, yaitu reformasi bergerak di area yang punya agen perubahan yang kuat atau di mana ada jendela kesempatan (window ofopportunity). Cara ini mungkin dapat diterima dalam situasi di mana struktur kelembagaan stabil dan memiliki legitimasi politik yang tinggi, namun di masa transisi sistemik cara ini kurang masuk akal. Tanpa peta jalan strategis yang jelas tidak mungkin menentukan bagian mana dari orde sebelumnya yang harus dipertahankan dan mana yang harus direformasi. Juga akan sulit dalam membedakan isu taktis dan pertanyaan strategis.

Contoh yang bagus dalam kasus Indonesia adalah evolusi agenda reformasi tatakelola. Pertama, isu ini terlambat muncul di agenda kebijakan, baru pada tahun ketiga setelah ekonomi Indonesia kolaps. Kedua, pendekatannya masih sepotong-potong, di mana aspek ekonomi dan politik pemerintahan berampur aduk dan tidak komprehensif; tatakelola pemerintahan,antikorupsi, reformasi politik, proses anggaran yang lebih efektif dan sebagainya, namun sedikit sekali di bidang reformasi birokrasi, partai politik, regulasi dan akuntabilitas masyarakat sipil, dan proses pembuatan kebijakan. Yang lebih mengejutkan lagi dalam agenda pemerintah tidak ada diskusi mengenai

konsolidasi system politik baru atau bahkan reformasi militer, termasuk menyelesaikan bisnis militer.

Pendekatan ‘window of opportunity’, khususnya menarik bagi lembaga donor yang ingin membatasi fokus dan memprioritaskan bantuan mereka, tidak terlalu berguna lagi pemerintah kecuali dijadikan bagian dari sebuah strategi reformasi yang dipikirkan matang-matang. Tanpa itu, pengawasan atas kabinet dan koordinasi antarmenteri akan dilemahkan terus oleh menteri yang punya kekuasaan lebih, atau menteri yang menerima bantuan teknis eksternal terbesar dapat mendorong agenda sektoralnya sendiri sehingga megurangi disiplin dan kredibilitas kabinet. Akibatnya bukan hanya mempersulit perumusan strategi kebijakan pembangunan nasional, namun juga mengurangi efektivitas mekanisme koordinasi antarkementerian

4.3 Hancurnya kapasitas untuk melakukan riset dan perumusan kebijakan

Pendekatan yang sepotong-potong atas strategi dan reformasi pembangunan memiliki dua efek buruk yang saling terkait. Pendekatan seperti ini menciptakan kerangka kerja kebijakan yang sama sekali tidak seimbang dan prioritasnya tidak tepat. Kemudian, pendekatan ini juga mengurangi insentif untuk membangun kapasitas untuk mengenali masalah kebijakan yang muncul, instrumen dan pilihan alternatif yang dapat digunakan, dan sekaligus strategi politik untuk meraih dukungan publik dan mengurangi oposisi.

Di Indonesia, tendensi dampak yang pertama, yakni lemahnya prioritas dan ketidakseimbangan kerangka kerja kebijakan, terlihat dari terlalu dititikberatkannya variabel ekonomi selama proses transisi dibanding area reformasi lain seperti kebijakan sosial, keamanan nasional, kebijakan luar negeri dan sebagainya. Titik berat pada ekonomi mungkin masuk akal bila masalah yang dihadapi terutama adalah masalah ekonomi dalam struktur politik yang stabil. Namun jika fokus yang terbatas pada ekonomi diterapkan dalam kondisi ketika keseluruhan lembaga mengalami pergeseran atau seluruh system mengalami transformasi yang luas, hal itu hanya akan mendistorsi desain kebijakan, menciptakan kementerian-kementerian super dan koordinasi di dalam kabinet menjadi lebih sulit dari biasanya.

dan sistem politik Indonesia untuk menghasilkan prioritas dan pilihan alternatif kebijakan. Tidak mengherankan, nyaris semua strategi dan program besar diusulkan dan dikembangkan oleh badan bilateral atau multilateral asing. Akibatnya, kepemilikan kebijakan tetap rendah, pelaksanaan strategi pembangunan memerlukan waktu yang lama dan sebagian besar di bawah harapan.

Meski terlihat sebaliknya, lembaga internasional dan donor bilateral tidak memiliki kesamaan prioritas dan tujuan terkait dengan tipe dan cakupan reformasi yang mereka dukung. Sesi-sesi dalam sidang CGI menunjukkan betapa luasnya usulan reformasi dan syarat yang menyertai aliran bantuan dana dari mereka, dari syarat makroekonomi hingga kehutanan, dari tatakelola pemerintahan hingga infrastruktur pembangunan, dari pengurangan subsidi hingga pembangunan kawasan pedesaan.

Rendahnya kepemilikan kebijakan dan berkembangnya agenda reformasi yang oportunistis, ditambah dengan perubahan struktur dan pentingnya badan-badan pembuatan kebijakan kunci dalam pemerintahan telah menciptakan kesalahan dalam desain dan implementasi kebijakan dalam bentuk of commission (karena melakukan kebijakan yang salah) atau of omission (karena tidak melakukan kebijakan apapun). Di sisi lain kapasitas jajaran pegawai negeri untuk bereaksi dan bernegosiasi dengan kreditor asing dan lembaga bantuan asing juga amat lemah. Hasilnya, adalah makin maraknya penggunaan bantuan teknis yang dibawa oleh program-program bantuan dalam desain dan pelaksanaan program, sebuah praktik yang dalam konteks normal akan dianggap konflik kepentingan.

Hal itu juga menciptakan insentif untuk menggunakan bantuan teknis dari luar untuk menggantikan tugas aparat pegawai negeri yang ada, misalnya dalam menyiapkan policy brief berkala, menyiapkan pernyataan resmi pemerintah dalam pertemuan dan konferensi, dan bahkan dalam merancang undang-undang dan nota kesepahaman. Meski melalui praktik seperti ini barangkali kerja-kerja yang terkait usulan kebijakan dapat diselesaikan lebih cepat, hal tersebut juga menciptakan struktur pemerintahan di Indonesia yang bahkan oleh lembaga donor tidak akan ditoleransi dalam sistem mereka sendiri.

Hasil yang tak terelakkan ialah amat terbatasnya kapasitas pemerintah untuk memulai sebuah kebijakan dan untuk menciptakan sistem peringatan untuk masalah-masalah

yang akan muncul. Penetapan kebijakan lalu menjadi persoalan jangka pendek, sementara reaksi yang disiapkan terhadap tekanan dan kejadian yang muncul disiapkan dengan kurang memadai. Antisipasi isu kebijakan yang melihat jauh ke depan, khususnya isu jangka panjang seperti urbanisasi, demografi, pendidikan tinggi dan sebagainya, atau bidang dengan prioritas yang kabur seperti kebijakan luar negeri dan pertahanan, sering tidak dicantumkan dalam matrik kebijakan.

Konsekuensinya tidak sulit dibayangkan. Lama-kelamaan, terbatasnya kapasitas akan menurunkan motivasi birokrasi, khususnya di tingkat yang paling elit. Lembaga yang dikenal memiliki kapasitas merumuskan kebijakan misalnya Bappenas tenggelam oleh beragam insiatif kebijakan yang tidak terawasi dan respon dari dalam sistem pemerintah atas kritik publik terhadap kebijakan cenderung reaktif, bukan antisipatif. Lama-kelamaan, pegawai negeri yang terampil akan menjadi kurang terampil, dan yang sudah spesialis akan menjadi generalis. Ini tidak apa-apa bila memang dimaksudkan sebagai bagian dari strategi reformasi birokrasi di mana sebagian riset kebijakan disubkontrakkan ke perusahaan swasta atau universitas.

Namun kasus Indonesia saat ini tidak demikian. Birokrasi yang terlalu lentur dan tidak pasti mengakibatkan kualitas rancangan kebijakan menurun, baik karena dibuat dalam tenggat waktu yang tidak realistis maupun karena waktu dan kesabaran yang diperlukan untuk membangun mekanisme konsultatif yang terstruktur93 dengan lembaga non-pemerintah dikompromikan. Dalam konteks inilah, bukan hanya kapasitas pemerintah dalam merumuskan kebijakan strategis yang dikompromikan dengan akibat hilangnya fokus dan kualitas, kapasitas dan keahilan kalangan nonpemerintah di dalam negeri juga tidak dapat digunakan secara optimal.

4.4 Kebijakan yang tidak efektif: kegagalan desain atau implementasi?

Ketidakpuasan atas rancangan kebijakan, tumpang tindih tanggungjawab kementerian dan inisiatif kebijakan yang tidak terkoordinasi dan paralel antarkementerian dan badan-badan makin memperkuat kesan bahwa kegagalan kebijakan hanya masalah kegagalan implementasi, bukan kegagalan desain kebijakan. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa ini merupakan dikotomi yang keliru.

“Kebutuhan pertama membangun aparat administrasi yang efektif adalah dengan cara mendefinisikan dan mengkomunikasikan arah dan keputusan kebijakan. Untuk itu perlu ada lembaga yang mampu menghasilkan keputusan yang konsisten, terjangkau, dan realistis untuk dijalankan. Juga ada kebutuhan untuk memperbaiki proses kebijakan agar makin transparansi dan mudah diprediksi, demi menghindari menteri-menteri yang terlalu berkuasa mengambil jalan pintas untuk memenuhi kepentingan sempit mereka dan dengan mengesampingkan kepentingan bersama.

Perbaikan dalam sistem kabinet dan organisasi yang terkait harus diarahkan untuk perbaikan di lima tugas dasar: (i) menyediakan informasi dan peringatan dini tentang isu kebijakan sebelum muncul di kabinet, (ii) memastikan semua kementerian dan badan yang terkait dengan suatu isu diajak konsultasi secara memadai, (iii) menyediakan analisis pendukung dan pertimbangan hati-hati atas pilihan kebijakan lain, (iv) mencatat dan menyebarluaskan keputusan yang diambil, dan (v) mengawasi pelaksanaan dan tindaklanjutnya.” (garis miring oleh penulis)

Jelas, tanpa rancangan kebijakan yang memuat “pertimbangan hati-hati atas pilihan-pilihan kebijakan” atau yang memuat rencana pembiayaan dan lembaga pelaksana yang rinci, pelaksanaan kebijakan dan kegagalan pelaksanaan akan sulit dibedakan. Proses kebijakan yang ada di Indonesia sekarang masih tertinggal dibanding negara-negara lain merujuk daftar ADB (1999). Persoalan serius terutama dihadapi dalam bidang mekanisme pembiayaan dan pelaksanaan, sementara pilihan-pilihan alternatif hampir tidak pernah dipertimbangkan secara rinci. Dalam konteks seperti itulah, menyalahkan kegagalan kebijakan hanya dari sisi pelaksanaan hanya akan membuat kita tidak melihat perlunya reformasi menyeluruh dalam proses pembuatan kebijakan.