• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian II : Studi Kasus

5. Kesimpulan dan rekomendasi

• Hal yang paling mendasar adalah: tidak terintegarasinya antara kegiatan perencanaan dan penganggaran di Indonesia. Ini merupakan imbas dari berkurangnya peran Bappenas dalam kedua hal tersebut, terutama di bidang anggaran. Departemen Keuangan kini menjadi institusi super yang selain menjadi bendahara, perencana keuangan, hingga evaluasi pelaksanaan anggaran dan kinerja.

• Integrasi antara perencanaan dan penganggaran perlu dilakukan sehingga proses anggaran berbasis kinerja dapat dilakukan.

• Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh seorang perencana adalah bahwa tujuan-tujuan mereka kurang dapat dirumuskan secara tepat. Sering kali tujuan-tujuan tersebut didefinisikan secara kurang tegas, karena kadang kala tujuan-tujuan tersebut ditetapkan oleh pihak lain.

• Perencanaan seringkali dibuat tanpa didasari oleh dokumen kebijakan yang komprehensif sehingga cenderung menjadi ad hoc, tidak strategik dan tidak mengikat dalam ruang cakup kintas sektoral.

• Bappenas menjadi institusi yang memiliki kualitas SDM baik, namun tidak memiliki gugus kerja yang sesuai dengan kapasitasnya. Akhirnya, Bappenas menjadi super subtitute institusi, atau dengan kata lain: institusi yang bertugas menggantikan lembaga lain yang belum/tidak bekerja dengan maksimal. Ini terlihat pada kasus penanggulangan bencana alam nasional. Beberapa fungsi yang seharusnya diemban oleh Bakornas PB

• Ada sedikit perbedaan mengenai bagaimana proses perumusan perencanaan pembangunan dilakukan, jika dibandingkan dengan era Soeharto. Kini, perencanaan dilakukan dengan mekanisme Musrenbang, yang berangkat dari ide dan suara dari masyarakat dengan tingkat paling bawah. Walaupun mekanisme proses perencanaan ini terkesan lebioh demokratis, namun dalam kenyataannya masih terdapat aganda perencanaan yang sudah di-setting sebelumnya, dan seolah-olah mengatasnamakan kemauan dari bawah.

• Perlunya sikap tegas dari pemerintah mengenai ruang lingkup kewenangan institusi yang bertugas dalam mengevaluasi kinerja pembangunan beserta laporan anggarannya. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih mengenai berbagai hal yang terkait dengan kinerja dan anggaran.

Proses Kebijakan Ekonomi Makro

Adrianus Mooy

Anggota Tim Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Kebijakan

1 Latar belakang

Kebijakan ekonomi makro merupakan suatu kebijakan yang terkait dengan manajemen maupun stabilisasi ekonomi makro dalam suatu perekonomian. Proses pembuatan serta perumusan kebijakan dalam sisi ini akan sangat penting terhadap kualitas kebijakan yang dibuat. Hal ini tentu saja memerlukan tidak hanya pemenuhan prosedural dalam pembuatan atau perumusan kebijakan namun juga koordinasi yang baik antara otoritas fiskal dalam hal ini Departemen Keuangan dengan otoritas moneter yaitu Bank Indonesia. Koordinasi yang baik antara kedua lembaga ini diharapkan akan menghasilkan kondisi ekonomi makro yang baik dan terjaga.

Di sisi lain, kebijakan yang dihasilkan dari kedua otoritas tersebut tidak saling berkontradiksi antara satu dengan yang lain sehingga menyebabkan kegagalan tidak hanya dalam proses pembuatan kebijakan itu sendiri, dalam hal ini kurangnya komunikasi serta koordinasi yang baik, namun juga kegagalan dalam pencapaian output kebijakan yang diinginkan. Dengan ruang lingkup ekonomi yang semakin terbuka, di mana tidak hanya faktor internal dalam perekonomian, namun juga faktor eksternal juga turut diperhitungkan dan diperhatikan dengan baik. Dengan demikian, kualitas kebijakan yang dihasilkan dapat berfungsi atau mampu mendukung dalam menjaga stabilitas makroekonomi. Hal ini tentu saja dengan tetap menjaga bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga yang independen dari pengaruh kekuatan politik,

Penyusunan draft mengenai kebijakan strategis ini diharapkan akan tercipta suatu proses kebijakan baik dalam tahap perumusan, pelaksanaan, maupun pengawasan yang komprehensif. Dalam hal ini, diharapkan kebijakan yang dihasilkan tidak terjebak ke dalam masalah yang disebut sebagai wicked problems.22 Proses kebijakan yang terjadi selama ini di mana menghadapi kendala berupa lambatnya dalam hal perumusan terkait dengan permasalahan koordinasi, kesepakatan kolektif, serta komunikasi lintas sektoral yang kurang baik masih saja terus berlangsung. Selain itu, proses konsultasi di antara pemangku kepentingan seringkali terjadi miskoordinasi, sehingga kualitas kebijakan terutama berkaitan dengan perumusan regulasi seringkali bertabrakan dengan regulasi lain. Akibatnya, implementasi kebijakan menjadi sukar dan bahkan secara praktis menjadi tidak dapat berjalan sesuai yang diharapkan.

Dengan demikian, dalam prakteknya, kebijakan yang dibuat memerlukan suatu panduan komprehensif dan terarah dengan bersifat inklusif terhadap berbagai pihak yang tergabung dalam tim formulasi kebijakan. Selain itu, proses konsultasi baik antar kementerian maupun departemen/lembaga otoritas pembuat kebijakan perlu memperhatikan pihak-pihak yang perlu dipertimbangkan untuk turut berpartisipasi dalam perumusan kebijakan tersebut.

Selain itu, kapasitas birokrasi maupun administrasi yang baik sangat diperlukan sehingga kebijakan yang akan dirumuskan tidak terhambat dalam permsalahan yang sifatnya prosedural ataupun birokratis. Hal ini penting untuk menghindari diskusi mengenai perumusan kebijakan menjadi lebih terfokus pada masalah substansi, bukan pada hal yang bersifat teknis.

Mengenai kebijakan makroekonomi, sangat penting bagaimana kebijakan moneter dan juga kebijakan fiskal mampu menghasilkan stabilitas makroekonomi yang saling mendukung, memiliki arah yang jelas, serta pencapaian yang optimal. Dengan demikian, Bank Indonesia—saat ini berusaha menjaga independensinya—serta dengan Departemen Keuangan—dalam hal ini sebagai bagian dari pemerintah—bisa menghasilkan suatu proses perumusan kebijakan yang matang dengan koordinasi serta pelibatan masing-masing otoritas.

22 Australia Public Service Commission, Tackling Wicked Problems, Canberra: Commonwealth of Australia, 2007

Kebijakan yang dihasilkan baik dari sisi fiskal maupun moneter diharapkan menghasilkan kebijakan baik kondusif maupun responsif terhadap situasi ekonomi baik dari goncangan internal maupun eksternal. Selain itu, kapasitas dan kapabilitas otoritas kebijakan tetap terjaga dengan baik. Indikator-indikator makro yang ada secara langsung akan menjadi ukuran seberapa optimal kebijakan yang dibuat efektif untuk menjaga stabilitas makroekonomi, namun juga dengan tanpa mengesampingkan proses perumusan kebijakan secara sistematis dan koheren satu dengan lainnya.