• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Bappenas dalam penanggulangan bencana alam nasional

Bagian II : Studi Kasus

4. Analisis studi kasus proses kebijakan perencanaan dan anggaran

4.3. Peran Bappenas dalam penanggulangan bencana alam nasional

Beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami berbagai macam bencana alam berskala besar yang memberikan dampak kerugian materiil dan non-materiil. Beberapa di antaranya adalah: tsunami Aceh dan Nias tahun 2004, gempa bumi Nias 2005, gempa bumi Yogyakarta-Jawa Tengah pada tahun 2006, luapan lumpur Sidoarjo 2006, banjir Jakarta awal 2007 hingga berbagai macam bencana lain yang skala kerusakannya relatif lebih kecil. Di beberapa daerah, tidak jarang proses pembangunan ulang (rekonstruksi dan rehabilitasi) harus dimulai dari nol, karena besarnya skala kerusakan dan juga rendahnya kapasitas pemerintah daerah terkait. Di sisi lain, respon pemerintah pusat dalam penanggulangan bencana tersebut dirasa sangat lamban dan minim (61.6% responden berkata tentang buruknya manajemen bencana alam pemerintah -berdasar survei Kompas, 10 Juli 2006).

4.3.1 Damage assesstment oleh Bappenas

Penanganan bencana pertama-tama haruslah melihat dari besaran skala dampak yang diakibatkannya. Informasi ini menjadi kebutuhan semua pihak, dari pemerintah hingga media, yang pada berikutnya akan menyebarluaskan data resmi ini kepada publik. Secara khusus, informasi ini dibutuhkan untuk:

• Mengetahui secara rinci dampak bencana, agar pemerintah dapat secara resmi mengeluarkan pernyataan yang valid. Informasi publik menjadi tidak simpang siur dan supaya tidak terjadi pendugaan yang tidak bertanggungjawab.

• Memudahkan pemerintah dalam menyusun kebijakan selanjutnya; di mana kerusakan terparah, berapa banyak korban, apa yang dibutuhkan korban, infrastruktur apa yang terkena dampak, dan sebagainya.

• Memudahkan pemerintah dalam menyiapkan pendanaan bagi penanggulangan bencana alam

• Informasi untuk kalangan di luar pemerintah (LSM, akademisi, organisasi multinasional, donor, dan sebagainya) yang ingin berkontribusi dalam respon bencana alam

Ini dikarenakan karena sistem pemerintahan lokal tidak bisa berjalan, kurangnya kemampuan assessment maupun keinginan untuk mem-blow up dampak yang ditimbulkan demi kepentingan besar dana yang dapat diterima. Di tengah situasi seperti ini, Bappenas beberapa kali terlibat secara langsung dengan penyediaan informasi dampak bencana alam. Tidak hanya itu, Bappenas juga menyediakan perhitungan nilai ekonominya, seperti pada kasus: tsunami Aceh-Nias, gempa bumi Yogyakarta-Jawa Tengah, lumpur Sidoarjo, banjir Jakarta dan lain-lain.

Pemerintah yang ingin menganggarkan dana bencana, juga memerlukan sebuah permintaan dari lembaga yang berwenang disertai dengan damage assessment yang dilakukan. Pada bencana Bengkulu (2007) misalnya, Menteri Keuangan menunggu usul pencairan dana bencana alam dari Bakornas PB karena penggunaan dana harus didasarkan atas perkiraan kerusakan awal yang disusun badan tersebut (sesuai dengan UU Penanggulangan Bencana No 24 tahun 2007). Di sisi lain, Bappenas secara cepat dapat memberikan perkiraan awal nilai kerusakan akibat bencana tersebut.(Kompas, 18 September 2007).

Tugas valuasi dampak bencana sebenarnya bukan menjadi tugas Bappenas, namun analisis Bappenas menjadi sumber yang dianggap “terpercaya” terutama setelah prestasinya pada penilaian kerusakan Aceh pasca tsunami. Keahlian tersebut dimungkinkan, karena Bappenas memiliki sumber daya manusia yang ahli di berbagai bidang ilmu terutama valuasi ekonomi kawasan. Selain itu, database lengkap yang dimiliki Bappenas dan jaringan koneksi dengan berbagai pemerintah daerah menjadi faktor penting lainnya.

4.4.2. Rencana induk dan arah kebijakan daerah pasca bencana alam: tanggung jawab siapa?

Menjelang berakhirnya fase tanggap darurat bencana tsunami di Aceh dan Nias, pemerintah pusat meminta Bappenas menyusun rencana induk (master plan) untuk pembangunan Aceh-Nias. Hal ini dapat ditelusuri dari tindakan Bappenas membentuk Sekretariat Tim Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat Aceh dan Sumatera Utara lewat Keputusan Menteri PPN No 01/M.PPN/01/2005 terhitung pada tanggal 10 Januari 2005. Rencana induk tersebut juga berisi tentang perlunya pembentukan suatu badan khusus untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias (yang kemudian disahkan lewat Peraturan Presiden No 30/2005). Badan baru tersebut dinamakan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR).

Mengingat besarnya bencana yang dialami oleh Aceh dan Nias, maka dibutuhkan kapasitas yang lebih besar dari sekedar Bakornas PB untuk mengkoordinasikan dan

merencanakan tindak lanjut dalam penanggulangan bencana20

Bappenas justru melakukan insiatif yang tinggi ketika melihat adanya kebutuhan akan institusi yang mampu merumuskan perencanaan suatu daerah pasca bencana sekaligus memantau proses rekonstruksinya, ini terlihat dengan keluarnya PPN 018/M.PPN/02/2007 tentang pembentukan Tim Koordinasi Perencanaan dan Pengendalian Bencana (P3B) dengan tugas mengkoordinasikan secara terpadu

. Padahal, tugas tersebut diemban oleh Bakornas PB, yakni dapat memimpin dan menunjuk penugasan kepada Kementerian/Lembaga dalam mendukung upaya merespon bencana (seperti disebutkan pada Keppres No 111 Tahun 2001). Jadi, penanganan bencana Aceh telah “melupakan” peran Bakornas; pertama, dengan dibentuknya BRR dan yang kedua, dengan disusunnya masterplan rekonstruksi dan rehabilitasi oleh Bappenas.

Dalam BRR, Kepala Bappenas berperan sebagai sekretaris Dewan BRR (sesuai Keppres No 63/M tahun 2005) yang bertugas untuk memonitor, mengevaluasi dan memastikan akuntabilitas kinerja dari Badan Pelaksana BRR. Selain itu, Badan Pengawas juga dapat memberikan saran dan rekomendasi pada Presiden berdasarkan penilaian terhadap implementasi BRR. Sedangkan mandat pemantauan dan pengendalian terhadap rencana induk diejawantahkan dengan pembentukan Pemantauan dan Pengendalian Pelaksanaan Rehabiliasi dan Rekonstruksi di wilayah Aceh dan Nias Sumatera Utara (P3RIRRWANS). Badan ini memeriksa aspek konsistensi, koordinasi, konsultasi, serta kapasitas pelaksanaan proses rehabilitasi dan rekonstruksi dengan rencana induk yang telah dibuat terlebih dahulu.

PePres No 30 / 2005 (tentang BRR) sendiri, tidak mengatur secara jelas mengenai rencana khusus acuan rehabilitasi Nias pasca gempa bumi Maret 2005. Sebagai tindak lanjut, pada Maret 2007 diadakanlah rapat koordinasi yang melibatkan pemprov NAD dan Sumatera Utara, BRR NAD-Nias, Pemkab Nias dan Nias Selatan serta Bappenas untuk menyusun rencana aksi rehabilitasi dan rekostruksi wialayah dan kehidupan masyarakat Nias. Dalam tim ini peran Bappenas hanya sebatas koordinator, fasilitator dan penyusun. Rencana Aksi ini memperhatikan acuan menganai RPJM Pemkab Nias dan Nias Selatan serta Rencana Kerja BRR 2007-2008. Selanjutnya rencana aksi ini akan dijadikan acuan dalam pemulihan kehidupan Nias 2007-2011.

20

Kepala Biro Mitigasi Bencana Bakornas PBP Sugeng Tri Utomo, mengakui, Bakornas PBP tidak mampu menanggulangi bencana di Aceh mengingat skala dampak kerusakannya yang sangat luas dan multidimensi. Menurut Sugeng, yang perlu adalah penguatan lembaga. Sugeng berharap Bakornas hendaknya berfungsi seperti Bappenas, yaitu mempunyai wewenang menyusun anggaran. "Selama ini tidak ada perencanaan anggaran dari pencegahan hingga penanggulangan. Anggaran ada di Depsos, Depkes, dan Dep PU. Mekanisme kontrol bukan oleh Bakornas, tetapi pada menteri masing-masing," urainya. Dia juga berharap bahwa Bakornas juga dapat menjalankan fungsi

pengendalian kegiatan atau program yang terkait dengan: (1) Pemantauan dan Pengendalian Pelaksanaan Rehabiliasi dan Rekonstruksi di wilayah Aceh dan Nias Sumatera Utara (P3RIRRWANS) serta Early Recovery Assistance di wilayah D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah; (2) Pengarusutamaan pengurangan risiko bencana, dan; (3) kegiatan penilaian dampak kerusakan dan kerugian daerah bencana lainnya.

Hal yang harus diingat adalah: bencana alam berskala besar membutuhkan sebuah keahlian perencanaan multi bidang keilmuan, proses perencanaan dan penganggaran yang dilakukan secara simultan serta koordinasi lintas sektor dan level pemerintahan. Sampai sejauh ini: posisi Bappenas berada di atas Bakornas PB dalam hal pengendalian bencana alam.

4.3.3. Anggaran untuk penanggulangan bencana alam

Persoalan mengenai anggaran bencana alam yang meningkat drastis pernah terjadi di tahun 2006. Saat itu DPR dan Pemerintah sepakat untuk menambah anggaran dari Rp 500 milliar menjadi Rp 2.5 triliun. Permasalahan yang muncul adalah: karena sifatnya yang ad-hoc maka dana untuk bencana alam juga memerlukan fleksibilitas yang tinggi dari pemerintah dan DPR. Selain itu, sifatnya yang tidak terprediksi dari awal menjadikan banyaknya pemburu rente yang berusaha mencari kucuran dana atas nama “anggaran bencana alam” ke daerahnya masing-masing. Dulu fungsi mengatur pos APBN ini berada di tangan Bappenas. Kini, justru saat domain anggaran bencana alam (yang termasuk dalam anggaran pembangunan pada era-Soeharto) belum jelas dan masih kabur payung hukumnya, potensi ini diambil alih oleh DPR.

Kasus percaloan dana bencana alam juga bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2006, beberapa nama anggota DPR ditenggarai menjadi ‘pendamping’ permohonan permintaan dana. Hal yang sama berulang terus setiap tahunnya. Misalkan, saat Rapat Dengar Pendapat antara Depkeu-Panitia Anggaran pada tahun ini, yang terjadi adalah presentasi anggota DPR atas bencana alam yang terjadi di daerah pemilihannya agar bisa mempengaruhi keputusan pemerintah maupun anggota DPR yang lain (menurut sumber kami di DPR).

Bencana yang datang bertubi-tubi menciptakan permasalahan baru dalam bidang anggaran pemerintah: (1) proses pembahasan anggaran alokasi respon bencana alam harusnya tidak dibahas berlarut-larut seperti pembahasan satuan kerja pemerintah lainnya, karena sifatnya yang tidak dapat disusun secara rinci (kecuali proyek untuk rekonstruksi pada tahun sesudahnya); (2) skema pencairan dana yang dibutuhkan tidak berlarut-larut; (3) dana cadangan untuk bencana bisa saja jumlahnya terlalu kecil

dan tidak cukup untuk merespon, walau demikian dari tahun ke tahun dana bencana ini jumlahnya makin besar21.

Keruwetan pembiayaan anggaran untuk bencana secara cepat juga dapat didapat dari pelaksanaan hibah dan pinjaman. Kebijakan tentang hibah dan pinjaman asing berhubungan dengan kewenangan Bappenas, Departemen Keuangan serta Departemen Luar Negeri. Secara khusus, Bappenas dan Departemen Keuangan memiliki kewenangan untuk mengatur proporsi anggaran yang diperoleh dari pinjaman dan hibah, yang nantinya akan masuk pada RKA K/L. Skema pinjaman dan hibah luar negeri ke daerah bisa saja dilakukan asal melalui pemerintah pusat.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah. Pasal 46 ayat (1): Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD. Ayat (2): Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa ditetapkan oleh Presiden.

4.3.4. Rangkuman Analisis

Penanganan bencana alam di Indonesia dapat disimpulkan dalam beberapa point di bawah:

• Kebijakan mengenai perencanaan pembangunan dan tindak rehabilitasi pasca bencana belum disusun secara strategis. Tidak adanya kapabililitas lembaga yang secara langsung terkait dengan bencana (Bakonas PB) dalam penyusunan rencana induk pembangunan daerah pasca bencana. Perencanaan dan tindak lanjut pasca bencana terbukti sangat lamban karena masih memiliki ketergantungan yang besar pada birokrasi. Maka, dibutuhkan lembaga/badan yang bisa memfasilitasi koordinasi dan pertentangan kepentingan antar departemen. Bappenas terbukti sanggup. Peran Bappenas telah teruji sebagai badan perencana sekaligus pengawas konsistensi rencana pembangunan pasca bencana, ini dapat dilihat pada output dari P3B.

• Peran Bappenas dalam penanganan bencana mencakup perencanaan lintas sektor dan koordinasi. Adanya Bappenas sangat membantu arah pelaksanaan rekonstruksi, karena memberikan guideline bagi institusi lembaga lain yang

terlibat. Sinkronisasi tersebut justru tidak terlihat pada bencana yang tidak diklasifikasikan sebagai bencana alam nasional. Sebagai catatan, peran Bappenas sebagai lembaga hanya akan dilibatkan secara formal pada bencana alam berskala nasional.

• Penyusunan masterplan oleh Bappenas merupakan kebijakan yang strategis, namun kebijakan pemerintah untuk terus membiarkan Bappenas terlibat secara aktif dalam penanggulangan bencana bukan hal yang strategis. Kinerja Bappenas yang sudah teruji tersebut merupakan dapat saja dipertahankan karena secara best practice badan ini memiliki keahlian dan juga daya dukung yang cepat (robust).

• Dalam perencanaan pembangunan pasca bencana, Bappenas memiliki kemampuan jaringan dan partisipasi yang lebih baik. Pertama, karena sudah adanya Bappeda di tiap-tiap daerah; yang kedua, Bappenas (hanya sebagai pendukung) dan Departemen Keuangan memiliki kewenangan untuk mengatur administrasi dan perencanaan hibah/pinjaman dari pihak di luar pemerintah RI.

• Valuasi kerugian atas bencana alam berskala besar telah dilakukan beberapa kali oleh Bappenas. Ini mengindikasikan adanya kemampuan Bappenas, serta pengatahuan Bappenas tentang unit damage yang ditimbulkan oleh bencana. Pengetahuan dan data informasi ini dapat dijadikan filter bagi adanya perencanaan dan kebutuhan anggaran pasca bencana. Hal ini sedikit sulit, karena kewenangan Bappenas untuk persetujuan anggaran (termasuk dana bencana alam) jauh lebih kecil dari Departemen Keuangan dan DPR. Jadi, Bappenas diberikan kesempatan untuk perencanaan tanpa terlibat secara langsung pada proses persiapan anggaran (lebih banyak pada Depkeu, DPR maupun lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah). Ada potensi dikeluarkannya dana anggaran yang tidak sesuai dengan rencana semula. Seharusnya, Bappenas dapat juga dipercaya dalam menyusun atau paling tidak berkontribusi dalam dokumen kebutuhan anggaran.

• Proses penganggaran pada penanganan bencana alam tidak dipersiapkan dengan baik dan simpang siur, jadi lebih bersifat spontan melihat kebutuhan.

Pengalaman keterlibatan Bappenas dalam penanggulanan bencana alam dan berbagai kelemahan proses kebijakan pasca bencana alam, memberikan rekomendasi 2 skenario besar Pertama, Bappenas tetap dilibatkan dalam penanganan bencana dengan penguatan aspek regulasi dan kewenangan lebih besar untuk melaksanakan rencana induk (best practice yang ada). Kedua, peran Bappenas dibatasi, namun hal ini harus ditanggapi oleh pemerintah dalam penguatan kelembagaan lain. Menurut UU No 24/2007, peran Bakornas PB direncanakan diperkuat namun pengalaman dan keahlian Bappenas dapat saja ditransfer dengan mengadakan pelatihan. Kedua

skenario tersebut tetap harus didukung dengan regulasi dan panduan (white paper) pemerintah tentang langkah-langkah terstruktur dan jelas penanganan pasca bencana mulai dari perencanaan, implementasi, anggaran hingga evaluasi..

4.4. Monitoring and evaluation atas pembangunan dan penggunaan