• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian II : Studi Kasus

4 Evaluasi Proses Kebijakan

4.2. Evaluasi Proses Kebijakan Fiskal

• Proses kebijakan fiskal pada akhirnya sangat bergantung pada kalkulasi budgeting, dan seringkali melupakan substansi mengenai bagaimana memenuhi dasar-dasar program pemerintah yang dijanjikan kepada masyarakat, tentu saja yang berkaitan dengan visi dan misi yang dibawa pada kepemimpinan sebuah pemerintahan. • Departemen Keuangan seperti tidak mempunyai kapasitas bagaimana menjadikan

program-program pemerintah yang ada dengan mengurutkan pada suatu daftar prioritas yang jelas. Hal ini juga terkait dengan kekuasaan DPR yang sangat besar dalam hal penganggaran.

• Ruang kebijakan fiskal menjadi terlalu sempit sehingga kebijakan dalam anggaran yang diambil lebih terlihat pada proses pengalihan dana dari satu post untuk memenuhi post lainnya yang mengalami kekurangan.

• Kebijakan fiskal defisit rendah menjadi suatu kebijakan yang kaku, semestinya kebijakan fiskal defisit dapat menjadi fleksibel dengan melihat kondisi perekonomian yang ada. Dengan demikian, kebijakan fiskal dapat menjadi lebih responsif terhadap seberapa besar pencapaian pertumbuhan ekonomi yang diinginkan.

• Kebijakan fiskal yang terlalu terkait dengan periode anggaran seringkali mengakibatkan sulitnya pelaksanaan proyek pembangunan yang sifatnya multiyears, sehingga proses untuk menjaga program tersebut secara kontinu dan simultan menjadi terhambat. Hal ini dikarenakan setiap periode anggaran mesti memasuki sistem administrasi anggaran yang membutuhkan waktu cukup lama. • Koordinasi lintas departemen atau kementerian yang berkaitan dengan kebijakan

fiskal kurang baik, terutama dalam penyamaan perspektif mengenai pencapaian kebijakan yang telah direncanakan.

• Hubungan antar kementerian dan departemen dalam hal kebijakan fiskal menjadi lebih dititikberatkan pada hal yang berkaitan dengan tarik-ulur kebijakan pemenuhan anggaran departemen atau kementerian. Dengan ini, hal yang bersifat

substansi mengenai bagaimana proses kebijakan disusun dan dikonsultasikan kepada publik menjadi kurang maksimal.

• Siklus dan jadwal penyusunan dan pembahasan anggaran terlihat sangat ketat dan rigid (kaku), sehingga proses penyusunan kebijakan fiskal yang lebih peka terhadap kondisi perekonomian, terutama terkait dengan pengaruh keadaan eksternal perekonomian menjadi kurang optimal.

• Perubahan dalam proses penganggaran yang selama ini berlaku dinilai kurang mampu mengkaitkan antar berbagai kebijakan, perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaannya.

• Penganggaran yang berhorizon satu tahun, mengakibatkan sulitnya pelaksanaan program pemerintah yang membutuhkan periode waktu panjang dalam pelaksanaan dan dalam pencapaian hasilnya.

• Penganggaran yang terjadi saat ini terlalu berdasarkan masukan (inputs), dan terpisahnya penyusunan anggaran rutin dan anggaran pembangunan sehingga kebijakan menjadi kurang komprehensif dan holistik.

• Di lain pihak, perencanaan dan proses penganggaran APBN yang baru pada jajaran pemerintah, khususnya Depkeu yang terlibat dan Panitia Anggaran DPR praktis harus bekerja hampir sepanjang tahun, mulai Maret hingga Oktober, untuk membahas dan mengesahkan APBN. Pada sisi bagaimana implementasi kebijakan harus menghadapi sisa waktu yang sempit menuju tahap pertanggungjawaban penggunaan anggaran.

• Mekanisme birokrasi kepemerintahan di tingkat eksekutif dan jadwal serta tata tertib persidangan di DPR sering tidak sejalan.

• Persetujuan DPR atas APBN sampai ke jenis belanja, organisasi, dan fungsi memang bertujuan baik dan ideal untuk disiplin anggaran. Namun, sering kali menyulitkan kedua belah pihak karena kedalaman materi dan terkadang waktu yang mendesak sering kali memerlukan kompromi- kompromi.

• Ketergantungan eksekutif sebagai perencana dan pelaksana anggaran dengan legislatif sebagai pemegang kendali budget menjadi sangat tinggi sehingga mengurangi fleksibilitas eksekutif dalam kebijakan fiskal.

• Pada pihak eksekutif, khususnya departemen dan lembaga pengguna anggaran yang saat ini belum terbiasa dengan disiplin anggaran, cenderung resisten dengan sistem yang mengharuskan akuntabilitas tinggi. Akibatnya keterlambatan pencairan terjadi dan program pembangunan menjadi terbengkalai.

• Keterlambatan pencairan anggaran hingga kini masih terjadi akibat terdapatnya beberapa kasus tumpang tindih pekerjaan penyusunan dan verifikasi DIPA dan RKAKL di Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK) dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Depkeu.

• Dalam tahap perencanaan anggaran, reformasi yang dilakukan adalah perubahan anggaran dual budgeting system (DBS) menjadi unified budgeting system (UBS). DBS yang selama ini dikenal adalah berupa pemisahan antara belanja rutin dan belanja pembangunan masih belum menunjukkan keefektifannya.

• Pada sistem UBS (penganggaran terpadu) dengan penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintah dengan prinsip efisiensi alokasi dana, masih terlihat belum maksimal.

• Dengan adanya perubahan dalam siklus perencanaan, reformasi di bidang keuangan negara juga berdampak terhadap siklus ketiga dari APBN, yaitu pelaksanaan anggaran. Dalam hal ini, Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pengguna anggaran harus menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja yang berada dalam tanggung jawabnya. Hal ini tidak didukung oleh kemampuan sumber daya manusia yang mampu dengan baik melaksanakannya terutama ketika berbicara pada pemerintahan di tingkat daerah. • Penerapan kinerja reformasi di bidang penganggaran yang merupakan bagian dari

upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara bertujuan mengurangi tingkat kebocoran keuangan negara. Namun hasilnya sekarang ini belum dapat dirasakan. Hal ini terjadi justru sebaliknya, yaitu semakin banyaknya resistensi. Banyak kegiatan yang terlambat bahkan mandek karena prosedurnya sangat ketat, dan juga pengawasannya yang berlapis.

• Sistem pengawasan yang berlapis berujung pada dokumen DIPA yang harus diverifikasi kembali sebelum pencairan dana. Keluhan dan bahkan keengganan untuk menjadi pimpinan proyek karena tanggung jawabnya besar dan risiko juga besar menjadi semakin menyeruak.

• Pada satu sisi, sistem anggaran dengan pengawasan ketat bertujuan untuk mengurangi KKN, di mana ruang untuk ”memainkan” anggaran dibuat semakin sempit. Namun di sisi lain, kekuasaan anggaran juga terkesan menjadi melebar sampai ke tangan legislatif. Ini mengakibatkan terjadi rekayasa dalam masalah tender, yaitu banyak urusan-urusan pencairan anggaran yang terkadang harus dilakukan dengan proses negosiasi.