• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kantor Kepresidenan mempuyai peran penting dalam memegang kendali kebijakan Pemerintah secara keseluruhan terlebih lagi dalam alam di mana lingkungan kebijakan berubah dengan cepat dan seringkali perubahan tersebut tidak terduga. Tidak mengherankan bila edalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir ini, hampir semua negara demokrasi yang besar telah melakukan serangkaian perubahan dan penguatan kantor kepala eksekutif Pemerintah sebagai central policy hub.

Pengalaman di beberapa negara memperlihatkan upaya yang sangat serius dalam melakukan kegiatan lintas sektoral, reformasi birokrasi dan peningkatan kemampuan kontrol dan koordinasi dari kantor kepala eksekutif Pemerintah. Sebagai contoh, Kantor Presiden AS dewasa ini memiliki sekitar 3,000 orang staf yang bekerja penuh waktu dalam proses kebijakan, di Kantor PM Inggris, sekitar 1,000 orang, di Kantor PM Australia dan Kanselir Jerman, sekitar 600-800 orang. Jumlah ini belum termasuk ribuan penasehat dan konsultan yang bekerja paruh waktu.

Melihat keadaan ini, Kantor Presiden Indonesia masih terlalu sederhana, sangat bersifat administratif dan tidak menunjukkan bobot kebijakan yang berarti. Keadaannya tetap serupa meskipun bila seluruh staf Menko diperhitungkan sebagai bagian dari Kantor Kepresidenan.

Beberapa pengamatan menunjukkan:

Setneg dan Setkab

• Baik Setneg maupun Setkab sebagian besar memiliki fungsi teknis, administratif dan protokol. Fungsi kebijakan hanya terbatas kepada monitoring dan evaluasi atas kebijakan menurut sektor dengan kapasitas yang terbatas pula karena sumberdaya manusia dan anggaran yang terbatas. Sama sekali tidak ada

monitoring dan evaluasi dalam hal kebijakan lintas sektor. Juga tidak tampak adanya proses screening dan pengecekan kebijakan sebelum suatu kebijakan tertentu dimasukkan ke dalam agenda kabinet.

• Memiliki beberapa fungsi yang tumpang tindih antara Setneg dan Setkab bila dilihat dari struktur dan fungsi dari beberapa bagiannya. Setkab seharusnya memegang peran kunci dalam memimpin proses kebijakan, mengarahkan agenda kabinet. Hal ini tidak tercermin dari fungsi dan tugas nya yang lebih bersifat teknis dan administratif, monitoring dan evaluasi, bukan berpartisipasi dalam perumusan kebijakan. Dengan demikian, Setkab belum berfungsi sebagai central policy hub sebagaimana dijumpai di banyak negara-negara demokrasi yang besar.

• Kantor Wapres terlihat tidak terintegrasi dengan Kantor Presiden. Setwapres di beberapa negara seperti Amerika Serikat menggunakan sumber daya yang ada pada kantor kepresidenan. Selain untuk efisiensi, juga agar informasi dan prioritas mengenai sebuah permasalahan tidak berbeda sehingga memudahkan koordinasi antara Presiden dengan Wakil Presiden dalam proses pembuatan kebijakan. Pembagian tugas antara Presiden dan Wakil Presiden memungkinkan untuk dilakukan tetapi tetap menggunakan sumber daya yang ada di Kantor Kepresidenan dan tetap bertanggung jawab terhadap Presiden.

Kantor Wapres

• Susunan Deputi Setwapres terlihat seperti struktur Menko, cenderung sektoral, tidak mencerminkan koordinasi strategik seperti yang seharusnya terjadi, sehingga belum dapat memenuhi fungsi tugas yang bersifat lintas-sektoral.

• Hanya terdiri dari 3 pejabat dan tidak didukung oleh suatu kesekretariatan yang profesional sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

UKP3ER

• Perannya yang dianggap tumpang tindih setelah Dewan Pertimbangan Presiden dibentuk. Peran UKP3ER menjadi tidak jelas, apakah sebagai penasihat atau trouble shooter? Bilamana UKP3ER adalah semacam delivery unit seperti di

Australia, maka seharusnya UKP3ER ini memiliki wewenang koordinasi dalam kebijakan-kebijakan dan program-program tertentu yang bersifat strategik dan lintas sektor. UKP3R tidak memiliki kewenangan mencampuri kerja dan koordinasi antar menteri. Unit ini merupakan unit kerja biasa yang berada di bawah kantor presiden. (www.bpkp.go.id).

• Unit kerja ini belum dapat melakukan apa-apa, Presiden belum bertemu lagi dengan UKP3R sehingga mereka belum tahu apa yang harus dikerjakan. (Sinar Harapan 10 Februari 2007). Praktis yang selama ini dikerjakan hanya sebatas menyusun organisasi dan susunan anggaran. Hingga kini pertemuan rutin antara UKP3R dengan Presiden juga belum dilakukan.

• Besarnya anggaran yang diambil dari APBN belum dapat ditentukan karena besarnya anggaran juga ditentukan oleh pekerjaannya. Sedangkan seperti disebutkan sebelumnya bahwa pekerjaan unit itu sendiri masih belum jelas.

• Tidak didukung oleh suatu kesekretariatan yang profesional untuk dapat mendukung kinerja nya, seperti misalnya melakukan riset kebijakan mengenai permasalahan yang ada dan bagaimana kebijakan yang harus diambil di antara beberapa pilihan kebijakan sebagai bahan masukan kepada Presiden. Sebagai perbandingan di negara maju, pembuatan kebijakan didokong oleh analis kebijakan dalam jumlah besar dan bekerja penuh.

Dewan Pertimbangan Presiden

• Wantimpres selama ini jarang bertemu dengan Presiden.

6.2 Kementrian Koordinator

Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia ini yang memiliki lembaga Kementrian Koordinator. Sebagian besar dari fungsi Kantor Kepresidenan dilimpahkan ke kantor-kantor ini. Oleh karena itu, dilihat dari fungsi dan tugasnya, Kementrian Koordinator seharusnya berperan sangat penting dalam memimpin proses kebijakan.

• Kapasitas Menko dalam melakukan tugas nya sangat terbatas karena jumlah staf dan anggaran yang terbatas. Setiap Menko hanya memiliki sekitar 50 orang staf yang bekerja dalam proses kebijakan.

• Setiap Kementrian Koordinator disusun untuk membayangi departemen-departemen dan bukan berdasarkan kelompok masalah strategik lintas sektor.

• Kewenangan kementrian koordinator yang lemah, hanya untuk koordinasi antar departemen akan tetapi wewenang tetap berada di masing-masing departemen. Jika memang ada koordinasi antar departemen, anggarannya masih terpisah dan cenderung jalan sendiri-sendiri karena tidak dibentuk sebuah badan lintas sektoral yang memang khusus menangani sebuah kebijakan lintas sektoral.

• Belum diatur bagaimana proses kebijakan yang melibatkan departemen-departemen yang bernaung di bawah kementrian koordinator yang berbeda. Misalnya masalah kesempatan kerja yang melibatkan koordinasi lintas sektor. Begitu pula halnya dengan dalam kebijakan ekonomi yantg seringkali memiliki implikasi di bidang politik dan keamanan.

6.3 BAPPENAS

Secara potensial, BAPPENAS adalah satu-satunya lembaga pemerintahan yang memiliki kemampuan untuk menjadi lembaga perumus dan monitoring dan evaluasi kebijakan lintas sektor. Beberapa jabatan di BAPPENAS sudah disusun secara tematik seperti Deputi Bidang Regional, SDA dan Lingikungan Hidup, Kemiskinan, Ketenaga-kerjaan dan UKM. Namun demikian, peran BAPPENAS dalam perumusan kebijakan lintas sektor selama ini masih terbatas. Begitu pula dengan studi masalah-masalah kebijakan lintas sektor yang telah mulai dilakukan seperti tentang penaggulangan kemiskinan, pengurangan subsidi bahan bakar dan lain-lain.

Beberapa pengamatan sementara menunjukkan:

masalah strategik yang penting seperti trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan, globalisasi dan ketimpangan, respon kebijakan terhadap munculnya kekuatan Cina dan India, respon kebijakan terhadap integrasi regional di Asia Timur dan implikasinya terhadap perkembangan ekonomi, politik dan keamanan, dan lain-lain. Kemungkinan besar hal ini karena tugas dan wewenang BAPPENAS belum diarahkan ke perumusan kebijakan strategik. Perlu dicatat bahwa di Bangladesh telah terjadi perubahan misi badan perencana dan planning commission di sana telah beganti nama menjadi policy commission.

• Staf BAPPENAS masih dibebani dengan tugas-tugas perencanaan yang rinci meskipun tugas nya telah berubah, lebih mengarah kepada perencanaan program dan perumusan strategi. Namun karena kapasitas Depkeu yang terbatas dalam mengevaluasi perencanaan proyek, BAPPENAS masih dilibatkan dalam kegiatan ini (meskipun tanpa wewenang anggaran) termasuk mendampingi Depkeu dan departemen-departemen teknis lainnya dalam pembicaraan anggaran secara rinci di DPR. Keterlibatan ini tidak terbatas kepada perencanaan program akan tetapi sampai ke tingkat proyek-proyek. Akibatnya, waktu yang tersedia untuk melakukan pemikiran kebijakan strategik menjadi terbatas.

• Dengan wewenang Depkeu dalam menyusun MTEF, beberapa fungsi di BAPPENAS seperti perencanaan makro, keuangan negara, jasa keuangan dan analisis moneter menjadi tidak relevan.

BAB VII

LANGKAH-LANGKAH KE DEPAN

Tidak seperti biasanya, bab terakhir ini tidak akan merangkum uraian dalam bab-bab terdahulu. Di samping uraian di atas cukup jelas dan singkat, juga sifatnya masih merupakan kesimpulan sementara untuk dijadikan hipotesa kerja dalam tahap berikutnya. Tujuan utama dari laporan ini adalah untuk menimbulkan kesadaran bahwa masalah proses kebijakan sangat penting bagi proses konsolidasi demokrasi, pembangunan ekonomi, sosial dan politik. Hal ini terutama berlaku bagi proses kebijakan strategik dan lintas sektor. Juga kesadaran bahwa masalah nya cukup banyak, seringkali kontroversial sehingga pemecahannya memerlukan partisipasi penuh dari para pemangku kepentingan.

Lebih daripada itu, pendekatan silo dalam proses kebijakan cenderung tidak mendukung governance yang efisien dan efektif, bahkan dampak negatif berupa “ego sektoral” semakin menjadi-jadi. Sementara itu, di pihak lain masalah-masalah penting kebijakan menjadi semakin complex dan complicated11 yang memerlukan pendekatan yang inklusiv dan terintegrasi.12

11 Meminjam istilah yang dikemukakan oleh Prof. Mustopadidjaja dalam salah satu rangkaian Dalam pada itu, dewasa ini hampir tidak ada kajian yang membahas proses kebijakan di Indonesia. Dokumen-dokumen seminar yang disponsori oleh Menkopolhukam dan BAPPENAS pada akhir Nopemer 2005 di hotel Nikko, Jakarta merupakan rangkuman pertama yang membahas masalah ini. Asesmen cepat ini merupakan kelanjutan dari seminar tersebut.

Di masa depan, kegiatan sebaiknya diarahkan ke masalah-masalah utama dalam proses kebijakan sebagai berikut.

7.1 Perubahan lingkungan kebijakan

Penulisan serangkaian studi yang mencoba mengidentifikasi kecenderungan pergeseran prioritas kebijakan publik dalam konteks nasional dan internasional seperti masalah lingkungan dan perubahan iklim, globalisasi dan ketimpangan, governance dan perubahan sistem politik, desentralisasi dan pelayanan masyarakat, konflik etnik dan agama, kesepakatan regional dan mata uang regional dan lain lain.

Semua masalah tersebut di atas memiliki implikasi terhadap perumusan prioritas pembangunan dan kerangka kelembagaan. Banyak sekali masalah-masalah baru yang muncul bersifat lintas sektor, wicked problems yang sukar dipecahkan, dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan tehnokratik. Dalam konteks ini maka pendekatan proses kebijakan yang inklusif dan terintegrasi menjadi penting. Oleh karena itu pula, studi yang mendalam tentang pengalaman negara-negara maju dalam hal-hal ini menjadi penting sebagai bahan referensi.

7.2 Respon lembaga-lembaga kebijakan terhadap perubahan lingkungan