• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian II : Studi Kasus

4. Analisis studi kasus proses kebijakan perencanaan dan anggaran

4.4. Monitoring and evaluation atas pembangunan dan

4.4.1 “Ledakan Audit”

Indonesia kini sedang berada dalam periode “ledakan audit”. Meminjam istilah Michael Power (The Audit Exploison, 1994) yang mengomentari perkembangan audit manajemen dan finansial dan Inggris dan negara industri lainnya. Dia menyatakan bahwa kita (dalam konteks negara industri dekade 1990-an) tengah berada dalam “ledakan audit”, padahal terdapat keraguan bahwa teknik audit, seperti: lingkaran kualitas, nilai uang, sistem penilaian dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas. Menurut Power, bukti paling signifikan yang ditimbulkan dari ledakan ini adalah cara teknik ini meningkatkan kemampuan kebijakan dan kontrol manajemen. Jadi pelaksanaan audit yang menggejala di Indonesia belum tentu menciptakan efisiensi dan kualitas pelaksanaaan pembangunan dan anggaran yang digunakan. Namun, paling tidak ada ruang kontrol kebijakan yang lebih besar yang membatasi pelaksanaan kebijakan secara sembrono dan tidak bertanggung jawab.

Kemajuan bagi proses audit pemerintah di Indonesia, juga menciptakan permasalahan baru, yakni tentang: ketakutan ”indikasi korupsi” bagi pelaksana proyek. Dokumen anggaran yang rinci, pencantuman tim pelaksana proyek dan juga proses pengadaan barang/jasa yang lebih transparan membuat adanya ”keseganan” bagi calon pelaksana proyek di pemerintah daerah maupun kementerian/lembaga. Sikap tersebut bukan berarti adanya kebiasaan untuk korupsi yang kini dipersulit, namun lebih penting lagi adalah shock yang terjadi dalam proses evaluasi pelaksanaan proyek dan anggaran. Shock ini dapat dilihat dari: (a) ketidak tahuan mengenai sistem dan proses pelaksanaan proyek yang baru; (b) kapasitas pengetahuan yang lemah di berbagai lini pemerintahan; (c) audit kegiatan pemerintah masih dilaksanakan secara simpang siur karena tumpang tindihnya kewenangan auditor internal-eksternal pemerintah. Lebih lanjut lagi, belum ada sosialisasi terpadu tentang batasan dan rambu ”apa yang boleh dan tidak boleh” dalam pelaksanaan pembangunan dan anggaran.

Sumber: Public Expenditure Review, Indonesia. World Bank, 2007

Saat ini terdapat tumpang tindih pada peran dan tanggung jawab lembaga audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal, serta Badan Pengawas Daerah (Bawasda) provinsi dan kabupaten. Di samping tumpang tindih dan membingungkannya peran serta tanggung jawab lembaga-lembaga itu, kerangka hukum fungsi audit pemerintah juga tidak jelas.

Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa Presiden (Kepala Pemerintahan) memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah. Pengelolaan keuangan negara itu dikuasakan kepada menteri atau pemimpin lembaga yang menggunakan anggaran negara serta kepada kepala pemerintahan daerah. Akan tetapi, UU tidak menegaskan pemberian kewenangan kepada Presiden, untuk mengawasi pengelolaan keuangan negara melalui auditor internal pemerintahan. Presiden pada hakikatnya, harus mempertanggung-jawabkan pengelolaan keuangan negara itu kepada rakyat yang memilihnya. Pada sidang paripurna kabinet 28 Maret 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan perlunya pejabat pemerintah pusat maupun daerah berkonsultasi dan memanfaatkan BPKP dalam menjalankan tugas pengelolaan keuangan dan pembangunan. Presiden juga menyatakan, BPKP seharusnya menjadi auditor yang mampu membantu Presiden menjalankan manajemen pemerintahan. Salah satu tugasnya adalah mengawal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sejak perencanaan, pengelolaan kegiatan, realisasi pelaksanaan kegiatan, hingga penanganan indikasi penyimpangan.

Auditor internal pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden hanyalah BPKP. Badan ini berkompetensi mengawasi keuangan dan pembangunan,

mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. BPKP yang kini dapat melakukan pemeriksaan internal dengan lembaga lain (misalkan Inspektur Jenderal pada tiap kementerian) memerlukan koordinasi dan perumusan wilayah wewenang yang lebih baik dan pasti. Badan ini dibentuk pada tahun 1983 dan telah berkali-kali menerima mandat yang berbeda lewat Keputusan Presiden. Kini, mandatnya semakin tidak jelas; dapat membantu Itjen, mengadakan pelatihan bagi pemerintah daerah, dan sebagainya (World Bank, 2007).

Di sisi lain, BPK berkompeten memeriksa pertanggungjawaban keuangan negara. Sebagai auditor eksternal, BPK menyampaikan laporan hasil pemeriksaannya kepada DPR. Hubungan ini dapat diartikan bahwa DPR secara tidak langsung meminta akuntabilitas dari BPK untuk memacu audit yang bermutu dan efektif. BPK memiliki kewenangan untuk menolak memberikan pernyataan opini akuntan (disclaimer) jika laporan keuangan pemerintah dinilainya jeblok. Di samping itu, hanya laporan BPK yang diteliti oleh pejabat serta tersedia untuk umum. Laporan BPK kepada DPR sendiri dinilai terlalu general dan kurang memiliki karakteristik laporan audit. Selain itu, perlu penguatan kapasitas DPR sebagai lembaga beserta anggota-anggotanya agar dapat menganalisa laporan keuangan yang diberikan leh BPK. Sayangnya mandat baru yang diterima oleh BPK, tidak disertai oleh jumlah staf yang ada di lembaga ini. Padahal, BPKP justru memiliki staf yang jauh lebih banyak dengan distribusi kantor yang lebih banyak dari pada BPK.

BPK sebaiknya memulai audit pengadaan barang dari Depkeu dan Bappenas, bukan dari departemen teknis. Kondisi itu disebabkan karena seluruh rencana program dan proyek yang disusun departemen teknis akan diverifikasi oleh Depkeu dan Bappenas. Proyek yang dinilai layak untuk dibiayai oleh APBN akan diajukan ke DPR dengan salah satu sumber pembiayaannya dari pinjaman luar negeri. Dengan kondisi tersebut, hanya Depkeu dan Bappenas yang menjadi penyaring kelayakan proyek. Mereka yang tahu, apakah anggaran proyek itu masuk akal atau tidak rasional, sehingga seharusnya BPK memperkuat auditnya di Depkeu dan Bappenas terlebih dahulu.

4.4.2. Mismatch antara perencanaan dan implementasi

Kelemahan lain dari UU Keuangan Negara tidak mengamanatkan adanya fungsi sinkronisasi dan koordinasi di dalam sistem pemerintahan. Selain itu, dalam UU ini dinyatakan bahwa penyusunan prioritas anggaran hanya didasarkan pada kerangka

UU tersebut adalah menjadikan Depkeu sebagai lembaga super power karena otoritasnya luas, dari mulai penerimaan keuangan, pengalokasian, pengeluaran sampai pengevaluasian. Keadaan ini kurang sesuai dengan prinsip manajemen yang sehat, yaitu melemahnya mekanisme check and balance dan kurang memperhatikan prinsip rentang kendali.

Adanya sistem perencanaan dan keuangan negara yang baru, telah menyebabkan tingginya kebutuhan akan evaluasi pelaksanaan rencana kerja dan anggaran oleh masing-masing kementeian/lembaga. Oleh karena itu, Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pengguna anggaran menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja yang berada dalam tanggung jawabnya.

Saat ini, pemerintah daerah harus menyusun APBD sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Anggaran Berbasis Kinerja yang menuntut rencana anggaran secara detail (mengacu UU Keuangan Negara). Sebelum ada Permendagri itu, daerah masih diperkenankan menggunakan pos anggaran lain-lain atau dana taktis dalam APBD, sekarang dihapuskan. Dahulu, daerah diperbolehkan membuat pos anggaran yang abstrak atau bersifat gelondongan, misalnya hanya menyebut anggaran alat tulis kantor (ATK), sekarang anggaran ATK harus didetailkan. Menurut Sri Mulyani, penerapan anggaran berbasis kinerja di seluruh departemen dan lembaga non-departemen baru dapat dilaksanakan dalam jangka waktu 5 tahun (Kompas, 15 Juli 2006).

Proses pengadaan barang dan jasa (yang diandai belanja barang dan modal pada APBN) dapat dikatakan sebagai sumber daya pendukung proses pembangunan pada tahun anggaran bersangkutan. Pada pasal 48 Ayat 5 Keppres No 80/2003 dijelaskan, pengawasan atas proyek pengadaan barang dilakukan oleh unit pengawasan internal instansi pemerintah. Hasilnya dilaporkan kepada menteri atau pimpinan instansi bersangkutan dengan tembusan kepada Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Pasal 30 dari UU Keuangan Negara: (1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir; (2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.

Sebelum tahun anggaran berakhir sekitar bulan November, pemerintah dalam hal ini Menkeu membuat laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan melaporkannya dalam bentuk Rancangan Perhitungan Anggaran Negara (RUU PAN), yang paling lambat lima belas bulan setelah berakhirnya pelaksanaan APBN tahun anggaran bersangkutan. Laporan ini disusun atas dasar realisasi yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Apabila hasil pemeriksaan perhitungan dan pertanggungjawaban pelaksanaan yang dituangkan dalam RUU PAN disetujui oleh BPK, maka RUU PAN tersebut diajukan ke DPR guna mendapat pengesahan oleh DPR menjadi UU Perhitungan Anggaran Negara (UU PAN) tahun anggaran berkenaan.

Kerangka hukum dan peraturan untuk pengadaan publik telah mengalami peningkatan, tetapi kapasitas untuk melaksanakan pengadaan yang tepat waktu dan transparan belum memuaskan. Lembaga Pengembangan Kebijakan Pengadaan yang berada di bawah Bappenas tengah menyusun prosedur standar pengadaan yang akan berlaku di seluruh Indonesia, termasuk dokumen tender yang standar. Akan tetapi, kemampuan untuk melaksanakan hal ini di setiap tingkat pemerintahan masih sangat terbatas. Inisiatif percobaan untuk melakukan pengadaan lewat jaringan elektronik (e-procurement) sedang dikerjakan, tetapi peningkatan strategi dalam mendorong penggunaan e-procurement untuk meningkatkan transparansi pasar pada seluruh sistem pengadaan pemerintah belum dilaksanakan. Pengenalan terhadap pelatihan tingkat dasar dan program sertifikasi bagi para pelaku pengadaan merupakan inisiatif yang penting, tetapi kebanyakan pejabat publik tidak memiliki jalur karir atau insentif yang memadai untuk mampu memikul tanggung jawab pengadaan ini.

Kontrol terhadap proyek pengadaan barang sangat lemah karena hanya dilakukan lembaga pengawasan internal pemerintah. Berkaitan dengan ketentuan itu, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Baharuddin Aritonang mengatakan, aturan yang perlu dikaji ulang adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Dalam kajian itu, BPK perlu diberi ruang yang lebih luas untuk mengaudit proyek pengadaan barang dan jasa. Selama ini, katanya, BPK tidak bisa dengan mudah mengaudit pengadaan barang karena ada larangan dalam Keppres No 80/2003. Indonesia belum memiliki standar pengadaan barang, baik mekanisme maupun harga. Seharusnya, pemerintah menetapkan standar harga barang yang sudah memperhitungkan keuntungan wajar pelaksana proyek.

Alokasi sumber daya yang tidak berimbang ini dapat dilihat dari aspek pendanaan, sarana kerja, sumber daya manusia; misalkan saja: BPK hanya beroperasi di 16 provinsi (lebih sedikit dari pada BPKP).

• Evaluasi anggaran dan pembangunan masih dilakukan dalam kewenangan yang simpang siur. Pada masa Soeharto, lembaga-lembaga ini sudah ada, namun tidak berfungsi secara maksimal. Setelah masa post-Soeharto, belum ada pemerintahan yang secara tegas memberikan sebuah kerangka kerja yang luas yang menjelaskan posisi BPK, BPKP, Bawasda dan Irjen dalam pelaksanaan anggaran pemerintahan, baik pusat dan daerah. Walau begitu, tampak sekali bahwa ada upaya dari pemerintahan SBY untuk memperkuat institusi BPK.

• Tidak ada koordinasi evaluasi dan kontrol keuangan yang baik antara institusi 1 dengan yang lainnya. Ini menimbulkan potensi adanya kontrol dan audit yang berulang kali atas suatu program atau proyek pemerintah. Hal ini juga dikarenakan ketidakpercayaan tentang kualitas kinerja institusi lainnya.

• Anggaran berbasis kinerja belum dapat dilaksanakan dengan baik, karena institusi-institusi yang ada lebih memperhatikan kepatuhan anggaran semata namun jarang mengkaji dan evaluasi kinerja suatu program.

• Proses audit yang bernafaskan Good Corporate Governance, telah menciptakan sistem yang lebih bersih dan memperkecil kemungkinan adanya kebocoran ataupun korupsi pada anggaran. Di sisi lain, pelaksanaan berbagai program dan proyek pemerintah tersebut justru tidak memberikan output yang maksimal. Misalkan saja, akibat terpatok pada periode anggaran semata maka justru berbagai proram yang sifatnya tergantung musim/cuaca seperti reboisasi, pembangunan jalan, dan sebagainya tidak memiliki output yang maksimal.

• Perlunya sebuah keleluasaan kontrol, evaluasi dan audit terhadap Bappenas dan Departemen Keuangan. Kedua institusi ini adalah garda terdepan dalam proses perumusan perencanaan dan anggaran yang seringkali menjadi daya tarik tersendiri dalam praktik perburuan rente / KKN. Selain itu, negara juga perlu memberikan jaminan kedudukan yang sama untuk setiap anggota masyarakat di depan hukum, baik itu untuk angggota legislatif, yudikatif dan eksekutif. Negara juga perlu memfasilitasi kerjasama antara BPK dengan Badan Kehormatan DPR-RI, untuk mereduksi praktik percaloan yang ada dala, preoses penyusunan anggaran di DPR.

• Terjadi tumpang tindih area tugas lembaga audit internal dan eksternal pemerintahan, sehingga muncul ketidak jelasan mengenai status laporan evaluasi pelaksanaan anggaran. Kegiatan audit dan evaluasi menjadi terpecah-pecah serta lemah dalam hal koordinasinya.

• Kerangka hukum fungsi audit pemerintah maupun kelembagaan pendukungnya juga membingungkan. Adanya institusi baru, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sifatnya ad-hoc memang memberikan harapan baru adanya niat pemerintah untuk memberantas perilaku penyalahgunaan dana publik ataupun anggaran. Namun, di sisi lain kebijakan ini juga membuat kebingungan di kalangan masyarakat. Pemerintah perlu memberikan sosialisasi mengenai peran dan kewenangan institusi-institusi yang ada.

• Pengadaan barang dan jasa merupakan titik rawan yang dapat dimanfaatkan sebagai aktivitas KKN. Untuk itu, pemerintah sudah seharusnya merumuskan sistem yang jauh lebih baik, rapi secara administratif, on-line, dan akuntabel.