P e n g a n t a r R e d a k s i
Pembaca yang budiman,
Selamat bertemu kembali dengan Warta
Geologi (WG) edisi 2 tahun 2009. Seperti
edisi-edisi sebelumnya dalam WG ini para
pembaca akan menjumpai rubrik-rubrik
“Editorial”, “Geologi Populer”, “Lintasan
Geologi”, “Geo Fakta”, “Profil”, “Resensi
Buku Geologi”, “Layanan Geologi” dan
“Seputar Geologi”. Apa yang menjadi khas
dalam edisi ini adalah sumbangan tulisan
Kepala Badan Geologi dalam rubrik Geologi
Populer dengan topik alokasi ruang untuk
sektor pertambangan. Selain itu, untuk lebih
mengenal sosok dan buah pikir Kepala Badan
Geologi, redaksi menyajikan tulisan hasil
bincang-bincang dengan beliau pada rubrik
profil.
Editorial WG kali ini berisi ajakan untuk
menulis karya tulis ilmiah khususnya di
bidang kebumian. Fakta menunjukkan bahwa
kuantitas karya tulis ilmiah bangsa Indonesia
jauh lebih sedikit dibanding bangsa-bangsa
lain di dunia. Menurut Thomson Scientific
(sekarang bernama Thomson Reuters) jumlah
makalah ilmiah yang diterbitkan oleh peneliti
Indonesia pada tahun 2004 sebanyak 522
buah. Dengan jumlah itu di tingkat ASEAN,
Indonesia hanya menempati peringkat
keempat setelah Singapura (5721 makalah
ilmiah), Thailand (2397), dan Malaysia (1438).
Apabila para peneliti Indonesia mengasah
kemampuan mereka untuk menulis secara
teratur dan terus-menerus, kita harapkan
kuantitas dan kualitas makalah ilmiah kita
akan meningkat. Dengan cara demikianlah
seorang peneliti membangun bangsa ini.
Pembaca yang budiman,
Artikel
“Alokasi
Ruang
untuk
Sektor
Pertambangan” mengupas tata ruang,
masalah pertambangan dan regulasi yang
diperlukan. Dalam tulisannya ini, R. Sukhyar
menyatakan bahwa sektor pertambangan
merupakan sektor sangat penting dalam
pembangunan nasional. Sektor ini pada
tahun 2008 memberi kontribusi sebesar 30%
dari total APBN atau Rp 350 trilyun. Angka ini
sebagian besar berasal dari migas, selebihnya
dari pertambangan mineral dan batubara.
Oleh karena itu, sektor ini masih dianggap
tetap penting untuk menopang APBN
sebagai penggerak pembangunan
sektor-sektor lainnya. Namun, tidak jarang sektor-sektor
ini menghadapi kendala dalam perencanaan
ruang. Permasalahan utama kegiatan usaha
pertambangan dikaitkan dengan ruang
adalah konflik pemanfaatan ruang, yaitu
sumber daya di bawah permukaan tidak bisa
ditambang karena lahan di atas permukaan
sudah digunakan oleh sektor lain. Oleh karena
itu, diharapkan Undang-Undang Penataan
Ruang dapat menyediakan suatu metodologi
atau peraturan yang bisa menjembatani
pertambangan dengan sektor-sektor lainnya
yang lebih kasat mata di permukaan.
W a r t a G e o l o g i . J u n i 0 0 9
P e n g a n t a r R e d a k s i
keluar dari jaringan proses produksi listrik
menuju sumur injeksi. Hasil analisis terhadap
7 sampel di PLTP Dieng selain unsur-unsur
ikutan lainnya, diperoleh kadar emas 0,477
ppm, perak 3,14 ppm, dan merkuri 1,982
ppm. Dengan produksi endapan lumpur
silika pada kolam pengendapan di PLTP Dieng
perbulan sebesar 165 ton, maka dihasilkan
kandungan 78,7 gram emas per bulan.
Artikel “Endapan Nikel Laterit” merupakan
tulisan karya F. Agustin yang mengupas
endapan nikel laterit dari mulai genesa,
mineralogi, proses pembentukan, hingga
ke produksi. Penulis menyatakan bahwa
Indonesia menyumbang sekitar 12% suplai
nikel laterit untuk konsumsi dunia dan pada
tahun 2012 produksi nikel laterit dunia akan
meningkat sebesar menjadi 51%.
Artikel “Mengenal Erosi dan Longsor”
merupakan tulisan sumbangan Marenda
Ishak
S.
dari
Universitas
Padjadjaran
mengajak pembaca untuk mengenali potensi
bahaya erosi dan longsor secara dini berikut
cara mengatasinya. Untuk memperjelas
paparannya
penulis
mengambil
salah
satu kasus erosi dan longsor yang terjadi
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung,
Jawa Barat.
Dalam rubrik “Lintasan Geologi” dimuat
tulisan mengenai Gunung Banda Api di
Kepulauan Banda karya Igan S. Sutawidjaja.
Selain itu dua artikel dalam rubrik Geo Fakta
ikut menyemarakkan WG edisi ini. Joko
Parwata menyumbang tulisan mengenai
Charles Francis Richter, sedangkan Imtihanah
menulis mengenai Thomas Raffles.
Dalam rubrik “Profil”, Dr. R. Sukhyar
dalam perbincangannya dengan tim WG
menceritakan perjalanan hidup dan karirnya
sebagai seorang ahli bumi dan pejabat
struktural di DESDM. Beliau terlibat dalam
berbagai penyusunan kebijakan dan regulasi
dalam bidang pertambangan. Dalam
bincang-bincang itu pula beliau mengungkapkan
pemikirannya seputar wacana pembentukan
Badan Geologi Nasional.
Pembaca yang budiman,
Kami senantiasa mengundang para pembaca,
khususnya para peneliti dan pengamat bidang
geologi dari dalam maupun luar lingkungan
Badan Geologi untuk menulis di WG. Media
cetak yang memposisikan diri sebagai majalah
populer – ilmiah di bidang geologi ini sangat
tepat kiranya dijadikan ajang menulis dalam
bidang kebumian.
Kepada
para
penulis
yang
telah
menyumbangkan tulisannya di WG kali ini,
tak lupa kami dari redaksi mengucapkan
terima kasih atas kontribusinya.
Akhir kata, selamat menikmati Warta Geologi.
E d i t o r i a l
Turut Membangun Bangsa Melalui
Karya Tulis Ilmiah Kebumian
Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi ingin mengubah dunia. Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah. Oleh sebab itu cita-cita untuk mengubah dunia lebih kusederhanakan, aku ingin mengubah negeriku. Namun hasrat itu pun agaknya sulit diwujudkan. Ketika usiaku memasuki masa senja, dengan semangat yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku. Tetapi apa daya mereka pun enggan berubah.
Kini, di kala langkah demi langkah semakin mendekati ajal, tiba-tiba aku sadar: “Andaikan yang pertama aku ubah adalah diriku sendiri, boleh jadi aku akan menjadi panutan sehingga aku dapat mengubah keluargaku. Berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku. Dengan demikian siapa tahu, aku bahkan dapat mengubah dunia.”
Rangkaian kalimat tersebut di atas terukir pada salah satu makam di Wentminster Abbey, Inggris, 1100 M. Disadur dari publikasi Vitaniaga, 1999.
Hal yang hakiki atau mendasar yang ingin disampaikan melalui pesan tersebut adalah “mengasah diri untuk menjadi yang terbaik selagi ada waktu”. Seperti satu kata bijak yang berbunyi “aku tidur dan bermimpi bahwa hidup itu indah, aku bangun dan dapati bahwa hidup itu penuh tanggung jawab”. Ya, tanggung jawab, bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab.
Suatu hari seorang murid Sekolah Dasar dengan mata berbinar dan dada dipenuhi rasa bangga pulang ke rumah membawa selembar piagam penghargaan usai memenangi lomba cerdas cermat. Piagam tersebut kemudian diberi bingkai oleh ayahnya dan dipajang pada salah satu sudut kamarnya. Setiap kali si anak kehilangan semangat, sang ayah selalu mengingatkannya bahwa masih
banyak “piagam” yang menanti untuk diraih. Semangat si anak bangkit kembali untuk meraih prestasi dan berprestasi.
Seminar yang diselenggarakan oleh Jurnal Geologi Indonesia, Badan Geologi pada 22 Juni 2009 menampilkan dua belas pembicara yang mempresentasikan makalah mereka masing-masing. Mereka adalah orang-orang yang telah menelorkan karya yang terpilih. Mungkin Anda berpendapat bahwa makalah-makalah tersebut bukanlah yang terbaik, pendapat itu sah adanya. Tetapi yang pasti bahwa karya tersebut merupakan hasil suatu jerih payah dan kerja keras dalam tenggang waktu yang tidak sebentar.
Kita sering menyaksikan betapa banyak “hadiah” yang diberikan kepada mereka yang telah berkarya dan berprestasi. Ada hadiah Nobel, hadiah Magsaysay, hadiah Kalpataru dan banyak lagi jenis hadiah lainnya. Semua itu sebagai salah satu bentuk apresiasi dan penghargaan kepada mereka yang telah membuahkan hasil karya. Sekali lagi, boleh jadi ada sementara pihak yang menganggap bahwa karya dari si penerima hadiah bukan yang terbaik, tetapi yang pasti bahwa karya mereka lahir dari pemikiran serta hasil dari kerja keras dan bermanfaat bagi banyak orang sehingga terpilih. Kata terpilih sendiri mengandung makna bahwa telah melalui berbagai tahapan seleksi dan dinilai oleh lebih dari satu orang.
Tidak berlebihan apabila kami sadur satu pesan moral dari seorang yang bijak; “jangan mencoba mencari kesalahan dari luar dirimu karena sangat mungkin kesalahan itu ada di dalam dirimu sendiri”. Mari kita bangkit untuk menjadi pribadi yang terpilih dan turut sebagai salah satu pelaku yang membangun bangsa melalui karya tulis ilmiah kebumian.n
W a r t a G e o l o g i . J u n i 0 0 9
S
ejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang PenataanRuang dan regulasi implementasinya
Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN),
maka seluruh kegiatan yang memanfaatkan
ruang harus menyesuaikan diri dengan peraturan
tersebut termasuk sektor pertambangan. Ruang
adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang
laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam
bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup melakukan
kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya
(UU No.26 Tahun 2007).
untuk Sektor Pertambangan
Oleh: Dr. R. Sukhyar
G e o l o g i P o p u l e r
W a r t a G e o l o g i . J u n i 0 0 9
ALOKASI RUANG
Namun dalam praktek istilah ruang sering dicampuradukkan dengan lahan padahal keduanya memiliki arti yang berbeda, misalkan saja tata guna lahan (landuse planning) sedangkan untuk perencanaan ruang sering disebut spatial planning. Ruang digunakan dalam konteks yang lebih umum, yang digunakan untuk menyebut suatu bagian di bumi, misalkan ruang dalam suatu kawasan hutan atau ruang dalam kawasan industri. Sumber daya energi dan mineral atau sumber daya tambang berupa minyak bumi dan gas, batubara, panas bumi, mineral dan batuan menempati ruang.
Ruang juga merupakan sumber daya. Keberadaannya terbatas tapi ditempati berbagai jenis sumber daya baik secara lateral maupun Vertical. Oleh sebab itu bagaimana ruang terbatas tersebut dimanfaatkan secara bersama-sama seoptimal mungkin untuk memperoleh manfaat maksimal.
Sektor pertambangan merupakan sektor sangat penting dalam pembangunan nasional. Sektor ini pada tahun 2008 memberikan kontribusi sebesar 30 % dari APBN, yaitu sebesar Rp 350 trilyun. Angka ini sebagian besar berasal dari migas, selebihnya dari pertambangan mineral dan batubara. Oleh sebab itu sektor ini masih tetap penting untuk menopang APBN sebagai penggerak pembangunan sektor-sektor lainnya. Namun tidak jarang sektor ini menghadapi kendala dalam perencanaan dan pemanfaatan ruang, seperti yang terjadi pada usaha migas di Tambun, Bekasi, dimana peningkatan produksi terkendala karena ruang geraknya sudah dimanfaatkan kepentingan lain.
Permasalahan utama kegiatan usaha pertambangan dikaitkan dengan penataan ruang adalah konflik pemanfaatan lahan, yaitu sumber daya yang ada di bawah permukaan pada saat akan ditambang dengan pemanfaatan ataupun penggunaan lahan yang sudah ada di atasnya. Oleh sebab itu diharapkan undang-undang penataan ruang dapat menyediakan suatu metodologi atau peraturan yang bisa menjembatani pertambangan dengan sektor lainnya yang lebih kasat mata di permukaan.
Filosofi Pertambangan
Dalam rangka menyelesaikan konflik kepentingan antar sektor harus dikembalikan pada paradigma UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang memberikan implikasi berikut, yaitu:
Pemerintah sebagai penyelenggara Negara harus mengetahui potensi atau sumber kekayaan buminya baik di wilayah darat, laut dan ruang di atasnya.
Semua jenis sumber kekayaan bumi memiliki peran yang sama dalam mensejahterakan rakyat Indonesia.
•
•
Pemerintah melakukan optimalisasi pemanfaatan sumber kekayaan buminya di wilayah darat, laut dan ruang di atasnya untuk sebesar besar kemakmuran rakyat Indonesia. Oleh karena itu sumber daya di dalam bumi dan lainnya di permukaan harus memiliki posisi yang sama dalam perencanaan ruang.
Sumber daya tambang berupa mineral, minyak dan gas bumi, batubara dan panas bumi menempati ruang mulai dari dalam bumi hingga permukaan. Masing-masing sumber daya memiliki karakteristik yang khas. Mineral logam primer senantiasa berada pada batuan induk keras sehingga keberadaanya biasanya di pegunungan yang memiliki lereng curam. Sebaliknya endapan mineral laterit yang berupa tanah biasanya pada daerah relatif datar berada di permukaan. Dengan demikian jenis penambanganya juga berbeda, untuk laterit dilakukan dengan tambang terbuka, sedangkan mineral logam primer dilakukan dengan tambang terbuka atau bawah tanah. Untuk batubara dapat berupa tambang terbuka atau bawah tanah. Cadangan minyak dan gas bumi serta panas bumi dilakukan dengan pengeboran.
Berdasarkan jenis penambangan tersebut diatas dapat dilihat bahwa pemanfaatan lahan dari berbagai bahan tambang berbeda-beda, tambang terbuka lebih besar menggunakan lahan. Namun dalam konsep alokasi ruang maka sebenarnya tidak hanya lahan yang digunakan untuk penambangan tetapi bagaimana wilayah operasi tambang harus dilindungi dari kegiatan umum sehingga tidak mengganggu kegiatan operasi tambang.
Undang-undang Hukum Agraria No. 5/1960 sangat tegas mengatakan bahwa penguasaan mineral di dalam bumi tidak berarti juga penguasaan atas lahan di permukaan, demikian pula sebaliknya penggunaan lahan di permukaan tidak otomatis menguasai mineral di bawahnya. Artinya pengelolaan sumber daya mineral hanya dapat dilakukan apabila ada persetujuan dari yang menguasai tanah (lahan) di permukaan. Atas dasar sifat alami sumber daya mineral tersirat bahwa potensi konflik penggunaan lahan akan terus berlangsung antara tambang dengan pengguna lahan yang kasat mata di keberadaannya di permukaan.
Kegiatan pertambangan mencakup kegiatan yang dimulai dari pencarian sumber daya mineral atau menemukan cadangan, mengolah atau memurnikan, mengangkut dan menjualnya. Seluruh kegiatan ini memakan waktu cukup panjang, dimana kegiatan eksplorasi dilakukan selama 3-5 tahun dan kegiatan eksploitasi (operasi produksi) bisa mencapai 30 tahun. •
W a r t a G e o l o g i . J u n i 0 0 9
Efek Ganda (Kesempatan Kerja) Akibat Kegiatan PT KPC Tahun 2000 (DESDM dan LPEM UI, 2000)
Kegiatan eksplorasi pada umumnya dilakukan oleh pengusaha mengingat pemerintah sangat minim dalam pendanaan terutama kegiatan eksplorasi yang dilakukan secara detail yang melibatkan kegiatan pemboran. Oleh sebab itu manakala kegiatan eksplorasi dilakukan oleh pengusaha, maka harus ada jaminan bahwa kegiatan eksplorasi ini dapat dilanjutkan untuk masuk ketahapan pengembangan, yaitu tahapan operasi pertambangan (produksi). Keadaan ini menjadi masalah ketika suatu kawasan dinyatakan sebagai kawasan lindung dimana para pelaku usaha pertambangan telah melakukan eksplorasi dalam kawasan lindung, dikemudian hari tidak bisa melakukan kegiatan operasi produksi. Apabila hal ini terjadi maka sebenarnya tidak ada jaminan hukum dan kelangsungan usaha di bidang pertambangan yang diberikan oleh Pemerintah.
Melihat nature dari sumber daya dan peraturan perundang-undangan tentang agraria dan kehutanan (UU No. 41/1999) serta pengusahaan pertambangan maka dalam perencanaan penggunaan lahan akan semakin sulit bagi pertambangan. Oleh sebab itu perundang-undangan penataan ruang harus berdiri netral dalam menyelesaikan permasalahan antara sektor. Apabila sumber daya hayati yang nyata-nyata kasat mata dimunculkan dalam perencanaan tata ruang, bukankah seharusnya yang tidak kasat mata harus dimunculkan kepada publik, sehingga kita tahu dimana saja sumber daya mineral dan energi kita berada dan melakukan antisipasi skala konflik antara sektor yang akan dihadapi. Dengan demikian sumber daya energi, migas dan mineral sebagai sumber kekayaan alam negara harus tergambarkan dalam rencana tata ruan, sebagai mana sumber daya alam hayati lainnya. Demikian pula konversi pengalihan peruntukan ruang, di dalam suatu kawasan lindung atau kawasan budidaya perlu diatur.
KONSEP ALOKASI RUANG PERTAMBANGAN
Kegiatan usaha pertambangan mencangkup minimal 2 tahapan utama yaitu eksplorasi dan eksploitasi atau operasi produksi. Di dalam tahapan operasi produksi penambangan merupakan bagian dari suatu mata rantai pertambangan, kegiatan lainnya kegiatan pengolahan, penempatan tailing atau waste disposal juga menempati ruang. Demikian pula kawasan operasi, termasuk jaringan energi seperti pipa gas, jaringan listrik yang terlihat secara fisik adalah sebuah garis, tetapi sebenarnya instalasi atau jaringan tersebut harus memiliki sempadan (buffer zone) atau ruang pengaman dari kegiatan masyarakat atau kegiatan fisik sehingga keselamatan publik atau keselamatan instalasi dapat terjaga.
Dengan demikian kegiatan pertambangan pasti membutuhkan ruang mulai dari keberadaan
G e o l o g i P o p u l e r
sumber daya tambang itu sendiri, ruang untuk operasi tambang dapat berupa penambangan bawah permukaan (under ground) dan penambangan di permukaan (open pit mining) termasuk sarana prasarana pertambangan seperti lokasi pabrik, lokasi smallter, lokasi pencucian batubara, jalan, pelabuhan, penempatan tailing, dan reklamasi. Demikian juga ruang-ruang yang dipakai untuk kegiatan pendukung pertambangan sebagai penopang kehidupan seperti balai-balai pelatihan, pemukiman, industri, perdagangan dan sarana prasarana lainnya. Kegiatan pendukung pertambangan tersebut terus tumbuh baik secara ekonomi, sosial maupun ruang sebagai efek ganda (multy player effect). Efek ganda kegiatan tambang ini nyata sekali banyak terjadi di Indonesia sebagai mana yang terjadi di PT. Kaltim Prima Coal (KPC). Menurut hasil studi yang dilakukan oleh LPEM UI (2000) kegiatan ekonomi yang tumbuh di sekitar operasi tambang KPC memiliki nilai ekonomi 1,9 kali. Kegiatan usaha ikutan banyak tumbuh mendukung usaha tambang KPC atau berdiri sendiri sebagai bentuk pertumbuhan ekonomi.
PERMASALAHAN PENATAAN RUANG BAGI SEKTOR PERTAMBANGAN
T
DEPOSIT SUMBER DAYA MINERAL UNTUK KEPENTINGAN NASIONALDIMANFAATKAN
EKSPLOITASI SDM : DAPAT MENIMBULKAN DAMPAK TERHADAP LINGKUNGAN
Alokasi Ruang untuk Kawasan Peruntukan Pertambangan
Perencanaan ruang didasarkan atas informasi permukaan bumi yang lebih kasat mata dan keekonomiannnya lebih cepat dilakukan sehingga terakomodasi dalam perencanaan atau alokasi ruang. Sedangkan sumber daya kebumian atau sumber daya tambang termasuk yang kurang kasat mata dan untuk sampai pada kegiatan penambangan dan mengolahnya menjadi nilai ekonomi dibutuhkan waktu cukup panjang, sehingga sering kali menghadapi konflik kepentingan dalam penggunaan lahan. Ilustrasi dari alokasi ruang kegiatan pertambangan dapat dilihat pada gambar berikut ini.
PENATAAN RUANG KEEKONOMIAN TAMBANG -
GOOD MINING PRACTICES -
COMDEV/CSR REKLAMASI -PASCA TAMBANG
LAND COVER - LAND FORM KESESUAIAN LAHAN -
Hubungan fungsi Kawasan Dalam Penataan Ruang dengan Pemanfaatan Kawasan Pertambangan dapat dilihat pada gambar berikut:
Masalah Fungsi Kawasan Dalam Penataan Ruang Kaitannya Dengan Pemanfaatan Kawasan Pertambangan
Berdasarkan gambar tersebut terdapat posisi pertambangan yang kurang diuntungkan karena selama ini dalam proses penyusunan RTRW untuk penetapan Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya pada dasarnya ditentukan oleh status kawasan hutan, karena fungsi kawasan hutan adalah pengendali fungsi ruang dalam RTRW sebagaimana ketentuan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Kriteria penetapan kawasan lindung ditetapkan berdasarkan kemiringan lereng, ketinggian dan ketebalan tanah penutup, sementara keberadaan bahan tambang tidak mengenal batas-batas ketinggian ataupun kelerengan bahkan mineral logam primer seperti emas, tembaga dan lainnya sering berada pada daerah pegunungan yang tinggi dan pasti memiliki kelerengan yang tajam mengingat batuan induk sebagai tempat dimana logam tersebut berada sangat keras sehingga memiliki morfologi yang tajam. Disinilah salah satu contoh konflik di dalam pemanfaatan ruang bagi penambangan.
Oleh sebab itu dengan dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2007, sangat penting mengapresiasikan sektor pertambangan di dalam penataan ruang, sehingga keberadaan atau operasi pertambangan tidak terganggu oleh sektor-sektor lainnya, demikian juga sektor lainnya dapat hidup atau berkembang berdampingan dengan sektor pertambangan yang mampu menimbulkan efek ganda ekonomi bagi negara dan masyarakat sekitarnya.
KAWASAN PERUNTUKAN PERTAMBANGAN (KPP)
Di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2008 Tentang RTRWN, banyak pasal-pasal yang menjelaskan atau mengungkapkan tentang Kawasan Peruntukan Pertambangan (KPP). KPP ini merupakan suatu bentuk alokasi ruang untuk pertambangan yang dituangkan dalam suatu perencanaan tata ruang.
10 W a r t a G e o l o g i . J u n i 0 0 9 Perdebatan istilah budidaya sering terjadi dan beberapa kalangan menyebutkan bahwa kawasan budidaya ini lebih cocok dipakai untuk kegiatan-kegiatan yang membudidayakan sumber daya terbarukan, sementara untuk sumber daya energi dan mineral yang tidak terbarukan, istilah budidaya banyak kalangan tidak tepat atau cocok digunakan.
Terdapat ketidaksamaan pandangan diantara para ahli maupun masyarakat dalam melihat definisi kawasan. Persepsi yang keliru ini sering terjadi bahwa kawasan lindung ataupun kawasan budidaya merupakan harga mati sehingga kalau suatu kawasan dikatakan kawasan lindung maka kawasan itu benar-benar harus dilindungi sehingga tidak ada ruang-ruang lain yang dapat dimanfaatkan sebagai fungsi lindung. Demikian juga kawasan budidaya terkesan sepenuhnya adalah untuk kegiatan budidaya sehingga tidak ada ruang lain yang harus dilindungi di dalam kawasan budidaya.
Sebenarnya hal tersebut bertentangan dengan keadaan faktual, sebagai contoh di luar negeri dimana kawasan lindung masih diperkenalkan di dalamnya adanya kegiatan atau ruang aktivitas budidaya seperti di kawasan hutan konservasi atau kawasan hutan lindung, seperti adanya kegiatan-kegiatan wisatawan bahkan pusat-pusat industri wisata seperti perhotelan, industri kerajinan, dll. Hal tersebut bisa terjadi selama tidak mengganggu fungsi lindung. Demikian juga di kawasan budidaya sering juga terdapat ruang-ruang lindung seperti taman-taman atau ruang-ruang terbuka hijau lainnya. Konversi pengunaan ruang dapat terjadi karena pola hidup atau budaya hidup, kemajuan teknologi dan kebijakan politik ekonomi sumber daya.
KPP menurut PP No. 26/2008 dibangun atas kriteria memiliki sumber daya kebumian dan atau sebagai pusat pertumbuhan ekonomi saat ini dan akan datang. UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara telah memperkenalkan istilah Wilayah Pertambangan (WP) sebagai Basis Tata Ruang. WP ini identik dengan KPP merupakan area prospek pertambangan saat ini maupun ke depan berdasarkan informasi geologi termasuk informasi potensi bahan tambang yang melingkupi konsesi ataupun wilayah kerja pertambangan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah misalkan KP, KK, PKP2B, atau WIUP (UU No.4/2009) serta WKP Migas dan WKP Panas bumi. Artinya KPP adalah kawasan dimana kegiatan eksplorasi dan operasi produksi yang pernah ada ataupun di masa yang akan datang dapat berlangsung.
Sebelum terbitnya UU No.4/2009, Badan Geologi telah banyak berkontribusi terhadap kebutuhan
informasi pertambangan untuk RTRW kabupaten/ kota berupa informasi kawasan pertambangan (KP). KP ini dalam perjalanannya merupakan cikal bakal WP yang termuat dalam PP No.26/2008. Dalam menyusun informasi KP tersebut kriteria yang digunakan seperti terlihat pada Gambar berikut ini:
Selain kegiatan operasi tambang, KPP juga meliputi lahan yang dipakai untuk kegiatan operasi tambang seperti pemurnian, pengolahan, pencucian, jaringan-jaringan energi dan pengolahan limbah. Sedangkan sarana pendukung lainnya yang berkaitan dengan operasi pertambangan seperti jalan, pelabuhan dan pemukiman serta keberadaan masyarakat yang ada sebelum kegiatan pertambangan beroperasi termasuk KPP. KPP tersebut harus didukung dengan arahan zonasi agar pemanfaatan ruang dapat dilakukan secara optimal dan tidak membelenggu sektor lain, mengingat kegiatan pertambangan dapat berlangsung hingga 20 bahkan 30 tahun. Artinya KPP harus dapat dimanfaatkan pula untuk kegiatan-kegiatan lain seperti kegiatan pertanian selama ada ikatan atau perjanjian diantara pengguna dan pemilik izin pertambangan, kecuali ruang yang sudah pasti penggunaan lahannya terutama wilayah kerja pertambangan yang telah dilakukan Feasibility Study-nya dan akan beralih ke tingkatan operasi produksi, maka kegiatan-kegiatan sektor lain tidak dibolehkan menggangu lahan tersebut.
Dengan mempertimbangkan sifat alami sumber daya dan untuk memberikan kepastian hukum bagi kegiatan usaha pertambangan, maka KPP harus melindungi atau mengakomodasi:
1.Kegiatan eksplorasi baik yang saat ini berlangsung atas izin atau kontrak pertambangan, atau eksplorasi yang akan datang. Dengan demikian KPP dibangun atas dasar batas keberadaan
sumber daya kebumian, yang merupakan ruang bagi kegiatan eksplorasi;
2.Wilayah kerja pertambangan apakah mineral, batubara, migas dan panas bumi. Artinya KPP melingkupi wilayah tersebut. Upaya ini memberikan kepastian hukum dan kelangsungan usaha pertambangan yang tengah berjalan; dan
3.Ruang yang digunakan untuk pengolahan, pelabuhan, penempatan tailing, jaringan energi dan kegiatan pendukungnya.
KPP perlu diberikan arahan zonasi, menjelaskan kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan, yaitu:
1.Di dalam KPP terdapat bagian wilayah yang secara legal telah memiliki izin usaha yaitu dalam bentuk wilayah kerja yang telah memiliki izin atau kontrak.
Pemanfaatan ruang di dalam wilayah kerja pertambangan untuk tujuan lain hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pemegang izin.
Ruang di dalam wilayah kerja pertambangan yang digunakan atau telah direncanakan akan digunakan untuk operasi produksi, penambangan, pengolahan, jaringan energi dan pendukung lainnya tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain.
2.Ruang di dalam KPP yang tidak berada dalam wilayah kerja tersebut dapat digunakan untuk kepentingan lain;
3.Ruang di dalam KPP yang tidak berada di dalam wilayah kerja tersebut merupakan tempat kegiatan eksplorasi akan datang;
4.Apabila ruang di dalam KPP telah digunakan lebih dahulu untuk kepentingan lain, manakala ruang tersebut akan digunakan untuk operasi produksi maka harus dilakukan pendekatan analisa cost/risk dan benefit (manfaat dan mudaratnya).
•
•
PENUTUP
Beberapa langkah strategis yang perlu ditempuh oleh EDSM atas berbagai konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang antara lain :
Memberikan pemahaman kepada sektor non pertambangan atas kendala dan kesulitan yang dihadapi sektor pertambangan agar jangan memaksakan bahwa penambangan sudah dapat direncanakan jauh sebelumnya.
Wilayah-wilayah yang nyata-nyata sudah diketahui cadangannya dan/atau wilayah yang tengah dalam masa penyelidikan pendahuluan, eksplorasi, eksploitasi dan secara legal telah ada izin atau kontraknya maka harus dilindungi secara hukum di dalam tata ruang sebagai kawasan peruntukan pertambangan.
Penataan ruang harus memberikan kepastian hukum melalui keleluasaan melakukan eksplorasi dan operasi produksi bagi kepentingan pengusahaan pertambangan migas, minerba dan panas bumi.
Wilayah yang berpotensi bahan tambang harus diberikan alokasi ruang sebagai wilayah prospek usaha pertambangan sebagai arahan eksplorasi pertambangan ke depan. Wilayah prospek pertambangan ini tidak dipengaruhi oleh kendala sektor budi daya atau lindung lainnya, namun dalam pengusahaannya tetap mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Cara ini merupakan suatu upaya representasi sumber kekayaan negara di darat dan laut dalam rencana tata ruang.
Penyusunan kriteria/pedoman teknis KPP yang harus ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan sesuai Pasal 68 PP No. 26 Tahun 2008.
Kriteria atau pedoman KPP harus segera ditetapkan sebagai acuan bagi pemerintah daerah untuk menyusun dan menetapkan kawasan peruntukan pertambangan. Penyusunan pedoman KPP tersebut harus melingkupi kegiatan pertambangan yang termasuk kawasan andalan dan kawasan strategis nasional dan juga kawasan-kawasan yang dinilai strategis di tataran propinsi maupun kabupaten/kota.
Kawasan Strategis Nasional yang telah ditetapkan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Penataan Ruang harus segera memiliki kekuatan hukum, dan aktivitas sektor lain di dalam kawasan harus memperhatikan kelangsungan pemanfaatan ruang sumber daya pertambangan di masa akan datang.
Undang-Undang Penataan Ruang berikut Peraturan Pemerintah mengenai RTRWN harus menjadi penyeimbang yang mampu menjembatani berbagai kepentingan sektor di dalam perencanaan tata ruang.n
Penulis adalah Kepala Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral •
1 W a r t a G e o l o g i . J u n i 0 0 9
I
ndonesia adalah negara yang memiliki sumber daya panas bumi terbesar dunia,,berbanding lurus dengan banyaknya gunung
api. Seperti diketahui bahwa panas bumi dalam
bentuk uap air adalah sumber energi terbarukan
yang dapat digunakan menggerakkan pembangkit
listrik. Secara alami sumber energi panas bumi
umumnya berada bersamaan dengan keberadaan
gunung api, selain dari efek gradien geotermis.
Sampai dengan tahun 2006 sebanyak 256 lokasi
lapangan panas bumi telah ditemukan. Jumlah
sebanyak itu sebagian besar berada di Sumatera,
Jawa, dan Sulawesi. Ketiga pulau tersebut adalah
pasar sangat potensial karena telah didukung oleh
jaringan transmisi listrik yang relatif memadai.
Oleh: Sabtanto Joko Suprapto
G e o l o g i P o p u l e r
G e o l o g i P o p u l e r
Sebagai Sumber Energi dan
Penghasil Emas
Panas Bumi
Dalam operasi produksinya sebagai pembangkit energi listrik, panas bumi juga menghasilkan berbagai limbah berupa gas, fluida, dan material padat. Limbah fluida yang dihasilkan diinjeksikan kembali ke dalam lapisan bumi, sedangkan limbah padat memerlukan penanganan khusus agar tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya, dan sedapat mungkin menjadi bahan yang bermanfaat.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi adalah pembangkit listrik yang menggunakan panas bumi (geothermal) sebagai energi penggeraknya. Gas panas bumi diperoleh dengan cara pengeboran pada daerah yang mempunyai potensi geotermal. Uap yang keluar dimanfaatkan untuk memanaskan ketel uap (boiler) dan pada akhirnya dapat menggerakkan turbin yang tersambung ke generator.
Panas bumi selain mengandung air panas, uap air, juga terdapat mineral ikutan dan gas lainnya dalam satu sistem yang pembentukannya saling berkaitan.
Setiap 100 m masuk ke dalam perut bumi, temperatur naik sekitar 3oC. Jadi semakin jauh ke dalam perut bumi suhu semakin tinggi dan mempengaruhi semua yang ada di dalamnya, termasuk batuan dan fluida. Bila suhu di permukaan
Skema sistem panas bumiyang berkaitan dengan keberadaan gunung api
bumi adalah 27oC maka untuk kedalaman 100 m suhu bisa mencapai sekitar 30oC. Pada kantong magma, wilayah tersebut mempunyai gradien geotermis yang menghasilkan suhu yang jauh lebih tinggi.
Di dalam lapisan kulit bumi aliran air yang melewati zona dekat dengan kantong magma akan terpanaskan. Air panas (fluida hidrotermal) tersebut apabila keluar ke permukaan bumi akan menghasilkan mata air panas.
Selain sebagai pemanas, panas bumi juga dapat menghasilkan tenaga listrik. Air panas alam tersebut bila bercampur dengan udara karena adanya rekahan atau retakan, maka selain air panas, juga menghasilkan uap panas (steam). Air panas dan uap inilah yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber energi pembangkit tenaga listrik. Agar panas bumi tersebut bisa dikonversi menjadi energi listrik diperlukan pembangkit.
1 W a r t a G e o l o g i . J u n i 0 0 9
G e o l o g i P o p u l e r
Pembangkit listrik tenaga panas bumi dapat beroperasi pada suhu yang relatif rendah, yaitu berkisar antara 50o dan 250oC, dibandingkan dengan pembangkit pada PLTN yang akan beroperasi pada suhu sekitar 550oC. Hal inilah yang menjadi salah satu keunggulan pembangkit listrik geotermal. Keuntungan lainnya ialah ramah lingkungan dan lebih aman, bahkan geotermal adalah yang terbersih dibandingkan dengan nuklir, minyak bumi dan batu bara.
Pembangkit yang digunakan untuk mengkonversi geotermal menjadi tenaga listrik secara umum mempunyai komponen sama dengan power plants lain yang bukan berbasis geotermal, seperti
PLTPDieng
Skema PLTP (academic.evergreen.edu)
Skema sumur produksidan kandungan Au pada PLTP di New Zealands
generator, turbin sebagai penggerak generator,
heat exchanger, chiller, dan pompa. Saat ini terdapat tiga macam teknologi pembangkit panas bumi (geothermal power plants) yang dapat mengkonversi panas bumi menjadi sumber daya listrik, yaitu dry steam, flash steam, dan binary cycle. Ketiga macam teknologi ini digunakan pada kondisi yang berbeda-beda.
1. Dry Steam Power Plants
Pembangkit tipe ini adalah yang pertama dengan cara kerja uap panas (steam) langsung diarahkan ke turbin dan mengaktifkan generator untuk bekerja menghasilkan listrik. Limbah fluida yang dihasilkan dari operasi produksi dialirkan kembali ke dalam reservoir melalui sumur injeksi. Pembangkit tipe tertua ini pertama kali digunakan pada tahun 1904 di Lardarello, Italia, dan masih berfungsi dengan baik sampai saat ini. Di Geysers, California Utara, Amerika Serikat pembangkit dry steampower juga masih digunakan.
2. Flash Steam Power Plants
Pembangkit jenis ini memanfaatkan fluida berupa air panas alam dengan suhu >175oC. Fluida panas tersebut dialirkan ke dalam tangki flash yang tekanannya lebih rendah sehingga terjadi uap panas secara cepat. Uap panas yang disebut dengan flash inilah yang menggerakkan turbin untuk mengaktifkan generator yang kemudian menghasilkan listrik. Limbah fluida hasil operasi produksi dialirkan kembali ke dalam reservoir melalui sumur injeksi.
3. Binary Cycle Power Plants
Binary Cycle Power Plants menggunakan teknologi yang berbeda dengan kedua teknologi sebelumnya, yaitu dry steam dan flash steam. Pada teknologi ini air panas atau uap panas yang berasal dari sumur produksi tidak pernah menyentuh turbin. Air panas bumi digunakan untuk memanaskan working fluid pada heat exchanger. Working fluid kemudian menjadi panas dan menghasilkan uap berupa flash. Uap yang dihasilkan di heat exchanger tadi lalu dialirkan untuk memutar turbin dan selanjutnya menggerakkan generator untuk menghasilkan sumber daya listrik. Uap panas yang dihasilkan di heat exchanger inilah yang disebut sebagai
secondary (binary) fluid. Binary Cycle Power Plants ini merupakan sistem tertutup, tidak ada yang dilepas ke atmosfer.
Bijih emas urat kuarsapada Tambang Emas Gosowong, dan kerak silika pada pipa PLTP di Kyushu, Jepang mengandung emas ± 50 ppm
penerapan teknologi ini ada di Mammoth Pacific Binary Geothermal Power Plants di Casa Diablo, Amerika Serikat. Kemungkinan besar pembangkit listrik panas bumi Binary Cycle Power Plants akan semakin banyak digunakan di masa yang akan datang.
Meningkatnya kebutuhan energi dunia ditambah lagi dengan semakin tingginya kesadaran akan perlindungan lingkungan, membuat panas bumi mempunyai masa depan yang cerah. Indonesia sangat berpeluang besar untuk melakukan pemanfaatan panas bumi sebagai pembangkit listrik. Hal ini mengingat banyaknya sumber geotermal yang sudah siap dieksploitasi di sepanjang sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, termasuk di beberapa pulau kecil.
Limbah PLTP Dieng
Pembangkit listrik tenaga panas bumi memanfaatkan uap hidrotermal dalam operasi produksinya. Fluida hidrotermal dialirkan melalui pipa produksi dan selanjutnya setelah melewati proses operasi produksi untuk menggerakkan generator listrik, limbah fluida yang dihasilkan dialirkan untuk diinjeksikan kembali ke dalam reservoir (dalam bumi). Fluida hidrotermal pada sistem pembangkit tenaga panas bumi dapat
mengendapkan silika yang mengandung emas dan logam ikutannya, baik sebagai kerak dalam pipa, maupun pada aliran setelah keluar dari jaringan proses produksi listrik menuju sumur injeksi.
Bijih emas secara alami terbentuk dari aktivitas hidrotermal yang menghasilkan cebakan dengan komponen utama silika. Hidrotermal sebagai media pembawa emas, mengendapkan emas dan logam ikutannya pada pori batuan, struktur geologi atau rongga lain. Apabila keluar sebagai mata air panas dapat dihasilkan cebakan bijih emas di permukaan tanah. Lingkungan pembentukan bijih emas tersebut merupakan lingkungan yang sama dengan keberadaan sistem panas bumi.
1 W a r t a G e o l o g i . J u n i 0 0 9
Logampada lumpur silika limbah PLTP Dieng
No UNSUR RATA - RATA (ppm)
MINIMUM (ppm)
MAKSIMUM (ppm)
1 Au 0,477 0.099 1,273
2 Ag 3,14 1 8
Penelitian bahan galian pada lapangan panas bumi di Dieng yang dilakukan Kelompok Program Penelitian Konservasi, Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi, pada bulan April 2008, di antaranya melakukan analisis kandungan logam pada lumpur silika hasil endapan fluida berasal dari PLTP. Dari penelitian tersebut, didapatkan kadar yang signifikan beberapa unsur logam. Analisis terhadap tujuh sampel, diperoleh kadar rata-rata: Au 0,477 ppm, perak 3,14 ppm, Hg 1,982 ppm, As 69,14 ppm, Sb 46,14 ppm, Pb 115,43 dan As 199 ppm.
Kandungan unsur logam pada lumpur silika limbah PLTP Dieng
Produksi endapan lumpur silika pada kolam pengendapan di PLTP Dieng dalam sebulan sekitar 165 ton, dengan kadar logam seperti tersebut di atas, maka pada limbah PLTP tersebut setiap bulan dihasilkan kandungan 78,7 gram emas; 0,518 kg perak; 7,613 kg antimoni; 0,327 kg merkuri; 11,4 kg arsen, dan 19,045 kg timbal.
Kandungan unsur logam pada lumpur silika limbah dari PLTP Dieng, menarik untuk menjadi bahan kajian. Salah satu informasi penting, yaitu tentang kandungan emas yang dapat dihasilkan dalam kurun waktu satu bulan. Hal ini dapat digunakan untuk pendekatan empiris terhadap waktu yang diperlukan untuk terbentuknya cebakan emas dalam sekala ekonomis berdimensi besar.
Data kuantitatif tersebut dapat digunakan untuk prediksi bahwa cebakan emas dalam kurun waktu seratus ribu tahun dapat diendapkan sekitar 10 ton logam emas. Kurun waktu tersebut tentu akan menjadi lebih pendek apabila kadar emas lebih tinggi, sebagaimana dijumpai pada beberapa tambang emas primer di Indonesia, dimana kadar emas rata-rata pada bijih mulai dari sekitar 5 ppm sampai dengan 35 ppm. Dengan kadar emas yang tinggi tersebut diperlukan waktu kurang dari 10 ribu tahun untuk membentuk cebakan emas dengan sumber daya 10 ton logam emas. Fenomena tersebut memperkuat fakta bahwa cebakan bijih emas primer ekonomis, di Indonesia dapat dijumpai pada umur muda, yaitu Plio-Plistosen. Oleh sebab itu peluang eksplorasi untuk mendapatkan cebakan emas ekonomis pada daerah dengan umur batuan muda sangat memungkinkan.
Penutup
Lumpur silika hasil pengendapan fluida limbah PLTP Dieng perlu diupayakan untuk dapat dimanfaatkan. Kandungan silika yang tinggi dapat digunakan untuk bahan pembuatan gelas. Akan tetapi pemanfaatan lumpur silika untuk bahan gelas perlu mempertimbangkan unsur pengotor terutama yang berpotensi mencemari lingkungan, seperti kandungan Hg, As, dan Sb. Pengolahan untuk memanfaatkan lumpur silika melalui proses pemanasan dapat menyebabkan menguapnya merkuri, yang dapat mencemari udara dan lingkungan sekitarnya. Untuk penanganannya uap merkuri yang dihasilkan harus ditangkap untuk dikondensasikan kembali.
Emas dan perak merupakan logam berharga, kadar yang terdapat pada lumpur silika cukup signifikan. Apabila dibandingkan dengan cebakan bijih emas yang terdapat pada lokasi tambang, dimana untuk memanfaatkannya perlu dilakukan penambangan, peremukan, dan penggilingan bijih, sementara untuk memanfaatkan kandungan emas dan perak dalam lumpur silika limbah PLTP tahapan tersebut tidak diperlukan. Lumpur silika sudah dalam kondisi halus dan berada di permukaan. Oleh sebab itu meskipun kadar emas dan perak relatif rendah, akan tetapi biaya ekstraksi yang diperlukan sangat rendah.
Pemanfaatan lumpur silika memiliki dua keuntungan yang didapatkan, yaitu dari nilai ekonomi silika dan logam berharga yang dihasilkan, serta kandungan unsur logam yang berpotensi menyebabkan degradasi lingkungan dapat ikut dipisahkan pada saat proses pengolahan sehingga tidak terbuang di alam. Karena itu meskipun nilai ekonomi yang dihasilkan dari pemanfaatan lumpur relatif kecil, akan tetapi sekaligus dapat menghilangkan risiko terhadap degradasi lingkungan.
Kandungan unsur logam pada fluida hidrotermal
tidak konstan, cenderung fluktuatif. Pemantauan secara simultan terhadap kandungan logam, khususnya dalam lumpur silika sangat diperlukan, mengingat data yang dihasilkan menjadi dasar penentuan langkah penanganan dan pemanfaatan.n
Penulis adalah Kepala Bidang Program dan Kerja Sama Pusat Sumber Daya Geologi
Badan Geologi
1 W a r t a G e o l o g i . J u n i 0 0 9
G e o l o g i P o p u l e r
Endapan
Nikel Laterit
Oleh:
F. Agustin
N
ikel laterit merupakan sumber bahan tambang yang sangat penting, menyumbang 40% produksi nikel dunia. Endapan nikel laterit terbentuk dari hasil pelapukan yang dalam batuan induk dari jenis ultrabasa. Umumnya terbentuk pada iklim tropis sampai sub-tropis. Saat ini sebagian besar endapan nikel laterit terbentuk di daerah khatulistiwa, diantaranya adalah negara New Caledonia, Kuba, Philippina, Columbia, Australia dan juga Indonesia. Sedangkan endapan nikel laterit sendiri hanya mencapai 42% dibandingkan dengan jenis endapan nikel sulphida (total 54% dari seluruh endapan nikel di bumi ini). Produksi nikel dunia mengalami kenaikan sejak tahun 1953. Tercatat sejak kurun waktu 1953 hingga 2003, produksi nikel laterit mengalami kenaikan 8 kali lipat dari sekitar 140 kt/tahun menjadi kurang lebih 1200 kt/tahun.Diramalkan, pada tahun 2012 produksi nikel laterit ini akan meningkat menjadi 51% dari total produksi sekarang dengan mengikuti perkembangan ekonomi dunia saat ini.
Indonesia setidaknya menyumbangkan sekitar 12% suplai nikel laterit untuk konsumsi dunia, disusul Philipina dan dua produser utama dunia yang hampir mencapai angka 20%, yakni New Caledonia dan Australia.
Istilah “laterite” bisa diartikan sebagai endapan yang kaya oksida besi, miskin unsur silika dan secara intensif ditemukan pada endapan lapukan pada iklim tropis (Eggleton, 2001). Ada juga yang mengartikan nikel laterit sebagai endapan lapukan yang mengandung nikel dan secara ekonomis dapat ditambang.
Batuan induk endapan Nikel laterit adalah batuan ultrabasa; umumnya dari jenis harzburgit (peridotit yang kaya unsur ortopiroksen), dunite dan jenis peridotite yang lain.
Proses Kimia Pembentukan Nikel
Nikel terbentuk bersama mineral silikat kaya unsur Mg (ex;olivin). Olivin adalah jenis mineral yang tidak stabil selama pelapukan berlangsung. Saprolite adalah produk pelapukan pertama, meninggalkan sedikitnya 20% fabric dari batuan aslinya (parent rock). Batas antara batuan dasar, saprolite dan indikasi awal pelapukan (weathering front) tidak jelas dan bahkan perubahannya gradasional. Endapan nikel laterit dicirikan dengan adanya pelapukan mengulit bawang (speroidal weathering) dan umumnya tersebar di daerah sepanjang struktur kekar dan rekahan (boulder saprolite). Selama pelapukan berlangsung, Mg dan Silika larut bersama air tanah. Ini menyebabkan fabric dari batuan induknya berubah secara total. Hasilnya, oksida besi mendominasi dengan membentuk lapisan horizontal di atas saprolite yang sekarang kita kenal sebagai mineral oksida besi jenis Limonite. Nikel berasosiasi juga dengan mineral jenis oksida besi yang lain terutama dari jenis Goethite. Rata-rata nikel yang berasosiasi dengan oksida besi diatas berkadar 1,2 %.
MT Resource % Ni % MT Ni % f Total
Sulfide 10500 0.58 62 27,8 %
Laterite 12600 1.28 161 72,2 %
Total 23100 0.97% 223 100
Mt % Ni % MT Ni % f Total
AUSTRALIA 2452 0.86 21 13.1%
AFRICA 996 1.31 13 8.1%
C & S AMERICA 1131 1.51 17 10.6%
CARRIBEAN 944 1.17 11 6.9%
INDONESIA 1576 1.61 25 15.7%
PHILIPINNES 2189 1.28 28 17.4%
NEW CALEDONIA 2559 1.44 37 22.9%
ASIA & EUROPE 506 1.04 5 3.3%
OTHER AUSTRALASIA 269 1.18 3 2.0%
TOTAL LATERITES 12621 1.28 161 100%
Total produksi nikel dunia dari dua jenis genesa yang berbeda; laterite dan sulphida.
sumber:http://www.pdac.ca/pdac/publications/papers/2004/techprgm-dalvi- bacon.pdf)
0 W a r t a G e o l o g i . J u n i 0 0 9
Kondisi Mineralogi
Endapan nikel laterit terbentuk baik pada mineral jenis silika atau oksida. Kemiripan radius ion Ni2+ dan Mg2+ memungkinkan substitusi ion diantara keduanya. Umumnya, mineral bijih dari jenis hidrous silicate seperti talc, smectite, sepiolite, dan chlorite terbentuk selama proses metamorphisme temperatur rendah dan selama proses pelapukan dari batuan induk. Umumnya, mineral – mineral tersebut mempunyai variasi ratio Mg dan Ni. Mineral garnierite dari jenis silicate mempunyai ciri poor kristalin, texture afanitik, dan berstuktur seperti serpentinite (Brindley,1978).
Genesa Nikel Laterit
Umumnya endapan nikel terbentuk pada batuan ultrabasa dengan kandungan Fe di olivine yang tinggi dan nikel berkadar antara 0,2% - 0,4%. Secara mineralogi nikel laterite dapat dibagi dalam tiga kategori (Brand et al,1998).
a. Hydrous Silicate Deposits
Profil dari type ini secara vertikal dari bawah ke atas: Ore horizon pada lapisan saprolite (Mg-Ni silicate), kadar nikel dapat terbentuk mineral yang kaya dengan nikel; Garnierite (max. Ni 40%). Ni terlarut (leached) dari
fase limonite (Fe-Oxyhydroxide) dan terendapkan bersama mineral silika hydrous atau mensubstitusi unsur Mg pada serpentinite yang teralterasi (Pelletier,1996). Jadi, meskipun nikel laterit adalah produk pelapukan, tapi dapat dikatakan juga bahwa proses meningkatkan supergene sangat penting dalam pembentukan formasi dan nilai ekonomis dari endapan hydrous silicate ini. Tipe ini dapat ditemui di beberapa tempat seperti di New Caledonia, Indonesia, Philippina, Dominika, dan Columbia.
b. Clay Silicate Deposits
Pada jenis endapan ini, Si hanya sebagian terlarut melalui air tanah, sisanya akan bergabung dengan Fe, Ni, dan Al membentuk mineral lempung (clay minerals) seperti Ni-rich Nontronite pada bagian tengah profil saprolite (lihat profil). Ni-rich serpentine
juga dapat digantikan
oleh smectite atau kuarsa jika profil deposit ini tetap kontak dalam waktu lama dengan air tanah. Kadar nikel pada endapan ini lebih rendah dari endapan Hydrosilicate yakni sekitar 1,2% (Brand
et al,1998).
c. Oxide Deposits
Tipe terakhir adalah Oxide Deposit. Berdasarkan profil yang ditampilkan, bagian bawah profil menunjukkan protolith dari jenis harzburgitic peridotite (sebagian besar terdiri dari mineral jenis olivin, serpentine dan piroksen). Endapan ini sangat rentan terhadap pelapukan
terutama di daerah tropis. Di atasnya terbentuk saprolite dan mendekati permukaan terbentuk limonite dan ferricrete. Kandungan nikel pada tipe Oxide deposit ini berasosiasi dengan goethite (FeOOH) dan Mn-Oxide.
Sebagai tambahan, nikel laterit sangat jarang atau sama sekali tidak terbentuk pada batuan karbonat yang mengandung mineral talk.
Nikel Laterit di Daerah Beriklim Kering dan Tropis
Nikel laterit pada umumnya dijumpai di daerah kering seperti Australia dan daerah yang beriklim tropis dengan tingkat kelembaban yang tinggi seperti di Indonesia.
G e o l o g i P o p u l e r
Gambar diatas adalah ilustrasi sederhana dari tipe umum keberadaan endapan nikel laterit di bagian barat Australia dan iklim tropis seperti di Indonesia. Keduanya tertutupi oleh lapisan colluvium seperti
iron cap berkomposisi limonite atau lapisan oksida besi dari jenis goethite (FeOOH), diikuti oleh lapisan zona transisi yang mengandung komposisi campuran antara limonite yang kadang mengandung smectite (mineral lempung yang umum dijumpai pada endapan “dry laterite”).
Tektonik Setting
Nikel laterit berkembang di kompleks batuan Ophiolite pada rentang waktu Phanerozoic, terutama Cretaseous-Miosen. Ophiolite ini telah mengalami pensesaran dan kekar sebagai efek dari tectonic uplift yang dapat memicu intensitas pelapukan dan perubahan pada muka air tanah. Endapan nikel lainnya ditemukan pada Archean Craton yang tergolong stabil berasosiasi dengan lapisan kompleks batuan ultabasa dan komatiite seperti di Australia dan Brazil (Butt,1975).
Semakin banyak zona shear dan steep fault (patahan jenis normal), semakin tinggi pula tingkat pengayaan (enrichment process) untuk menghasilkan kadar Nikel yang tinggi. Sebaliknya, zona sesar naik (thrust fault) berasosiasi dengan
emplacement ophiolite complexes dan bersama dengan greenstone membentuk zona serpentine milonite atau talc-carbonates-altered ultramafic rocks. Komposisi seperti itu tidak memungkinkan terbentuknya Nikel pada endapan residu (regolith/ lapukan).
Endapan nikel seperti di New Caledonia, Indonesia, Cuba dan Philipina dipengaruhi oleh zona large thust sheet ophiolite pada busur kepulauan yang berumur Mesozoic – Tertiary serta collision zone benua yang memperngaruhi proses laterisasi di bagian plateau. Proses laterisasi (baca:pelapukan menjadi nikel laterit) ini berlangsung dari mid tersier – mid kuarter. Namun, saat ini proses tersebut agak sedikit melambat seiring banyaknya populasi manusia dan penebangan hutan tropis sehingga tanah laterit hasil pelapukan yang berada di permukaan dengan mudahnya tersapu oleh erosi dan berbagai aktivitas lainnya seperti untuk pembukaan pemukiman, pembukaan lahan baru pertanian dan aktivitas manusia lainnya (Dalvi,
et.al, 2004).
Kondisi Topografi dan Morfologi
Faktor topografi dan morfologi sangat penting dalam endapan nikel laterit karena kaitannya dengan posisi muka air tanah, struktur dan drainage. Zona pengayaan enrichment nikel laterit berada pada topografi bagian atas (upper hill slope, crest, plateau, astau terrace). Kondisi muka air tanah pada zona ini dangkal, apalagi ditambah dengan adanya zona patahan, shear atau joint. Sebagai hasilnya, akan mempercepat proses pelarutan kimia (leaching processes) yang pada akhirnya akan terbentuk endapan saprolite yang mengandung nikel yang cukup tebal. Kondisi seperti ini dapat dijumpai di beberapa tempat sepeti Indonesia, New Caledonia, Ural (Russia), dan Columbia. Sebaliknya, pada topografi yang rendah, muka air tanah yang dalam akan menghambat proses pelarutan unsur – unsur dari batuan induk (baca: enrichment process).
Iklim
Tempat-tempat yang beriklim tropis seperti Indonesia dan Columbia memungkinkan untuk terjadinya endapan nikel laterit. Kondisi curah hujan yang tinggi, temperatur yang hangat ditambah dengan aktivitas biogenik akan mempercepat proses pelapukan kimia, sehingga endapan nikel laterit bisa mudah terbentuk.n
W a r t a G e o l o g i . J u n i 0 0 9
P
eristiwa Situ Gintung masih hangat dibicarakan, pada peristiwa longsortersebut sekurang-kurangnya 200 nyawa
manusia melayang, bahkan sampai detik ini
masih ada jasad manusia yang belum ditemukan.
Kerugian ini masih ditambah lagi dengan hilangnya
harta benda, infrastruktur umum, waktu dan
tenaga, serta kerugian immaterial. Miris memang,
di tengah bangsa yang mengaku sebagai bangsa
yang sedang giat melakukan pembangunan,
masalah lingkungan khususnya erosi dan longsor
lahan belum dapat ditanggulangi dengan baik.
Mungkin akan menjadi wajar jika peristiwa ini
adalah peristiwa yang pertama kali terjadi. Namun,
ini bukanlah peristiwa yang pertama. Setidaknya
di Jawa Barat erosi yang terjadi mencapai 32 juta
ton per tahunnya (Geografinia, 2006).
Oleh: Marenda Ishak S
Mengenal Erosi dan
Longsor di Sekitar Kita
G e o l o g i P o p u l e r
Tidak bijaksana apabila pada setiap bencana alam yang menimpa kemudian kita mencari ”kambing hitam” siapa yang salah. Peristiwa longsor dapat terjadi karena murni proses alam, tetapi juga dapat berlangsung karena adanya peran masyarakat, misalnya penggundulan hutan atau merubah tataguna lahan secara tidak bijak.
Tulisan ini bermaksud memberikan paparan tentang bagaimana kita mengenali potensi bahaya erosi dan longsor sedari dini dan cara mengantisipasinya.
Apa itu Erosi dan Longsor?
Erosi pada dasarnya proses perataan kulit bumi. Proses ini terjadi dengan penghancuran, pengangkutan dan pengendapan. Secara umum tipe erosi ada dua macam, yaitu erosi geologi dan erosi dipercepat. Menurut G. Kartasapoetra, drr (1991), erosi adalah pengikisan atau kelongsoran yang sesungguhnya merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau kekuatan angin dan air, baik yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai akibat tindakan atau perbuatan manusia.
Secara umum erosi mengakibatkan menipisnya permukaan tanah, terjadinya selokan/parit alami, perubahan vegetasi, kekeruhan dan sedimentasi pada cekungan sedimentasi (seperti danau atau waduk) serta semakin besar slope suatu lereng yang dapat memicu terjadinya longsor lahan. Dengan kata lain, erosi akan menyebabkan degradasi fungsi lahan, karena lahan menjadi kritis, kesuburan menjadi berkurang sehingga produktivitas lahan terhadap pertanian menjadi menurun. Oleh karena itu upaya konservasi dan rehabilitasi sangat diperlukan untuk menjaga menurunnya nilai produktivitas lahan.
Dua sebab utama terjadinya erosi adalah karena
sebab alamiah dan aktivitas manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena pembentukan tanah dan proses yang terjadi untuk mempertahankan keseimbangan tanah secara alami. Sedangkan erosi karena aktivitas manusia disebabkan oleh terkelupasnya lapisan tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah atau kegiatan pembangunan yang bersifat merusak keadaan fisik tanah (Chay Asdak, 1995).
Berbeda dengan erosi, longsor atau sering disebut gerakan tanah merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Longsor yang terjadi umumnya disebabkan karena adanya gangguan kestabilan pada tanah/batuan penyusun lereng. Gangguan kestabilan lereng ini sangat dipengaruhi oleh kondisi morfologi terutama kemiringan lereng, kondisi batuan maupun tanah penyusun lereng dan konsisi tata air. Bahaya longsor akan terjadi ketika proses pemicu yang menganggu kestabilan lereng, pemicu tersebut berupa:
peningkatan kandungan air dalam lereng, sehingga terjadi akumulasi air dalam tanah, •
Tanggul Situ Gintung yang jebol (Sumber ; Departement Kesehatan, 2009)
Contoh erosi yang banyak terjadi di Indonesia (Sumber : Kompas, 2007)
W a r t a G e o l o g i . J u n i 0 0 9 getaran pada lereng akibat gempa bumi, ledakan, penggalian, dan getaran alat atau kendaraan,
peningkatan beban yang melampaui daya dukung tanah,
pemotongan kaki lereng secara sembarangan yang mengakibatkan lereng kehilangan daya penyangga.
Erosi dan Longsor di sekitar Kita
Erosi dan longsor lahan merupakan faktor penghambat dalam kaitannya dengan pembangunan. Faktor bahaya erosi dan longsor pada dasarnya merupakan suatu ancaman, yang apabila menimpa akan mengakibatkan terhambatnya aktivitas pembangunan dan kerusakan pada lingkungan. Oleh karena itu, dalam suatu proses pembagunan kita perlu memperhatikan faktor-faktor tersebut, terutama hal-hal yang berkaitan dengan mengenali potensi erosi dan longsor sejak dini sehingga kita dapat diantisipasi dengan lebih baik.
Salah satu contoh kasus erosi dan longsor di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Secara fisiografi, sebagian besar wilayah ini didominasi oleh puncak, lereng, kaki dan dataran-dataran antar pegunungan gunung api (Brahmantyo 2005). Seperti diketahui bahwa material gunung api sifatnya lepas dan mudah longsor, terutama bila tidak terikat oleh akar tanaman, misalnya. Hal ini membuat kemiringan lereng menjadi sangat bervariasi, dari kemiringan lereng sangat terjal hingga berbentuk dataran. Kemiringan lereng ini akan mempengaruhi kecepatan run off yang berpengaruh terhadap tingkat erosi dan longsor. Kemiringan lereng di Kecamatan Lembang dikelompokkan menjadi 5 kelas lereng, yaitu kurang dari 8% (datar), antara 8%-15% (landai), antara 16%-25% (agak curam), antara 26%-40% (curam) dan lebih dari 40% (sangat curam/terjal) (Bapedda Kab. Bandung, 2001).
Dengan kondisi seperti tersebut di atas, sebagian besar wilayah Kecamatan Lembang memiliki tingkat bahaya erosi yang tinggi. Wilayah dengan tingkat bahaya erosi yang tinggi terdapat hampir di semua wilayah yang umumnya berada pada kelerengan yang curam, dengan pemanfaatan lahan sebagai lahan pertanian dengan tanaman semusim.
Selanjutnya, sebagai salah satu ciri bahwa erosi terjadi secara insentif di kecamatan wilayah ini, yaitu bentuk morfologi lembah yang berbentuk huruf “V” dengan kelerengan yang curam dan terjal serta bentuk triangular pada perbukitan. Selain itu, tingkat kekeruhan air sungai juga •
•
•
merupakan penanda bahwa erosi yang terjadi ini berlangsung intensif.
Selain erosi, kejadian longsor di Kecamatan Lembang juga perlu diwaspadai. Tingkat bahaya longsor di wilayah ini termasuk dalam tinggi, yaitu hampir 5.000 ha (±50%) lahan terancam longsor dengan kriteria tingkat bahaya longsor tinggi (Bappeda Kabupaten Bandung, 2001). Berdasarkan karakteristik fisik wilayah seperti batuan/tanah, morfologi, kelerengan dan guna lahan, jenis longsor yang terjadi di wilayah ini adalah longsor rotasi dan runtuhan batuan atau rempah batuan (debris fall). Namun demikian,
Lahan pertanian pada lereng yang curam, salah satu penyebab laju erosi yang tinggi (Sumber : Dokumentasi, 2007)
Lembah dengan huruf “V” merupakan ciri morfologi hasil erosi parit (Sumber : Dokumentasi, 2007)
Air sungai yang keruh merupakan penanda terjadinya erosi secara intesif (Sumber : Dokumentasi, 2007).
berdasarkan karakteristik alamnya perlu diwaspadai longsor jenis aliran bahan rombakan walaupun belum pernah terjadi. Longsor jenis ini bisa terjadi akibat longsoran material menutupi aliran sungai sehingga akumulasi aliran sungai dapat menghanyutkan material yang menutupi sungai tersebut dan mengakibatkan longsor aliran rombakan.
Penanganan Erosi dan Longsor
Mengatasi masalah erosi dan longsor sebenarnya telah banyak dilakukan oleh banyak pihak, akan tetapi permasalahan ini masih saja menjadi kendala dalam kegiatan pembangunan. Ini
disebabkan karena penanganan erosi dan longsor masih ditanggani secara parsial, dalam konteks ini penanganan erosi dan longsor seharusnya dilakukan secara terencana dan terintegrasi dalam bentuk kesepakatan penataan ruang. Dengan bentuk penanganan seperti ini, banyak pihak meyakini permasalahan dapat diatasi dengan lebih baik. Hal ini karena permasalahan sebenarnya terletak pada semakin berkurangnya kawasan konservasi digantikan dengan kawasan yang berfungsi ekonomi.
Secara teknik penanganan erosi dan longsor dapat dilakukan dengan metode vegetatif dan mekanik. Secara mekanik, penanganan dilakukan dengan perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan meningkatkan kemampuan pengguatan tanah. Kelemahan penanganan dengan metode ini adalah biayanya yang mahal karena membutuhkan pemeliharaan yang rutin. Berbeda dengan metode mekanik, metode vegetatif lebih dapat diandalkan karena memperbaiki permasalahan kekuatan tanah dari struktur tanah itu sendiri. Penanganan metode vegetatif, selain dapat memperbaiki struktur tanah juga berfungsi dalam hal memperbaiki kualitas lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, metode ini merupakan salah satu pilihan dalam penanganan erosi dan longsor.
Secara singkat, peran vegetasi dalam pengendalian erosi dan longsor adalah sebagai evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, lengas tanah air di bawah dan di atas permukaan. Pusposutarjo (1984) menjelaskan bahwa sifat vegetasi dapat berperan seperti hutan, yaitu memperbaiki daur siklus hidrologi (air). Daur siklus hidrologi yang baik atau alami adalah daur siklus yang mampu menyerap air ke dalam tanah (infiltrasi) sebanyak 25% dan mengakibatkan adanya aliran permukaan (run off) sebanyak 10% dari total keseluruhan air yang turun (hujan). Dengan intesifnya pembangunan yang dilakukan saat ini, kondisi tersebut tidaklah terjadi sehingga total infiltrasi air ke dalam tanah menjadi 5% dan aliran permukaan menjadi 55%. Hal inilah yang menjadi penyebab berakibat semakin rawannya potensi bencana baik berupa erosi, longsor, banjir, dan kekeringan (www.stuff. mit.edu/.../Intro_UrbnForServ_detail.html). Oleh karena itu, sudah selayaknya dan sudah waktunya penanganan terhadap erosi dan longsor juga dapat berperan dalam mengatasi permasalahan lingkungan secara keseluruhan. n
Penulis adalah Peneliti muda
Jurusan Ilmu Tanah dan Manajemen Lahan Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
Longsor yang terjadi di Kecamatan Lembang (Sumber : Dokumentasi, 2007)
Jenis longsor aliran bahan rombakan yang potensial terjadi dan mengancam pemukiman Sumber : dokumentasi, 2007)
Pemotongan tebing jalan berakibat pada meningkatnya potensial erosi (Sumber : Dokumentasi, 2007) Pertanian
Kortikultura
Longsor lama
W a r t a G e o l o g i . J u n i 0 0 9
L i n t a s a n G e o l o g i
Etna van Indonesia
D
i masa kolonial, Kepulauan Banda diperebutkan oleh bangsa-bangsa Eropa. Mereka datang ke kepulauan Banda untuk menguasai hasil bumi berupa rempah-rempah seperti pala, cengkeh, dan kayu manis. Bangsa Eropa pertama yang mendarat di kepulauan ini adalah Portugis pada tahun 1512 kemudian digantikan oleh Inggris yang berlangsung beberapa saat. Akhirnya Belanda mengambil alih dan menguasai kepulauan ini sampai tahun 1942. Kepulauan Banda terdiri atas beberapa pulau kecil, antara lain: Pulau Banda Neira, Pulau Lonthor, Bandaapi, Hatta, Run, Ai, Pisang, dan Kapal. Wilayah Kepulauan Banda terletak lk. 210 km di sebelah tenggara Kota Ambon, pada posisi geografi 4o 31’ 30” Lintang Selatan dan 129o 52’ 17” Bujur Timur masuk dalam wilayah Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah.Oleh: Igan S. Sutawidjaja
Gunung Banda Api
Dalam masa penjajahan, Belanda membentuk pemerintahan di kepulauan ini dan mengangkat Jan Peter Soen Coen sebagai Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Pulau Banda Neira, pulau terbesar di wilayah tersebut. Untuk mempertahankan pemerintahannya, Belanda membangun kantor termasuk Kantor Gubernur, perumahan pegawai yang dilengkapi dengan sebuah benteng pertahanan yang dikenal dengan Benteng Belgica (“Fort Belgica 1611”).
Kantor pemerintahan Belanda di wilayah tersebut dianggap strategis untuk pengasingan lawan politik saat itu karena tempatnya terpencil dan jarang dilalui kapal laut. Beberapa tokoh politik dan pejuang kemerdekaan Indonesia diasingkan ke Pulau Banda Neira, seperti Bung Hatta, Sutan Syahrir, Cipto Mangunkusumo.
Saat ini Pulau Banda Neira menjadi salah satu tujuan wisata di kawasan Maluku. Di bagian utara Pulau Neira telah dibangun landasan pesawat terbang untuk pesawat berpenumpang kecil jenis cassa. Bangunan peninggalan Belanda dan rumah Bung Hatta serta beberapa bangunan lainnya tetap dipelihara oleh pemerintah dijadikan obyek wisata, selain wisata ke Gunung Banda Api. Selain pesawat terbang, banyak kapal pelayaran
besar secara regular menyinggahi di Pelabuhan Neira sehingga menambah semarak wisatawan domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke kepulauan ini.
Pulau terbesar kedua di kawasan ini adalah Pulau Gunung Api, yang lebih dikenal dengan Gunung Banda Api. Gunung api ini mempunyai tinggi 641 m dpl. atau 1.150 m dari dasar laut seluas 73.446 m2.
Gunung Banda Api merupakan salah satu gunung api aktif dari lima gunung api yang tumbuh di dalam sebuah kaldera yang bergaris tengah 7 km. Sisa pematang kaldera terletak di selatan dan timur, yaitu Pulau Lonthor, Pulau Pisang dan Pulau Kapal. Menurut Matahelumual (1988), Banda Api merupakan generasi keempat dari gunung api purba Gunung Lonthor. Era pembangunan Gunung Lonthor dimulai dengan letusan-letusan lemah, aliran lava, meningkat menjadi kuat dan akhirnya dengan letusan besar dan membentuk Kaldera Lonthor.
Dr. R.D.M Verbeek, 1900, seorang ahli vulkanologi berkebangsaan Belanda menyebut Banda Api sebagai Etna van Indonesia. Keindahan alam sekitarnya dan tipe letusan yang sering
W a r t a G e o l o g i . J u n i 0 0 9
L i n t a s a n G e o l o g i
Benteng Belgica (Fort Belgica 1611) dilengkapi dengan meriam sebagai benteng pertahanan masa colonial Belanda, Foto Igan S. Sutawijaya
Bekas Kantor Gubernur Jenderal dan patung Gubernur Jenderal J.P. Soen Coen di Banda Neira, Foto Igan S. Sutawijaya
Bekas rumah pengasingan Dr. Muhammad Hatta (1), Dr Sutan Syahrir (2), dan Dr. Cipto Mangunkusumo (3) Foto Igan S. Sutawijaya