• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

8

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Teori-teori Belajar

Terdapat beberapa teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli. Teori belajar tersebut saling melengkapi satu sama lain yang dapat mendukung model pembelajaran dalam penelitian ini. Teori belajar yang dipakai dalam penelitian ini antara lain teori belajar Konstruktivisme, dan teori belajar Kognitif.

a. Teori Belajar Konstruktivisme

Ide pokok teori kontruktivisme adalah siswa secara aktif membangun pengetahuan mereka sendiri. Pendekatan dalam pembelajaran kontruktivisme dapat menggunakan pembelajaran kooperatif ekstensif. Menurut teori ini siswa akan lebih mudah menemukan dan mengerti tentang konsep-konsep yang sulit jika mereka dapat membicarakan dan mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. siswa secara rutin akan bekerja dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 4-5 orang untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah. Dalam hal ini penekanannya pada aspek sosial dalam pembelajaran dan penggunaan kelompok yang sederajat untuk menghasilkan pemikiran. Pada sistem pengajaran ini memberikan kesempatan pada siswa untuk bekerjasama dengan temannya dalam tugas-tugas terstruktur dan inilah yang disebut pengajaran gotong royong atau cooperative learning (Slavin, 2015).

(2)

kelompok belajarnya yang lain. Berarti menurut teori konstruktivisme aspek individual dan sosial siswa harus aktif dalam belajar agar bisa membangun pengetahuannya (Suhaenah, 2001).

Teori konstruktivisme menjadi panduan dalam penelitian ini, dimana dalam proses kegiatan belajar mengajar siswa diharapkan dapat berinteraksi dengan teman kelompoknya, menyampaikan ide, pendapat, dan solusi untuk permasalahan yang diberikan oleh guru sehingga siswa mendapatkan pengetahuan dari proses pembelajaran tersebut.

1) Teori Vygotsky

Vygotsky beranggapan bahwa interaksi antar siswa yang membahas tugas – tugas kelompok dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran. Wilayah pembangunan paling dekat sebagai jarak antara level pembangunan aktual seperti penyelesaian masalah secara independen dan level pembangunan potensial seperti penyelesaian masalah dengan bantuan dari teman yang lebih mampu. Kegiatan kolaboratif diantara siswa mendorong pertumbuhan karena siswa yang usianya sebaya lebih menyukai interaksi yang dekat. Perilaku yang diperlihatkan dalam kelompok kolaborasi lebih berkembang daripada yang siswa tunjukkan sebagai individu. (Slavin, 2015).

(3)

Vygotsky memberikan batasan tentang teori perkembangan ZPD, yakni sebagai berikut: jarak antara tingkat perkembangan aktual atau Zone of Actual Development (ZAD) didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial atau Zone of Proximal Development (ZPD) yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sebaya yang lebih mampu. Vygotsky sangat yakin bahwa kemampuan yang tinggi pada umumnya akan muncul dalam dialog atau kerjasama antar individu siswa, sebelum kemampuan yang lebih tinggi itu deserap ke dalam individu siswa (Slavin, 2015).

Ada dua hal yang ditekankan dalam teori Vygotsky, yakni: a) Setting kelas dengan pembelajaran yang berorientasi pada

pembelajaran kooperatif, sehingga siswa dapat berinteraksi dengan temannya dalam tugas – tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-masing ZPD-nya.

b) Penekanan tentang scaffolding, yang artinya memberikan kepada seorang siswa bantuan belajar dan pemecahan masalah pada tahap-tahap awal pembelajaran yang kemudian mengurangi bantuan itu dan memberikan kepada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Bantuan yang diberikan siswa dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, atau yang lain yang memungkinkan siswa tumbuh secara mandiri.

(4)

secara bertahap dikurangi sehingga diharapkan siswa akan mampu memahami dan menyelesaikan permasalahan yang diberikan oleh guru secara mandiri.

b. Teori Belajar Kognitif

Menurut teori belajar kognitif, belajar merupakan suatu proses yang lebih melibatkan mental seseorang, bukan behavioral semata meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata hampir pada semua proses belajar. Belajar bersifat perseptual, dimana tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi dan pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Proses perubahan persepsi dan pemahaman seseorang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang tampak.

1) Teori Belajar Piaget

Menurut Piaget pengetahuan datang dari tindakan dan perkembangan kognitif sebagian besar bergantung pada seberapa jauh siswa tersebut aktif berinteraksi dengan lingkungan. Dalam pandangan Piaget, perkembangan kognitif siswa sebagian besar tergantung pada seberapa jauh siswa tersebut berinteraksi dengan lingkungan secara aktif. Interaksi dengan lingkungan tidaklah cukup untuk mengembangkan pengetahuan kecuali jika intelengensi siswa tersebut mampu memanfaatkan pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungan. Karena perkembangan intelektual siswa didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi (Suparno, 2001).

Menurut Piaget, setiap individu mengalami tingkat – tingkat perkembangan kognitif sebagai berikut :

1) Tingkat Sensori–Motor pada usia 0 sampai 2 tahun dengan ciri perkembangan berdasarkan tindakan langkah demi langkah.

(5)

3) Tingkat Operasional Konkret pada usia 8 sampai 11 tahun dengan ciri perkembangan menggunakan aturan yang jelas dan logis dalam menyelesaikan masalah meskipun terkadang dengan cara “Trial and error”.

4) Tingkat operasional formal pada usia 11 tahun ke atas dengan ciri perkembangan sudah bisa membuat hipotesis, berfikir abstrak, deduktif dan induktif, logis, serta memperhitungkan probabilitas (Suprijono, 2013).

Perkembangan kognitif Piaget merupakan proses adaptasi intelektual. Proses adaptasi ini melibatkan skemata, asimilasi, akomodasi, dan equilibrium. Skemata merupakan struktur kognitif berupa ide, gagasan, konsep, dan gagasan yang dimiliki siswa. Skemata yang dimiliki siswa kemudian mengalami asimilasi, yaitu proses pengintegrasian informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Selanjutnya siswa mengalami proses akomodasi yang merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru. Pada proses akomodasi diperlukan equilibrium, yaitu pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi.

(6)

2. Pembelajaran kimia

Menurut Undang – Undang Republik Indonesia Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa “pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya guru untuk membantu peserta siswa melakukan kegiatan belajar. Tujuan pembelajaran adalah terwujudnya efisiensi dan efektivitas kegiatan belajar yang dilakukan siswa. Pihak-pihak yang terlibat dalam pembelajaran adalah guru dan siswa yang beriteraksi edukatif antara satu dengan lainnya. Terdapat beberapa komponen pembelajaran, yaitu :

a. Guru

Guru merupakan seseorang yang bertindak sebagai pengelola kegiatan belajar mengajar yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluasi peserta didik. b. Siswa

Siswa adalah orang yang berperan sebagai pencari, penerima, dan pelaksana pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

c. Tujuan

Tujuan adalah perubahan yang diinginkan terjadi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Perubahan tersebut meliputi perubahan kognitif, psikomotor, dan afektif.

d. Isi Pelajaran

Isi pelajaran atau materi pelajaran adalah segala informasi berupa fakta, prinsip, dan konsep yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. e. Metode

Metode merupakan suatu strategi pembelajaran yang dilakukan oleh guru meliputi seluruh kegiatan penyajian bahan pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.

f. Media

(7)

g. Evaluasi

Evaluasi merupakan cara yang digunakan untuk menilai suatu proses dan hasilnya. Dilakukan terhadap seluruh komponen kegiatan belajar mengajar dan sekaligus memberikan balikan bagi setiap komponen tersebut.

Kimia menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) adalah ilmu yang termasuk rumpun IPA yang mempunyai karakter mencari jawaban terhadap gejala – gejala alam yang berkaitan dengan struktur, komposisi, sifat, perubahan, dinamika, dan energetika zat. Pembelajaran kimia berupaya mengubah masukan berupa siswa yang belum terdidik menjadi siswa yang terdidik, siswa yang belum memiliki pengetahuan tentang kimia, menjadi siswa yang memiliki sikap, kebiasaan atau tingkah laku yang belum mencerminkan eksistensi dirinya sebagai pribadi baik atau positif, menjadi siswa yang memiliki sikap, kebiasaan dan tingkah laku yang baik. Pembelajaran yang efektif ditandai dengan terjadinya proses belajar dalam diri siswa. Dalam proses pembelajaran kimia, hasil belajar dapat dilihat secara langsung. Dalam pembelajaran kimia, seperti dalam semua ilmu pengetahuan alam, orang terus menerus membuat pengamatan dan mengumpulkan fakta (Keenan, 1984).

Menurut Johnstone (2006), terdapat tiga level pemikiran dalam ilmu kimia, yaitu level makro dan nyata, level submikro, dan level representasional. Level makro dan nyata adalah fenomena yang dapat dilihat, disentuh, dan dicium. Level submikro adalah fenomena yang tidak dapat diamati secara kasat mata. Sedangkan level representasional merupakan representasi dari level submikro dalam bentuk simbol, rumus, persamaan, molaritas, perhitungan matematis, dan grafik. Tiga level pemikiran dalam ilmu kimia tidak ada yang lebih unggul satu sama lain, tetapi berada pada posisi saling melengkapi.

(8)

Berdasarkan uraian tentang karakteristik ilmu kimia, maka pembelajaran kimia harus melingkupi tiga level pemikiran. Pembelajaran dimulai dengan mempelajari fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, kemudian dikaitkan dengan penjelasan konseptual sehingga tidak terjadi miskonsepsi. Guru diharapkan dapat menggambarkan konsep yang abstrak menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa dengan penggambaran tentang konsep tersebut.

3. Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang berdasar faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran.

Berkaitan dengan pembelajaran kooperatif, Slavin (2015) menjelaskan bahwa inti dari pembelajaran kooperatif yaitu para siswa duduk bersama dalam kelompok yang terdiri dari beberapa anggota untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Anggota kelompok terdiri dari beberapa siswa yang heterogen, yaitu siswa dengan prestasi belajar tinggi, sedang, dan rendah, laki-laki dan perempuan, dan juga berasal dari latar belakang etnik yang berbeda. Setelah belajar dalam kelompoknya, siswa mengerjakan kuis secara individu. Skor kuis dari semua siswa dicatat dan kelompok yang memiliki skor rata-rata tertinggi mendapatkan penghargaan yang menarik dari guru.

Menurut penelitian Adeyemo (2010), pembelajaran kooperatif berpengaruh positif terhadap peningkatan pengetahuan, keterampilan, pemahaman, dan komunikasi antar siswa. Roger dan Johnson dalam Suprijono (2013) menjelaskan bahwa keberhasilan dari proses belajar kooperatif adalah karena penerapan lima prinsip, yaitu:

a. Saling Ketergantungan positif (Positive Interdependence)

(9)

ditugaskan kepada kelompok dan tanggung jawab yang kedua adalah menjamin semua anggota kelompok secara individu mempelajari materi yang telah ditugaskan tersebut.

b. Tanggung jawab Perseorangan (Personal Responsibility)

Tanggung jawab perseorangan merupakan kunci yang menjamin semua anggota kelompok memiliki kemampuan yang sama kuat. Setelah mengikuti belajar bersama kelompok, anggota kelompok harus bisa menyelesaikan tugas yang sama secara individual.

c. Interaksi Promotif (Face to Face Promotive Interaction)

Interaksi promotif merupakan unsur penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan positif. Interaksi pormotif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1) saling membantu secara efisien,

2) saling memberi informasi dan sarana yang diperlukan, 3) memproses informasi bersama secara efektif dan efisien, 4) saling mengingatkan,

5) saling membantu dalam merumuskan dan mengembangkan argumentasi serta meningkatkan kemampuan wawasan terhadap masalah yang dihadapi,

6) saling percaya,

7) saling memotivasi untuk memperoleh keberhasilan bersama. d. Komunikasi Antar Anggota (Interpersonal Skill)

Koordinasi antar anggota kelompok diperlukan untuk mencapai tujuan kelompok. Dalam koordinasi kelompok siswa harus:

1) saling mengenal dan mempersayai satu sama lain, 2) mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius, 3) saling menerima dan saling mendukung,

4) mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif. e. Pemrosesan Kelompok (Group Processing)

(10)

tidak aktif dalam belajar kelompok. Tujuan pemrosesan kelompok adalah meningkatkan efektivitas anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapat tujuan kelompok.

4. Model Pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI)

Dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa model pembelajaran yang telah dikembangkan salah satunya adalah model pembelajaran TAI (Team Assisted Individualization). Menurut Slavin (2015), model pembelajaran TAI adalah suatu model pembelajaran yang mengadaptasi pembelajaran dengan perbedaan kemampuan individu siswa secara akademik yang dibantu oleh seorang asisten. Jadi model pembelajaran TAI merupakan model pembelajaran secara kelompok dimana terdapat seorang siswa yang lebih mampu berperan sebagai asisten yang bertugas membantu secara individual siswa lain yang kurang mampu dalam satu kelompok. Dalam hal ini peran pendidik hanya sebagai fasilitator dan mediator dalam proses belajar mengajar. Pendidik cukup menciptakan kondisi lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Pembelajaran dengan TAI mempunyai tujuan untuk meminimalisasi pengajaran individual yang kurang efektif serta untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan, serta motivasi siswa dengan belajar kelompok (Huda, 2014).

Model pembelajaran TAI akan memotivasi siswa untuk saling membantu angggota kelompok sehingga tercipta semangat dalam sistem kompetisi dengan lebih mengutamakan peran individu tanpa mengorbankan aspek kooperatif. Menurut Slavin (2015), secara umum TAI terdiri dari delapan komponen utama, yaitu:

a. Kelompok (Teams)

(11)

hal ini biasanya siswa menggunakan cara pembelajaran diskusi tentang masalah-masalah yang ada, membandingkan soal yang ada, dan mengoreksi beberapa miskonsepsi jika dalam tim mengalami kesalahan. Semuanya tersebut dilakukan setelah presentasi awal dari guru dan pemberian lembar kerja. Anggota kelompok yang mengalami kesulitan dapat bertanya kepada anggota yang telah ditunjuk sebagai ketua atau anggota lain yang lebih tahu.

b. Tes Pengelompokan (Placement Test), yaitu siswa-siswa diberi tes awal pada awal program pengajaran. Hasil dari tes awal digunakan untuk membuat kelompok berdasarkan point yang mereka peroleh.

c. Belajar Mandiri (Student Creative), yaitu siswa terlebih dahulu membaca dan memahami materi pelajaran sebelum masuk dalam kelompok dan mendiskusikan materi pembelajaran tersebut.

d. Belajar Kelompok (Team Study), yaitu tindakan guru yang memberikan seperangkat pembelajaran (seperti uraian materi) agar dipelajari dan dibahas dalam kelompok. Jika ada siswa yang belum paham tentang materi dapat bertanya pada anggota lainnya atau asisten yang telah ditunjuk, apabila masih belum paham baru meminta penjelasan dari guru

e. Penilaian dan Pengakuan Tim (Team Scores and Team Recognition), yaitu proses koreksi hasil tes dan dinilai berdasarkan kriteria tertentu. Tim akan mendapatkan sertifikat atau perhargaan atau sejenisnya jika dapat melampaui kriteria yang telah ditentukan.

f. Mengajar Kelompok (Teaching Group), yaitu Materi yang belum dipahami oleh suatu kelompok dapat ditanyakan kepada guru dan guru menjelaskan materi pada kelompok tersebut. Pada saat guru mengajar, siswa dapat sambil memahami materi baik secara individual dan kelompok dengan kebebasan tetapi bertanggung jawab. Keaktifan siswa sangat diutamakan pada pengajaran TAI.

(12)

mengetahui pemahaman individu. Bahan atau materi dapat berupa ringkasan materi yang dipelajari di rumah kemudian pertemuan selanjutnya dikerjakan.

h. Mengajar Seluruh Kelas (Whole Class Unit), yaitu guru menjelaskan konsep-konsep yang belum dipahami dengan strategi pemecahan masalah yang relevan. Pada akhir pengajaran diberikan kesimpulan dari materi tersebut.

Menurut Daryanto & Rahardjo (2012), dalam pelaksanaan model pembelajaran TAI terdapat langkah-langkah sebagai berikut:

a. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran secara individual.

b. Guru memberikan pertanyaan kepada siswa secara individual.

c. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang heterogen, baik dari segi jenis kelamin, suku, ras, budaya, maupun kemampuan akademik. d. Siswa mendiskusikan hasil belajar individual dalam kelompok. Dalam

diskusi kelompok, setiap siswa saling memeriksa jawaban teman kelompok.

e. Guru mengarahkan siswa dalam membuat rangkuman dan kesimpulan terhadap materi pembelajaran yang telah dipelajari.

f. Guru memberikan pertanyaan kepada siswa secara individual.

g. Guru memberikan penghargaan kepada kelompok berdasarkan peningkatan nilai awal sampai menjadi nilai akhir.

(13)

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dilihat kelebihan TAI, antara lain:

a. meningkatkan hasil belajar,

b. meningkatkan motivasi belajar pada siswa, c. dapat membantu siswa yang lemah,

d. mengajarkan siswa bekerja sama dalam suatu kelompok,

e. menimbulkan rasa tanggung jawab dalam kelompok dalam menyelesaikan masalah.

Meskipun memiliki banyak kelebihan, metode TAI juga masih terdapat kekurangan, antara lain:

a. membutuhkan waktu yang lama untuk membuat dan mengembangkan perangkat pembelajaran,

b. tidak semua materi dapat diterapkan menggunakan metode pembelajaran TAI,

c. menimbulkan ketergantungan siswa, yakni siswa yang kurang pandai secara tidak langsung akan bergantung pada siswa yang pandai,

d. menimbulkan sikap pasif kepada siswa tertentu, karena hanya mengandalkan teman sekelompok dan tidak mau berusaha.

5. Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT)

Model pembelajaran Numbered Head Together (NHT) merupakan model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Spencer Kagen. Model pembelajaran NHT pada dasarnya digunakan untuk melibatkan siswa dalam penguatan pemahaman pembelajaran serta proses pengecekan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran tersebut (Daryanto, dkk. 2012). Model pembelajaran NHT memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling bertukar ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu model ini juga dapat meningkatkan semangat kerja sama siswa.

(14)

a. Penomoran (Numbering)

Pembelajaran dimulai dengan Numbering. Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil. Jumlah kelas sebaiknya mempertimbangkan jumlah konsep yang diperlajari. Jika jumlah siswa dalam satu kelas terdiri dari 40 orang dan terbagi menjadi 5 kelompok berdasarkan jumlah konsep yang dipelajari, maka tiap kelompok terdiri dari 8 orang. Tiap-tiap orang dalam kelompok diberi nomor 1-8.

b. Berpikir bersama (Heads Together)

Setelah kelompok terbentuk guru mengajukan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh tiap-tiap kelompok. Guru memberikan kesempatan kepada tiap-tiap kelompok untuk menemukan jawaban. Pada kesempatan ini kelompok menyatukan kepalanya “Heads Together” berdiskusi memikirkan jawaban atas pertanyaan dari guru.

c. Pemberian jawaban (Answering)

Langkah berikutnya adalah guru memanggil siswa yang memiliki nomor yang sama dari tiap-tiap kelompok. Mereka diberi kesempatan memberi jawaban atas pertanyaan yang telah diterimanya dari guru. Hal ini dilakukan terus hingga semua siswa dengan nomor yang sama dari masing-masing kelompok mendapatkan giliran memaparkan jawabannya. Berdasarkan jawaban-jawaban tersebut guru dapat mengembangkan diskusi lebih mendalam, sehingga siswa dapat menemukan jawaban pertanyaan itu sebagai pengetahuan yang utuh.

Menurut Huda (2014), tahapan pelaksanaan model pembelajaran NHT adalah sebagai berikut:

a. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok.

b. Masing-masing siswa dalam kelompok diberi nomor.

c. Guru memberi tugas pada masing-masing kelompok untuk mengerjakannya.

(15)

e. Guru memanggil salah satu nomor secara acak.

f. Siswa dengan nomor yang dipanggil mempresentasikan jawaban dari hasil diskusi kelompoknya.

Berdasarkan penelitian Hunter (2012), menyatakan bahwa model pembelajaran NHT dapat meningkatkan partisipasi dan aktivitas siswa pada pembelajaran matematika. Sehingga skor akhir siswa menjadi meningkat dari skor awal. Menurut Hamdani (2011), kelebihan model pembelajaran Numbered Head Together (NHT) antara lain:

a. Setiap siswa menjadi siap mempelajari materi pembelajaran. b. Siswa dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh. c. Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.

Sedangkan menurut Kusumojanto (2009), .kelemahan dari model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) yaitu :

g. Model Numbered Head Together (NHT) tidak dapat diterapkan dalam semua mata pelajaran, metode ini lebih relevan diterapkan pada materi yang bersifat pengembangan dan penalaran.

h. Dengan menggunakan model Numbered Head Together (NHT) suasana di kelas menjadi tidak terkontrol.

6. Kemampuan Memori

Memori sebagai fungsi artinya suatu daya untuk menerima, menyimpan, dan memperoleh kembali. Memori biasanya disebut juga dengan ingatan. Ingatan dapat didefinisikan sebagai daya untuk mencamkam, menyimpan, dan memproduksi kembali kesan-kesan yang telah dialami (Baharuddin, 2007). Kemampuan memori merujuk pada kemampuan pembelajar untuk secara mental menyimpan hal-hal yang telah mereka pelajari sebelumnya (Ormrod, 2008).

(16)

a. Pengkodean

Pengkodean merupakan proses memasukkan informasi ke dalam memori. Proses-proses dalam pengkodean antara lain : pengulangan, pemrosesan yang mendalam, elaborasi, pembentukan gambaran, evaluasi.

b. Penyimpanan

Penyimpanan merupakan proses menyimpan informasi yang telah diketahui. Terdapat tiga komponen memori untuk menyimpan informasi berdasarkan perilaku manusia yaitu :

1) Memori sensoris (sensory memory)

Menyimpan memori dalam bentuk sensoris aslinya hanya untuk waktu sekejap, tidak lebih lama dari waktu singkat seseorang siswa terpapar sensasi pendengaran, pendengaran, dan lainnya.

2) Memori jangka pendek (short-term memory)

Sistem memori dengan kapasitas yang terbatas dimana informasi disimpan selama 30 detik, kecuali jika informasi tersebut diulang atau diproses lebih lanjut akan dapat disimpan lebih lama.

3) Memori jangka panjang (long-term memory)

Jenis memori yang dapat menyimpan banyak sekali informasi untuk jangka waktu yang lama dan dalam cara yang lebih permanen.

c. Pemanggilan kembali

Pemanggilan kembali adalah mengeluarkan informasi yang telah tersimpan dalam memori.

(17)

siswa diuji dengan cara mengungkapkan kembali materi yang telah diingat dengan cara memasangkan kata dengan kodenya.

Variabel kemampuan memori berskala pengukuran interval yang dibedakan menjadi kategori tinggi dan rendah. Perbedaan kategori ini berdasarkan pada skor rata-rata kedua kelas eksperimen. Siswa dengan perolehan skor di atas atau sama dengan skor rata-rata dimasukkan dalam kategori tinggi, sedangkan siswa dengan perolehan skor di bawah skor rata-rata dimasukkan dalam kategori rendah.

Penelitian tentang hubungan kemampuan memori dengan prestasi belajar pernah dilakukan oleh Destya (2012) memberikan kesimpulan bahwa kemampuan memori mempengaruhi prestasi kognitif siswa. Siswa dengan kemampuan memori tinggi memiliki prestasi belajar kognitif yang lebih baik daripada siswa dengan kemampuan memori rendah. Kemampuan memori tinggi akan memudahkan siswa mengingat kembali materi yang telah disampaikan sehingga prestasi belajar yang tercapai akan tinggi.

7. Prestasi Belajar

Prestasi belajar adalah pencapaian seseorang dalam menguasai materi–materi yang telah diajarkan (Azwar, 2012). Prestasi belajar merupakan fungsi yang penting dari suatu pembelajaran. Pengukuran prestasi belajar dilakukan dengan serangkaian alat evaluasi yang baik dan memenuhi syarat.

Dalam pembelajaran KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sistem penilaian prestasi belajar ditinjau dari tiga aspek yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor.

a. Aspek Kognitif

Segala kegiatan yang mencakup kegiatan otak termasuk dalam ranah kognitif, menurut Bloom dalam Anderson (2001) terdapat 6 jenjang berpikir diantaranya:

(18)

mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya. Pengetahuan atau ingatan merupakan jenjang paling rendah.

2) Pemahaman (understand) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diingat dan diketahui. Pemahaman setingkat lebih tinggi diatas pengetahuan.

3) Penerapan (apply) adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, rumus, teori dan sebagainya dalam situasi yang baru dan konkrit. Aplikasi ini setingkat lebih tinggi dibanding pemahaman.

4) Analisis (analyze) kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu untuk memahami hubungan antar bagian satu dengan lainnya.

5) Penilaian (evaluate), adalah jenjang berpikir paling tinggi yang terdapat dalam taksonomi Bloom. Penilaian adalah kemampuan seseorang untuk memutuskan sesuatu untuk membuat keputusan ketika dihadapkan dalam beberapa pilihan yang harus dipilih sesuai dengan apa yang dipelajarinya.

6) Pembuatan (create) merupakan tingkatan tertinggi yaitu menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan.

b. Aspek Afektif

Kawasan afektif merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap hati (attitude) yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Tujuan afektif terdiri dari yang paling sederhana, yaitu memperhatikan suatu fenomena sampai kepada yang komplek yang merupakan faktor internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani.

Selain itu juga terdapat karakteristik afektif yang penting yaitu: 1) Sikap, merupakan suatu kecenderungan untuk bertindak secara suka

atau tidak suka terhadap suatu objek,

(19)

3) Konsep diri, evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki,

4) Nilai merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk,

5) Moral, berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan tehadap tindakan yang dilakukan diri sendiri.

c. Aspek Psikomotor

Menurut Sudjana (2005) ranah psikomotorik berkenaan dengan keterampilan atau kemampuan bertindak setelah ia menerima pengalaman belajar tertentu. Pengukuran keberhasilan pada aspek keterampilan ditujukan pada keterampilan kerja dan ketelitian dalam mendapat hasil. Evaluasi dari aspek keterampilan yang dimiliki siswa bertujuan mengukur sejauh mana siswa dapat menguasai teknik praktikum, khususnya dalam penggunaan alat dan bahan, pengumpulan data, meramalkan, dan menyimpulkan.

Prestasi yang dicapai seseorang individu merupakan hasil interaksi antara faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal maupun faktor eksternal individu. Dalam penelitian ini faktor internal yang dibahas adalah minat belajar siswa, sedangkan faktor eksternalnya adalah metode dan media pembelajaran.

Ada dua faktor utama yang mempengaruhi prestasi belajar, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor dari dalam diri siswa itu sendiri yang meliputi motivasi, minat, kreativitas, perhatian, dan kebebasan belajar. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri siswa yang meliputi lingkungan belajar terutama kualitas pendidikan (Sudjana, 2005).

(20)

internal adalah faktor yang ada dalam individu yang sedang belajar, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang ada diluar individu.

Faktor internal meliputi 3 aspek, yaitu :

1) Faktor jasmaniah, meliputi ; kesehatan dan cacat tubuh.

2) Faktor psikologis, meliputi : intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan.

3) Faktor kelelahan, meliputi : kelelahan jasmani dan kelelahan rohani. Sedangkan faktor eksternal meliputi 3 aspek, yaitu :

1) Faktor keluarga, meliputi : cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan.

2) Faktor sekolah meliputi ; metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran diatas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah.

3) Faktor masyarakat, meliputi : kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat.

8. Sistem Koloid

(21)

membutuhkan kemampuan pemahaman dan kemampuan memori yng baik untuk dapat menguasai materi sistem koloid.

a. Pengertian Sistem Larutan, Koloid dan Suspensi

Dalam suatu suspensi, paling sedikit satu komponen yang relatif mempunyai ukuran lebih besar akan saling tersebar dengan komponen lainnya. Ukuran partikel tersuspensi lebih besar dari 100 nm. Pasir yang halus yang tersuspensi dalam air, salju yang berterbangan di udara, atau endapan yang terbentuk dari reaksi kimia. Ukuran partikel yang tersuspensi cukup besar untuk dapat dilihat baik dengan mata telanjang atau dengan mikroskop. Jika campuran tidak diaduk, maka partikel-partikel suspensi akan mengendap karena pengaruh gaya tarik bumi sehingga akan terbentuk fase yang heterogen.

Pada larutan, semua partikelnya mempunyai ukuran sebesar molekul atau ion. Ukuran partikel zat terlarut kurang dari 1 nm (1 nm = 10–9 m). Partikel ini tersebar secara merata antara masing-masing dan menghasilkan suatu fase homogen. Karena solven dan solut menyatu maka sifat fisik larutan sedikit berbeda dari solven murninya sendiri. Contohnya adalah gula yang dilarutkan dalam air akan menyatu dengan air seluruhnya.

Koloid merupakan campuran yang berada di antara larutan sejati dan suspensi. Contoh koloid adalah susu segar yang terdiri dari butiran-butiran halus dari lemak mentega yang terdispersi dalam fase air yang juga mengandung kasein dan beberapa zat lainnya. Ukuran partikel koloid berkisar antara 1 nm – 100 nm. Dalam partikel koloid, partikel terdispersinya lebih besar dari partikel larutan tetapi lebih kecil dari partikel yang ada pada suspensi (Brady, 1999).

air. Campuran seperti inilah yang disebut koloid. Jadi, koloid tergolong campuran heterogen dan merupakan sistem dua fasa.

b. Perbedaan Larutan, Koloid, dan Suspensi

(22)

Tabel 2.1. Perbandingan Sifat Larutan, Koloid, dan Suspensi

No Larutan Koloid Suspensi

1. Homogen, tidak dapat dibedakan walaupun dengan mikroskop ultra

Bersifat homogen bila diamati secara makroskopis, tetapi bersifat heterogen bila diamati dengan mikroskop ultra Heterogen 2. Ukuran partikel kurang dari 10-7 cm (1 nm)

Ukuran partikel dari 10-7 cm - 10-5 cm (1 nm – 100 nm)

Ukuran partikel lebih dari 10-5 cm (100 nm)

3. Satu fase Dua fase Dua fase

4. Bersifat stabil Pada umumnya stabil Tidak stabil 5. Tidak dapat

disaring,

meskipun dengan penyaring ultra

Tidak dapat disaring dengan penyaring biasa, tetapi dapat disaring dengan penyaring ultra Dapat disaring 6. Contoh : Larutan gula, larutan garam, larutan cuka Contoh :

Sabun, susu, santan, jelly, mentega

Contoh :

Campuran pasir dengan air (Sumber: Utami dkk, 2009).

c. Jenis-jenis Sistem Koloid

Koloid terdiri dari dua fase, yaitu fase terdispersi dan medium pendispersi. Fase terdispersi adalah yang terlarut di dalam koloid. Medium pendispersi adalah pelarut di dalam koloid. Fase terdispersi maupun medium pendispersi dapat berwujud padat, cair, maupun gas. Sistem koloid dapat dikelompokkan seperti pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Jenis-jenis Dispersi Koloid Medium

Pendispersi

Fase terdispersi

Nama Koloid Contoh

Padat Padat Padat Cair Sol padat Emulsi padat Mutiara, Opal Keju, Mentega

Padat Gas Busa Padat Batu apung

Cair Padat Sol, Gel Pati dalam air, Cat

Cair Cair Emulsi Susu, Mayones

Cair Gas Busa Krim kue tar

Gas Padat Aerosol Padat Asap dan Debu

Gas Cair Sol Cat, kanji, dan tinta

(23)

Campuran gas dengan gas tidak membentuk sistem koloid, tetapi suatu larutan dalam fase gas bercampur baik secara homogen dalam segala perbandingan.

1) Aerosol

Sistem koloid dari partikel padat atau cair yang terdispersi dalam medium gas disebut aerosol. Jika zat yang terdispersi berupa zat padat, disebut aerosol padat; jika zat yang terdispersi berupa zat cair, disebut aerosol cair/aerosol. Contoh aerosol padat yaitu asap dan debu dalam udara sedangkan.Contoh aerosol cair yaitu kabut dan awan.

Dewasa ini banyak produk dibuat dalam bentuk aerosol, seperti semprot rambut (hair spray), semprot obat nyamuk, parfum, cat semprot, dan lain-lain. Untuk menghasilkan aerosol diperlukan suatu bahan pendorong (propelan aerosol). Contoh bahan pendorong yang banyak digunakan adalah senyawa klorofluorokarbon (CFC) dan karbon dioksida.

2) Sol

Sistem koloid dari partikel padat yang terdispersi dalam zat cair disebut sol. Koloid jenis sol banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam industri. Contoh sol yaitu air sungai (sol dari lempung dalam air), sol sabun, sol detergen, sol kanji, tinta tulis, dan cat.

3) Emulsi

Sistem koloid dari zat cair yang terdispersi dalam zat cair lain disebut emulsi. Syarat terjadinya emulsi ini adalah dua jenis zat cair itu tidak saling melarutkan. Emulsi dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu emulsi minyak dalam air (M/A) dan emulsi air dalam minyak (A/M). Dalam hal ini, minyak diartikan sebagai semua zat cair yang tidak bercampur dengan air.

(24)

dalam minyak (A/M): mentega, mayones, minyak bumi, dan minyak ikan.

Emulsi terbentuk karena pengaruh suatu pengemulsi (emulgator). Contohnya adalah sabun yang dapat mengemulsikan minyak ke dalam air. Jika campuran minyak dengan air dikocok, maka akan diperoleh suatu campuran yang segera memisah jika didiamkan. Akan tetapi, jika sebelum dikocok ditambahkan sabun atau detergen, maka diperoleh campuran yang stabil yang kita sebut emulsi. Contoh lainnya adalah kasein dalam susu dan kuning telur dalam mayones. 4) Buih

Sistem koloid dari gas yang terdispersi dalam zat cair disebut buih. Seperti halnya dengan emulsi, untuk menstabilkan buih diperlukan zat pembuih, misalnya sabun, deterjen, dan protein. Buih dapat dibuat dengan mengalirkan suatu gas ke dalam zat cair yang mengandung pembuih.

Buih digunakan pada berbagai proses, misalnya buih sabun pada pengolahan bijih logam, pada alat pemadam kebakaran, dan lain-lain. Adakalanya buih tidak dikehendaki. Zat-zat yang dapat memecah atau mencegah buih, antara lain eter, isoamil alkohol, dan lain-lain. 5) Gel

Koloid yang setengah kaku (antara padat dan cair) disebut gel. Contoh: agar-agar, lem kanji, selai, gelatin, gel sabun, dan gel silika. Gel dapat terbentuk dari suatu sol yang zat terdispersinya mengadsorpsi medium dispersinya, sehingga terjadi koloid yang agak padat.

(Utami dkk, 2009). d. Sifat – Sifat Koloid

1) Efek Tyndall

(25)

walaupun partikel koloidnya sendiri tidak tampak. Jika partikel terdispersinya kelihatan, maka sistem tersebut bukan koloid melainkan suspensi.

Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat beberapa peristiwa efek Tyndall, antara lain:

a) Sorot lampu mobil pada malam yang berkabut.

b) Berkas sinar matahari yang melalui celah daun pohon pada pagi hari yang berkabut

c) Sorot lampu proyektor dalam gedung bioskop yang berasap atau berdebu.

2) Gerak Brown

Gerak Brown adalah gerak acak atau gerak zig-zag yang dilakukan oleh partikel-partikel koloid. Gerak Brown terjadi akibat tumbukan yang tidak seimbang dari molekul-molekul medium terhadap partikel koloid. Interaksi tumbukan antar partikel tidak seimbang karena adanya perbedaan ukuran partikel koloid dengan mediumnya sehingga partikel bergerak secara acak dan zig-zag.

Gerak Brown dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu, semakin cepat gerak Brown karena energi kinetik medium meningkat, sehingga menghasilkan tumbukan yang lebih kuat. Gerak Brown merupakan salah satu faktor yang menstabilkan koloid. Oleh karena bergerak terus-menerus, maka pertikel koloid dapat mengimbangi gaya gravitasi sehingga tidak mengalami sedimentasi atau pengendapan. 3) Muatan Listrik pada Koloid

Pada umumnya partikel koloid bermuatan listrik, ada yang positif dan negatif. Koloid bermuatan listrik akibat menyerap ion-ion yang ada di permukaan partikel. Adanya muatan pada koloid dapat menyebabkan terjadinya peristiwa adsorpsi, elektroforesis, dan koagulasi.

(26)

a) Adsorpsi

Adsorpsi adalah penyerapan ion-ion oleh permukaan partikel koloid. Partikel koloid sol memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi partikel pendispersi pada permukaannya. Daya adsorpsi partikel koloid tergolong besar karena partikelnya memberikan suatu permukaan yang luas.

Penggunaan sifat adsorpsi pada koloid terjadi dalam berbagai proses, seperti penjernihan air. Sebagai contoh, koloid Fe(OH)3 dalam air menyerap ion hidrogen (H+) sehingga partikelnya bermuatan positif. Koloid As2S3 menyerap ion hidroksida (OH-) sehinnga partikel bermuatan negatif.

b) Elektroforesis

Elektroforesis adalah pergerakan partikel koloid dalam medan listrik. Apabila ke dalam sistem koloid dimasukkan dua batang elektroda, kemudian dihubungkan dengan sumber arus searah, maka partikel koloid akan bergerak ke salah satu elektroda tergantung pada jenis muatannya. Koloid bermuatan negatif akan bergerak ke elektroda positif (anoda), sedangkan koloid yang bermuatan positif bergerak ke elektroda negatif (katoda). Dengan demikian, elektroforesis dapat digunakan untuk menentukan jenis muatan koloid (Utami dkk, 2009).

(27)

c) Koagulasi

Apabila muatan suatu koloid dilucuti, maka kestabilan koloid tersebut akan berkurang dan dapat menyebabkan koagulasi atau pengggumpalan. Pelucutan muatan koloid dapat terjadi pada sel elektroforesis atau jika elektrolit ditambahkan ke dalam sistem koloid.

Koagulasi koloid yang disebabkan oleh penambahan larutan elektrolit terjadi ketika koloid yang bermuatan negatif menarik ion positif (kation), sedangkan koloid yang bermuatan positif akan menarik ion negatif (anion). Ion-ion tersebut akan membentuk selubung lapisan kedua. Apabila selubung lapisan kedua tersebut terlalu dekat, maka selubung tersebut akan menetralkan muatan koloid sehingga terjadi koagulasi. Semakin besar muatan ion, semakin kuat daya tarik-menariknya dengan partikel koloid, sehingga semakin cepat terjadi koagulasi.

Beberapa contoh peristiwa koagulasi dalam kehidupan sehari-hari antara lain pembentukan delta di muara sungai yang terjadi karena koloid tanah liat (lempung) dalam air sungai mengalami koagulasi ketika bercampur dengan elektrolit dalam air laut. Karet dan lateks dapat digumpalkan dengan penambahan asam format. Lumpur koloidal dalam sungai dapat digumpalkan dengan menambahkan tawas. Sol dalam tanah liat biasanya bermuatan negatif, sehingga akan digumpalkan oleh ion Al+ dari tawas (Al2(SO4)3). Asap atau debu dari pabrik dan industri dapat digumpalkan dengan alat koagulasi listrik dari Cottrel.

d) Koloid Pelindung

(28)

tidak dapat lagi mengelompok. Beberapa contoh koloid pelindung antara lain penggunaan gelatin pada pembuatan es krim untuk mencegah pembentukan kristal besar es atau gula, Cat dan tinta dapat bertahan lama karena menggunakan suatu koloid pelindung, dan zat-zat pengemulsi, seperti sabun dan detergen, juga tergolong koloid pelindung.

e) Dialisis

Pada pembuatan suatu koloid, sering kali terdapat ion-ion yang dapat mengganggu kestabilan koloid tersebut. Ion-ion pengganggu ini dapat dihilangkan dengan suatu proses yang disebut dialisis. Dalam proses ini, sistem koloid dimasukkan ke dalam suatu kantong koloid, lalu kantong koloid itu dimasukkan ke dalam bejana yang berisi air mengalir. Kantong koloid terbuat dari selaput semipermiabel, yaitu selaput yang dapat melewatkan partikel-partikel kecil, seperti ion-ion atau molekul sederhana, tetapi menahan koloid. Dengan demikian, ion-ion keluar dari kantong dan hanyut bersama air.

e. Koloid Liofil dan Koloid Liofob

Koloid yang memiliki medium dispersi cair dibedakan atas koloid liofil dan koloid liofob. Suatu koloid disebut koloid liofil apabila terdapat gaya tarik-menarik yang cukup besar antara zat terdispersi dengan mediumnya. Liofil berarti suka cairan (Yunani: lio = cairan, philia = suka). Sebaliknya, suatu koloid disebut koloid liofob jika gaya tarik-menarik tersebut tidak ada atau sangat lemah. Liofob berarti tidak suka cairan (Yunani: lio = cairan, phobia = takut atau benci). Jika medium dispersi yang dipakai adalah air, maka kedua jenis koloid di atas masing-masing disebut koloid hidrofil dan koloid hidrofob. Contoh koloid hidrofil antara lain sabun, detergen, agar-agar, kanji, dan gelatin. Sedangkan contoh koloid hidrofob yaitu sol belerang, sol Fe(OH)3, sol-sol sulfida, dan sol-sol logam.

(29)

cairan/air mediumnya. Hal ini disebut solvatasi/hidratasi. Dengan cara itu butir-butir koloid tersebut terhindar dari agregasi (pengelompokan). Hal demikian tidak terjadi pada koloid liofob/hidrofob. Koloid liofob/hidrofob mendapat kestabilan karena mengadsorpsi ion atau muatan listrik.

Sol hidrofil tidak akan menggumpal pada penambahan sedikit elektrolit. Zat terdispersi dari sol hidrofil dapat dipisahkan dengan pengendapan atau penguapan. Apabila zat padat tersebut dicampurkan kembali dengan air, maka dapat membentuk kembali sol hidrofil. Dengan perkataan lain, sol hidrofil bersifat reversibel. Sebaliknya, sol hidrofob dapat mengalami koagulasi pada penambahan sedikit elektrolit. Perbedaan sol hidrofil dan sol hidrrofob dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Perbedaan Sol Hidrofil dengan Sol Hidrofob

No. Sol Hidrofil Sol Hidrofob

1. Mengadsorpsi mediumnya Tidak mengadsorpsi mediumnya

2. Dapat dibuat dengan konsentrasi yang relatif besar

Hanya stabil pada konsentrasi kecil 3. Tidak mudah digumpalkan

dengan penambahan elektrolit

Mudah menggumpal pada penambahan elektrolit 4. Viskositas lebih besar

daripada mediumnya

Viskositas hampir sama dengan mediumnya 5. Bersifat reversibel Tidak reversibel

6. Efek Tyndall lemah Efek Tyndall lebih jelas (Sumber: Utami dkk, 2009).

f. Pembuatan Sistem Koloid

Sistem koloid dapat dibuat dengan pengelompokan (agregasi) partikel larutan sejati atau menghaluskan bahan dalam bentuk kasar, kemudian diaduk dengan medium pendispersi. Cara yang pertama disebut cara kondensasi, sedangkan yang kedua disebut cara dispersi.

1) Cara Kondensasi

(30)

reaksi redoks, hidrolisis, dan dekomposisi rangkap, atau dengan pergantian pelarut.

a) Reaksi Redoks

Reaksi redoks adalah reaksi yang disertai perubahan bilangan oksidasi.

Contoh:

Pembuatan sol belerang dari reaksi antara hidrogen sulfida (H2S) dengan belerang dioksida (SO2), yaitu dengan mengalirkan gas H2S ke dalam larutan SO2.

2H2S(g) + SO2(aq) → 2H2O(l) + 3S (koloid) b) Hidrolisis

Hidrolisis adalah reaksi suatu zat dengan air. besi (III) klorida yang berwarna coklat tua jika dilarutkan ke dalam air akan menguraikan air membentuk ion OH- dan H+. Ion-ion OH- bereaksi dengan besi (III) klorida membentuk besi (III) hidroksida.

Reaksi kimianya sebagai berikut:

FeCl3(aq) + 3H2O(l) → Fe(OH)3 (koloid) + 3 HCl(aq) Ukuran partikel Fe(OH)3 yang terbentuk lebih besar daripada ukuran larutan sejati, tetapi tidak cukup besar untuk mengendap.

(Sunarya, 2012). c) Dekomposisi Rangkap

Contoh:

Sol As2S3 dapat dibuat dari reaksi antara larutan H3AsO3 dengan larutan H2S.

2H3AsO3(aq) + 3H2S(aq) → As2S3(koloid) + 6H2O(l) d) Penggantian Pelarut

Selain dengan cara-cara kimia seperti di atas, koloid juga dapat terjadi dengan penggantian pelarut.

Contoh:

(31)

2) Cara Dispersi

Dengan cara dispersi, partikel kasar dipecah menjadi partikel koloid. Cara dispersi dapat dilakukan secara mekanik, peptisasi, atau dengan loncatan bunga listrik (cara busur Bredig).

a) Cara Mekanik

Menurut cara ini, butir-butir kasar digerus dengan lumping atau penggiling koloid sampai diperoleh tingkat kehalusan tertentu, kemudian diaduk dengan medium dispersi.

Contoh:

Sol belerang dapat dibuat dengan menggerus serbuk belerang bersama-sama dengan suatu zat inert (seperti gula pasir), kemudian mencampur serbuk halus itu dengan air.

b) Cara Peptisasi

Peptisasi adalah cara pembuatan koloid dari butir-butir kasar atau dari suatu endapan dengan bantuan suatu zat pemeptisasi (pemecah). Zat pemeptisasi memecahkan butir-butir kasar menjadi butir-butir koloid. Istilah peptisasi dikaitkan dengan peptonisasi, yaitu proses pemecahan protein (polipeptida) yang dikatalisis oleh enzim pepsin. Agar-agar dipeptisasi oleh air, nitroselulosa oleh aseton, karet oleh bensin merupakan contoh pembuatan koloid dengan cara peptisasi. Endapan NiS dipeptisasi oleh H2S dan endapan Al(OH)3 oleh AlCl3.

c) Cara Busur Bredig

(32)

B. Kerangka Berpikir

Keberhasilan proses belajar mengajar dapat dilihat dari prestasi belajar yang diperoleh. Prestasi belajar dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal yang perlu diperhatikan adalah pemilihan metode pembelajaran yang tepat dan efektif. Sedangkan salah satu faktor internal yang berpengaruh adalah kemampuan memori. Dalam hal mempelajari ilmu kimia, kemampuan memori dalam diri siswa dapat menjadi faktor internal yang berpengaruh pada prestasi siswa.

Dalam kegiatan belajar-mengajar di SMA Negeri 3 Boyolali selama ini, masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam mempelajari materi kimia, khususnya materi Sistem koloid. Hal ini karena karakteristik materi sistem koloid yang berupa pemahaman konsep dan banyaknya hafalan. Selain itu, proses pembelajaran yang digunakan guru masih bersifat konvensional, yaitu metode ceramah dan pemberian tugas, sehingga proses pembelajaran menjadi kurang menyenangkan.

1. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Team Assisted Individualization (TAI) dan Numbered Heads Together (NHT) terhadap

Prestasi Belajar Siswa pada Materi Pokok Sistem Koloid

Berkenaan dengan proses pembelajaran, guru sebisa mungkin menerapkan model pembelajaran yang tepat dan efektif. Diharapkan model tersebut mampu meningkatkan daya serap siswa terhadap materi pelajaran. Model pembelajaran yang digunakan oleh guru sangat menentukan keberhasilan siswa dalam memahami suatu konsep materi tertentu. Pemilihan model pembelajaran harus disesuaikan dengan materi yang disampaikan, kondisi siswa, sarana yang tersedia dan tujuan pembelajarannya.

(33)

memerlukan daya pemahaman dan daya hafalan yang cukup sehingga diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat mempermudah cara belajar siswa.

Untuk melibatkan siswa secara aktif, digunakan model pembelajaran kooperatif. Dalam penelitian ini, model pembelajaran kooperatif yang digunakan adalah model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) dan Numbered Heads Together (NHT). Kedua model pembelajaran ini tergolong ke dalam jenis model kooperatif struktural yaitu model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan temannya dalam tugas-tugas terstruktur dengan sistem gotong-royong. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran menyebabkan materi sistem koloid lebih mudah dipahami oleh siswa.

Metode pembelajaran Teams Assisted Individualization (TAI) merupakan metode pembelajaran secara kelompok dimana terdapat seorang siswa yang lebih mampu, berperan sebagai asisten yang bertugas membantu secara individual siswa lain yang kurang mampu dalam satu kelompok. Dalam hal ini peran pendidik hanya sebagai fasilitator dan mediator dalam proses belajar mengajar. Pendidik cukup menciptakan kondisi lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya.

Model pembelajaran yang dipakai selain model Teams Assisted Individualization (TAI) adalah model pembelajaran Numbered Head Together (NHT). NHT merupakan model pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling bertukar ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu model ini juga dapat semangat kerja sama siswa.

(34)

2. Pengaruh Kemampuan Memori terhadap Prestasi Belajar Siswa pada Materi Pokok Sistem Koloid

Dalam proses mempelajari materi Sistem Koloid yang mempunyai banyak hafalan, maka kemampuan memori yang dimiliki oleh siswa sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar. Semakin tinggi kemampuan memori yang dimiliki oleh siswa, semakin mudah pula siswa dalam mengingat materi yang telah dipelajari. Dengan banyaknya materi yang diingat siswa, akan mempermudah siswa dalam mencapai prestasi belajar kognitif yang tinggi. Dengan demikian, dapat diduga bahwa ada pengaruh kemampuan memori terhadap prestasi belajar siswa, dimana siswa yang memiliki kemampuan memori tinggi memiliki prestasi belajar kognitif yang lebih baik daripada siswa yang memiliki kemampuan memori rendah.

Namun asumsi ini akan berbeda jika ditinjau dari prestasi belajar afektif siswa. Hal ini dikarenakan penilaian prestasi belajar afektif hanya untuk mengetahui penerimaan, respons, penilaian, pengorganisasian, dan karakterisasi siswa, baik penerimaan maupun respon terhadap materi pembelajaran maupun model pembelajaran setelah proses pembelajaran selesai melalui angket yang diberikan pada masing-masing siswa. Sehingga siswa tidak membutuhkan ingatan atau kemampuan memori dalam mengisi angket, melainkan hanya memilih jawaban yang sesuai dengan sikapnya selama proses pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian. Dengan demikian jelas bahwa perbedaan kemampuan memori tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar afektif.

(35)

3. Interaksi antara Model Pembelajaran Kooperatif Teams Assisted

Individualization (TAI) dan Model Pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) dengan Kemampuan Memori terhadap Prestasi Belajar

Siswa pada Materi Pokok Sistem Koloid

Pada pembelajaran materi Sistem Koloid menggunakan model pembelajaran Teams Assisted Individualization (TAI) ditinjau dari kemampuan memori siswa, dimungkinkan akan terjadi fenomena dimana siswa yang memiliki kemampuan memori tinggi yang diajar dengan model pembelajaran Teams Assisted Individualization (TAI) akan memiliki prestasi belajar yang setara atau sebanding dengan prestasi siswa yang memiliki kemampuan memori tinggi yang diajar dengan model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT). Hal ini disebabkan karena siswa yang berkemampuan tinggi, dengan didukung oleh kemampuan awal yang setara/ seimbang, maka siswa dengan kemampuan memori tinggi akan lebih mudah dalam menangkap konsep materi pelajaran sehingga menyebabkan prestasinya lebih baik pada kedua jenis perlakuan dalam pembelajaran. Adapun siswa yang memiliki kemampuan memori rendah yang diajar dengan model pembelajaran Teams Assisted Individualization (TAI) akan memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki kemampuan memori rendah yang diajar dengan model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT). Hal ini disebabkan karena pada pembelajaran Teams Assisted Individualization (TAI) terdapat asisten yang dapat membantu menjelaskan materi pada siswa dengan kemampuan memori rendah di dalam kelompoknya.

(36)

Gambar 2.1. Skema Kerangka Berfikir

C. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir tersebut dapat diambil hipotesis sebagai berikut :

1. Model pembelajaran kooperatif Teams Assisted Individualization (TAI) dan Numbered Head Together (NHT) berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa pada materi pokok sistem koloid.

2. Kemampuan memori berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa pada materi pokok Sistem Koloid.

3. Terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif Teams Assisted Individualization (TAI) dan Numbered Head Together (NHT) dengan tinggi rendahnya kemampuan memori terhadap prestasi belajar siswa pada materi pokok Sistem Koloid.

Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

siswa Faktor Eksternal Pembelajaran Kooperatif Model Pembelajaran TAI Model Pembelajaran NHT Faktor Internal Kemampuan Memori Tinggi Rendah

Gambar

Gambar 2.1. Skema Kerangka Berfikir

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai strategi pembelajaran cooperative learning membutuhkan rancangan dan persiapan yang sistematis. Guru harus melakukan langkah- langkah pokok sebagaimana dalam

Metode pembelajaran jolly phonics merupakan salah satu cara mengajarkan anak membaca dan menulis yang menggunakan pendekatan bottom up process dan top-down

Model Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang memicu siswa untuk aktif dalam pembelajaran serta menitikberatkan pada masalah dunia nyata (kehidupan

Bahan ajar yang akan disampaikan kepada peserta didik dengan strategi tertentu harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) relevan dengan standar kompetensi mata

Model pembelajaran Problem Based Learning diterapkan pada mata pelajaran geografi terutama pada materi mitigasi bencana karena untuk meningkatkan kesiapsiagaan

Anitah (2009 : 103), menyatakan bahwa “kerja kelompok merupakan metode pembelajaran yang memandang peserta didik dalam suatu kelas sebagai satu kelompok atau

Berdsarkan teori-teori tersebut, dapat dikonklusikan bahwa model Search, Solve, Create and Share berbantuan Scaffolding adalah model pembelajaran pemecahan masalah

Jika rencana penyelesaian masalah telah dibuat, baik secara tertulis maupun tidak, selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang dianggap