• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGIAN PERTAMA POLITIK, DEMOKRASI DAN HAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAGIAN PERTAMA POLITIK, DEMOKRASI DAN HAM"

Copied!
234
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAGIAN PERTAMA

POLITIK, DEMOKRASI

DAN HAM

1

Menyempurnakan

Proses Komunikasi Politik

Bisnis Indonesia, 11 April 2008

Beberapa waktu lalu, dalam pemilihan calon Gubernur Bank Indonesia (BI), Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menolak Agus Martowardojo dan Raden Pardede, dua calon gubernur BI yang diajukan pemerintah.

(2)

2

Kedua, dalam tataran politik, telah terjadi kebuntuan komunikasi antara DPR dan pemerintah. Artinya, komunikasi politik yang dijalin pemerintah dengan DPR tidak berjalan dengan baik dan efektif serta kurang harmonis.

Tulisan ini selanjutnya mencoba membahas poin kedua yaitu; adanya kebuntuan komunikasi politik antara DPR dan pemerintah. Dalam pengajuan calon Gubernur BI waktu itu, sama sekali tidak didahului komunikasi politik yang memadai antara pemerintah dan DPR sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam tatanan kehidupan ekonomi bahkan politik.

Menurut Effendi Gazali, komunikasi politik itu sukses, bila membuahkan kepastian, dan gagal kalau membuahkan ketidakpastian.

Berkaitan dengan pemilihan Gubernur BI saat itu, maka jelas pemerintah dan DPR telah gagal menjalankan komunikasi politik.

Kegagalan menjalin kemunikasi politik akan berdampak kepada tidak tercapainya konsensus bersama untuk memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat. Dalam kasus pencalonan Gubernur BI, harusnya inisiatif komunikasi politik antara DPR dan pemerintah dapat terbangun.

Tidak terbangunnya komunikasi politik antara pemerintah dan DPR paling tidak disebabkan karena posisi pemerintah yang tidak seimbang dengan posisi legislatif. Kita melihat bahwa parlemen memiliki kekuatan yang sangat jauh melampaui batas kekuatan eksekutif. Kekuatan politik riil pemerintah di parlemen praktis hanya ditopang Partai Demokrat dan Partai Golkar.

Pada akhirnya, tidak terbangun check and balance secara sempurna. Malah, korporatisme baru yang menonjolkan aspek pemenuhan kepentingan politik daripada kepentingan publik hadir tidak terbendung.

Lebih baik

(3)

3

daripada era Orde Baru. Di bawah rezim Orde Baru, komunikasi politik di Indonesia di monopoli oleh pemerintah yang berkuasa. Atau tergantung pada satu tangan, yaitu Presiden.

Dalam kurun kekuasaan Orde Baru, badan legislatif tidak berfungsi sebagai suara rakyat, tetapi tak lain hanya sebagai pendukung Presiden. Anggota legislatif tidak bisa mengajukan kritik kepada Presiden. Atau menolak keinginan pemerintah seperti kasus pengajuan calon Gubernur beberapa waktu lalu.

Jika Presiden dikritik, risikonya adalah anggota legislatif tersebut dapat diberhentikan dengan seketika. Mungkin kita dapat melihat contohnya, di mana anggota DPR/MPR pernah melontar kritik yang terlalu keras sehingga akan berakhir dengan pemberhentian tidak hormat.

Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu berjalan tanpa ada yang mampu untuk membendung. Monopoli komunikasi politik di era Orde Baru berakhir dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden. Komunikasi politik tidak lagi dipegang pemerintah. Namun, mulai diimbangi oleh kelompok kepentingan seperti LSM, elemen masyarakat dan kalangan kampus. Sejak saat itu, komunikasi politik tumbuh dan berkembang begitu cepat, meskipun di sana-sini terdapat kekurangan dan kelemahan dalam menyampaikan dan mengaktualisasikannya.

Sebagai contoh, begitu banyak komunikasi politik yang terjadi berakhir dengan bentrok bahkan kekerasan. Hal ini disebabkan karena, dengan tumbuhnya keterbukaan dalam berdemokrasi, elemen-elemen masyarakat semakin tahu hak dan kewajibannya. Akibatnya, aksi-aksi protes sebagai sebuah masukan ke dalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tidak aneh lagi.

(4)

4

Saat ini, dengan tumbuhnya komunikasi politik di dalam kehidupan sosial masyarakat setelah runtuhnya rezim Orde Baru, semakin menyuburkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia.

Namun, ada baiknya komunikasi politik itu dijalankan dengan etika dan cara-cara yang santun. Ada take and give di antara kedua belah pihak. Tidak merugikan atau menguntungkan suatu kelompok.

Untuk itu kedepan, alangkah baiknya bila komunikasi politik dijalin dengan lebih baik, disampaikan secara santun, baik, penuh etika dan rasional. Baik itu antara pemerintah dan DPR, antara pemerintah dan LSM, antara partai politik dengan rakyat, maupun antara seluruh elemen masyarakat.

Semua komunikasi politik yang dijalankan harus mempunyai komitmen dan konsensus bersama dalam memecahkan persoalan yang ada demi kepentingan bersama. Bukan kepentingan perseorangan atau kelompok. Sebagaimana pendapat Jurgen Habermas (dalam Piliang, 2000;104) bahwa komunikasi adalah upaya untuk mencapai konsensus bersama dalam memecahkan berbagai persoalan dan tujuan bersama lewat cara argumentasi yang rasional. Dalam ranah demokrasi dan kehidupan politik, tentu konsensus itu dapat dicapai melalui komunikasi politik yang baik.

(5)

5

2

Terjebak Politik Balas Budi

Bisnis Indonesia, 29 Nov 2007

(6)

6

Baru-baru ini sejumlah tim sukses Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla duduk sebagai komisaris atau dewan pengawas di sejumlah BUMN. Sebut saja misalnya, Mayjen (Purn) Samsoeddin (mantan Sekjen Tim Kampanye) menjadi Komisaris Jasa Marga, Umar Said (mantan Ketua Seksi Kampanye) menjadi Komisaris Pertamina, Brigjen Rubik Mukav (mantan Ketua Seksi Pengumpulan dan Pengolahan Data) menjadi Dewan Pengawas TVRI, Hazairin Sitepu (mantan Waka Seksi Pengumpulan dan Pengolahan Data) menjadi Ketua Dewan Pengawas TVRI, Dino Patti Djalal menjadi Komisaris PT Danareksa.

Selain itu ada juga nama Mayjen (Purn) Soeprapto (mantan Ketua Seksi Pembinaan, Penggalangan, dan Pengerahan Massa) sebagai Komisaris Indosat, Yahya Ombara (Sekretaris Seksi Pembinaan, Penggalangan dan Pengerahan Massa) sebagai Komisaris PT Kereta Api Indonesia (KAI), Mayjen (Purn) Sulatin (mantan Koordinator Wilayah Sulawesi) sebagai Dewan Pengawas Bulog. Beberapa mantan anggota Tim Khusus juga memperoleh jabatan komisaris, seperti Andi Arif (Pos Indonesia), Heri Sebayang (PTP Sumatra Utara), Syahganda Nainggolan (PT Pelindo).

Ironis memang, di era reformasi dan ditandai dengan terpilihnya presiden secara langsung, dimana kita telah berhasil memilih presiden sesuai dengan keinginan rakyat, tetapi pola-pola perekrutan pejabat masih menggunakan cara-cara lama yang sarat akan nuansa nepotisme dan cenderung "terjebak politik balas budi". Betapa tidak, mereka yang umumnya duduk di kursi komisaris sebagaimana disebut di atas tidak melalui proses fit and proper test.

(7)

7

Namun, apa yang kita lihat saat ini. Dalam berbagai jabatan di BUMN, masih menghasilkan bentuk primordialisme dalam banyak wajah. Era reformasi justru malah memunculkan kelompok-kelompok tertentu dari para penyelenggara pemerintah untuk menduduki jabatan strategis, misalnya di BUMN. Berbagai jabatan strategis itu cenderung dipegang dan dipercayakan kepada figur-figur yang memiliki kedekatan dengan kekuatan politik yang berkuasa tanpa mempertimbangkan aspek integritas, aspek dedikasi, aspek kompetensi, aspek kecakapan, aspek pemahaman, aspek keahlian dan pengalaman.

Padahal kita tahu, semua aspek diatas menjadi prasyarat mutlak untuk jabatan komisaris di BUMN. Ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) tentang BUMN. Pasal 26 UU tersebut mengatakan bahwa komisaris diangkat berdasarkan pertimbangan integritas, dedikasi dan pemahaman masalah-masalah manajemen perusahaan serta memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha mikro. Yang tidak kalah penting, komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas.

Birokrasi bapakisme

Indonesia sebagai negara berkembang memang tidak bisa dilepaskan dari realitas di atas. Sebagaimana terlihat, birokrasi yang diterapkan di Indonesia lebih mendekati pengertian dari Max Weber tentang birokrasi patrimonial dimana jabatan dan perilaku dalam keseluruhan hierarki birokrasi banyak didasarkan pada hu-bungan familiar, hubungan kelompok, hubungan pribadi dan hubungan bapak-anak buah (patron-client).

(8)

8

pelayanan yang lamban, mekanisme kerja yang tidak efisien, kurang efektif dan sumber penyalahgunaan kedudukan dan wewenang.

Semua prosedur kerja yang tidak kondusif diatas disebabkan oleh birokrat yang terpilih tidaklah orang-orang yang cerdas dan cocok pada bidangnya. Kalau kita perhatikan di negara-negara maju, maka sistem birokrasinya tertata dengan baik. Bahkan segala aspek dan persyaratan yang diperlukan bagi penetapan suatu jabatan, promosi dan karier juga tertata dengan baik. Semuanya benar-benar didasarkan pada kapasitas, kapabilitas dan integritas.

Di samping itu juga didasarkan karena adanya kecakapan atau keahlian, prestasi, golongan, pangkat dan pengalaman tugas. Jadi ada kepastian karier apabila seseorang berprestasi, sehingga suatu saat dia layak dipromosikan untuk menduduki suatu jabatan tertentu yang sesuai dengan keahliannya.

Mengakhiri tulisan ini, kita sepakat, bahwa birokrasi dalam suatu pemerintahan merupakan paru-paru yang akan selalu menopang kelangsungan dan kehidupan dari suatu sistem pemerintahan. Dari itu, masihkah kita dapat menaruh harapan untuk menjadikan birokrasi, baik di departemen, lembaga nondepartemen maupun sejumlah BUMN yang lebih baik dimasa mendatang?

Jawabannya akan sangat bergantung kepada pihak-pihak yang berkompeten untuk itu. Yaitu bagaimana pejabat pemerintahan ini mengangkat orang-orang yang cakap, profesional, kapabilitas dan kredibel di bidangnya untuk menduduki jabatan-jabatan strategis, seperti komisaris, dewan direksi, dewan pengawas, kepala bidang, kepala bagian, kepala seksi dan lain sebagainya. Bukan pejabat yang ditunjuk karena faktor kedekatan, kekeluargaan ataupun kelompok.

(9)

9

(10)

10

3

Fenomena Selebriti dalam Dunia Politik

Suara Pembaruan, 27 Nov 2006

Dalam perspektif demokrasi langsung saat ini, menjadi kepala daerah sepertinya memangku jabatan yang gampang dan enteng, sehingga banyak sekali orang yang merasa sanggup untuk mengembannya. Gejala ini menjelma tanpa pandang bulu, apakah memimpin daerah yang miskin atau memimpin kota metropolitan yang sangat kompleks masalahnya seperti Jakarta. Semua calon sama-sama punya ambisi besar, meskipun kemampuan calon belum pernah teruji dalam memimpin.

Para calon datang dari berbagai kalangan. Tidak ketinggalan para selebriti yang sekarang berkantor di Senayan. Misalnya, Marissa Haque yang mencalonkan diri menjadi Wakil Gubernur Banten, Adjie Massaid mencalonkan diri menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur dan Dede Yusuf mencalonkan diri menjadi Gubernur Jawa Barat. Selebriti lain yang dulunya pernah disebut-sebut akan mencalonkan atau dicalonkan menjadi kepala daerah adalah pelawak Nurul Komar untuk Bupati Indramayu dan Rano Karno untuk Gubernur DKI Jakarta.

(11)

11

Paling tidak, keikutsertaan selebriti dalam ranah politik ini telah menjadi fenomena baru dalam kehidupan politik sejak era reformasi digulirkan. Kita tahu, di zaman Orde Baru artis hanya sering dipakai sebagai vote getter alias penggembira.

Namun era reformasi saat ini, di mana demokrasi berlangsung dengan bebas, artis tiba-tiba diberi kedudukan dan peranan yang lebih hebat oleh partai politik. Para artis bukan lagi vote getter, pemain sinetron, akan tetapi sudah menjadi calon anggota DPR, bahkan akhirnya menjadi wakil rakyat, meskipun publik tidak pernah mendengar apa prestasi, kinerjanya dan perjuangannya untuk konstituennya.

Faktor Ketenaran

Fenomena ini menunjukkan bahwa banyaknya artis yang terjun ke politik dan akhirnya berkantor di Senayan masih dan sangat ditentukan oleh faktor ketenaran dan popularitas mereka semata. Apalagi mereka masih muda, energik, cantik dan gagah. Kelebihan ini menjadi faktor pendukung untuk meraup suara sebanyak mungkin.

Lihat saja perolehan suara yang dikumpulkan oleh para artis pada pemilu tahun 2004 lalu. Faktor popularitas dan dikenal masyarakat membuat suara mereka membengkak. Bahkan mereka menjadi pemenang di daerah pemilihan masing-masing.

Perolehan suara Adjie Massaid di daerah pemilihan Pasuruan misalnya. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Pasuruan menunjukkan bahwa Adjie berada pada posisi paling atas dengan perolehan 11.717 suara. Perolehan suara itu mampu meninggalkan pesaingnya yang politikus dan tokoh masyarakat setempat.

(12)

12

perolehan suara tokoh PDI Perjuangan, Taufiq Kiemas yang mengoleksi 42.400 suara.

Perolehan suara meyakinkan juga diraup Dede Yusuf dengan 28.331 pemilih di daerah pemilihan Kuningan, Jawa Barat. Bisa jadi suksesnya para artis di pemilu legislatif 2004 kemungkinan akan berlanjut dalam pemilihan kepala daerah.

Di Indonesia, ramainya artis melangkah ke pentas politik memang suatu hal yang baru. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat misalnya, fenomena seorang artis terjun ke kancah politik dan kemudian menjadi pemimpin eksekutif telah lama berlangsung.

Lihat saja aktor Arnold Swarzenegger yang terpilih sebagai Gubernur Califor-nia, salah satu negara bagian di AS pada 7 Oktober 2003.

Sebelumnya, aktor Ronald Reagan yang bisa main dalam film-film koboi justru sukses di pangung politik. Karier politik Reagan di mulai ketika menjadi anggota Liberal Partai Demokraat. Ia mendukung program New Deal yang dicanangkan Presiden Franklin Roosevelt. Kemudian Reagan beralih menjadi seorang pendukung Republik.

Namanya mulai dikenal dikancah politik saat ia membongkar nama-nama mitra pekerja Hollywood yang pro-komunis kepada FBI di tahun 1950-an. Lalu Ia pernah memimpin Screen Actors Giuld (SAG) dan bertugas membongkar pengaruh komunis di Hollywood.

Dan pada akhirnya tahun 1966 Reagan terpilih menjadi gubernur California. Dari situ dia mencoba meraih kursi kepresidenan. Dan tahun 1980 Ronald Reagan berhasil menang sebagai calon Presiden dari Partai Republik. Sehingga ketika Reagan resmi terpilih sebagai orang nomor satu di Amerika Serikat sejumlah headline surat ka-bar serentak menulis judul Koboi Masuk Gedung Putih.

(13)

13

orang, layaknya sebuah runtutan cerita film yang menarik. Hal ini tidak terlepas dari pengalamannya baik sebagai penyiar radio dan bintang Hollywood.

Di samping dua nama di atas, tentu masih banyak lagi mantan selebriti dunia yang berhasil dalam dunia politik. Jose Marcelo Ejercito misalnya, mantan Presiden Filipina. Pertengahan tahun 1980-an Jose terpilih sebagai senator dengan kendaraan Partai Partido Masang Pilipino. Petualangan menuju kursi Presiden-pun dimulai. Tahun 1992 ia melangkah menuju kursi calon wakil Presiden. Dan pada tahun 1998 ia akhirnya terpilih sebagai Presiden Filipina.

Tidak Mudah

Di Indonesia, dan jika nanti salah satu di antara selebriti jadi menduduki kursi gubernur atau wakil gubernur, maka tantangan ke depan yang akan dihadapi oleh para selebriti tentu tidak mudah. Banyak persoalan-persoalan daerah yang harus dipahami betul oleh mereka. Misalnya masalah investasi, pengangguran, kemiskinan, industri, penegakan hukum bahkan konflik sosial.

Jangan sampai setelah meraih jabatan publik, mereka tidak mengerti apa-apa yang akan dikerjakan untuk daerah yang dipimpinnya. Jangan sampai setelah menduduki kursi kekuasaan mereka sibuk bagaimana cara mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin tentunya untuk kepentingan pribadi.

Karena sudah jamak di ketahui banyak pejabat yang kaya-raya setelah menduduki posisi penting di lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif. Mumpung masih menjabat maka kesempatan harus digunakan untuk meraup uang dan kekayaan sebanyak-banyaknya, meskipun harus ditempuh dengan cara-cara yang tidak benar.

(14)

14

karena dilandasi oleh kesadaran untuk membangun daerah yang akan dipimpinnya.

Bukan mencari ketenaran, kedudukan, kekuasaan dan kekayaan. Jika itu yang terjadi, sudah pasti rakyat yang akan menanggung beban penderitaan. Kita tentu tidak menginginkan hal itu bukan.

4

Langkah Awal Menghapus Diskriminasi

Republika, 22 Nov 2006

(15)

15

diubah dengan UU No 3 tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 UU No 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI.

Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam praktiknya, UU Nomor 62 tahun 1958 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional yang menuntut adanya persamaan perlakuan dan kedudukan dihadapan hukum. Selama ini, UU Kewarganegaraan yang lama kurang menjamin pemenuhan hak asasi manusia dan persamaan antarwarga negara serta kurang memberikan perlindungan kepada anak-anak dan juga kaum perempuan.

Sebagai contoh, menurut UU No 62/1958 yang menganut asas ius sanguinis, anak yang dilahirkan dari perkawinan antara wanita Warga Negara Indonesia (WNI) dengan pria Warga Negara Indonesia (WNA), otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Hal ini tentu saja sangat memberatkan perempuan. Karena menetapkan bahwa kewarganegaraan anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayah. Wanita tidak dapat menentukan kewarganegaraan anaknya.

Di samping itu juga, wanita akan kehilangan kewarganegaraannya jika sang suami meninggal atau bercerai. Hak wanita lain pun temarginalisasi dengan adanya UU lama ini. Misalnya, seorang ibu juga tidak otomatis punya hak asuh bagi anaknya karena berbeda kewarganegaraan. Kemudian, UU ini juga menyebabkan wanita dan anak akan mengalami kesulitan keadilan hukum jika mereka mengalami kekerasan rumah tangga. Lebih dari itu, UU ini juga menyebabkan adanya pembatasan hak wanita untuk bekerja dalam perkawinan campur. Jadi, tampak sekali bahwa UU Kewarganegaraan yang lama tidak memihak kepada kaum perempuan.

(16)

16

berlangsung sebelum orang tersebut berusia 18 tahun atau belum menikah pada usia di bawah 18 tahun. Ayat (d) menyebutkan, warga negara Indonesia adalah anak yang dilahirkan dari ibu warga negara Indonesia yang ketika lahir tidak memiliki hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya. Ayat (e) menyebutkan, anak mengikuti kewarganegaraan ibunya apabila ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan atau kewarganegaraan ayahnya tidak diketahui.

Sementara Pasal 3 Ayat (1) menyebutkan, anak di luar perkawinan dari seorang ibu warga negara Indonesia atau anak dari perkawinan sah, tetapi dalam perceraian, oleh hakim anak itu diserahkan pengasuhannya kepada ibunya yang warga Indonesia dan kewarganegaraan anak itu mengikuti ayahnya yang warga asing, boleh mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Permohonan kewarganegaraan itu harus diajukan setelah anak tersebut berusia 18 tahun dan diajukan dalam waktu tidak lebih dari satu tahun.

Perbedaan kewarganegaraan antara anak dan ibu dalam perkawinan campur telah melahirkan berbagai kesulitan bagi perempuan WNI. Terkadang si ibu WNI harus mengurus izin tinggal anaknya dengan visa kunjungan sosial/budaya tentunya dengan biaya permohonan visa..

Berbeda dengan UU Kewarganegaraan yang lama. UU Kewarganegaraan yang baru menganut asas campuran antara ius sanguinis dan ius soli

(kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran), dan mengakui kewarganegaraan ganda terbatas pada anak-anak (dari pasangan kawin campur dan anak-anak yang lahir dan tinggal di luar negeri) hingga usia 18 tahun.

(17)

17

kewarganegaraan suaminya, melainkan diberi tenggang waktu tiga tahun untuk menentukan pilihan, apakah akan tetap jadi WNI atau melepaskannya.

Jadi kalau dalam UU Kewarganegaraan yang lama, bila wanita Indonesia menikah dengan pria asing maka wanita tersebut akan kehilangan kewarganegaraannya, dan kemudian akan ikut dengan warganegara suaminya. Pasal 8 (1) UUU No.62 tahun 1958 menyebutkan, bagi perempuan berwarganegara Indonesia yang menikah dengan seorang WNA akan kehilangan kewarganegaraan RI.

Kewarganegaraan RI akan diperoleh kembali jika dan pada waktu ia setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk itu. Keterangan itu harus dinyatakan dalam jangka waktu satu tahun setelah perkawinannya terputus kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan RI tempat tinggalnya (Pasal 11 UU Kewarganegaraan).

Akhirnya, pengesahan UU Kewarganegaraan yang baru layak diapresiasikan. Karena ia membuka babak baru dalam kehidupan perkawinan campur di Indonesia. Lebih dari itu, pengesahan UU ini baru merupakan langkah awal untuk mengakhiri segala praktik diskriminasi yang telah dirasakan selama lebih 61 tahun merdeka. Dan orang-orang yang selama ini ter-diskriminasikan mudah-mudahan sekarang merasa memiliki legalitas sebagai warga negara.

(18)

18

5

Pemerintahan Perlu

Perhatikan Masalah HAM

(19)

19

Pada pemilu Presiden 2004 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk masa bakti 2004-2009. Selanjutnya sejumlah harapan digantungkan di pundak SBY-JK. Misalnya, harapan penegakan hukum, pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik. Tidak kalah menarik, masalah perlindungan dan penegakan HAM juga menjadi hal yang selalu diharapkan banyak pihak.

Sebab dibidang penegakan dan perlindungan HAM, pemerintahan sebelumnya belum maksimal memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat dari berbagai prilaku dan tindakan kekerasan. Lihat saja, ancaman bom masih saja mengincar nyawa setiap orang.

Aparat keamananpun masih sering melakukan pelanggaran HAM berat dengan berbuat kekerasan kepada masyarakat terutama sekali ketika menangani aksi demonstrasi dan menindak prilaku kriminal.

Jadi sangat wajar jika harapan itu digantungkan pada pasangan SBY-JK. Namun sayang, setelah setahun masa pemerintahan SBY-JK berjalan, harapan akan terciptanya perlindungan dan penegakan HAM masih jauh dari kenyataan.

Rendahnya perlindungan HAM tersebut dapat dilihat dengan belum tuntasnya kasus-kasus pelanggaran HAM diselesaikan oleh pemerintah. Pemerintah belum memberikan langkah yang berarti sampai proses keputusan akhir pengadilan. Penyelesaian masalah pelanggaran HAM lebih bersifat retorika. Sejatinya, pengadilan HAM yang dibentuk tidak tuntas dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Banyak pelaku pelanggaran HAM yang di bebaskan.

Padahal diperlukan pertanggungjawaban dari perbuatan mereka.

(20)

20

Padahal terminologi yang mengatur tentang hukuman bagi pelanggar HAM ini telah ada secara formal dalam hukum Indonesia. Terutama sejak diundangkannya dua Undang-undang yang dihasilkan lewat reformasi yakni UU No 30/1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.26/2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Pasal 1 UU No 39/1999 menyebutkan bahwa; pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU.

Sayang sampai kini UU tersebut belum sepenuhnya mampu menghentikan praktik-praktik pelanggaran HAM dan juga UU tersebut belum mampu memberikan hukuman yang adil bagi pelaku pelanggaran HAM.

Kasus-kasus pelanggaran HAM yang pelakunya tidak tersentuh oleh hukum tersebut misalnya, pelanggaran HAM dalam peristiwa Trisakti dan Semanggi, peristiwa Mei 1998, penyerangan kantor PDI-P tahun 1996, masa DOM di Aceh dan Papua, peristiwa Tanjung Priok, Talangsari Lampung, peristiwa petrus, sampai pada peristiwa pembantaian massal tahun 1965-1966 dan lain sebagainya.

Dalam menghadapi kasus-kasus diatas, pengadilan HAM yang terbentuk seakan tidak berdaya menghukum pelakunya. Sehingga pada akhirnya perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM masih jauh dari konsensus reformasi yakni mewujudkan keadilan yang hakiki pada setiap warga negara. Janji-janji pemerintahan SBY-JK untuk menegakkan hukum dan HAM masih janji bohong.

(21)

21

Ajakan untuk menegakkan HAM dari pemerintahan SBY nampaknya baru berupa wacana dan tidak didukung oleh aksi nyata. Untuk itu, mumpung masih satu tahun usia pemerintahan SBY-JK, kedepan SBY-JK harus segera membuat langkah-langkah yang konkret terhadap upaya-upaya perlindungan HAM dan menindak pelakunya.

Karena agenda utama dalam penegakan hukum salah satunya adalah melindungi HAM dan menindak pelanggar HAM secara adil sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini harus ditindaklanjuti oleh seluruh aparat hukum. Jadi untuk kasus-kasus yang telah dilimpahkan ke penyidik kejaksaan agung (kejagung) harus segera dilimpahkan ke pengadilan.

Jika pun ada kekurangan keterangan saksi-saksi, Kejagung harus segera melengkapinya. Hal yang tidak kalah pentingnya pemerintahan SBY-JK harus dapat menertibkan aparat keamanan dari prilaku-prilaku pelanggaran HAM. Karena biasanya aparat keamanan merupakan pihak yang paling berpotensi melakukan pelanggaran HAM terutama sekali dalam menangani aksi massa.

Apakah masih ada harapan untuk hidup jauh dari segala bentuk kekerasan, intimidasi dan segala bentuk pelanggaran HAM lainnya pada masa-masa mendatang?

Semua itu akan terjawab apabila penyelenggara kekuasaan negara mempunyai komitmen yang serius untuk melakukan perbaikan dalam rangka menegakkan nilai-nilai HAM dan menjauhi masyarakat dari praktik-praktik pelanggaran HAM? Mumpung masa pemerintahan SBY-JK masih tersisa empat tahun lagi. Saatnya sekarang untuk membuktikan janji kampanyenya dahulu untuk melakukan langkah yang konkrit dalam upaya-upaya perlindungan HAM dan kemudian menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi perhatian masyarakat. Hanya itulah yang dirindukan masyarakat. Semoga.***

(22)
(23)

23

Imlek dan Politik Diskriminasi

Etnis Tionghoa

Sinar Harapan, 19 Januari 2004

Proses reformasi dengan tampilnya Habibie sebagai Presiden telah membawa perubahan yang berarti bagi kehidupan masyarakat etnis Tionghoa. Salah satu bentuk perubahan tesebut adalah diakhirinya segala bentuk pelarangan terhadap kebebasan berekspresi kelompok etnis tionghoa dengan menerbitkan Impres Nomor 26 tahun 1998. Karena sepanjang orde baru berkuasa identitas etnis Tionghoa telah dicoba ditutup-tutupi secara paksa oleh suatu keputusan politik yang otoriter. Sejatinya, pelarangan kegiatan kesenian, kebudayaan dan segala macam yang berbau China dihapus sama sekali oleh penguasa saat itu.

Lengsernya Habibie dan tampilnya Gus Dur sebagai Presiden pada tahun 2000 semakin memperkuat eksistensi etnis Tionghoa untuk berekspresi. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 6 Tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid dan sekaligus mencabut keberadaan Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Sejak saat itu kesenian Barongsai sebagai simbol perayaan imlek nyaris tidak ada hambatan. Naiknya Megawati sebagai Presiden pada tahun 2002 juga telah membuat suatu keputusan dengan menyatakan Imlek sebagai hari libur nasional. Kebijakan-kebijakan tersebut tentu disambut gembira oleh seluruh masyarakat keturunan etnis Tionghoa. Namun demikian dalam kehidupan politik, warga etnis Tinghoa masih saja dihadapkan pada ruang diskriminasi. Terutama dalam menyalurkan hak politiknya pada pesta pemilu.

(24)

24

Diskriminasi di Indonesia (LADI) Frans Hendra Winata dan Direktur Eksekutif LADI Rebeka Harsono yang menyebutkan bahwa sejumlah daerah di Jakarta masih banyak warga Tionghoa yang belum terdaftar sebagai calon pemilih pada pemilu 2004.

Sulitnya warga negara keturunan Tionghoa untuk dapat di daftar dalam proses pelaksanaan pemilu paling tidak disebabkan karena mereka tidak memiliki Surat Bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), akibatnya mereka sangat sulit untuk mendapatkan KTP atau surat resmi lainnya. Sedangkan KTP atau surat-surat bukti tersebut merupakan syarat penting yang diperlukan dalam pendataan penduduk untuk bisa diikutkan dalam pesta pemilu. Memang pencatuman kewarganegaraan Indonesia dalam akte kelahiran sudah jelas disebutkan, namun penegasan itu masih harus dibuktikan dengan SBKRI.

Jika kita lihat sejarah kebelakang, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa sudah berlangsung cukup lama. Dalam hak politik misalnya, etnis Tionghoa memang telah dikebiri oleh penguasa. Mereka tidak diberikan kesempatan untuk menggunakan hak politiknya secara bebas. Bahkan selama kurun waktu tertentu di bawah kekuasaan orde baru, warga Tionghoa selalu digiring untuk memilih partai politik tertentu. Bahkan sejumlah kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa yang telah dikeluarkan oleh Orde Baru jelas-jelas telah melanggar hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara terhadap warganya.

Perlakuan diskriminatif tersebut misalnya. Pertama, dengan dikeluarkannya Surat Edaran (SE) No 2/SE/Ditjen/PPG/K/1998 tentang larangan penerbitan tulisan/iklan yang beraksara dan berbahasa Cina. Kedua, Instruksi Presiden (Impres) No 14/1967 mengenai agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Ketiga, Instruksi Mendagri No 455.2-360 tahun 1968 mengenai penataan kelenteng. Keempat, Surat Edaran (SE) Presedium Kabinet RI No SE-06/Pres-Kab/6/1967 tentang pengantian istilah Tiongkok dan Tionghoa menjadi Cina.

(25)

25

(BKMC). Keenam, Keputusan Presidium No 127/U/Kep/12/1966 tentang peraturan ganti nama bagi WNI yang memakai nama Cina.

Banyaknya bentuk perlakukan diskriminatif terhadap warga keturunan tersebut telah menimbulkan adanya kerenganggan dalam hubungan sosial antara orang Indonesia asli dan penduduk keturunan atau warga pribumi dan non pribumi. Dan pengaturan hukum yang diskriminatif diatas jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Sulitnya warga negara Tionghoa untuk mendapatkan SBKRI memang merupakan salah satu bentuk diskriminasi yang selalu menjadi berita penting untuk dikritisi. Sebab secara resmi pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menghapus SBKRI yang dilahirkan oleh Peraturan Menteri Kehakiman No JB 3/4/12 tahun 1978. Misalnya Kepres No 56/1996 tentang Bukti

Kewarganegaraan RI. Dalam Pasal 4 ayat 2 UU ini menyebutkan. “Berbagai

kepentingan yang memerlukan bukti kewarganegaraan cukup menggunakan KTP, kartu keluarga atau akte kelahiran. Selanjutnya pada Pasal 5 dinyatakan bahwa dengan adanya Kepres tersebut maka segala peraturan perundang-undangan untuk kepentingan tertentu yang mengsyaratkan SBKRI dinyatakan tidak berlaku lagi. Peraturan ini masih dipertegas lagi dengan Surat Edaran Menteri Kehakiman dan HAM yang menyatakan kepada seluruh jajaran Depatmen Kehakiman dan HAM untuk tidak menerbitkan lagi SBKRI.

(26)

26

Kebijakan diskriminatif yang dijalankan pemerintah Orde Baru memang telah membuat warga etnis Tionghoa kesulitan untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara Indonesia. Keharusan memiliki SBKRI tersebut membuat banyak warga etnis Tionghoa masuk dalam kelompok warga negara kelas dua. Padahal Kepres yang menyatakan tidak diperlukannya lagi SBKRI sudah diterbitkan, akan tetapi diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa ternyata belum dapat dihilangkan dari tanah air Indonesia ini.

Untuk itu, langkah yang harus dilakukan agar tercapainya hubungan yang harmonis antara pribumi dan non pribumi adalah dengan membuka kesempatan yang lebih besar kepada golongan etnis Tionghoa untuk turut berkiprah dalam kegiatan-kegiatan yang juga dilakukan oleh warga pribumi.

Upaya-upaya mengembalikan hak-hak politik dan sosial warga etnis Tionghoa haruslah berpegang kepada prinsip persamaan hak sebagai warga negara Indonesia. Penegasan partisipasi politik warga Tionghoa ini penting agar nantinya mereka tidak lagi dirugikan dalam hak-hak politiknya. Dan ini harus ditangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Kalau ini tidak dilakukan maka pihak-pihak terkait tesebut dapat diduga telah menghalang-halangi hak seseorang untuk menggunakan hak pilihnya. Dan ini jelas sangat bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD 45 yang telah disepakati oleh bangsa Indonesia.

Agar pelaksanaan pemilu yang didambakan dapat menghasilkan kehidupan yang lebih baik. Maka persiapan dan langkah-langkah yang baik harus dilakukan. Kesiapan politik dari masyarakat secara keseluruhan tanpa membedakan suku, agama dan budaya harus dihilangkan. Sebab seluruh masyarakat harus mendapatkan serta mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik.

(27)

27

(28)

28

7

Demokrasi dan Penegakan Hukum

Suara Karya, 3 Februari 2003

Mempersoalkan demokrasi sebagai suatu sistem politik dalam negara hukum sesungguhnya tidak sekedar terfokus pada dimensi tujuannya saja. Namun penting diperhatikan juga tentang cara berdemokrasi yang benar. Jika kita lihat sekarang masyarakat lebih cenderung mengaktualisasikannya dengan cara yang tidak terpuji. Yang dengan alasan demokrasi semua aturan-aturan hukum bisa dilanggar dengan seenaknya.

(29)

29

Kemerdekaan yang diperoleh melalui perjuangan yang cukup lama dan memakan banyak korban, maka kata demokrasi mempunyai arti penting sebab merupakan salah satu tonggak dari pada penyanggah kemerdekaan yang telah dicapai. Bertolak pada hal diatas maka kemerdekaan yang telah dicapai tersebut haruslah diisi dengan sistem demokrasi yang berkeadilan. Dengan demikian nantinya demokrasi akan jauh lebih bermakna sebab telah terpenuhinya nilai-nilai hak asasi manusia untuk berekspresi dengan segala kebebasan yang positif dan bukan kebebasan yang anarkhis. Oleh sebab itu tahapan demokrasi yang benar dan baik harus dikedepankan sehingga nanti akan dijumpai suatu masyarakat yang hidup dalam suasana yang sejahtera dengan koridor hukum yang berlaku.

Sebagai suatu sistem politik, demokrasi dapat dilihat sekitar lima abad sebelum masehi. Saat itu orang yunani membentuk polis (Negara Kota) dengan menerapkan bagaimana suatu sistem politik harus diorganisasikan sehingga dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Pentingnya demokrasi juga dikemukakan oleh Samuel P. Hunngtington yang menulis dalam bukunya

(30)

30

Dari itu rakyat berhak menikmati demokrasi sebab hanya dengan demikianlah arah kehidupan rakyat dapat diarahkan pada kehidupan yang lebih adil dalam semua aspek kehidupan. Maka dari itu negara demokrasi adalah negara yang berlandaskan kehendak dan kemauan rakyat, karena kedaulatan berada ditangan rakyat. Ketidakadilan dalam mengujudkan fungsi hukum merupakan salah satu bentuk demokrasi tidak berjalan ditengah masyarakat. Lumpuhnya kedaulatan hukum rakyat dan mandulnya lembaga-lembaga hukum menggambarkan keadaan tersebut.

Pemerintah sebagai penguasa yang mengklain dirinya sebagai reformator demokrasi hukum namun malah bersikap acuh tak acuh dalam menegakkan hukum. Hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya seolah-olah hukum hanya berlaku bagi golongan masyarakat kecil.Bahwa demokrasi telah tumbuh menjadi alasan reformasi dengan kecendrungan mengabaikan hak-hak asasi manusia memang tidak bisa dipungkiri. Semua sikap demokrasi yang dijalankan selalu membonceng makna reformasi sebebas-bebasnya tanpa mampu membedakan sikap-sikap yang arogan.

(31)

31

Namun sebaliknya bahwa demokrasi tersebut harus tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku yang nantinya berdampak pada aktifitas masyarakat. Pertanyaannya? Sudahkah demokrasi berjalan dengan semestinya dinegeri ini atau jika benar demokrasi sudah ditegakkan dimanakah tempat rakyat yang sesungguhnya? Apakah rakyat bisa mendapatkan manfaat dalam proses politik yang didengungkan secara demokratis? Atau dapatkah masyarakat memperoleh persaman dan keadilan dimuka hukum? Menjawab pertanyaan ini penulis teringat dengan apa yang dikatakan Gus Dur dalam tulisannya diharian Kompas edisi 1 September 1998 yang berjudul “Masa Depan Demokrasi di

Indonesia”.

Dalam tulisannya Gus Dur mempertanyakan mungkinkah demokrasi dapat ditegakkan pada periode setelah pemilu yang akan datang? (Pemilu pertama setelah tumbangnya kekuasaan orde baru). Dengan enteng Gus Dur

menjawab “tidak”. Walaupun pertanyaan tersebut sempat mengejutkan berbagai pihak sebab dalam kenyataannya telah terjadi perubahan besar dipanggung politik yang memberikan peluang bagi tegaknya demokrasi seperti berdirinya partai-partai politik yang didukung oleh cendikiawan, mahasiswa, media massa, LSM yang semuanya hampir bertujuan menegakkan demokrasi.

(32)

32

Dari uraian yang digambarkan oleh Gus Dur diatas dan jika dilihat kondisi peta politik sekarang memang sangatlah tepat. Demokrasi seolah tidak ada arti. Semua serba anarkis. Partai politik saling berkonflik ria. Pejabat dan elite politik saling beragumen semua atas nama rakyat,. Hukum belum berjalan sebagai mana mestinya. Lembaga negara khususnya dibidang hukum masih saja diintervensi. Untuk itu Gus Dur menyarankan bahwa tradisi budaya politik haruslah sejalan dengan perkembangan lembaga-lembaga yang ada. Dan perlu perjuangan melalui serangkaian pemilu sebab dari situlah dimulainya perombakan aturan mengenai mekanisme kerja pemerintah. Hubungan pusat dan daerah serta perumusan kembali peran institusi yang ada agar dapat berjalan secara efektif.

Untuk mengujudkan sistem demokrasi yang baik maka perlu dituangkan didalam kaedah hukum dalam suatu sistem pemerintahan. Demikian juga dengan lembaga-lembaga negara yang ada. Karena secara umum prinsip demokrasi itu mempunyai empat pilar utama yang mempunyai peran signifikan seperti lembaga legislatif atau parlemen sebagai tempat wakil rakyat, lembaga eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan negara, lembaga yudikatif sebagai tempat memberi putusan hukum dan keadilan dalam pelaksanaan UU serta pers sebagai alat kontrol masyarakat. Semua lembaga diatas sangat menentukan sekali dalam proses tegaknya demokrasi. Untuk itu dengan tetap berpegang pada pilar-pilar demokrasi dan konsep-konsep demokrasi hukum serta politik pada umumnya, diharapkan akan terujud penyelenggara negara yang bersih dan baik. Karena apapun alasannya demokrasi tanpa diwadahi dengan hukum yang responsif maka segala bentuk kekacauan dan kecurangan akan selalu datang dan seolah tidak mau pergi menghinggapi masyarakat.

(33)

33

juga kekuasaan telah kehilangan keabsahan. Dari itu, perlu dicamkan bahwa demokrasi akan menjadi prasyarat yang utama bagi pembangunan yang dilaksanakan. Dan nantinya akan memberikan berkah pada rakyatnya. Pemerintah dengan segala sumber daya yang dimilikinya tidak akan dapat tegak tanpa adanya dukungan yang memadai dari rakyat. Kita sepakat bahwa sasaran utama dari gerakan reformasi adalah membangun suatu kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka demoktaris. Semua tujuan itu akan tercapai kalau kita telah menjamin suatu kehidupan yang demokratis. Kehidupan yang demokratis itu berlaku dalam semua bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum maupun pendidikan. Karena itu yang dimaksud dengan reformasi total adalah membangun demokrasi yang berlandaskan hukum menuju kehidupan yang lebih berdaya guna dalam setiap kesempatan. Dari kontek diatas maka perlu kita membangun demokrasi dengan struktur sosial politik yang baik serta membangun mental dan budaya yang penuh damai. Jika hal ini dapat diujudkan sudah tentu perundangan yang ada memungkinkan dijalankan sesuai dengan kedudukan dan fungsinya sebagai pengikat dan pemberi sanksi. Berkenaan dengan itu maka keberadaan legitimasi kekuasaan yang otoriter jelas tidak dapat dijalankan didalam suatu negara hukum. Dan legitimasi pada keteraturan dalam konteks negara hukum akan memberikan kedaulatan pada rakyat dengan sebesar-sebesarnya.

(34)

34

demokrasi akan membuat bangsa ini kembali kepangkuan kediktatoran. Karena hukum bisa dibuat dan dimanipulasi hanya sekedar sebagai alat untuk memberikan legitimasi bagi kekuasaan. Untuk itu jika ingin mengembangkan demokrasi haruslah dengan cara yang demokratis pula. Intinya kesediaan berbeda pendapat, kesediaan mendengar haruslah diiringi dengan ketentuan hukum yang ada. Semoga cita-cita merespon tegaknya demokrasi dalam negara hukum akan terlaksana, sebab kita tidak ingin ada lagi aktifitas demokrasi yang anarkhis dan brutal. ***

BAB KEDUA

(35)

35

HARAPAN DAN KENYATAAN

1

Parpol di Tanah Rencong dan Pemilu 2009

Harian Merdeka, 15 Januari 2009

Sejak tahun 2006, telah berdiri beberapa partai politik (parpol) lokal di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Enam diantaranya sampai sekarang tetap eksis dan akan menjadi peserta pemilihan umum (pemilu) 2009. Berdirinya beberapa partai politik di NAD merupakan tindaklanjut dari hasil nota kesepahaman antara pemerintah Indoneia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005 beberapa tahun lalu. Sejatinya, nota kesepahaman tersebut menegaskan tentang dibolehkannya rakyat Aceh memiliki atau mendirikan partai lokal.

(36)

36

Lalu bagaimana keberadaan partai-partai lokal tersebut di mata masyarakat Aceh? Partai mana yang akan mereka pilih pada pemilu 2009? Dan bagaimana pula kans partai-partai nasional? Partai manakah yang akan mampu meraih simpati rakyat Aceh? Apakah partai lokal atau partai nasional?

Dari beberapa pertanyaan diatas, agaknya partai lokal akan menjadi saingan berat bagi partai nasional, baik pada pemilu anggota legislatif tingkat Kota/Kabupaten maupun tingkat Proponsi. Alasannya adalah, jika ditinjau kebelakang, maka partai lokal di Aceh muncul karena adanya kekecewaan rakyat Aceh terhadap partai-partai nasional yang dianggap gagal dalam mewakili kehendak dan cita-cita rakyat Aceh.

Beberapa tokoh yang terpilih menjadi anggota dewan tidak menunjukkan kinerja yang mengusung kepentingan rakyat Aceh. Mereka lebih terlihat mementingkan kelompok dan diri sendiri. Sehingga keberadaan konstituante menjadi terabaikan.

Dari itu, kehadiran partai lokal bagi rakyat Aceh diharapkan membawa angin segar untuk perubahan. Partai lokal lebih mementingkan ide-ide pembangunan demi kemajuan Propinsi NAD. Partai lokal membawa darah baru bagi kehidupan demokrasi di Aceh. Partai Lokal juga diharapkan akan menggantikan buruknya kinerja partai nasional yang selama ini berkuasa di parlemen. Itulah impian-impian rakyat Aceh yang akan diujudkan lewat partai lokal.

Impian-impian tersebut tentu sangat beralasan, sebab semenjak kemunculan partai lokal di Aceh, maka para tokoh dan pendidirinya menawarkan janji-janji dan platfom partai untuk kemaslahatan dan kemakmuran rakyat Aceh. Partai lokal menampilkan isu-isu dalam memperjuangkan kepentingan ke-acehan. Bagi masyarakat Aceh semua itu menjadi poin menarik dan menggiurkan. Sehingga akan melupakan partai-partai nasional.

(37)

37

menjaga pelaksanaan pemilu di Aceh. Elite partai politik di NAD hendaknya menjaga pelaksanaan pemilu yang santun dan aman. Adanya persaingan secara sehat, sehingga tidak menimbulkan suasana yang mengganggu jalannya demokrasi di Aceh.

Berjalannya pemilu dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi dapat ditempuh dengan cara bersama-sama menciptakan skenario akumulasi pemikiran dalam rangka mendorong perubahan di Aceh. Aceh memiliki banyak sejarah konflik. Jika kondisi ini ditumbuhkembangkan akan dapat mendorong tercapainya kehidupan rakyat Aceh yang lebih baik. Sehingga permasalahan seperti konflik dan kekerasan dapat dihindari.

Bagaimanapun kursi 2009 akan semakin menggiurkan bagi partai-partai politik. Dengan hadirnya partai lokal maka otomatis dinamika politik akan semakin bervariasi dan kompetitif. Ada partai nasional dengan platformnya yang usang atau baru. Dan ada partai lokal dengan mengusung tema perubahan.

Meski platform belum secara otomatis akan menarik bagi rakyat. Namun yang pasti semua tergantung bagaimana para elite partai menyampaikan platform dalam mengambil hati rakyat. Dapat memberikan harapan kepada rakyat akan kehidupan yang lebih baik dimasa mendatang.

Dengan demikian pemilu 2009 bukan sekedar pertarungan memperebutkan kursi akan tetapi juga pertempuran bagaimana menyakinkan rakyat tentang platform mana yang lebih baik. Rakyat akan memilih partai yang serius, sungguh dan benar-benar mampu membawa perubahan bagi kehidupanmya. Oleh sebab itu, bagi elite partai, baik partai lokal apalagi partai nasional yang terlibat dalam perebutan kursi tahun 2009 jangan lagi bohongi rakyat dengan kontrak politik yang selalu menjadi dagelan politik disetiap pesta demokrasi. Jika mau jujur rakyat sebenarnya sudah bosan dengan pemilu tanpa ada perbaikan untuk kehidupan mereka.

(38)

38

terujudnya kesejahteraan dan perdamaian baik saat pelaksanaan pemilu maupun pasca pemilu nanti. Jika nanti kehidupan yang lebih baik tidak terujud, bisa dipastikan rakyat akan antipati dan tidak lagi percaya kepada partai politik bahkan kepada elite politiknya. Itu artinya demokrasi tidak akan mendapat tempat dihati rakyat aceh.

(39)

39

2

Partai Politik dan Pragmatisme Kekuasaan

Media Indonesia, 4 Juni 2008

Setiap warga negara mempunyai hak untuk membentuk dan mendirikan partai politik (Parpol). Hal ini dijamin dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang parpol dan konstitusi negara Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur kebebasan berserikat dan berkumpul.

Berdasarkan dua ketentuan diatas, maka menjelang pemilihan umum (pemilu) 2009, banyak orang berlomba-lomba mendirikan parpol. Bahkan sampai penutupan pendaftaran partai politik peserta pemilu Selasa 13/5 lalu, lebih kurang 66 partai politik telah mendaftarkan diri. Mereka yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu termasuk lima parpol yang sedang berkonflik atau memiliki pengurus kembar.

(40)

40

sudah mendaftar tersebut menjadi kontestan dalam pemilu 2009 nanti? Yang pasti, bisa tidaknya ke-66 parpol yang mendaftar tersebut menjadi kontestan pemilu 2009 mendatang, akan bergantung dari hasil verifikasi kelayakan yang dilakukan KPU.

Bagi parpol, dapat-nya mereka ikut serta dalam pemilu 2009 tentu menjadi sangat penting. Apalagi bisa memenangkan pemilu. Akan tetapi, bagi masyarakat yang jauh lebih penting adalah apakah keberadaan parpol tersebut akan memberikan manfaat yang signifikan bagi perkembangan kehidupan rakyat selanjutnya? Karena seperti kita ketahui, sejak tahun 1999 sampai sekarang, telah banyak parpol yang dibentuk dan telah silih berganti pula kepengurusan diparpol terjadi.

Namun parpol masih sangat sulit diharapkan mampu menyalurkan

aspirasi rakyat. Padahal banyak parpol yang menyisipkan “kata rakyat” sebagai

nama partainya. Pada pemilu 1999 misalnya, ada 141 partai yang disahkan Departemen Kehakiman. Dari jumlah ini ada 21 partai yang namanya menggunakan kata rakyat. Meski tidak semua menyisipkan kata rakyat sebagai

nama resmi. Namun semua parpol “katanya berjuang untuk rakyat”. Jika semua

parpol berjuang untuk rakyat, mengapa negeri ini terus saja tergopoh-gopoh dalam memperbaiki nasib rakyat? Mengapa penderitaan rakyat tak berkesudahan? Dimana parpol yang berjanji ingin membela rakyat? Dan mengapa program-program parpol yang ditawarkan kepada rakayat tidak berjalan. Lihat saja, banyak program dan platfom parpol yang diimplementasikan kepada rakyat tidak jelas dan tidak terujud. Dan adalah sangat bertolak belakang dengan janji elite parpol sebelum mereka duduk di kursi kekuasaan.

(41)

41

Menyikapi hal demikian, kelihatannya sebuah parpol masih terjebak kepada pragmatisme kekuasaan. Rakyat yang katanya diwakili ternyata belum sepenuhnya di perhatikan dengan segala program yang dijanjikan menjelang pemilu. Tidak salah jika banyak pihak masih selalu mempertanyakan keberadaan sebuah parpol. Sebenarnya mereka mewakil aspirasi siapa?

Pertanyaan ini tentu saja sangat patut dipertanyakan secara berulang kali. Sebab terkesan selama ini bahwa elite parpol hanya memerlukan rakyat untuk mencapai kekuasaan dan kedudukan semata. Setelah semua tujuan tersebut dicapai yaitu dengan duduknya elite parpol dikursi legislatif, eksekutif dan yudikatif apa yang dijanjikan kepada rakyat ternyata tidak kunjung datang sesuai harapan rakyat. Keadaan ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi dinegara-negara maju.

Di negara-negara maju, apabila kader-kader pimpinan parpol memperoleh posisi-posisi penting dalam lembaga-lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, maka para kader parpol bersangkutan tidak saja harus menunjukkan kepiawaian mereka dalam mengemban posisi yang belum pernah mereka jabat. Akan tetapi mereka juga menepati janji yang telah mereka ajukan kepada rakyat.

Hal ini bisa terjadi dikarenakan telah terlembaganya sistem demokrasi dalam pemerintahan negara-negara maju tersebut. Disamping itu, keberadaan parpol merupakan instrumen artikulasi utama kepentingan rakyat. Sebagai instrumen utama kepentingan rakyat, parpol selalu dengan setia menjawab dan menyelesaikan semua aspirasi yang berkembang dalam kehidupan rakyat. Parpol selalu responsif dalam menjawab tuntutan-tuntutan yang muncul di tengah kehidupan rakyat.

(42)

42

tanpa harus bertanggung jawab. Apa yang diperbuat elite parpol belum sepenuhnya memihak untuk kepentingan rakyat. Rakyat yang semakin hari didera kehidupan yang sulit tidak menjadi perhatian serius parpol. Padahal sebagai elite parpol yang dipilih rakyat, seharusnya dengan setumpuk persoalan yang dihadapi rakyat, mereka harus dengan sigap dan cepat membantu mencarikan jalan keluar agar rakyat tidak semakin terjepit dengan kesusahan.

Bagaimanapun, keberadaan parpol masih tetap dibutuhkan. Sebuah parpol adalah bagian hakiki dalam corak kehidupan bernegara. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa, sebuah ideologi dalam pendirian suatu parpol hendaknya mengacu kepada terujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila dan UUD 45.

Kita berharap bahwa dimasa-masa mendatang keberadaan parpol tidak semata-mata memanfaatkan rakyat pada saat proses memperebutkan atau mencari kursi kekuasaan saja. Kita berharap para elite parpol tidak melulu menghandalkan kehebatan retrorika semata. Akan tetapi keberadaan elite parpol dimasa mendatang harus bisa memberikan manfaat yang signifikan dalam kehidupan rakyat.

Agar keberadaannya dicintai oleh rakyat, maka pemimpin dan tokoh-tokoh parpol yang nanti duduk di kursi kekuasaan hendaknya dengan sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi rakyat dalam proses kehidupan yang lebih baik. Sebuah parpol hendaknya malu apabila rakyat yang diwakilinya mempunyai banyak persoalan. Seharusnyalah parpol mendasarkan setiap sikap dan tindakan sebagai instrumen politik yang kian penting dalam era globalisasi.

(43)

43

Bagaimanapun, yang menentukan hidup, tumbuh dan besarnya suatu parpol adalah rakyat. Sebab dalam perkembangan dan keberadaannya parpol tidak terlepas dari kohesi emosional massa pendukungnya. Jadi elite parpol yang telah terpilih sebagai pemenang pemilu, apakah itu menjadi Presiden dan Wakil Presiden atau terpilih menjadi anggota legislatif pada pemilu 2009 nanti, semoga dapat bekerja dengan seluruh program yang ditawarkan untuk rakyat, jangan lagi kecewakan rakyat. Mari laksanakan program dengan aksi nyata demi kesejahteraan rakyat. Dan yang lebih penting mari hilangkan pragmatisme kekuasaan demi sebuah masyarakat yang adil dan sejahtera. Semoga.***

3

Partai Politik, Antara Harapan

dan Kenyataan

Harian Neraca, 29 Januari 2008

(44)

44

beberapa pengamat politik mengatakan bahwa kualitas demokrasi di Indonesia akan sangat ditentukan oleh mutu pilar-pilar demokrasi itu sendiri, misalnya partai politik dan aturan perundang-undangan yang membangun sistem yang demokratis. Ketika partai politik rusak, demokrasi menjadi tidak berbobot. Dari itu, yang harus dibenahi pertama adalah partai politik. Caranya, partai-partai politik harus terbuka dan berani merekrut kader-kader bangsa yang terbaik. Dengan kader-kader yang berkualitas, diharapkan nantinya orang-orang yang duduk di DPR dapat menghasilkan aturan perundang-undangan yang berkualitas pula.

Kalau kita berbicara mengenai partai politik, jelas tidak bisa dilepaskan dari keberadaan para kadernya atau orang-orang yang duduk dalam kepengurusan partai. Suatu hal yang menarik untuk dicermati adalah sering kali terjadi perpecahan bahkan perkelahian dalam tubuh partai. Hal ini menyebabkan logika politik yang demokratis seakan tidak berjalan sebagaimana tuntutan ideal yang dikehendaki oleh rakyat.

Lihat saja misalnya sebuah proses politik dalam kongres partai. Kongres terkadang berubah menjadi arena adu urat leher, arena saling menjatuhkan. Bahkan banyak pengurus partai yang tidak terpilih bikin partai tandingan sebagai tindak lanjut dari gagalnya tokoh partai tersebut menduduki kursi kepengurusan. Atau bahkan tidak menerima kepengurusan partai yang baru.

Kondisi diatas tentu saja semakin memperlihatkan kepada kita. Partai politik telah gagal menghadirkan kehidupan yang demokratis di tengah rakyat. Artinya, partai politik belum mampu memberikan jaminan terciptanya kehidupan rakyat yang lebih baik selama ini. Ini akibat dari ulah elite partai yang masih disibukkan dengan ambisinya untuk mengapai kekuasaan, baik di kepengurusan partai maupun di legislatif.

(45)

45

kondisi ini oleh sebagian kalangan sudah dianggap lazim, sebab tradisi kepartaian di negara kita yang memang masih belum bisa dilepaskan dari tradisi kekerasan, saling hujat, dan saling jatuh-menjatuhkan. Namun kejadian tersebut patut disayangkan, karena elite partai adalah orang-orang pintar dan bukan para preman. Jadi seharusnyalah peristiwa tersebut tidak terjadi.

Bukankah akan lebih baik bila setelah kongres, partai politik selain membicarakan masalah kepengurusan partai, juga sepantasnya mencermati aspirasi rakyat dan mengambil sebuah keputusan yang nantinya benar-benar bermanfaat dalam kehidupan rakyat. Misalnya, ikut membantu meringankan penderitaan rakyat yang terkena musibah bencana alam.

Aneh memang, padahal kalau kita mau jujur, sebetulnya rakyat sangat menaruh harapan yang cukup tinggi terhadap kehadiran partai politik, terutama sekali setelah sebuah partai melakukan pembaharuan atau perubahan kepengurusan. Tingginya harapan rakyat tersebut tentu saja bertujuan sebagai wahana untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat. Karena partai-lah yang dapat menyalurkan aspirasi rakyat untuk melakukan perubahan-perubahan kearah kehidupan yang lebih baik. Namun harapan tersebut tertinggal semakin jauh. Sementara kelakuan elite partai politik semakin membuat rakyat berang.

Jika partai masih disibukkan dengan ambisi kekuasaan dan sering terjadi kekerasan, lalu buat apa semua klaim para tokoh partai yang menyatakan bahwa kehadiran partai sebagai penyambung suara rakyat? Tetapi tidak pernah mempraktekkan mekanisme penyaluran aspirasi rakyat secara lebih terukur, terarah dan jelas.

(46)

46

Jangan lagi partai politik terjebak dengan politik yang cenderung mengarah kepada perebutan kekuasaan semata.

Untuk dapat terujudnya hal diatas, maka sudah saatnya perhatian tentang aspirasi rakyat dijadikan agenda penting. Ini mengingat bahwa masalah yang dihadapi rakyat seperti, masalah kemiskinan, pengangguran, dis-integrasi bangsa merupakan masalah utama yang selalu saja dituntut oleh rakyat untuk diselesaikan oleh partai bersama pemerintah. Dari itulah, keberadaan sebuah partai sebagai instrumen politik semakin dituntut untuk memberikan konstribusi kongkret pada masalah-masalah nasional yang semakin kompleks dan beragam dewasa ini. Dalam konteks ini, partai-partai politik dituntut untuk menjadi penyalur aspirasi rakyat secara maksimal. Bukan partai politik yang sibuk akan kekuasaan dan adu jotos sesama warga bangsa. ***

4

Program Partai Terhadap

(47)

47 Jurnal Nasional, 13 September 2006

Sejak reformasi kepartaian diluncurkan pada tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang membuat menjamurnya partai politik (181 parpol) banyak partai politik yang ingin menunjukkan diri sebagai partai yang terbaik. Apalagi waktu itu, pemerintahan Habibie tidak akan membatasi pembentukan partai politik. Siapa saja boleh membentuk partai, asalkan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Namun sayang sampai saat ini kinerja partai politik masih mengecewakan masyarakat. Hal ini tampak dengan terus-menerusnya partai mengumbar janji dan harapan kosong. Partai politik tidak mampu secara konsisten dalam meredam konflik internal dan menumbuhkan militansi positif. Kemampuan partai dalam menerjemahkan kehendak politik publik dan memberi pendidikan politik yang sehat kepada masyarakat seakan tumpu. Bahkan para elite partai sering terlibat dalam perdebatan dan konflik untuk memperebutkan kekuasaan. Yang lebih parah lagi anggota partai politik yang ada di DPR banyak yang terlibat praktik-praktik korupsi

Persoalan makin parah manakala perilaku anggota parpol yang sudah menjadi wakil rakyat tidak menunjukkan sikap sensitif pada rakyat. Seperti misalnya, persoalan gaji, tunjangan, maupun uang reses. Sementara persoalan-persoalan misalnya, kenaikan harga BBM, penggusuran, penggangguran, demokratisasi, lingkungan hidup, pendidikan dan penegakan hukum belum terjamah secara maksimal oleh partai politik.

(48)

48

bermakna bagi kehidupan masyarakat banyak. Khusus masalah penegakan hukum, partai politik belum sepenuhnya mempunyai komitmen yang kuat terhadap tegaknya supremasi hukum. Padahal tegaknya supremasi hukum sangat penting untuk memajukan nilai-nilai demokrasi di dalam kehidupan rakyat. Kita tahu krisis penegakan hukum tersebut telah begitu lama mendera bangsa ini. Lihat saja, berbagai kasus korupsi muncul dalam banyak wajah dan ia terjadi diberbagai sektor kehidupan. Ironis memang, padahal komitmen penegakan hukum hampir selalu menjadi agenda utama pemerintahan yang berkuasa. Pendeknya, penegakan hukum terutama kasus korupsi telah menjadi agenda penting untuk diberantas sampai keakar-akarnya.

Namun ternyata pemerintah belum mampu memberikan harapan akan hadirnya supremasi hukum dalam kehidupan masyarakat. Berbagai bentuk kejahatan korupsi tumbuh semakin subur. Bahkan kasus-kasus yang terjadi pada masa lampau sampai sekarang masih belum terlalu jelas proses penegakan hukumnya.

Suburnya kejahatan korupsi di Indonesia tentu saja semakin mengukuhkan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia. Prestasi ini terus saja bertahan dari tahun-ketahun. Paling tidak, hal ini dapat kita lihat berdasarkan hasil survei Poltical and Economic Risk Consultancy (PERC). Tercatat indeks prestasi korupsi dari tahun 1995 sebesar 7,31, tahun 1996 sebesar 7,96, tahun 1997 sebesar 8,67, dan tahun 1999 sebesar 9,88.

(49)

49

Dan pada tahun 2004 kembali hasil survei tahunan Lembaga Political and Economic Risk Consultancy (PERC) mencatat Indonesia masih ditempatkan sebagai negara tertinggi tingkat korupsinya disamping negara Pilipina, Korea Selatan, Thailand dan sebagainya. Bahkan rekor negara terkorupsi sampai sekarang masih saja bertahan.

Berkaca pada hal diatas maka tekad untuk menegakkan hukum harus secara terus-menerus diupayakan oleh partai politik bekerja sama dengan aparat terkait. Karena sebagai bangsa yang bermartabat kita harus melihat terwujudnya supremasi hukum dalam negara Republik Indonesia ini. Untuk mengujudkan itu semua, maka seluruh partai politik yang ada harus dengan sungguh-sungguh menegakkan hukum. Misalnya tidak terlibat kasus-kasus korupsi. Sebab penegakan hukum tidak hanya bergantung pada pemerintah dan aparat terkait saja, akan tetapi DPR yang notabene anggotanya berasal dari partai politik juga harus memainkan peran yang penting untuk menjamin tegaknya wibawa hukum. Apalagi anggota DPR yang dihasilkan pada pemilu 2004 lalu mempunyai peranan penting dalam menentukan warna setiap pengambilan kebijakan, termasuk didalamnya kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan hukum. Partai politik harus selalu lebih pro aktif untuk mencermati hal ini. Partai politik harus memperjuangkan nilai-nilai hukum di tengah kehidupan rakyat. Ini bertujuan untuk menciptakan hukum yang lebih baik dan demokratis dimasa-masa mendatang. Seandainya tidak ada kemauan dari partai politik jelas akan berakibat kepada merosotnya citra partai di mata rakyat.

Berdasarkan uraian diatas, maka kita semua sepakat bahwa penegakan hukum bukan tugas aparat hukum saja. Namun peran partai politik juga dituntut dalam upaya-upaya penegakan hukum.

(50)

50

diperhatikan oleh elite partai politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Sehingga kedepannya langkah-langkah menuju proses demokratisasi seperti yang diamanatkan agenda reformasi akan segera terujud. Semoga. ***

5

(51)

51 SUARA KARYA, 24 Mai 2005

Sejumlah partai politik telah sukses melaksanakan kongres atau pertemuan tingkat nasional untuk memilih dan membentuk kepengurusan baru. Partai-partai tersebut, antara lain Partai Golkar, PDIP, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan terakhir Partai Demokrat (PD). Terlepas dengan masih adanya kemelut intern di tubuh parpol-parpol tertentu yang hingga kini masih tak terselesaikan, sejumlah parpol toh berhasil memilih pemimpin dan pengurus baru untuk masa pengabdian lima tahun mendatang.

Sebagai institusi tertinggi untuk mengambil keputusan, termasuk keputusan tentang siapa figur yang layak memimpin partai, parpol-parpol akhirnya sukses melaksanakan perhelatan kongres ataupun muktamar kendati masih adanya gejolak perpecahan di sana-sini. Namun ada suatu hal yang menarik untuk dicermati dalam pertumbuhan partai. Enam tahun setelah reformasi digulirkan, belum banyak kemajuan berarti yang dicapai partai-partai politik.

Bahkan sering kita lihat adanya perpecahan dalam tubuh sejumlah partai. Hal ini menyebabkan logika politik yang demokratis seakan tidak berjalan sebagaimana tuntutan ideal yang dikehendaki oleh rakyat. Lihat saja, proses politik berubah menjadi arena adu urat leher, arena saling menjatuhkan. Bahkan banyak pengurus partai yang tidak terpilih, lantas membuat partai tandingan. Kondisi tersebut tentu saja semakin memperlihatkan kepada kita bahwa partai politik telah gagal menghadirkan kehidupan yang demokratisasi di tengah rakyat.

(52)

52

memenuhi tuntutan demokrasi tersebut juga terlihat dengan sering terjadinya kekerasan dalam tubuh partai, baik ketika melaksanakan kongres, munas atau pada saat orang partai melaksanakan rapat-rapat di gedung dewan yang terhormat. Kondisi ini oleh sebagian kalangan bahkan sudah dianggap lazim, sebab tradisi kepartaian di negara kita memang masih belum bisa dilepaskan dari tradisi kekerasan, saling hujat, dan saling jatuh-menjatuhkan. Yang jelas, kejadian-kejadian tersebut tentu saja patut disayangkan, karena elite partai adalah orang-orang pintar yang terpelajar, dan bukan para 'preman'. Jadi, sudah seharusnyalah peristiwa-peristiwa macam itu perlu dihindari.

Kongres dan Aspirasi Rakyat

Menyimak berakhirnya pelaksanaan kongres beberapa partai belakangan ini, maka terlihat, terlalu sedikit partai politik yang membicarakan konsep, platform ataupun, sosialisasi program-program serta konsolidasi partai dalam menjalin komunikasi politik dengan massa pendukungnya. Padahal, bukankah akan lebih baik bila setelah kongres, partai-partai selain membicarakan masalah kepengurusan partai, juga sepantasnya mencermati aspirasi rakyat dan mengambil sebuah keputusan yang nantinya benar-benar bermanfaat bagi kehidupan rakyat? Sebut saja, misalnya, mengupayakan bantuan sosial untuk membantu meringankan penderitaan rakyat yang terkena musibah bencana alam pasca gempa bumi dan gelombang tsunami Aceh dan P Nias. Saat ini tidak dapat dipungkiri masih banyak rakyat yang terkena bencana alam hidup dalam penderitaan, sementara elite partai hanya diam saja, cenderung tidak berupaya mengatasi persoalan ini. Aneh memang, padahal kalau kita mau jujur, sebetulnya rakyat sangat menaruh harapan yang cukup besar terhadap kehadiran partai politik, terutama sekali setelah sebuah partai melakukan pembaruan atau perubahan kepengurusan.

(53)

53

menyalurkan aspirasi rakyat untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Di samping itu, selama ini keberadaan partai politik juga masih disibukkan dengan fenomena saling memperebutkan kepentingan politik kelompok dan golongan masing-masing. Elite partai kurang memperhatikan kepentingan rakyat yang sesungguhnya. Pertanyaan pun menggelitik, buat apa semua klaim para tokoh partai yang menyatakan bahwa kehadiran partai sebagai penyambung suara rakyat? Sementara faktanya para elite parpol tidak pernah mempraktikkan mekanisme penyaluran aspirasi rakyat secara lebih terukur, terarah dan jelas.

Belum terpenuhinya segenap aspirasi rakyat oleh partai politik sesungguhnya sangat mudah dilihat. Lihat saja, wakil-wakil rakyat dari berbagai partai politik mengalami berbagai kesulitan dalam menuntaskan benang kusut seluruh persoalan bangsa. Bukankah, masalah yang sangat serius seperti masalah disintegrasi bangsa, pengangguran, kemiskinan, pendidikan, dan bahkan masalah korupsi seharusnya menjadi "pekerjaan rumah" (PR) bagi para wakil rakyat dari berbagai partai politik tersebut?

Seharusnya partai politik bersama dengan pemerintah berupaya keras mencarikan solusi yang baik dan jitu untuk mengatasi seluruh persoalan bangsa tersebut. Harus dihindari partai-partai politik tertentu terjebak dengan politik yang cenderung mengarah kepada perebutan kekuasaan semata.

(54)

54

Dalam konteks ini, partai-partai politik dituntut untuk menjadi penyalur aspirasi rakyat secara maksimal. Ke depan, hendaknya putusan-putusan yang telah dihasilkan dalam kongres, muktamar atau munas harus dapat memberikan dampak yang positif bagi kelangsungan hidup rakyat. Sejatinya, partai sebagai salah satu pilar aspirasi rakyat hendaknya mampu menjadi tumpuan harapan bagi rakyat terutama rakyat menengah ke bawah untuk bisa lepas dari penderitaan.

Catatan Penutup

Mencermati hal di atas, maka salah satu bahan evaluasi yang penting dalam konteks ini adalah sejauh mana berbagai partai politik mampu melakukan kontak atau komunikasi politik dengan rakyat setelah kongres, muktamar atau munas berlangsung. Harus dihindari, partai-partai terlalu memfokuskan diri terus pada masalah kekuasaan dengan meributkan hal-hal yang sepele. Sudah saatnya partai perlu memikirkan nasib rakyat secara serius. Sudah saatnya partai-partai benar-benar memperhatikan aspirasi sesuai harapan rakyat. Untuk itulah, peran partai sebagai wahana untuk memperjuangkan tercapainya kesejahteraan rakyat harus dapat dimainkan dengan cepat dan tepat sasaran. Partai harus memiliki kejelian terhadap apa yang dirasakan rakyat di dimana pun rakyat berada.

(55)

55

6

Menunggu Aksi Partai Pascakongres

Media Indonesia, 18-4-2005

SEJUMLAH partai politik telah menyelenggarakan kongres. Sebut saja misalnya Partai Golkar, PDIP, dan PAN. Kongres tersebut telah berhasil memilih dan membentuk pengurus baru untuk masa bakti lima tahun mendatang. Muncul dan hadirnya muka-muka baru di tubuh partai tersebut tentu saja membawa angin segar bagi kehidupan partai yang lebih baik ke depannya. Sehingga apa yang dicita-citakan rakyat, yaitu terwujudnya kehidupan yang demokratis melalui partai politik akan selalu dirasakan di masa mendatang.

(56)

56

Diperbolehkannya orang-orang mendirikan partai tentu saja disebabkan karena tidak mampunya partai atau organisasi sosial politik yang sudah ada (Golkar, PPP, dan PDI) untuk menampung tuntutan gerakan reformasi. Dari itu, apa yang ditegaskan Presiden Habibie yang menyatakan bahwa pada prinsipnya setiap orang boleh membentuk sebuah partai adalah bertujuan untuk menjawab seluruh tuntutan reformasi.

Namun seiring berjalannya waktu, keberadaan p

Referensi

Dokumen terkait

strategis, citra hasil hortikultura yang baik dan organisasi petani yang terstruktur. Dari sumber daya internal yang dimiliki oleh Desa Citapen, teridentifikasi lima

Ini berarti makin ke atas ukuran molekul makin kecil, maka gaya tarik- menarik antar-molekul (gaya Van der Waals) akan makin kecil. Perhatikan juga titik didih dan titik

Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran,

Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 16 Tahun 2007 tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul (Lembaran Daerah

This study aims to find translation procedures from source language (English) to target language (Indonesian) used in translating the Eclipse novel which have

[r]

diterima, dengan demikian diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered

Memperhatikan ketentuan-ketentuan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah terakhir dengan