• Tidak ada hasil yang ditemukan

Demokrasi dan Kesiapan Menerima Hasil Pilkada

Dalam dokumen BAGIAN PERTAMA POLITIK, DEMOKRASI DAN HAM (Halaman 173-177)

Suara Karya 19-Juli-2005

Beberapa daerah telah selesai mengelar pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Bahkan beberapa Gubernur, Bupati dan Walikota telah dilakukan pelantikannya. Namun, dibalik kegembiraan kemenangan pasangan pemimpin kepala daerah beserta pendukungnya tersebut, masih banyak pihak-pihak yang menolak hasil pilkada. Akibatnya, suhu politik disejumlah daerah cenderung memanas. Ini sebagai akibat, sikap ketidakpuasan para pendukung tersebut sering dimplementasikan kedalam bentuk tindakan yang anarkis dengan merusak berbagai bentuk fasilitas umum.

174 Di Surabaya misalnya, tanggal 12 Juli lalu, massa melakukan perusakan di gedung DPRD. Massa juga memaksa anggota dewan untuk menandatangani pernyataan yang menolak hasil penetapan pemilihan wali kota. Hal yang sama juga terjadi di Sulawesi Selatan, dimana pendukung dari tiga gabungan pasangan calon Bupati yang gagal dalam pemilihan sudah menduduki kantor Bupati Gowa sejak beberapa hari yang lalu. Mereka menuntut hasil pemilihan dibatalkan karena dianggap tidak sah secara hukum.

Mencermati peristiwa diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, masih banyak pihak-pihak yang belum bisa menerima dengan lapang dada dan legowo dari proses demokrasi yang ada. Kehidupan demokratis yang terbentang dihadapan kita sekarang masih diwarnai dengan berbagai bentuk prilaku yang tidak santun dan tidak terpuji. Padahal sudah semestinya keberhasilan proses pilkada dibeberapa daerah disyukuri sebagai keberhasilan masyarakat secara keseluruhan untuk mendapatkan pimpinan yang legimate, bersih, jujur dan amanah. Hasil akhir dari pilkada seharusnya dapat dijadikan arena untuk saling membangun daerah secara bersama. Dan bukan menjatuhkan dan menjelekkan pihak lain.

Adanya pihak-pihak yang tidak bisa menerima keunggulan pihak lain tersebut membuat makna dan tujuan demokrasi serta demokratisasi yang sesungguhnya diabaikan. Fenomena ini hampir sering terjadi dalam ranah politik Indonesia. Ketika apa yang diinginkan dalam proses demokrasi tidak bisa dicapai sesuai dengan keinginan. Maka segala macam cara dilakukan untuk menggugat dan menentang hasil tersebut. Banyak pihak-pihak yang kalah tidak siap untuk menerima hasilnya dengan senang hati dan gembira, sembari memberikan ucapan selamat kepada pihak yang menang.

Adanya kecendrungan untuk mengabaikan makna demokrasi yang sesungguhnya ini menjadikan pesta demokrasi hanya dilihat sebagai suatu aturan main yang hanya didistribusikan untuk merebut keunggulan ataupun kedudukan semata, meskipun dengan cara-cara yang tidak sehat. Padahal demokrasi menurut Amartya Sen, pemenang Nobel ekonomi dari India mengatakan bahwa demokrasi bukanlah semata-mata soal keunggulan mayoritas. Demokrasi sangat kompleks, walaupun termasuk didalamnya pemungutan suara untuk mencari yang mayoritas dan penghormatan pada

175 hasil pemilihan umum. Demokrasi juga memerlukan perlindungan atas kemerdekaan dan kebebasan, penghormatan atas silang pendapat, dan bebasnya pers dari sensor.

Memang demokrasi melalui perjalanan yang panjang. Demokrasi tidak terjadi sekaligus. Perjalanan cita-cita demokrasi mengalami pasang surut. Di Indonesia para pendiri bangsa ini sudah lama bercita-cita akan adanya sebuah negara demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Lihat saja, demokrasi Liberal sudah dipraktekkan dari tahun 1945 sampai 1959. Kemudian tahun 1959 oleh Bung Karno diperkenankan sebuah demokrasi yang dia sebut demokrasi Terpimpin. Di masa pemerintahan Soeharto, kita juga mengenal demokrasi Pancasila. Bahkan pasca kejatuhan Soeharto kita memasuki alam reformasi yang lebih mengutamakan demokrasi secara bebas. Sepanjang perjalanan demokrasi tersebut kita terus saja belajar mempraktek demokrasi, namun kita tidak pernah mempraktikkan demokrasi dengan benar. Bahkan tujuan dan makna demokrasi disalah artikan dalam berbagai bentuknya.

Padahal sudah semestinya perubahan sistem politik seiring tumbuhnya demokrasi dapat di respon secara benar, arif dan bijaksana. Dengan muculnya berbagai macam bentuk demokrasi, sudah seharusnya kita lebih menghargai berbagai bentuk ideologi, cita-cita. Dengan demokrasi kita semestinya lebih mampu menghargai berbagai macam suku, bahasa maupun adat istiadat. Dengan demokrasi juga kita seharusnya lebih bisa menghargai silang pendapat, menghargai perbedaan, bertukar fikiran dan berdiskusi. Hal ini disebabkan karena demokrasi memiliki arti konstruktif yang sangat penting dalam kehidupan setiap warga Negara. Sehingga nantinya akan muncul eforia dan harapan-harapan akan kehidupan yang lebih baik.

Memang, sejak kejatuhan rezim orde baru tahun 1998, Indonesia telah melakukan banyak perubahan menuju demokrasi. Misalnya, adanya kebebasan pers, amandemen terhadap konstitusi, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden langsung bahkan pemilihan kepala daerah lewat pilkada juga telah sukses menghasilkan pemimpin daerah pilihan rakyat. Dari fenomena tersebut masyarakat Indonesia tidak lagi mempelajari demokrasi melalui buku-buku. Akan tetapi demokrasi dipelajari langsung dalam praktik kehidupan sehari-hari. Namun praktik demokrasi yang dipelajari secara langsung tersebut masih saja tidak disikapi dengan kedewasaan bertindak dan

176 berfikir. Pihak-pihak yang kalah cenderung larut dalam ruang-ruang konflik dan permusuhan. Mereka tidak menerima kekalahan sebagai alternative untuk memacu diri agar lebih siap pada masa-masa mendatang.

Inilah semestinya yang harus di praktikkan ketika pesta politik usai dilaksanakan. Penerimaan dan penghormatan terhadap pihak yang menang menjadi sangat penting di laksanakan dalam masyarakat yang sangat prulalistik. Untuk itu, jika semua mekanisme demokrasi lokal lewat pilkada dapat disepakati sebagai komitmen bersama, yaitu siapapun yang menang dalam pilkada harus diterima dengan lapang dada. Bukan mencari kesalahan pihak lain, maka itulah demokrasi sejati. Dengan demikian proses dan tujuan demokrasi dapat dicapai sesuai dengan esensinya yaitu memahami dan dapat menerima kekalahan.

Proses demokratisasi di Indonesia adalah sebuah proses panjang yang harus kita lewati dengan kedewasaan berfikir, bersikap, bertindak dan mengakui keunggulan pihak lain. Untuk itu perlu diingat bahwa kedewasaan berfikir, bersikap dan bertindak merupakan harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar lagi untuk mewujudkan agenda demokrasi sejati. Khusus dalam pelaksanaa pilkada yang baru saja kita laksanakan, tentu saja kepada semua pihak agar dapat menerima dengan legowo kemenangan pihak lain. Dan mari membangun daerah masing-masing dengan satu tujuan yaitu demi kesejahteraan rakyat. Semoga.***

177

4

Dalam dokumen BAGIAN PERTAMA POLITIK, DEMOKRASI DAN HAM (Halaman 173-177)