Representasi budaya patriarki dalam film 7 hati 7 cinta 7 wanita (analisis semiotika John Fiske)

Hak cipta dan penggunaan kembali: Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli. Copyright and reuse: This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.. Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP.

REPRESENTASI BUDAYA PATRIARKI DALAM FILM 7 HATI 7 CINTA 7 WANITA (ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE). SKRIPSI. Diajukan guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I.Kom.). ELVIRA BERYL VALENCIA GULO 11140110226. PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI MULTIMEDIA JOURNALISM FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA. TANGERANG 2015.

Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

HALAMAN PERSEMBAHAN. Untuk Perempuan-perempuan Indonesia, Harapanmu hanya pantas untuk orang yang menghargai kamu! Air matamu adalah berlian dan hanya pantas jatuh untuk orang yang menganggapmu berlian -Buku Peyempuan-. Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

KATA PENGANTAR. Kehidupan perempuan yang mengalami ketidaksetaraan tidak hanya dilihat secara kasat mata dalam kehidupan sehari-hari. Media massa juga menampilkan bagaimana adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan baik itu dalam rumah tangga ataupun lingkungan dimana perempuan berada. Hal tersebut mendorong peneliti untuk bersemangat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Representasi Budaya Patriarki dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita (Analisis Semiotika John Fiske)”. Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Yesus atas anugerah-Nya yang telah memberikan hikmat kepada peneliti sehingga pengerjaan skripsi ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Oleh sebab itu, peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu proses pengerjaan skripsi: 1. Papa, mama, Clara, dan Elshaddai yang selalu memberi doa, semangat, dan dukungan kepada peneliti selama melakukan penelitian. 2. Ambang Priyonggo, S.S., M.A. sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar membimbing peneliti dan telah memberikan banyak waktu untuk bimbingan dalam membuat skripsi ini hingga selesai. 3. Dr. Bertha Sri Eko M., M.Si. sebagai Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara serta ketua sidang yang telah memberikan saran untuk penelitian ini. Juga untuk Adi Wibowo. iii Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

Octavianto, S.Sos., M.Si. sebagai penguji ahli yang telah memberikan masukkan kepada peneliti. 4. Sahabat-sahabat yang selalu menyemangati peneliti dan selalu ada saat suka dan duka, Yardenia, Ervina, dan Monica. Serta, Iren Lase, yang berada jauh dan berbeda universitas tetapi telah membantu peneliti mencari referensi semiotika John Fiske hingga ke Jogja (It helps me a lot!). 5. Teman-teman seperjuangan yang memberi dukungan kepada peneliti, Feliana, Viera, Erwanto, Garry, dan terkhusus untuk Arvy. 6. Timotius Erick yang telah membantu penulis dari awal pengerjaan skripsi hingga akhir, serta mendukung penulis hingga penelitian ini selesai. 7. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya. Terima kasih sudah mendukung peneliti selama ini. Peneliti menyadari bahwa penelitian yang telah dibuat ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, peneliti menerima setiap kritik dan saran yang berguna bagi penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi pembaca.. Tangerang, 15 Juni 2015. Elvira Beryl Valencia Gulo. iv Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

REPRESENTASI BUDAYA PATRIARKI DALAM FILM 7 HATI 7 CINTA 7 WANITA (ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE) ABSTRAK Oleh: Elvira Beryl Valencia Gulo. Film sebagai representasi yang menampilkan realitas yang terjadi dalam masyarakat. Realitas itu salah satunya adalah ketidaksetaraan perempuan dan lakilaki. Adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan sudah menjadi sebuah sistem kepercayaan dan keyakinan dalam masyarakat. Sehingga perempuan sudah mutlak harus menerima posisinya yang berada dibawah laki-laki. Ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki inilah yang dinamakan patriarki. Patriarki sendiri tidak hanya berada dalam lingkungan rumah tangga, tetapi juga dalam pekerjaan, seksualitas, serta kekerasan. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui representasi budaya patriarki dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode penelitian semiotika John Fiske dan paradigma konstruktivistik. Dalam membedah representasi budaya patriarki, peneliti menggunakan kode-kode televisi yang telah dieliminasi oleh kode-kode sosial, yaitu level realitas, level representasi, dan level ideologi. Hasil penelitian ini adalah peneliti menemukan representasi budaya patriarki dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Temuan tersebut mengacu pada tanda-tanda verbal, non verbal yang kemudian menunjukkan konsep ideologi patriarki.. Kata kunci: budaya, patriarki, representasi, semiotika, john fiske. v Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

DAFTAR ISI. HALAMAN PERSETUJUAN...............................................................................i HALAMAN PERNYATAAN...............................................................................ii KATA PENGANTAR...........................................................................................iii ABSTRAK.............................................................................................................v DAFTAR ISI..........................................................................................................vi DAFTAR TABEL.................................................................................................ix DAFTAR GAMBAR.............................................................................................xi BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1 1.1 Latar Belakang Masalah.....................................................................................1 1.2 Perumusan Masalah...........................................................................................6 1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................................6 1.4 Kegunaan Penelitian...........................................................................................6 BAB II KERANGKA TEORI...............................................................................8 2.1 Penelitian Terdahulu..........................................................................................8 2.2 Representasi.....................................................................................................14 2.3 Semiotika..........................................................................................................17 2.4 Budaya Patriarki...............................................................................................21 2.4.1 Patriarki dalam Rumah Tangga.........................................................25 2.4.2 Kekerasan Terhadap Perempuan.......................................................28 vi Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

2.4.3 Seksualitas dan Perempuan...............................................................31 2.5 Ideologi............................................................................................................35 2.6 Film..................................................................................................................37 2.7 Semiotika Film.................................................................................................40 2.8 Kerangka Pemikiran.........................................................................................43 BAB III METODOLOGI PENELITIAN..........................................................44 3.1 Jenis dan Sifat Penelitian.................................................................................44 3.2 Metode Penelitian.............................................................................................46 3.3 Teknik Pengumpulan Data...............................................................................47 3.4 Unit Analisis.....................................................................................................48 3.5 Teknik Analisis Data........................................................................................54 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................................57 4.1 Gambaran Umum Penelitian............................................................................57 4.1.1 Subjek atau Objek Penelitian............................................................57 4.1.2 Sinopsis Cerita..................................................................................58 4.2 Hasil Penelitian................................................................................................61 4.2.1 Level Realitas, Representasi, dan Ideologi Tokoh Lily....................61 4.2.1.1 Scene 00:07:22 – 00:10:53.................................................61 4.2.1.2 Scene 00:46:07 – 00:47:42.................................................82 4.2.1.3 Scene 01:03:17 – 01:04:23.................................................93 4.2.1.4 Scene 01:09:32 – 01:09:43...............................................103. vii Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

4.2.2 Level Realitas, Representasi, dan Ideologi Tokoh Yanti................115 4.2.2.1 Scene 00:12:02 – 00:14:22...............................................115 4.2.2.2 Scene 01:18:15 – 01:20:15...............................................127 4.2.3 Level Realitas, Representasi, dan Ideologi Tokoh Rara.................142 4.2.3.1 Scene 00:17:45 – 00:19:30...............................................142 4.2.4 Level Realitas, Representasi, dan Ideologi Tokoh Ratna...............155 4.2.4.1 Scene 00:23:05 – 00:24:34...............................................155 4.2.4.2 Scene 01:05:01 – 01:09:09...............................................164 4.2.5 Level Realitas, Representasi, dan Ideologi Tokoh Lastri dan Ningsih.....................................................................................................181 4.2.5.1 Scene 01:27:14 – 01:28:45...............................................181 4.3 Pembahasan....................................................................................................199 BAB V SIMPULAN DAN SARAN...................................................................210 5.1 Simpulan........................................................................................................210 5.2 Saran...............................................................................................................212 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN. viii Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

DAFTAR TABEL. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu..............................................................................11 Tabel 2.2 Private and Public Patriarchy...............................................................24 Tabel 3.1 Tabel Non Verbal dan Maknanya..........................................................49 Tabel 3.2 Frame Size dan Maknanya.....................................................................52 Tabel 3.3 Lighting dan Maknanya.........................................................................53 Tabel 4.1 Detail Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita......................................................58 Tabel 4.2 Level Realitas Scene 00:07:22 – 00:10:53.............................................64 Tabel 4.3 Level Representasi Scene 00:07:22 – 00:10:53.....................................73 Tabel 4.4 Level Ideologi Scene 00:07:22 – 00:10:53............................................78 Tabel 4.5 Level Realitas Scene 00:46:07 – 00:47:42.............................................84 Tabel 4.6 Level Representasi Scene 00:46:07 – 00:47:42.....................................87 Tabel 4.7 Level Ideologi Scene 00:46:07 – 00:47:42............................................90 Tabel 4.8 Level Realitas Scene 01:03:17 – 01:04:23.............................................94 Tabel 4.9 Level Representasi Scene 01:03:17 – 01:04:23....................................98 Tabel 4.10 Level Ideologi Scene 01:03:17 – 01:04:23........................................100 Tabel 4.11 Level Realitas Scene 01:09:32 – 01:09:43.........................................104 Tabel 4.12 Level Representasi Scene 01:09:32 – 01:09:43.................................109 Tabel 4.13 Level Ideologi Scene 01:09:32 – 01:09:43........................................112 Tabel 4.14 Level Realitas Scene 00:12:02 – 00:15:30.........................................117 ix Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

Tabel 4.15 Level Representasi Scene 00:12:02 – 00:15:30.................................121 Tabel 4.16 Level Ideologi Scene 00:12:02 – 00:15:30........................................123 Tabel 4.17 Level Realitas Scene 01:18:15 – 01:20:15.........................................129 Tabel 4.18 Level Representasi Scene 01:18:15 – 01:20:15.................................136 Tabel 4.19 Level Ideologi Scene 01:18:15 – 01:20:15........................................139 Tabel 4.20 Level Realitas Scene 00:17:45 – 00:19:30.........................................144 Tabel 4.21 Level Representasi Scene 00:17:45 – 00:19:30.................................150 Tabel 4.22 Level Ideologi Scene 00:17:45 – 00:19:30........................................152 Tabel 4.23 Level Realitas Scene 00:23:05 – 00:24:34.........................................156 Tabel 4.24 Level Representasi Scene 00:23:05 – 00:24:34.................................159 Tabel 4.25 Level Ideologi Scene 00:23:05 – 00:24:34........................................161 Tabel 4.26 Level Realitas Scene 01:05:01 – 01:09:09.........................................167 Tabel 4.27 Level Representasi Scene 01:05:01 – 01:09:09.................................174 Tabel 4.28 Level Ideologi Scene 01:05:01 – 01:09:09........................................177 Tabel 4.29 Level Realitas Scene 01:27:14 – 01:28:45.........................................183 Tabel 4.30 Level Representasi Scene 01:27:14 – 01:28:45.................................193 Tabel 4.31 Level Ideologi Scene 01:27:14 – 01:28:45........................................196. x Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

DAFTAR GAMBAR. Gambar 4.1.............................................................................................................57 Gambar 4.2.............................................................................................................61 Gambar 4.3.............................................................................................................82 Gambar 4.4.............................................................................................................93 Gambar 4.5...........................................................................................................103 Gambar 4.6...........................................................................................................115 Gambar 4.7...........................................................................................................127 Gambar 4.8...........................................................................................................142 Gambar 4.9...........................................................................................................155 Gambar 4.10.........................................................................................................164 Gambar 4.11.........................................................................................................181. xi Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Film merupakan salah satu media massa generasi ketiga yang berfungsi menyebarkan pesan atau informasi melalui audio dan visual (Amura, 1989, h. 129). Heru dikutip Trianton (2013, h. 24-25), membagi film kedalam beberapa jenis, yaitu film dokumenter, film cerita pendek, film cerita panjang, profil perusahaan, iklan televisi, program televisi, dan video klip. Sebagaimana media massa pada umumnya, film menjadi cermin atau jendela masyarakat dimana media massa itu berada. Oleh sebab itu, film menampilkan realitas, seperti nilai, norma, dan gaya hidup yang berlaku di dalam masyarakat (Mulyana, 2008, h. 89). Realitas yang ditunjukkan dalam sebuah film dapat memengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya (Irawanto, 1999, h. 13). McQuail dikutip Trianton (2013, h. 37) mengatakan bahwa film mempunyai kelebihan dibandingkan media lain selain dari audio-visual yang dimiliki tetapi juga dari fungsinya, yaitu menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi masyarakat, sebagai sarana sosialisasi dan pewarisan nilai, norma, dan. 1. Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

kebudayaan, berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, dan sebagai sarana hiburan dan pemenuhan kebutuhan estetika masyarakat. Lebih lanjut lagi, Turner dikutip Sobur (2006, h. 127-128) melihat bahwa makna film adalah representasi dari realitas masyarakat, jadi berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya. Salah satu film yang menampilkan realitas dalam masyarakat adalah Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Film ini masuk dalam jenis film cerita panjang. Menurut Trianton (2013, h. 26), film cerita panjang adalah film yang lazimnya berdurasi antara 90 sampai 100 menit dan diputar di bioskop, diedarkan dalam bentuk piringan, cakram, disk baik VCD maupun DVD. Seperti yang dilansir kapanlagi.com (2011, para. 1), film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita pertama kali tayang di Melbourne, Australia pada bulan Agustus 2010. Selanjutnya masuk bioskop Indonesia pada bulan Mei 2011. Film ini termasuk salah. satu. film. yang. memenangkan. banyak. penghargaan.. Menurut. thejakartapost.com (2011, para. 29), pada tahun 2010, film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita sudah mendapatkan enam nominasi di Festival Film Indonesia (FFI). Selain itu pada tahun 2011, film ini mendapatkan dua penghargaan dari Indonesia Movie Awards (IMA) untuk kategori Pendatang Baru Pria Terbaik dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik.. 2 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

Berdasarkan cerita yang peneliti tonton, film garapan sutradara muda, Robby Ertanto, bercerita tentang potret kehidupan perempuan-perempuan di Indonesia. Dengan berlatar rumah sakit, cerita diawali dengan hadirnya dokter kandungan bernama Kartini bersama dengan Rohana, dokter muda yang menjadi partner-nya. Kartini mendapatkan pasien dari beragam profesi dan masalah yang berbeda-beda. Hal inilah yang membuat film ini menarik untuk dijadikan bahan penelitian karena perempuan-perempuan yang menjadi karakter utama dalam film ini, menampilkan problematika-problematika yang sering dialami perempuan di Indonesia, seperti kekerasan dalam rumah tangga, seks bebas, poligami, perselingkuhan, dan sebagainya. Sobur (2006, h. 127) mengatakan bahwa realita dalam film telah menjadi sebuah konstruksi atas realitas yang ada dan bisa memberikan dampak untuk khalayak. Selain membentuk konstruksi masyarakat akan suatu hal, film juga merupakan rekaman realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar. Jadi, realita yang dialami perempuan film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita telah menjadi konstruksi atas realitas yang ada. Lebih lanjut lagi, berdasarkan karakter perempuan yang peneliti lihat dalam cerita film tersebut, tujuh karakter perempuan dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita memiliki masalah yang berbeda-beda. Ada yang harus mengalami kekerasan dalam rumah tangga, ada pandangan subordinat terhadap perempuan terutama dalam berumah tangga, ada marginalisasi terhadap perempuan sehingga berdampak dalam pekerjaannya, dan sebagainya. Realita yang dialami perempuan. 3 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita sebagai akibat adanya dominasi gender dalam hidup mereka. Henslin (2007, h. 48-49) melihat bahwa gender merupakan pengelompokan manusia yang utama. Istilah laki-laki yang mendominasi masyarakat dilihat sebagai konsekuensi sosial reproduksi manusia. Selama ini media film sebagai sarana representasi menghadirkan nilai-nilai yang salah satunya adalah gender. Melalui media film di Indonesia, nilai-nilai ketidaksetaraan masih bisa ditemukan, seperti pada film Perempuan Berkalung Sorban, Sang Penari, Air Terjun Pengantin, dan masih banyak lagi. Film-film tersebut memiliki tokoh utama perempuan yang sama dengan film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Tetapi pada film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita menampilkan tokoh perempuan yang lebih banyak dan beragam keterkaitan dengan masalah gender. Gender merupakan konsep sosial. Hubungan gender adalah berlangsungnya proses interaksi sosial yang kompleks yang masih diperkuat oleh bahasa yang digunakan. Dalam hubungan gender karakteristik, kemampuan perempuan dan lelaki menjadi asimetris. Akibatnya, melalui hubungan gender terciptalah dua pribadi dengan ciri khas bagi perempuan dan lelaki (Sadli, 2010, h. 25). Identitas perempuan dan laki-laki inilah yang dipengaruhi oleh lingkungan budaya. Budaya yang muncul akibat adanya masalah ketidaksetaraan gender yang bentuknya adalah pandangan posisi subordinat terhadap perempuan, pandangan stereotip terhadap perempuan dan laki-laki, beban ganda dari perempuan,. 4 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

marginalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan disebut budaya patriarki (Muniarti, 2004, h. 78). Pada umumnya patriarki bisa terjadi di mana saja. Asal mula definisi ini cenderung memfokuskan ketidakadilan gender pada lingkungan sosial, yaitu keluarga. Posisi laki-laki lebih tinggi dan dewasa dibanding perempuan. Peran laki-laki dewasa selalu menjadi pemimpin dan kepala keluarga tetapi perempuan menjadi pasif. Sehingga keluarga menjadi salah satu lembaga sosial yang berkontribusi membentuk patriarki. Rich dikutip Sumiarni (2004, h. 19) mengatakan bahwa di dalam sistem patriarki, laki-laki dengan kekuatan, tekanan langsung atau melalui ritual, tradisi, hukum dan bahasa, adat kebiasaan, etiket, pendidikan, pembagian kerja, menentukan peran apa yang boleh dan yang tidak boleh dimainkan oleh perempuan, dan perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Berangkat dari paparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti representasi budaya patriarki yang ditampilkan dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Lebih jelasnya lagi, representasi adalah proses yang menggambarkan atau menceritakan beberapa peristiwa atau konsep dalam beberapa cara tertentu dengan kata-kata, gambar visual, atau suara musik secara terpisah atau dalam berbagai kombinasi (Danesi, 2013, h. 582). Jadi peneliti ingin menemukan makna tanda yang merepresentasikan budaya patriarki melalui metode analisis semiotika. Seperti yang dikatakan Morissan (2013, h. 32), semiotika adalah studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang. 5 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan dan sebagainya yang berada di luar diri. Hal itulah yang menjadi alasan peneliti melakukan penelitian.. 1.2 Perumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana representasi budaya patriarki dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita.. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yang ingin diperoleh melalui rumusan penelitian di atas adalah ingin mengetahui bagaimana representasi budaya patriarki dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita.. 1.4 Kegunaan Penelitian Secara garis besar, penelitian ini memiliki kegunaan yang dibagi menjadi dua kegunaan teoretis atau akademis dan juga kegunaan praktis:. 1.4.1 Kegunaan Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan referensi mengenai metode semiotika dalam menganalisis film khususnya menggunakan metode semiotika John Fiske. Sehingga dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan film di Indonesia. Selain itu, diharapkan. 6 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

memberikan gambaran mengenai metode semiotika, analisis dan konsepkonsep yang ada pada film kepada pembaca.. 1.4.2 Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat membangun pembaca dalam mengaplikasikan. metode. analisis. semiotika. John. Fiske. dalam. menganalisis sebuah film. Sehingga pembaca tidak langsung menerima konstruksi dari film secara utuh tetapi mengetahui makna dan tujuan yang ingin disampaikan dalam film tersebut. Selain itu, diharapkan dapat menjadi evaluasi kepada pembuat film agar pembuatan film di Indonesia bisa menjadi lebih baik terutama menyangkut kesetaraan gender.. 7 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

BAB II KERANGKA TEORI. 2.1 Penelitian Terdahulu Dalam pengerjaan penelitian ini, terdapat tiga penelitian serupa terdahulu yang menjadi acuan referensi bagi peneliti. Penelitian pertama berjudul Representasi Perempuan Dewasa Yang Terbelenggu Dalam Tayangan Iklan Televisi (Analisis Semiotika John Fiske pada Tayangan TVC Tri Always On versi Perempuan) tahun 2014 oleh Dedy Kusuma Putra, mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Bertujuan untuk mengetahui. representasi. perempuan. dewasa. yang. terbelenggu. dan. dimanifestasikan dalam tayangan TVC Tri Always On dengan pendekatan semiotika John Fiske. Konsep-konsep yang digunakan pada penelitian Dedy, yaitu iklan televisi, iklan sebagai rekonstruksi realitas sosial, perempuan dewasa dalam perspektif antropologi, psikologi, dan demografi, semiotika, representasi, dan tanda. Hasil penelitian yang ditemukan yaitu adanya representasi perempuan dewasa yang terbelenggu dimanifestasikan dalam tayangan Iklan Tri Always On. Secara keseluruhan ilustrasi dalam iklan Tri ini mengadopsi isu-isu realita sosial yang. 8. Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

terjadi di lingkungan sosial masyarakat yang juga merupakan produk dari ideologi Patriarki. Penelitian kedua berjudul Representasi Nilai-nilai Budaya Patriarki dalam Lingkup Pesantren (Studi Analisis Semiotik Pada Film Perempuan Berkalung Sorban) tahun 2009 oleh Medina Andayanti, mahasiswi Universitas Indonesia. Bertujuan untuk melihat bagaimana nilai-nilai budaya patriarki direpresentasikan dalam lingkup pesantren serta memberikan sebuah gambaran tentang sejauh mana agama dalam hal ini pesantren, digunakan untuk mengukuhkan budaya patriarki. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis semiotika Saussure dengan melihat representasi nilai-nilai budaya patriarki dalam lingkup pesantren. Sedangkan konsep-konsep yang digunakan pada penelitian Medina, yaitu representasi, teori konstruksi realitas sosial, budaya patriarki, pesantren, film, dan semiotika. Hasil penelitian kedua yang ditemukan adalah film Perempuan Berkalung Sorban menggambarkan budaya patriarki yang mengakar kuat di lingkup pesantren. Pesantren merupakan salah satu tempat sosial yang berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai budaya. Di mana keberadaan perempuan dalam pesantren juga tidak lepas dari ketidaksetaraan atau nilai-nilai patriarki. Penelitian ketiga berjudul Representasi Ideologi Patriarki Dalam Hegemoni Budaya Jawa di Televisi (Studi Sinetron “Jangan Ada Dusta” Episode 1 dan Episode 9) tahun 2002 oleh Herianita Setia Dewi, mahasiswi Universitas Indonesia. Bertujuan untuk melihat representasi ideologi patriarki dalam. 9 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

hegemoni budaya Jawa di media massa, yaitu dari sinetron Jangan Ada Dusta episode pertama dan sembilan, di mana terlihat dalam sinetron ini bahwa perempuan berada di posisi sub ordinasi. Selain itu penelitian ini juga ingin mengetahui proses sebuah stasiun televisi memilih tayangan sinetron ini, serta melihat bagaimana produksi dan reproduksi sebuah ideologi dominan. Metode yang digunakan adalah Analisis Wacana Kritis dengan paradigma kritis. Adapun konsep-konsep yang digunakan oleh Herianita, yaitu perspektif feminisme, perempuan dalam persepsi masyarakat patriakal, perempuan dalam budaya Jawa, ideologi dan media massa, serta kekuasaan media televisi. Hasil penelitian ketiga yang ditemukan adalah dalam sinetron Jangan Ada Dusta episode pertama dan sembilan terlihat gambaran bagaimana ideologi kapitalisme dan ideologi patriarki saling mempengaruhi media dalam pembuatan sinetron ini. Perbedaan ketiga penelitian di atas dengan penelitian ini, yaitu penelitian ini melihat bagaimana representasi budaya patriarki dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita dengan menggunakan analisis semiotika John Fiske. Hal ini menjadi keunggulan penelitian ini dibanding ketiga penelitian terdahulu yang peneliti dapatkan. Kelebihan penelitian ini dari penelitian terdahulu pertama, yaitu penggunaan metode semiotika John Fiske pada analisis film akan menguak representasi yang peneliti cari lebih mendalam dan beragam sehingga unit analisis lebih banyak. Hal ini dikarenakan durasi film yang lebih lama daripada iklan. Sedangkan kelebihan dari penelitian terdahulu kedua dan ketiga, yaitu dengan menggunakan semiotika John Fiske akan menguak representasi patriarki lebih 10 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

mendalam karena ada tiga level yang harus dilewati dalam hasil penelitian, yaitu level realitas, level representasi, dan level ideologi. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Unit yang. Penelitian I. Penelitian II. Penelitian III. Dedy Kusuma. Medina Andayanti. Herianita S. Dewi. 2014. 2009. 2002. Representasi. Representasi Nilai-. Representasi. Perempuan. nilai Budaya. Ideologi Patriarki. Dewasa Yang. Patriarki dalam. Dalam Hegemoni. Terbelenggu. Lingkup Pesantren. Budaya Jawa di. Dalam Tayangan. (Studi Analisis. Televisi (Studi. Iklan Televisi. Semiotik Pada Film Sinetron “Jangan. (Analisis. Perempuan. Ada Dusta”. Semiotika John. Berkalung Sorban). Episode 1 dan. diteliti Nama Peneliti. Putra Tahun Penelitian Judul Penelitian. Fiske pada. Episode 9). Tayangan TVC Tri Always On versi Perempuan) Tujuan. Untuk. Untuk melihat. Untuk melihat. Penelitian. mengetahui. bagaimana nilai-. representasi. representasi. nilai budaya. ideologi patriarki. perempuan. patriarki. dalam hegemoni. dewasa yang. direpresentasikan. budaya Jawa di. terbelenggu dan. dalam lingkup. media massa, yaitu. 11 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

dimanifestasikan. pesantren serta. dari sinetron. dalam tayangan. memberikan. Jangan Ada Dusta. TVC Tri Always. sebuah gambaran. episode pertama. On dengan. tentang sejauh. dan sembilan, di. pendekatan. mana agama dalam. mana terlihat dalam. semiotika John. hal ini pesantren,. sinetron ini bahwa. Fiske. digunakan untuk. perempuan berada. mengukuhkan. di posisi sub. budaya patriarki.. ordinasi. Selain itu penelitian ini juga ingin mengetahui proses sebuah stasiun televisi memilih tayangan sinetron ini, serta melihat bagaimana produksi dan reproduksi sebuah ideologi dominan.. Konsep yang. 1. Iklan televisi. 1. Representasi. Digunakan. 2. Iklan sebagai. 2. Teori konstruksi. rekonstruksi realitas sosial 3. Perempuan dewasa dalam. realitas sosial. 1. Perspektif feminisme 2. Perempuan. 3. Budaya. dalam persepsi. 4. Budaya. masyarakat. patriarki. patriakal. perspektif. 5. Pesantren. 3. Perempuan. antropologi,. 6. Film. dalam budaya. psikologi, dan. 7. Semiotika. Jawa. demografi. 4. Ideologi dan. 4. Semiotika. media massa. 5. Representasi. 5. Kekuasaan. 12 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

6. Tanda. media televisi. Metode. Semiotika John. Semiotika. Analisis Wacana. Penelitian. Fiske sifat. Ferdinand De. Kritis, dengan sifat. penelitian. Saussure, dengan. penelitian. deskriptif dan. sifat penelitian. deskriptif dan. paradigma. deskriptif dan. paradigma kritis. konstruktivistik. paradigma konstruktivistik. Hasil Penelitian. Adanya. Budaya patriarki. Terlihat gambaran. representasi. yang mengakar. bagaimana ideologi. perempuan. kuat di lingkup. kapitalisme dan. dewasa yang. pesantren.. ideologi patriarki. terbelenggu. saling. dimanifestasikan. mempengaruhi. dalam tayangan. media dalam. Iklan Tri Always. pembuatan sinetron. On. Secara. ini.. keseluruhan ilustrasi dalam iklan Tri ini mengadopsi isuisu realita sosial yang terjadi di lingkungan sosial masyarakat yang juga merupakan produk dari ideologi Patriarki. Perbedaan. Subjek. Subjek, metode. Subjek, metode,. penelitiannya. penelitiannya. paradigma. 13 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

berbeda. Subjek. berbeda. Subjek. penelitiannya. penelitian peneliti. penelitian peneliti. berbeda. Subjek. adalah film 7 Hati adalah film 7 Hati. penelitian peneliti. 7 Cinta 7 Wanita. 7 Cinta 7 Wanita.. adalah film 7 Hati. dan untuk melihat. Sedangkan metode. 7 Cinta 7 Wanita.. representasi. penelitian yang. Sedangkan metode. Budaya Patriarki.. digunakan peneliti. penelitian yang. adalah metode. digunakan peneliti. analisis semiotika. adalah metode. John Fiske.. analisis semiotika John Fiske dengan paradigma konstruktivistik.. 2.2 Representasi Danesi (2013, h. 582), mengatakan bahwa representasi proses yang menggambarkan atau. menceritakan beberapa peristiwa atau konsep dalam. beberapa cara tertentu dengan kata-kata, gambar visual, atau suara musik secara terpisah atau dalam berbagai kombinasi. Filsuf Yunani, Aristoteles dan Plato adalah tokoh yang berperan penting dalam mempertimbangkan representasi dan kehidupan nyata. Seperti yang dikutip Danesi (2013, h. 583) mengatakan bahwa Aristoteles melihat representasi (verbal, visual, atau musikal) sebagai primer yang berarti melihat bahwa manusia datang untuk memahami realitas, mengidentifikasikan mimesis (imitasi atau simulasi). 14 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

sebagai dasar untuk mewakili dunia. Aristoteles juga melihat representasi bisa menciptakan ilusi dunia yang menyebabkan kesesatan. Sedangkan menurut Plato, representasi tidak menunjukan kebenaran melainkan bertindak sebagai “mediasi”, menciptakan ilusi yang menjauhkan manusia dari kehidupan nyata. Menurutnya representasi perlu untuk dipantau karena dapat mendorong terjadinya reaksi anti sosial atau imitasi dari hal-hal yang jahat. Lebih lanjut lagi dalam teori semiotika, proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik disebut representasi. Hal ini bisa dicirikan sebagai proses membangun suatu bentuk X dalam rangka mengarahkan perhatian ke sesuatu, Y, yang ada baik dalam bentuk material maupun konseptual, dengan cara tertentu, yaitu X=Y. Meskipun demikian, upaya menggambarkan arti X=Y bukan suatu hal yang mudah. Maksud dari pembuat bentuk, konteks historis dan sosial yang terkait dengan terbuatnya bentuk ini, tujuan pembuatannya, dan seterusnya merupakan faktor kompleks yang memasuki gambaran tersebut (Danesi, 2010, h. 3). Sebagaimana yang akan dibahas secara detail, Danesi (2010, h. 4) mengatakan di dalam semiotika dinyatakan bahwa bentuk fisik sebuah representasi adalah X, pada umumnya disebut sebagai penanda; makna yang dibangkitkannya (baik itu jelas maupun tidak), yaitu Y, pada umumnya dinamakan petanda; dan makna yang secara potensial bisa diambil dari. 15 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

representasi ini (X=Y) dalam sebuah lingkungan budaya tertentu, disebut sebagai signifikasi (sistem penandaan). Lebih jelasnya lagi secara semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah petanda. Jadi sebuah tanda didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat fisik (X) yang mewakili sesuatu yang lain (Y), baik itu bersifat material atau konseptual, dalam cara tertentu (X=Y) (Danesi, 2010, h. 22-27). Menurut Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing, representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Media sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya (Wibowo, 2013, h.148). Meskipun demikian, proses penurunan makna dari representasi tertentu bukan merupakan proses terbuka karena dibatasi oleh konvensi sosial, pengalaman komunal, serta banyak hal faktor kontekstual yang membatasi pelbagai pilihan makna yang mungkin berlaku pada satu situasi tertentu (Danesi, 2010, h. 5). Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda lain diabaikan. Turner dikutip Sobur (2006, h. 127) mengatakan bahwa dalam banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Tetapi makna film sebenarnya adalah 16 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

sebagai representasi dari realitas masyarakat. Jadi film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebuyaannya. Hal tersebut berkaitan dengan proses representasi yang telah dipaparkan Fiske dikutip Wibowo (2013, h. 148-149). Pertama, realitas, dalam proses ini peristiwa dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar. Kedua, representasi, dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkat-perangkat teknis. Ketiga, ideologis, dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Proses representasi inilah yang menjadi metode penelitian dalam metode semiotika John Fiske.. 2.3 Semiotika Semiotika adalah studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan dan sebagainya yang berada di luar diri (Morissan, 2013, h. 32). Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna (Hoed, 2007, h. 3). Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar. 17 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya asap menandai api, sirene mobil yang keras meraungraung menandai adanya kebakaran di sudut kota. Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Wibowo, 2013, h. 7). Lechte dikutip Sobur (2006, h. 16), mengatakan bahwa semiotika adalah teori tentang tanda dan penanda. Lebih jelas lagi semiotika itu adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana sign “tanda-tanda” dan berdasarkan pada sign system (code) “sistem tanda”. Morris dikutip Wibowo (2013, h. 5), membagi kajian semiotika ke dalam tiga cabang penyelidikan, yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik. Sintaktik adalah suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal di antara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain”. Semantik adalah suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya”. Pragmatik adalah suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan di antara tandatanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakainya”. Berbicara mengenai semiotika, tentu saja tidak akan lepas dari pengaruh dua tokoh penting semiotika, yaitu Charles Sanders Peirce dan Ferdinand De Saussure. Keduanya meletakkan dasar-dasar kajian semiotika. Peirce dikenal. 18 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

sebagai pemikir yang argumentatif dan melihat tanda secara umum adalah mewakili sesuatu bagi seseorang (Sobur, 2006, h. 40). Teori modern pertama yang membahas tanda dikemukakan oleh ahli filsafat dari abad kesembilan belas adalah Charles Sanders Peirce. Semiotika didefinisikan sebagai suatu hubungan antara tanda (simbol), objek, dan makna. Tanda. mewakili. objek. yang. ada. di. dalam. pikiran. orang. yang. menginterpretasikannya (Morissan, 2013, h. 33). Fiske seperti dikutip Kriyantono (2012, h. 267) menyatakan semiotika Peirce berangkat dari tiga elemen utama, yaitu tanda, acuan tanda (objek), dan pengguna tanda (interpretant) atau yang lebih dikenal dengan segitiga makna. Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya disebut ikon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual disebut indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu kebiasaan disebut simbol (Sobur, 2006, h. 35). Selanjutnya semiotika menurut Ferdinand De Saussure yang memiliki pandangan tentang tanda sangat berbeda dengan pandangan para ahli di jamannya, yaitu menggunakan pendekatan anti historis yang melihat bahasa sebagai sebuah sistem yang utuh dan harmonis secara internal. Semiotika Saussure lebih terfokus pada semiotika linguistik (Wibowo, 2013, h. 19-20).. 19 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

Saussure seperti yang dikutip Kriyantono (2012, h. 269), menyatakan tanda terbuat dari bunyi-bunyi dan gambar yang disebut signifier dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar yang disebut signified. yang berasal dari. kesepakatan. Perkembangan dari Semiotika Saussure selanjutnya dilakukan oleh Roland Barthes. Menurut Sobur (2006, h. 63), Barthes dikenal sebagai salah satu seorang pemikir struktualis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean.. Ia. berpendapat. bahwa. bahasa. adalah. sistem. tanda. yang. mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Selanjutnya semiotika Roland Barthes yang melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Barthes menggunakan versi yang jauh lebih sederhana saat membahas model tanda-tanda glosematic. Barthes mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri dari (E) sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya (R) dengan content atau signified (C): ERC (Wibowo, 2013, h. 21). Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi tingkat kedua. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Sobur, 2006, h. 70-71).. 20 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

Perkembangan selanjutnya muncul teori semiotika John Fiske. Menurut Fiske (2011, h. 60-61), semiotika mempunyai tiga bidang studi utama: a. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. b. Kode atau sistem yang mengorganisasi tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode yang dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentrasmisikannya. c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode atau tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Fiske dikutip Vera (2014, h. 35), mengemukakan teori tentang kode-kode televisi (the codes of television). Menurut Fiske, kode-kode yang muncul atau yang digunakan dalam acara telvisi atau film saling berhubungan sehingga membentuk sebuah makna. Kode-kode tersebut telah dienkode oleh kode-kode sosial yang terbagi atas tiga level, yaitu level realitas (level reality), level representasi (level representation), dan level ideologi (level ideology). Ini merupakan tahap-tahap dalam pencarian representasi.. 2.4 Budaya Patriarki Konsep patriarki menggabungkan konsep hubungan-hubungan gender dan kemudian berkembang menjadi dua pandangan: (1) ketidakadilan yang sering. 21 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

terjadi dalam relasi gender, (2) perhatian kepada keterhubungan antara beberapa aspek hubungan-hubungan gender yang berbeda yang kemudian membentuk sistem sosial (Scott, 2011, h. 193). Ketidaksetaraan gender ini sering dikaitkan dengan posisi perempuan yang tidak menguntungkan. Patriarki sering ditinjau dalam posisi laki-laki dan perempuan di dalam keluarga. Adanya ketidaksetaraan gender akibat dominasi laki-laki dapat menimbulkan budaya patriarki. Budaya patriarki adalah budaya yang tidak mengakomodasikan kesetaraan, keseimbangan, sehingga perempuan menjadi tidak penting. Secara umum patriarki dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki (ayah). Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa untuk menentukan (Murniati, 2004, h. 81). Menurut Walby (1990, h. 20-21), konsep patriarki sendiri terdiri dari enam struktur sebagai berikut. a. Patriarki dalam moda dan alat produksi Patriarki dalam moda dan alat produksi merupakan struktur pertama yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Di dalam kehidupan rumah tangga diambil alih oleh suami atau laki-laki dewasa di rumah sedangkan peran istri atau perempuan adalah memproduksi (menghasilkan pekerjaan rumah, mengurus suami dan anak-anak). b. Hubungan patriarki dalam pekerjaan. Hubungan patriarki dalam pekerjaan merupakan struktur patriarki kedua yang melihat hubungan ketidaksetaraan dalam konteks ekonomi.. 22 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

Perempuan dalam bekerja dianggap kurang terampil. Rendahnya tingkat pendidikan perempuan akan memberikan dampak pada kedudukan dalam pekerjaan dan upah yang diterima. Karena tidak berpendidikan tinggi, berarti tidak memiliki keahlian dan ketrampilan (Ihromi, 1995, h. 84). Tetapi ketika memiliki pendidikan tinggi, keahlian dan ketrampilan perempuan dianggap tetap berada di bawah laki-laki sehingga tidak dibayar dengan adil. c. Hubungan patriarki dalam konteks kenegaraan. Hubungan patriarki dalam konteks kenegaraan, yaitu adanya kapitalis dan rasis dalam bagian pemerintahan. d. Kekerasan dari laki-laki. Kekerasan merupakan perilaku rutin yang dialami oleh kebanyakan perempuan dari laki-laki dengan efek standar. Artinya kekerasan yang tidak membahayakan nasib perempuan. Perilaku ini bisa dimaafkan oleh negara dan tidak ada campur tangan negara, kecuali dalam kasus luar biasa, seperti pelecehan seksual, praktek pemerkosaan, pemukulan terhadap istri, dan lain-lain. e. Hubungan patriarki dalam seksualitas. Hubungan patriarki dalam seksualitas dalam bentuk heteroseksualitas. Tetapi saat ini, perempuan telah diuntungkan karena adanya kontrasepsi modern, liberalisasi aborsi, dan perceraian dalam hukum. f. Hubungan patriarki dalam institusi budaya.. 23 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

Hubungan patriarki dalam institusi budaya merupakan pandangan terhadap keterwakilan perempuan dalam patriarki di berbagi area, seperti agama, pendidikan, dan media. Dimana perempuan mengalami kerugian budaya jika menolak. Menurut Walby (1990, h. 24), ada dua bentuk patriarki yang dijelaskan dalam gambar berikut ini. Tabel 2.2 Private and Public Patriarchy Form of Patriarchy. Private. Public. Dominant Structure. Household Production. Employment/State. Wider Patriachal. Employment. Household Production. Structure. State. Sexuality. Sexuality. Violence. Violence. Culture. Culture Period. C19th. C20th. Mode of Expropriation. Individual. Collective. Patriachal Strategy. Exclusionary. Segregationist. Patriarki domestik (Private patriarchy) adalah patriarki yang menekankan kesenjangan perempuan dalam rumah tangga. Dalam patriarki domestik yang menjadi struktur dominan adalah produksi rumah tangga. Keluarga cenderung bersifat eksklusif. Perempuan diambil alih oleh laki-laki secara individu. Perempuan sebagai istri dan laki-laki sebagai suami yang merupakan kepala. 24 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

rumah tangga. Struktur dominan dari patriarki domestik ini bisa berdampak pada struktur lainnya, yaitu pekerjaan, negara, seksualitas, kekerasan, dan budaya. Sedangkan patriarki publik (public patriarchy) adalah patriarki yang melihat kesenjangan dalam hal umum, seperti pekerjaan dan negara. Dalam patriarki publik yang menjadi struktur dominan adalah pekerjaan dan negara. Patriarki ini menganggap perempuan berpangkat lebih rendah dan adanya pemisahan dengan perempuan. Perempuan akan mengalami kesenjangan di dalam sebuah negara. Tetapi berbeda dengan patriarki domestik, perempuan dalam bentuk patriarki ini akan mengalaminya secara berkelompok. Maksudnya, negara mengelompokkan perempuan dalam golongan yang kedudukannya tidak setara dengan laki-laki. Perbedaan antara perempuan dan laki-laki berawal dari faktor biologis antara perempuan dan laki-laki. Perempuan mengalami haid, dapat mengandung, melahirkan, serta menyusui; semua kemampuan yang melahirkan mitos dalam masyarakat bahwa perempuan berhubungan kodrat dengan sebagai ibu (Setiadi dan Kolip, 2011, h. 875). Manusia dilahirkan dengan berjenis kelamin perempuan digolongkan sebagai perempuan. Adanya sifat feminitas dalam diri perempuan bukan bawaan sejak lahir melainkan hasil dari sosialisasi dengan lingkungan.. 2.4.1 Patriarki dalam Rumah Tangga Di dalam rumah, perempuan mendapat kedudukan tersubordinasi (lebih rendah) pada laki-laki. Sementara ketika istri bekerja, cenderung diperlakukan sebagai pencari nafkah kedua (membantu suami) sehingga imbalan lebih rendah untuk pekerjaan yang sama nilainya (Sadli, 2010, h. 172).. 25 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

Menurut Notopuro (1984, h. 43-46), pernikahan pada hakikatnya adalah suatu peristiwa di dalam kehidupan yang menurut dan sesuai dengan kodrat alam. Dan dengan pernikahan dibentuklah suatu keluarga, yaitu masyarakat yang terkecil. Pentingnya seorang perempuan hadir sebagai pendamping suami adalah bahwa keluarga itu akan berdiri kuat dan berwibawa bila antara perempuan sebagai ibu dan bapak dalam rumah tangga tersebut ada di dalam keadaan seimbang, selaras, dan serasi. Tetapi pada kenyataannya hidup pernikahan yang bahagia juga ditentukan dari peran suami dan istri. Hubungan perempuan dan laki-laki di Indonesia yang masih didominasi oleh ideologi gender yang membuahkan budaya patriarki (Murniati, 2004, h. 75). Selain itu, budaya patriarki muncul akibat institusi hasil budaya manusia. Melalui pendidikan keluarga, anak laki-laki dididik untuk agresif, pergi ke luar, bermain di luar rumah. Sementara anak perempuan dididik untuk memasak, kerasan di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah, melayani ayah dan saudara lakilaki. Pendidikan ini akan berakibat laki-laki dilayani dan perempuan melayani (Murniati, 2004, h. 96). Lever dikutip Setiadi dan Kolip (2011, h. 875), menuturkan perbedaan ciriciri kepribadian perempuan dan laki-laki terlihat sejak masa kanak-kanak. a. Anak laki-laki lebih banyak memperoleh kesempatan bermain di luar rumah dan bermain lebih lama ketimbang anak perempuan.. 26 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

b. Permainan anak laki-laki lebih bersifat kompetitif dan konstruktif karena anak laki-laki lebih tekun dan lebih efektif dari anak perempuan. c. Permainan anak perempuan lebih banyak bersifat kooperatif dan lebih banyak berada di dalam ruangan. Budaya patriarki ini terkadang dianggap wajar dalam masyarakat patriarki. Kekuasaan masing-masing oleh kedua pihak dianggap “wajar”, karena itu diakui sebagai wewenang masing-masing. Dalam masyarakat patriarki, suami dan istri dianggap wajar bahwa suamilah yang banyak mengambil keputusan dalam macam-macam hal yang bersangkutan dalam kehidupan keluarganya (Sajogyo, 1985, h. 41). Di Indonesia sendiri, budaya patriarki masih mengakar kuat dalam diri masyarakat. Walaupun jaman semakin maju, adanya perjuangan perempuan menyamakan kedudukan agar setara dengan laki-laki, tetapi budaya patriarki sendiri susah untuk lepas dari masyarakat. Di Indonesia, dapat ditemukan dalam sebuah keluarga, peranan perempuan yang susah untuk bergerak luas, dan masih tunduk terhadap suami. Asal mulanya, patriarki sudah mulai lepas saat masa di mana R.A. Kartini memperjuangkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut memunculkan gerakan-gerakan emansipasi perempuan yang menuntut kesetaraan gender terutama persamaan hak gender (Setiadi dan Kolip, 2011, h. 877). Tetapi ketika masa Orde Baru, perempuan kembali dikekang dan tidak mendapatkan hak dan kedudukannya.. 27 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

Menurut Murniati (2004, h. 84-85), patriarki di Indonesia bersumber dari berbagai aspek: (sosiologis) pembagian kerja dan fungsi dalam masyarakat, (kebudayaan) feodalisme dan ajaran agama, tradisi, atau adat, (politik) kolonialisme, imperialisme, dan militerisme, (ekonomi) kapitalisme. Persepsi sebagian besar masyarakat terhadap peran perempuan yang masih terbatas peran tradisional menjadikan posisi dan peran perempuan Indonesia ditingkatan marginal (Prawansa, 2006, h. 216).. 2.4.2 Kekerasan Terhadap Perempuan Perempuan oleh media massa senantiasa digambarkan sangat tipikal yaitu tempatnya ada di rumah, berperan sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh, tergantung pada pria, tidak mampu membuat keputusan penting, menjalani profesi yang terbatas, selalu melihat pada dirinya sendiri, sebagai obyek seksual atau simbol seks, obyek fetish, obyek peneguhan pola kerja patriarki, obyek pelecehan dan kekerasan, selalu disalahkan dan bersikap pasif, serta menjalankan fungsi sebagai pengkonsumsi barang atau jasa dan sebagai alat pembujuk (Sunarto, 2009, h. 4). Dari paparan di atas menjaadi salah satu bentuk terciptanya budaya patriarki. Menurut Surjadi (2011, h. 106), budaya patriarki memiliki imbas negatif dalam kehidupan keluarga yang berlanjut kepada marginalisasi perempuan, aturan/ larangan/ sanksi dalam keluarga, ketidaksetaraan gender dan penyembunyian kasus kekerasan. Hal ini mendorong timbulnya krisis dalam keluarga dan melahirkan kekerasan suami kepada istri.. 28 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

Kekerasan dalam rumah tangga atau domestic violence adalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga (Purniati dan Kolibonso, 2003, h. 27). Sunarto (2009, h. 5) mengatakan kekerasan terhadap kaum perempuan memiliki dua bentuk, yaitu kekerasan di rumah dan kekerasan di lingkungan sosialnya. Kekerasan di rumah biasanya terjadi dalam bentuk kekerasan fisik oleh suami terhadap istrinya. Kekerasan di lingkungan sosial terjadi dalam bentuk perlakuan diskriminatif terhadap kaum wanita untuk menjalankan fungsi sosialnya. Poli, Abubakar, dan Bulkis (2008, h. 30-36) membagi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ke dalam lima kelompok. a. Teori biologis mengemukakan tindakan kekerasan laki-laki terhadap perempuan di dalam rumah tangga disebabkan karena pihak laki-laki mengalami gangguan mental. Perempuan yang tetap memelihara hubungannya dengan pihak laki-laki yang telah mengasarinya juga mengalami gangguan mental. b. Teori psikopatologis memusatkan perhatian pada individu pelaku KDRT di mana trauma yang berasal dari pengalaman usia dini adalah penyebab tindakan kekerasan yang bersangkutan. c. Teori sistem keluarga melihat keluarga sebagai sebuah sistem yang terdiri atas unsur-unsur yang ada di dalamnya, termasuk suami dan istri yang saling mempengaruhi. Sebab dari KDRT terletak pada kedua belah pihak yang ingin menguasai pihak lainnya.. 29 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

d. Teori pembelajaran sosial mengemukakan bahwa tindakan kekerasan lakilaki terhadap perempuan adalah perilaku yang dipelajarinya dari lingkungan keluarga sendiri pada usia dini. e. Teori feminis didasarkan pada analisis kesetaraan kekuasaan dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Teori ini menyatakan bahwa KDRT mencerminkan struktur masyarakat patriakhal, yaitu struktur masyarakat yang mengutamakan kekuasaan laki-laki di atas kekuasaan perempuan. Dalam hal ini KDRT terjadi karena laki-laki mau mempertahankan posisinya sebagai penguasa dalam rumah tangga. Straus dikutip Purniati dan Kolibonso (2003, h. 5) mengatakan dominasi lakilaki dalam keluarga dan dalam lingkungan adalah penyebab utama terjadinya kekerasan keluarga. Goode dikutip Purniati dan Kolibonso (2003, h. 5) melihat pandangan tersebut merupakan salah satu langkah untuk terjadinya kekerasan karena pemaksaan sangat diperlukan untuk mendukung keputusan akhir yang sudah ditetapkan. Purniati dan Kolibonso (2003, h. 31) mengatakan pada dasarnya bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah merupakan bentuk kekerasan yang tidak berbeda dengan kekerasan lainnya tetapi di dalamnya terdapat hubungan yang saling menyakiti, dan adanya tujuan pelaku untuk melestarikan kekuasaan dan kendali atas pasangannya. Adapun cara kekerasan yang biasa dilakukan; (1) penganiayaan lisan atau verbal, (2) penganiayaan emosional, (3) penyalahgunaan keuangan, (4). 30 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

penganiayaan fisik, (5) penyalahgunaan seksual, (6) penyalahgunaan sistem. Lebih lanjut lagi, kekerasan fisik meliputi perbuatan pemukulan, penganiayaan, pengurungan (dikurung dalam rumah), memberikan beban pekerjaan yang berlebihan dan ancaman kekerasan. Sedangkan yang termasuk kekerasan verbal adalah caci maki, meludahi, dan penghinaan secara verbal. Kekerasan emosional meliputi perbuatan, pembatasan atau pemutusan hubungan dengan masyarakat maupun dengan keluarga, melarang istri bekerja, sering meninggalkan rumah tanpa alasan, dan teror. Kekerasan ekonomi meliputi perbuatan pembatasan keuangan yang berlebihan, memaksa bekerja sedangkan pelaku suka menganggur. Sedangkan yang dimaksud kekerasan seksual adalah pemerkosaan, baik yang dilakukan oleh suami atau marital rape maupun oleh anggota keluarga lain (Purniati dan Kolibonso, 2003, h. 31). Dari cara-cara kekerasan dalam rumah tangga yang telah dipaparkan, adapun kekerasan yang dialami oleh istri dibagi dalam empat bentuk, yaitu kekerasan fisik (menjambak, memukul, menyundut rokok, menendang, menampar, dan sebagainya), kekerasan emosional (menghina, mengejek, menduakan istri dan sebagainya), kekerasan ekonomi (menjual istri, tidak menafkahi, mengeksploitasi istri, dan sebagainya), serta kekerasan seksual (perkosaan, dan sebagainya) (Purniati dan Kolibonso, 2003, h. 47).. 2.4.3 Seksualitas dan Perempuan Seksualitas di Indonesia sarat dengan nilai-nilai budaya patriarki. Maka dari itu konsekuensi seksualitas yang berlaku adalah seksualitas yang sarat dengan. 31 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

bias kepentingan laki-laki. Oleh sebab itu, pada kasus-kasus hubungan seksual di luar pernikahan, perempuan ‘seolah’ tidak punya harga di mata masyarakat. Satusatunya pilihan adalah berharap dinikahi oleh laki-laki yang telah berhubungan seks dengannya (Hidayana, dkk., 2004, h. 117). Seksualitas tidak hanya mencakup pada hubungan laki-laki dan perempuan yang sudah menikah, tetapi juga yang belum menikah. Hidayana, dkk. (2004, h. 120-122) mengatakan seksualitas dalam hukum pernikahan dilihat dari dua hal, yaitu pelembagaan heteroseksualitas dan aturan poligami. Pelembagaan heteroseksualitas. mengarahkan. masyarakat. pada. kehidupan. organisasi. heteroseksual yang menganggap laki-laki superior di dalamnya. Sabaroedin. dikutip. Hidayana,. dkk.. (2004,. h.. 121). memaknai. heteroseksualitas bukan sekedar perasaan-perasaan seksual belaka, tetapi sesungguhnya menggambarkan suatu sistem politik yang memuja supremasi lakilaki. Jackson dikutip Hidayana, dkk. (2004, h. 121) mengatakan heteroseksualitas adalah sebuah institusi yang dibangun di atas ideologi ‘perbedaan’ yang dilihat sebagai sesuatu yang alamiah, yang tidak hanya membedakan perempuan dan laki-laki sebagai jenis kelamin yang berbeda, tetapi secara esensial membedakan kekuasaan antara keduanya. Selanjutnya aturan poligami dalam pernikahan masuk dalam konteks seksualitas. Pada asasnya pernikahan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Tetapi asas ini tidaklah mutlak. Pengaturan poligami ini menunjukan bahwa dalam institusi pernikahan, posisi tawar perempuan lebih rendah dibanding. 32 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

laki-laki, tetapi memperlihatkan juga bahwa negara memihak pada laki-laki dengan melegitimasi seksualitas mereka. Ini semakin diperkuat lewat syaratsyarat yaitu apabila suami hendak melakukan poligami, yaitu jika istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri, jika istri sakit berat atau mendapat cacat badan, atau jika istri tidak dapat melahirkan keturunan. Ini berarti seksualitas perempuan direduksi sedemikian rupa sehingga dianggap eksis sebatas ia mampu memenuhi kebutuhan dan kepentingan seksualitas lawan jenisnya (Hidayana, dkk., 2004, h. 121- 122). Lebih jauh lagi, Hidayana, dkk. (2004, h. 123-136) melihat seksualitas di luar hukum pernikahan sebagai seksualitas dalam hukum pidana. Hubungan seksualitas ini termasuk perbuatan yang bertentangan terhadap nilai-nilai moralitas atau norma yang berlaku. Nilai-nilai yang dipakai pada dasarnya lebih mencerminkan nilai atau norma kelompok dominan (kepentingan laki-laki), yang seringkali mendiskriminasikan perempuan sebagai kelompok yang tersubordinasi. Jenis-jenis seksualitas di luar pernikahan, yaitu perkosaan, prostitusi, perbuatan cabul, perzinahan, serta larangan hidup bersama (seks di luar nikah). a. Perkosaan adalah tindakan persetubuhan yang dilakukan laki-laki terhadap seorang perempuan (yang bukan istrinya), dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan. b. Prostitusi termasuk di dalamnya adalah perempuan yang bermata pencaharian sebagai Pekerja Seks Komersil (PSK) atau perdagangan perempuan. Pelacuran adalah bagian dari fenomena perdagangan perempuan yakni merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan. 33 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

Dalam hal ini perempuan yang terlibat dalam prostitusi adalah korban kekerasan yang tidak saja dilestarikan melalui mekanisme-mekanisme sosial yang ada, tetapi juga oleh mekanisme-mekanisme ekonomi yang menyebabkan bentuk kekerasan terhadap perempuan ini tetap lestari. c. Perbuatan cabul di dalam masyarakat disebut juga sebagai perbuatan tidak senonoh. Perbuatan cabul tidak ada unsur paksaan atau kekerasan tetapi melanggar kesusilaan. Berbeda dengan pelecehan seksual yang memiliki unsur paksaan atau kekerasan. Unsur penting pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun setempat adalah hal wajar, tetapi tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka dikategorikan sebagai pelecehan seksual. d. Perzinahan. adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau. perempuan yang salah satu pihak telah menikah. Susilo dikutip Hidayana, dkk. (2004, h. 134) mengatakan persetubuhan dalam konteks zina adalah yang dilakukan suka sama suka. e. Larangan hidup bersama atau seks di luar nikah dilakukan oleh orangorang dewasa yang belum menikah dan tidak menginginkan pernikahan. Hubungan seksualitas ini merugikan kelompok perempuan.. 34 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

2.5 Ideologi Ideologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Idea dan logis. Idein berarti melihat atau suatu rencana yang dibentuk atau dirumuskan di dalam pemikiran. Sedangkan logos berarti berbicara. Jadi ideologi menurut arti kata adalah pengucapan dari yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus di dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran (Sukarna, 1981, h. 1). Istilah ideologi pertama kali muncul dalam Revolusi Perancis, yaitu ideologues,. memiliki. makna. negatif,. yaitu. sebagai. ideologues. yang. diselewengkan oleh Napoleon ketika menerapkan doktrin-doktrin yang telah menyebabkan kemalangan negaranya. Konotasi negatif istilah ideologi digunakan oleh Marx dan Engels untuk membalas serangan ‘Para Hegelian Muda’. Asal mula teori ideologi ini diawali oleh pertentangan dan perselisihan. Tetapi belakangan teori ini diperkaya dan dielaborasi melalui sebuah refleksi bahasa. Karena itu segera disadari bahwa ‘ide-ide’ berputar dalam dunia sosial, sebagai ucapan, ekspresi, sebagai kata-kata berbicara atau mengesankan (Thompson, 2007, h. 13-14). Thompson (2007, h.17) mengatakan bahwa istilah ideologi digunakan dalam dua cara yang sangat berbeda. Di satu sisi ‘ideologi’ digunakan sebagai suatu istilah yang murni deskriptif: sebagai sistem berpikir, sistem kepercayaan, praktik-praktik simbolik, yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Istilah ini disebut dengan konsepsi netral (neutral conception). Sedangkan pemahaman lain tentang ideologi, yaitu ideologi secara mendasar berhubungan dengan proses pembenaran hubungan kekuasaan yang tidak simetris, berhubungan. 35 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

dengan proses pembenaran dominasi. Istilah ini disebut dengan konsepsi kritis ideologi (critical conception of ideology). Lebih lanjut lagi pada istilah ideologi merujuk pada konsepsi netral tidak berupaya memisahkan antara jenis-jenis tindakan dengan animasi ideologi; ideologi hadir dalam setiap program politik dan sosial. Sedangkan pada konsepsi kritis mengandung konotasi negatif yang selalu dibawa istilah tersebut melalui sejarah dan penggunaan akan selalu mengikat analisa ideologi pada pertanyaan kritis. Riberu dikutip Meliono-Budianto (2004, h. 128) menjelaskan gagasan, pandangan, ideologi memiliki seperangkat unsur-unsur. Unsur pertama, ideologi memuat. pandangan-pandangan. (antropologi,. sosiologi,. politik). secara. komprehensif tentang manusia serta alam semesta tempat manusia hidup. Unsur kedua, terdapat rencana penataan kehidupan sosial dan kehidupan politik, yang terkadang menuntut perubahan. Unsur ketiga, ada usaha mengarahkan masyarakat untuk menerima secara yakin gagasan itu. Unsur keempat, ideologi diarahkan untuk menjangkau lapisan masyarakat seluas mungkin. Lebih lanjut lagi, Arifin dikutip Ardial (2010, h. 31) mengatakan istilah ideologi digunakan untuk mencerminkan pandangan hidup atau sikap mental tertentu. Secara khusus ideologi diartikan sebagai nilai perangkat pandangan, serta sikap dan nilai, atau orientasi berpikir tentang manusia dan masyarakat. Ideologi dapat dimiliki oleh seseorang, juga dapat dimiliki bersama oleh anggota masyarakat.. 36 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

Alfian dikutip Ardial (2010, h, 31-32) juga merumuskan ideologi secara umum sebagai pandangan hidup atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh masyarakat tentang bagaimana cara yang baik mengatur tingkah laku bersama dalam berbagai segi kehidupan duniawi. Lebih lanjut lagi, dalam ideologi tertentu tercermin kilasan sub-ideologi yang bersumber dari kelompok-kelompok kepentingan, yang dilahirkan oleh adanya perbedaan sosial, ekonomi, agama, etnis, dan ras. Konsep ideologi ini yang akan lebih lanjut digunakan dalam penelitian ini adalah konsep ideologi netral. Mursito dikutip Vera (2014, h. 36) mengatakan bahwa menurut Fiske, ketika melakukan representasi atas suatu realitas, tidak dapat dihindari adanya kemungkinan memasukkan ideologi dalam konstruksi realitas.. 2.6 Film Dominick (2005, h. 33-43) menjelaskan fungsi komunikasi massa, yaitu sebagai pengawasan (surveillance), interpretasi (interpretation), hubungan (linkage), transmisi nilai-nilai atau sosialisasi (transmission of values / socialitation), dan hiburan (entertainment). Fungsi ini berkaitan dengan peran media massa. Menurut McQuail dikutip Trianton (2013, h. 37), salah satu fungsi film adalah film sebagai sarana sosialisasi dan pewarisan nilai, norma, dan kebudayaan, serta film sebagai sarana hiburan dan pemenuhan kebutuhan estetika masyarakat. Jadi, film adalah salah satu media massa.. 37 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

Menurut Amura dikutip Trianton (2013, h. 2), mengatakan bahwa film bukan semata-mata barang dagangan melainkan alat penerangan dan pendidikan. Film merupakan karya sinematografi yang berfungsi sebagai alat cultural education atau pendidikan budaya. Perfilman merupakan media massa yang besar peranannya sekarang ini, baik berdiri sendiri, maupun bersama-sama dan bekerjasama dengan teknisi yang semakin luas jangkauannya, ditunjang dengan teknologi yang semakin maju (Amura, 1989, h. 127). Film dianggap mampu mengenai sasaran karena memiliki kekuatan pada audio-visual. Film berfungsi sebagai media yang menyalurkan pesan kepada masyarakat luas. Film merupakan media yang dapat menampilkan sebanyak mungkin lambang penunjang bagi penyampaian pesan, sehingga penerima atau komunikan dapat menggunakan sebagian besar inderanya untuk menyerap pesan yang disampaikan (Amura, 1989, h. 137). Lebih lanjut menurut Trianton (2013, h. 6-7), dari menganalisis film dapat mengambil pelajaran atau amanat yang disampaikan melalui visualisasi karakter tokoh, plot, seting, cerita, dan semua unsur yang membentuk film. Selain itu memberikan pemahaman mengenai film yang baik atau hanya memberikan hiburan semata tetapi mengandung unsur pendidikan dan informasi serta pewarisan budaya. Sumarno dikutip Trianton (2013, h. 50) mengatakan film sebagai karya seni memiliki kemampuan yang kreatif. Ia mempunyai kesanggupan untuk. 38 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

menciptakan suatu realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas. Realitas yang ditampilkan di televisi adalah realitas yang dibangun oleh pembuat film dengan mengangkat nilai-nilai atau unsur budaya yang terdapat di dalam masyarakat. Atau sebaliknya, realitas rekaan yang ditampilkan dalam film kemudian menjadi sebuah bentukan ‘budaya’ yang diikuti oleh penonton. Unsur-unsur teknis film ada dua, yaitu unsur audio dan unsur visual. Unsur audio atau suara terdiri atas unsur monolog, dialog, dan sound effect. Sementara, unsur visual meliputi; angle, lighting, teknik pengambilan gambar dan setting atau latar (Trianton, 2013, h. 70). Lebih lanjut lagi, Vera (2014, h. 92-93) mengatakan unsur audio visual tersebut dikategorikan ke dalam dua bidang, yaitu unsur naratif dan unsur sinematik. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan sehingga menghasilkan sebuah karya yang menyatu dan dapat dinikmati oleh penonton. Unsur sinematik adalah cara atau dengan gaya seperti apa bahan olahan itu digarap. Unsur sinematik terdiri atas beberapa aspek: a. Mise en scene sebagai salah satu yang berada di depan kamera. Ada empat elemen penting dari mise en scene, yaitu setting, tata cahaya, kostum dan make up, serta akting dan pergerakan pemain. b. Sinematografi. yaitu. mengungkapkan. hubungan. esensial. tentang. bagaimana perlakuan terhadap kamera serta bahan baku yang digunakan, juga bagaimana kamera digunakan untuk memenuhi kebutuhannya yang berhubungan dengan objek yang akan direkam.. 39 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

c. Editing merupakan aktivitas dari proses pemilihan, penyambungan dari gambar-gambar (shots). Melalui editing, struktur, ritme, serta penekanan dramatik dibangun. d. Suara adalah seluruh unsur bunyi yang berhubungan dengan gambar. Elemen-elemennya bisa terdiri dari dialog, musik, ataupun efek.. 2.7 Semiotika Film Effendy dikutip Trianton (2013, h. 85) mengatakan film adalah media yang bersifat audio atau visual untuk menyampaikan pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat. Menurut Amura (1989, h. 15), film merupakan salah satu medium komunikasi, pada saat ia tidak bersuara (bisu) dimasukan ke dalam kategori media visual (terlihat), dan dilengkapi suara, maka ia dimasukan dalam kategori media audio visual. Melaui audio visual itulah pesan-pesan yang diberikan melalui sebuah film bisa dilihat melalui tanda-tanda. Lebih lanjut lagi, kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat para ahli bahwa film memiliki potensi untuk memengaruhi khalayaknya (Sobur, 2006, h. 127). Kemampuan film yang menjangkau itulah disebabkan oleh adanya pesan-pesan yang dibangun dalam sebuah film. Sehingga muncul berbagai macam penelitian yang melihat dampak film dalam masyarakat. Zoest dikutip Sobur (2006, h. 128) mengatakan bahwa film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan. 40 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

fotografi stastis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Oleh sebab itu, bersamaan dengan tanda-tanda arsitektur terutama indeksial, pada film terutama digunakan tanda-tanda ikonis, yaitu tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya. Lebih jelasnya, Sobur (2006, h. 128) mengatakan bahwa tanda-tanda yang membangun film itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara: kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar). Zoest dikutip Sobur (2006, h. 130) melihat semiotika film berguna untuk membuktikan hak keberadaannya yang dalam hal-hal penting menyimpang dari sintaksis dan semantik teks dalam arti harafiah. Menurutnya, pada sintaksis dan semantik film dapat dipergunakan pengertian-pengertian yang dipinjam dari ilmu bahasa dan sastra, tetapi akan merupakan metafora-metafora, jadi dengan pengertian yang dipergunakan sebagai perbandingan. Sardar dan Loon dikutip Sobur (2006, h. 130-131) melihat film tidak jauh berbeda dengan televisi. Film dan televisi memliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close-up), pemotretan dua (two-shot), pemotretan jarak jauh (long-shot), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar (fade), pelarutan (dissolve),. 41 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.

gerakan lambat (slow motion), gerakan yang dipercepat (speeded-up), efek khusus (special effect). Namun, bahasa tersebut juga mencakup kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harafiah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan arbiter serta metafora. Metafora visual sering menyinggung objek-objek dan simbol-simbol dunia nyata serta mengonotasikan makna-makna sosial dan budaya. Begitulah, sebuah film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk-bentuk visual dan linguistik untuk mengodekan pesan yang sedang disampaikan (Sobur, 2006, h. 131).. 42 Representasi Budaya..., Elvira Beryl Valencia Gulo, FIKOM UMN, 2015.