• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL. Disusun dan Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Oleh. Febrian Rosadi NIM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "JURNAL. Disusun dan Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Oleh. Febrian Rosadi NIM."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PUTUSAN PENGADILAN PADA PERKARA PAILIT PT. ASURANSI JIWA BUMI ASIH JAYA

(Studi Putusan No.4/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst.Jo No.27/Pdt.Sus.PKPU/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst)

JURNAL

Disusun dan Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

Febrian Rosadi NIM. 140200207

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 9

(2)

KAJIAN PUTUSAN PENGADILAN PADA PERKARA PAILIT PT. ASURANSI JIWA BUMI ASIH JAYA

(Studi Putusan No.4/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst.Jo No.27/Pdt.Sus.PKPU/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst)

JURNAL

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

Febrian Rosadi NIM. 140200207

Disetujui Oleh

KETUA DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H NIP: 195603291986011001

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum Tri Murti Lubis, SH. M.H NIP: 1963021519890032002 NIP: 198612122014042001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)

CURRICULUM VITAE

Nama Lengkap Febrian Rosadi Jenis Kelamin Laki-laki

Tempat, Tanggal

Lahir Medan , 26 Februari 1997 Kewarganegaraan Indonesia

Status Belum Menikah

Identitas KTP No. 1207262602970010

Agama Islam

Alamat Asal Jl. Datuk Kabu Pasar III No. 10 Medan No.Telp 0852 6187 8226

Email [email protected]

A. Pendidikan Formal

Tahun Institusi Pendidikan Jurusan

2002 - 2008 SD AL- HIDAYAH TEMBUNG -

2008 - 2011 SMP MTS CERDAS MURNI TEMBUNG -

2011 – 2014 SMA ANGKASA MEDAN IPS

2014 - 2018 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM

B. Data Orang Tua

Nama Ayah/Ibu : Suyadi/Roswati Pekerjaan : Wirausaha

Alamat : Jl. Datuk Kabu Pasar III No. 10 Medan

(4)

ABSTRAK

KAJIAN PUTUSAN PENGADILAN PADA PERKARA PAILIT PT. ASURANSI JIWA BUMI ASIH JAYA

(Studi Putusan No.4/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst.Jo No.27/Pdt.Sus.PKPU/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst)

Febrian Rosadi*

Prof. Dr. Sunarmi,SH.,M.HUM**

Tri Murti Lubis,SH.,MH***

Kepailitan dalam masyarakat Indonesia bukan lagi hal yang tidak biasa, terutama bagi masyarakat yang memiliki usaha ataupun bagi perusahaan.

Kepailitan sering terjadi dalam suatu perusahaan karena ketidakmampuan pihak debitur memenuhi kebutuhan para kreditur. Permasalahan yang akan dibahas di dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana peran Otoritas Jasa Keuangan dalam kepailitan perusahaan asuransi. Bagaimana akibat hukum terhadap kepailitan perusahaan asuransi. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan pailit No.04/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst mengenai kepailitan PT.

Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya.

Penelitian bersifat deskriptif dan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dan dianalisis dengan metode kualitatif.

Peran OJK dalam kepailitan perusahaan asuransi, ruang lingkup tugas OJK yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan di dalam sektor jasa keuangan, maka kewenangan pengajuan pailit terhadap perusahaan asuransi hanya dapat diajukan oleh OJK. Akibat hukum terhadap kepailitan perusahaan asuransi dapat berupa akibat yuridis yaitu secara khusus. Akibat yuridis berlaku kepada debitur dengan 2 (dua) metode pemberlakuan, yaitu (a) Berlaku demi hukum dimana beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum baik setelah pernyataan pailit maupun sesudah berakhirnya kepailitan maka pernyataan pailit masih tetap mempunyai kekuatan hukum. (b) Berlaku secara Rule of Reason dimana bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah mempunyai alasan-alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pertimbangan Hakim dalam Putusan terhadap Permohonan Pailit pada PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya No. 04/ PDT – SUS - PAILIT /2015/ PN .Niaga .JKT .PST bahwa pada dasarnya apabila dalam suatu pemeriksaan perkara telah selesai, sebelum menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut, maka Majelis Hakim berkewajiban untuk merumuskan terlebih dahulu mengenai pertimbangan-pertimbangan hukumnya yang di mana pertimbangan hukum itu akan dijadikan sebagai dasar utama dalam pengambilan atau penjatuhan putusan dari perkara tersebut. Saran dalam penelitian yaitu harus ada ketentuan lain setelah OJK memberikan sanksi administratif sebelum mengajukan permohonan pailit untuk melindungi kepentingan kreditur

Kata Kunci : Pailit, Perusahaan Asuransi1

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,Pembimbing I

***Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara II

(5)

ABSTRACT

STUDY OF COURT'S DECISION ON PAILIT'S PERKARA PT. INSURANCE SOUL BUMI ASIH JAYA STUDY OF COURT'S

DECISION ON PAILIT'S PERKARA PT. INSURANCE SOUL BUMI ASIH JAYA

(Study Decision No.4/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst.Jo No.27/Pdt.Sus.PKPU/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst)

Febrian Rosadi*

Prof. Dr. Sunarmi,SH.,M.HUM**

Tri Murti Lubis,SH.,MH***

Bankruptcy in Indonesian society is no longer an unusual thing, especially for people who have businesses or for companies. Bankruptcy often occurs in a company because of the inability of the debtor to meet the needs of creditors. The problem that will be discussed in writing this essay is the role of the Financial Services Authority in the insolvency of insurance companies. What are the legal consequences of bankruptcy of insurance companies. What is the consideration of the judge in the bankrupt decision No. 04 / Pdt.Sus-Pailit / 2015 / PN.Niaga.Jkt.Pst regarding the bankruptcy of PT. Bumi Asih Jaya Life Insurance.

The research is descriptive and uses a normative juridical approach.

Data obtained through library research (library research) and analyzed by qualitative methods.

The role of OJK in the insolvency of insurance companies, the scope of the OJK's duty to organize an integrated system of supervision and supervision of the whole in the financial services sector, the authority to file bankruptcy against insurance companies can only be submitted by the OJK. The legal consequences of bankruptcy of insurance companies can be in the form of juridical conditions, specifically. The juridical effect applies to the debtor with 2 (two) methods of enactment, namely (a) Applicable by law where some of the juridical consequences that apply lawfully either after the bankrupt statement or after the bankruptcy ends, the bankruptcy statement still has legal force. (b) Rule of Reason applies wherein the legal consequences do not automatically apply, but only take effect if applied by certain parties, after having reasonable reasons to apply. Consideration of Judges in Decisions concerning Bankruptcy Requests at PT. Life Insurance Bumi Asih Jaya No. 04 / PDT - SUS - PAILIT / 2015 / PN.

Niaga. JKT. PST that basically when a case inspection is completed, before making a decision on the case, the Panel of Judges is obliged to formulate in advance the legal considerations in the case. where the legal considerations will be used as the main basis in making or making decisions from the case.

Suggestions in research are that there must be other provisions after the OJK gives administrative sanctions before submitting a bankruptcy application to protect the interests of creditors

Keywords: Bankruptcy, Insurance Company

(6)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utangutang dari para krediturnya.

Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan, karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitur yang telah mengalami kemunduran, sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang aka nada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proporsional dan sesuai dengan struktur kreditur.2

Terpuruknya perekonomian Indonesia, semakin banyak usaha yang tidak dapat meneruskan usahanya termasuk memenuhi kewajibannya pada kreditur.

Ketidakmampuan dalam pelaksanaan kewajiban oleh debitur dapat diajukannya permohonan pailit. Begitu juga dengan perusahan yang bergerak di dunia asuransi tidak menutup kemungkinan mengalami kepailitan.3 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK dan PKPU).4 Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut PKPU Pasal 1 angka 1 Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesanya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim pengawas sebagaiman diatur dalam undang-undang ini.5

UUK dan PKPU, membuka peluang untuk mempailitkan perusahaan asuransi. Permohonan pernyataan pailit terhadap perusahan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN) yang bergerak di bidang pentingan publik hanya dapat diajukan oleh menteri keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi

2 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, & Praktik di Peradilan, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 1.

3 Edwind Manik, Cara Mudang Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Dilengkapi Dengan Studi Kasus Kepailitan), (Bandung: Mandar Maju, 2012) hlm. 16-17.

4Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang. LNRI No. 3632.

5 Ibid.

(7)

atau perusahaan reasuransi sebagai lembaga pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian.

Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK)6 menyatakan sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (selanjutnya disebut Bapepam-LK) ke Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK). OJK adalah lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaiman dimaksud dalam UU OJK7

PT Bumi Asih Jaya merupakan perusahanan yang bergerak dalam usaha asuransi jiwa. Asuransi jiwa dapat diartikan sebagai suatu perjanjian asuransi yang mewajibkan penaggung untuk membayar sejumlah uang kepada tertanggung didasarkan meninggal atau hidupnya seseorang. Objek asuransi jiwa merupakan kepentingan yang menjadi syarat mutlak untuk ditutupnya perjanjian asuransi. Kepentingan dalam asuransi jiwa tersebut tidak dapat dinilai dengan uang yaitu berupa jiwa, hubungan kekeluargaan, perasaan suka dan dan duka dan sebagainnya. Mengingat kepentingan dalam asuransi jiwa tidak dapat dinilai dengan uang, pengaturan tentang uang asuransi penentuan tentang syarat-syaratanya asuransi diserahkan kepada kedua belah pihak.polis merupakan tanda bukti perjanjian asuransi jiwa antar penanggung dan tertanggung. 8

PT Bumi Asih Jaya adalah perusahan asuransi jiwa lokal yang telah berdiri sejak tahun 1967 dan memiliki ribuan nasabah pemegang polis diseluruh Indonesia, namun semenjak tahun 2009 silam perusahan ini mengalami kegagalan dalam mengelola kesehatan keuangan, sehingga Dewan komisioner OJK mengeluarkan keputusan Nomor: KEP -112/d.05/2013 pada tanggal 18 Oktober 2013 tentang pencabutan izin usaha dibidang usaha asuransi jiwa atas nama PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya. Beradasarkan pencabutan izin usaha

6Undang-Undnag Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. LNRI No. 5253

7Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Pasal 1 angka 36

8 Man S.Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 51- 52.

(8)

tersebut, PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya seharusnya melaksanakan kewajiban kepada seluruh pemegang polis, akan tetapi Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya mengajukan permohonan pembatalan keputusan Nomor: KEP -112/d.05/2013 oleh OJK di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan putusan ditolak. PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya belum melaksanakan putusan tersebut sehingga OJK mengajukan gugatan pailit kepada PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya untuk melindungi kepentingan kreditur (pemegang polis) melalui pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta dengan No 04/PdtñSUS- Pailit/2015 PN. Niaga. Jkt. Pst. jo No. 27/ PDT. SUS. PKPU/2015/PN. Niaga. Jkt.

Pst. Majelis hakim memutuskan menolak semua permohonan pailit PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya yang di ajukan oleh OJK.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan pokok yang dikemukakan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana peran Otoritas Jasa Keuangan dalam kepailitan perusahaan asuransi?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap kepailitan perusahaan asuransi?

3. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan pailit No.04/Pdt.Sus- Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst mengenai kepailitan PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya?

C. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ini, penulis dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan khususnya UUK dan PKPU dan Putusan Pengadilan Nomor 04/Pdt.Sus- Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst.

2. Data penelitian

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:

a. Bahan hukum primer

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, pendapat para sarjana, dan kasus hukum yang terkait dengan pembahasan tentang kepailitan perusahaan asuransi.

(9)

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus bahasa dan kamus hukum.

3. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini meliputi data sekunder. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan (library research) dilakukan untuk mengumpulkan data melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur, tulisan-tulisan para ahli hukum, putusan-putusan hakim yang berkaitan dengan judul penelitian ini.

4. Analisis Data

Metode analisis data adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituankan dalam bentuk skripsi.

(10)

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peran Otoritas Jasa Keuangan Dalam Kepailitan Perusahaan Asuransi Awal mulanya Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Bank Indonesia bebas dari campur tangan Pemerintah dan/ atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang.9 Bank Indonesia dalam perjalanannya, menjalankan tugas pengawasan terhadap bank sering mengalami kesalahan. Banyaknya kasus yang terjadi mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank, misalnya kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Skandal Bank Bali, Skandal Bank Century.10 Oleh karenanya Pasal 34 ayat (1) UU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia mengamanatkan untuk membentuk suatu lembaga yang independen dalam menguasai sektor jasa keuangan Indonesia. Berdasarkan Rancangan UU OJK, secara normatif tujuan pendirian OJK adalah untuk meningkatkan kepercayaan publik di bidang jasa keuangan, menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan, meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan, melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan. Disamping itu diharapkan agar Bank Indonesia fokus kepada pengelolaan moneter dan tidak perlu mengurusi pengawasan bank, karena bank merupakan sektor dalam perekonomian.11

Di dalam Pasal 4 UU OJK disebutkan bahwa: “OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:”

a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Fungsi OJK itu sendiri telah dijabarkan di dalam Pasal 5 UU OJK yang Menyebutkan bahwa: “OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.”Selanjutnya di dalam Pasal 6 UU OJK disebutkan mengenai tugas pengaturan dan pengawasan OJK terhadap:

a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

9Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Op.Cit, hlm.63.

10Ibid., hlm.42.

11Ibid., hlm.42-43

(11)

b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Dari ketentuan pasal di atas dapat diketahui bahwa tugas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya akan dilaksanakan oleh OJK. Adapun yang dimaksud dengan Perbankan, Pasar modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah sebagai berikut:

1. Pasar Modal menurut Pasal 1 angka 6 UU OJK; Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan engan efek sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal.

2. Perasuransian menurut Pasal 1 angka 7 UU OJK; Perasuransian adalah usaha perasuransian yang bergerak di sektor usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang, usaha reasuransi, dan usaha penunjang usaha asuransi yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian.

3. Dana Pensiun menurut Pasal 1 angka 8 UU OJK; Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pension sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai dana pensiun.

4. Lembaga Pembiayaan menurut Pasal 1 angka 9 UU OJK; Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai lembaga pembiayaan.

5. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya menurut Pasal 1 angka 10 UU OJK;

Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder

(12)

perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan.

OJK sebagai lembaga yang mengawasi kegiatan di sektor perasuransian berfungsi untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi. Dalam lingkup pengawasan di sektor perasuransian, OJK mempunyai kewenangan dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis asuransi. Pengaturan tentang kewenangan OJK dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi diatur dalam UUK dan PKPU beserta peraturan pelaksananya. Peran OJK dalam kepailitan Perusahaan Asuransi adalah untuk mengawasi jalannya kepailitan Perusahaan Asuransi sampai dengan likuidasi dan untuk memastikan bahwa Perusahaan Asuransi tersebut telah melunasi segala kewajibannya kepada para kreditur.

B. Akibat Hukum Terhadap Kepailitan Perusahaan Asuransi

Akibat hukum atau akibat yuridis dapat dilakukan melalui dua cara pemberlakuan yaitu: berlaku demi hukum dan berlaku secara rule of reason.

Berlaku secara hukum yaitu demi hukum segera setelah pernyataan pailit dinyatakan seketika itu memiliki kekuatan hukum tetap ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Sedangkan berdasarkan rule of reason yaitu akibat hukum tersebut tidak berlaku secara otomatis, tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu setelah mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan.12

Akibat hukum terhadap perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahnya berdasarkan ketentuan yang menentukan syarat pencabutan izin bahwa perusahaan asuransi yang bersangkutan tidak mampu atau tidak bersedia menghilangkan hal-hal yang menyebabkan pembatasan yang ditentukan dalam Pasal 18 Undang-Undang Perasuransian

12 Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 61

(13)

Akibat hukum bagi perusahaan asuransi setelah dipailitkan, maka berlaku ketentuan yang diatur dalam UUK dan PKPU. Dengan pailitnya debitur, banyak akibat yuridis yang berkemungkinan diberlakukan kepadanya oleh undang- undang. Akibat-akibat yuridis tersbeut berlaku kepada debitur, antara lain:13 1. Boleh dilakukan kompensasi, tetapi jika dalam perjanjian ternyata ada

klausula yang menentukan kompensasi tidak boleh dilakukan, maka tentunya kompensasi tersebut tidak boleh dilakukan.

2. Kontrak timbal balik boleh (forward) dilanjutkan. Terhadap perjanjian timbal balik antara debitur pailit dan kreditur yang dibuat sebelumnya bilamana prestasi sebahagian atau seluruhnya belum dipenuhi oleh kedua belah pihak, maka kreditur dapat meminta kepastian meminta kepastian dari kurator tentang kelanjutan perkara. Jika perjanjian dilanjutkan, maka kreditur dapat meminta kurator untuk memberlakukan jaminan atas kesanggupannya.

3. Berlaku penangguhan eksekusi jaminan utang.

4. Berlaku actio paulina, yaitu pembatalan transaksi pihak debitur yang merugikan kreditur-krediturnya secara tidak beritikad baik melakukan transaksi dengan mengalihkan aset-asetnya kepada pihak ketiga.

5. Berlaku sitaan umum atas seluruh harta debitur.

6. Kepailitan mengakibatkan pailitnya suami-istri. Jika suaminya yang dipailitkan, maka secara tidak langsung istrinya juga ikut pailit, demikian sebaliknya, jika istrinya yang dipailitkan, maka suaminya juga ikut pailit. Hal ini disebabkan bahwa dalam ikatan setelah perkawinan harta perkawinan suami-istri adalah harta bersam.

7. Debitur kehilangan hak mengurus.

8. Perikatakan setelah debitur pailit tidak dapat dibayar. Jika ada perikatan sebelum dipailitkan dan belum dibayar, maka setelah dipailitkan perikatan tersebut tidak dapat dibayar.

9. Gugatan hukum harus dilakukan oleh/terhadap kurator. Semua gugatan hukum berkenaan dengan hak dan kewajiban yang berhubungan dengan harta debitur pailit haruslah diajukan oleh atau terhadap kurator.

10. Perkara pengadilan ditangguhkan atau diambi alih oleh kurator.

11. Jika kurator dengan kreditur berperkara, kurator dan kreditur dapat meminta perbuatan hukum debitur dibatalkan.

13 Ibid., hlm. 63-78.

(14)

12. Pelaksanaan putusan hakim dihentikan. Jika terhadap debitur ada putusan hakim yang sudah mulai dijalankan sebelum kepailitan, pelaksanaan putusan hakim tersebut harus segera dihentikan sejak putusan pailit tersebut ditetapkan.

13. Semua penyitaan dibatalkan. Andaikan pada saat dijatuhkan putusan pengadilan tentang kepailitan telah ada putusan sita atas harta debitur pailit yang telah atau belum dilaksanakan, sitaan tersebut demi hukum batal.

14. Debitur dilkeluarkan dari penjara. Jika debitur sedang dalam hukuman badan/penjara, maka setelah diputuskan pailit segera dikeluarkan.

15. Uang paksa tidak diperlukan. Uang paksa tidak berlaku bagi debitur selama kepailitan tidak dikenakan uang paksa.

16. Pelelangan yang sedang berjalan dilanjutkan. Jika pelelangan terhadap harta debitur pailit sedang berjalan bersamaan pula dengan putusan pailit dijatuhkan, maka pelelangan harta debitur pailit tersebut tetap dilanjutkan.

17. Balik nama atau pencatatan jaminan utang atas barang tidak bergerak dihentikan.

18. Daluarsa dicegah. Dalam hal suatu tagihan diajukan untuk dicocokkan maka hal tersebut mencegah berlakunya daluwarsa.

19. Transaksi forward dihentikan. Jika dalam ada perjanjian timbal balik (forward) telah diperjanjikan penyerahan benda dagangan yang biasa diperdagangkan dengan suatu jangka waktu dan pihak yang harus menyerahkan benda tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi hapus dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit, dan dalam hal pihak lawan dirugikan karena penghapusan maka yang bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai kreditur konkuren untuk mendapatkan ganti rugi.

20. Sewa-menyewa dapat dihentikan.

21. Karyawan dapat diberhentikan (PHK).

22. Warisan dapat diterima oleh kurator atau ditolak.

23. Pembayaran utang sebelum pailit oleh debitur dapat dibatalkan.

24. Uang hasil penjualan suart berharga dapat dikembalikan.

25. Pembayaran kepada debitur sesudah pernyataan pailit dapat dapat dibatalkan.

26. Teman sekutu debitur pailit berhak mengkompensasi utang dengan keuntungan.

(15)

27. Hak retensi tidak hilang. Hak retensi adalah hak para kreditur yang mempunyai untuk menahan benda milik debitur, tidak kehilangan hak karena ada putusan pernyataan pailit.

28. Debitur pailit dapat disandra dan paksaan badan.

29. Debitur pailit dapat dilepas dari tahanan tanpa uang jaminan. Pengadilan berwenang melepas debitur pailit dari tahanan atas usul hakim pengawas atau atas permohonan debitur pailit, dengan jaminan uang dari pihak ketiga, bahwa debitur pailit setiap waktu akan menghadap atas panggilan pertama.

30. Debitur pailit demi hukum dicekal.

31. Harta pailit dapat disegel.

32. Surat-surat dari debitur pailit dapat dibuka oleh kurator.

33. Barang-barang berharga milik debitur pailit disimpan oleh kurator.

34. Uang tunai harus disimpan di bank.

35. Penyanderaan dan pencekalan berlaku juga bagi direksi debitur pailit.

36. Keputusan pailit bersifat serta merta. Semua penetapan mengenai pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit juga yang ditetapkan oleh hakim dapat dilaksanakan terlebih dahulu, kecuali undang-undang menentukan lain.

37. Berlaku ketentuan pidana bagi debitur.

38. Debitur pailit, direktur, komisaris perusahaan pailit, tidak boleh menjadi direktur atau komisaris di perusahaan lain.

39. Hak-hak tertentu dari debitur pailit tetap berlaku.

40. Seluruh harta kekayaan debitur pailit akan diurus atau dibereskan oleh kurator.

C. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pailit (Nomor 4/Pdt.Sus- Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst.JoNo.27/Pdt.Sus.PKPU/2015/PN.Niaga.Jkt.P st)

1. Posisi Kasus Dalam Perkara Pailit Antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dengan PT.Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya

Perkara ini bermula adanya permohonan pernyataan pailit terhadap PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya yang diajukan oleh OJK pada tanggal 18 Februari 2015 dikarenakan PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya tidak membayar klaim asuransi kepada pemegang polisnya. Permasalahan ini berawal dari tahun 2007, dimana PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya mengalami penurunan tingkat solvabilitas, sehingga kemudian Kementerian Keuangan mengeluarkan Surat

(16)

Peringatan berturut-turut sebanyak tiga kali dalam kurun waktu antara bulan Oktober 2007 hingga juni 2008. Di lain pihak PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya, walaupun telah diberikan Surat Peringatan namun tetap tidak mampu mempebaiki tingkat solvabilitasnya, sehingga pada tahun 2009 Kementrian Keuangan mengeluarkan sanksi Pembatasan Kegiatan Usha (PKU).14 Berdasarkan laporan keuangan pada tahun 2013 tingkat solvabilitas PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya tidak mengalami pebaikan, malah semakin menurun sehingga pada bulan Oktober tahun 2013 OJK, melalui surat Keputusan Dewan Komisioner OJK mencabut izin usaha PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya.15 Terkait pencbutan izin usaha ini kemudan dilakukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung oleh pihak PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya.16

Berdasarkan UUK, pengajuan permohonan pailit perusahaan sektor keuangan, seperti perbankan perusahaan pembiayaan, hingga asuransi, hanya dapat dilakukan oleh OJK. Dewan Komisioner OJK kemudian mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Perjanjian asuransi bertujuan untuk mengalihkan risiko dari tertanggung kepada penanggung, hal ini tentu melekatkan kewajiban kepada tertanggung untuk membayar sejumlah imbalan sebagai premi kepada penanggung.17 Jika dalam jangka waktu pertanggungan tersebut kemudian terjadi peristiwa yang tidak terduga atau evenemen, sehingga timbul kerugian bagi tertanggung, maka penanggung kemudian akan membayar ganti kerugian atau membayar sejumlah uang kepada tertanggung sesuai dengan perjanjian pertanggungan yang telah disepakati.18

Pasal 1 angka 6 UUK secara jelas menyatakan bahwa utang tidak dimaknai secara sempit yaitu hanya terkait pembayaran utang, namun dimaknai dengan pengertian yang luas. Utang dalam arti luas bukan hanya berkaitan dengan melakukan pembayaran sejumlah uang, namun merupakan pemenuhan kewajiban untuk melakukan sesuatu, yang apabila kewajiban tersebut tidak terpenuhi maka akan menimbulkan kerugian uang bagi pihak kepada siapa kewajiban tersebut harus dilakukan.19

14Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Nomor : 04/Pdt-Sus-Pailit/2015/

PN.Niaga.Jkt.Pst, hlm.9

15 Ibid, hlm. 11

16Ibid, hlm. 19

17Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Cetak. Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992),hlm.10

18Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Pertanggungan, Cetak. Ketiga, (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 1994), hlm.12

19Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Cetak. Kedua, (Yogyakarta: Total Media, 2008), hlm.58

(17)

Bukti-bukti dan keterangan saksi yang telah diperiksa di persidangan dari kedua belah pihak menunjukkan bahwa benar PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya tidak memenuhi kewajiban dalam pembayaran klaim asuransi kepada pemegang polis. Namun majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pembuktian mengenai klaim asuransi (utang) dalam perkara ini tidak sederhana.

Hal ini kemudian menyebabkan majelis hakim tidak dapat mengabulkan permohonan pernyataan pailit tersebut.20

2. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pailit (Nomor 4/PDT.SUS PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST.Jo No.27 / PDT.SUS . PKPU / 2015 / PN.NIAGA.JKT.PST) Mengenai Kepalilitan PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya

Adapun pertimbangan hakim dalam putusan pernyataan pailit terhadap PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya sebagaimana yang telah diuraikan dalam Putusan Pailit Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST.Jo No.27 Pdt.Sus. PKPU / 2015/PN.NIAGA.Jkt.Pst adalah sebagai berikut:

Termohon telah tidak melaksanakan kewajiban sesuai Peraturan Perundang Undangan di bidang Perasuransian yang dapat dikategorikan sebagai Utang (Vide Pasal 1 angka (6) UUK);

1) PEMOHON telah menerbitkan Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor: KEP-112/D.05/2013 tanggal 18 Oktober 2013 Tentang Pencabutan Izin Usaha di Bidang Asuransi Jiwa atas PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya (bukti P-3) karena TERMOHON telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian.

2) Bahwa dari hasil analisis atas Laporan Keuangan Triwulan II tahun 2007 yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan, TERMOHON mengalami penurunan tingkat solvabilitas pada tahun 2007 menjadi sebesar 74,14%

sebagaimana telah disampaikan dengan surat nomor S-1287/MK.10/2007 tanggal 9 Oktober 2007 perihal sanksi peringatan pertama ., Surat Nomor S-1468/MK.10/2007 tanggal 4 Desember 2007 perihal Sanksi Peringatan Kedua; Surat Nomor S-804/ MK.10/2008 tanggal 4 Juni 2008 perihal Sanksi Peringatan Ketiga.

3) Bahwa terhadap peringatan tersebut TERMOHON tetap tidak mampu memenuhi tingkat solvabilitas sebagaimana diwajibkan ketentuan Pasal 2

20Putusan Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, op.cit., hlm.102-103

(18)

ayat (1) dan Pasal 43 ayat (2) huruf c KMK Nomor: 424 Tahun 2003 beserta perubahannya, sehingga Kementerian Keuangan mengeluarkan sanksi pembatasan kegiatan usaha dengan surat Nomor S- 694/MK.10/2009 tanggal 30 April 2009.

4) Bahwa disamping sangsi-sangsi tersebut diatas Kementerian Keuangan juga memberikan sanksi kepada TERMOHON yaitu: Sanksi mengenai kekurangan dana jaminan dengan surat Nomor:S-87/MK.10/2010 tanggal 1 Februari 2010, perihal sanksi peringatan pertama dan terakhir; dan Sanksi mengenai penegasan sanksi pembatasan kegiatan usaha dengan surat Nomor: S-846/MK.10/2011, tanggal 1 Agustus 2011.

1) Bahwa berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan terhadap TERMOHON yang dilakukan oleh PEMOHON tanggal 9 Desember 2013, terbukti bahwa perhitungan rasio tingkat solvabilitas TERMOHON untuk periode laporan 31 Desember 2012 sebesar minus 1.159,70% atau mengalami kekurangan sebesar Rp1.094.163.000.000,- (satu triliun sembilan puluh empat miliar seratus enam puluh tiga juta rupiah) (bukti P-13).

2) Bahwa berdasarkan berdasarkan bukti P-13 Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana tersebut di atas, perhitungan rasio tingkat solvabilitas TERMOHON untuk periode laporan 30 Juni 2013sebesar minus 1.045,62%, atau mengalami kekurangan sebesar Rp1.020.752.000.000,- (satu triliun dua puluh miliar tujuh ratus lima puluh dua juta rupiah) . 3) Bahwa selanjutnya berdasarkan laporan keuangan TERMOHON per 31

Mei 2013 yang disusun berdasarkan KMK Nomor:424 tahun 2003 beserta perubahannya ternyata total ekuitas TERMOHON berjumlah minus Rp953,54 miliar (bukti P-14). Dengan demikian terbukti bahwa TERMOHON tidak lagi mempunyai kemampuan untuk melakukan pembayaran kewajiban, dan TERMOHON telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 Pasal 6B ayat (1) huruf b Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian ;

4) Selain Utang tersebut di atas Termohon juga memiliki dua atau lebih Kreditur dan tidakmembayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih berupa pemenuhan kewajiban kepada konsumen/ pemegang polis; sejumlah pemegang polis yang telah mengajukan klaim manfaat asuransi kepada TERMOHON dengan total

(19)

klaim yang harus dibayar oleh TERMOHON sebesar Rp 831.127.649,- (Delapan ratus tiga puluh satu juta seratus dua puluh tujuh ribu enam ratus empat puluh Sembilan rupiah);

5) Bahwa selain pemegang polis tersebut di atas, TERMOHON memiliki utang klaim lainnya. Berdasarkan surat TERMOHON kepada PT Binasentra Purna Nomor: 101/Dirkein/2012 tanggal 15 Juni 2012 perihal Nilai Tunai dan Cara Pembayaran (bukti P-16A), yang selanjutnya disampaikan oleh PT Binasentra Purna kepada OJK melalui surat nomor:

006/DIR/I/2013 tanggal 11 Januari 2013 perihal pengalihan portofolio asuransi jiwa kredit KPR-BTN (bukti P-16B) antara lain menyebutkan bahwa TERMOHON hanya dapat menyanggupi untuk melakukan pengalihan portofolio sebesar Rp30.000.000.000,- (tiga puluh miliar rupiah) dari nilai tunai premi seharusnya yang berdasarkan hasil perhitungan aktuaria yang telah disepakati sebagai dasar data dalam pengalihan portofolio asuransi jiwa kredit yaitu sebesar Rp78.583.449.492,- (tujuh puluh delapan miliar lima ratus delapan puluh tiga juta empat ratus empat puluh sembilan ribu empat ratus Sembilan puluh dua rupiah) posisi sampai dengan bulan Desember 2012. Dengan demikian terbukti TERMOHON memiliki utang yang telah jatuh tempo kepada PT Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk melalui PT Binasentra Purna.

6) Bahwa Termohon juga telah mengakui adanya Utang Klaim kepada Pemegang Polis yang telah jatuh tempo;berdasarkan laporan operasional TERMOHON Triwulan II Tahun 2013 yang disampaikan kepada PEMOHON, saldo utang klaim per 30 Juni 2013 adalah sebesar Rp110.748.000.000,- (seratus sepuluh milyar tujuh ratus empat puluh delapan juta rupiah) yang merupakan utang klaim kepada 13.209 pemegang polis dengan jumlah peserta sebanyak 925.018 ;

Dengan demikian TERMOHON telah terbukti memenuhi syarat memiliki utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbanganbdalam Putusan Pailit Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST.Jo No.27 Pdt .Sus .PKPU /2015 / PN.NIAGA.Jkt.Pst tersebut di atas, maka Majelis Hakim memutuskan dalam amar putusannya yaitu:

(20)

1) Menolak Permohonan Pernyataan Pailit yang diajukan oleh Pemohon Otoritas Jasa Keuangan terhadap Termohon PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya;

2) Membebankan biaya perkara ini kepada Pemohon tersebut yang hingga kini diperhitungkan sebesar Rp. 416.000,- (empat ratus enam belas ribu rupiah ) 3. Analisis Putusan Pailit Nomor 4/Pdt.Sus Pailit / 2015/ PN. Niaga.

Jkt.Pst.jo No.27/PDT.SUS.PKPU/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst

Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang- undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan (Pasal 1 ayat (3) UUK dan PKPU. Adapun sebagian utang dari termohon ialah :

a. Berdasarkan surat Termohon kepada PT. Binasentra Purna Nomor 101/Dirkein/2012 tanggal 15 Juni 2012 perihal Nilai Tunai dan Cara Pembayaran (bukti P- 16A), yang selanjutnya disampaikan oleh PT.

Binasentra Purna kepada OJK melalui surat Nomor 006/DIR/I/2013 tanggal 11 Januari 2013 perihal pengalihan portofolio asuransi jiwa kredit KPR-BTN (bukti P- 16B) antara lain menyebutkan bahwa Termohon hanya dapat menyanggupi untuk melakukan pengalihan portofolio sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dari nilai tunai premi seharusnya yang berdasarkan hasil perhitungan aktuaria yang telah disepakati sebagai dasar data dalam pengalihan portofolio asuransi jiwa kredit yaitu sebesar Rp78.583.449.492,00 (tujuh puluh delapan miliar lima ratus delapan puluh tiga juta empat ratus empat puluh sembilan ribu empat ratus sembilan puluh dua rupiah) posisi sampai dengan bulan Desember 2012. Dengan demikian terbukti Termohon memiliki utang yang telah jatuh tempo kepada PT. Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk melalui PT. Binasentra Purna;

b. Bahwa berdasarkan laporan operasional Termohon Triwulan II Tahun 2013 yang disampaikan kepada Pemohon, saldo utang klaim per 30 Juni 2013 adalah sebesar Rp110.748.000.000,00 (seratus sepuluh miliar tujuh ratus empat puluh delapan juta rupiah) yang merupakan utang klaim kepada 13.209 pemegang polis dengan jumlah peserta sebanyak 925.018 (bukti P-17);

Dengan demikian syarat yang pertama “Adanya Debitur” telah terpenuhi;

Syarat yang kedua “Mempunyai dua atau lebih kreditur”

(21)

Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan (Vide : Pasal 1 ayat 2 UUK dan PKPU. Bahwa sebagaimana yang dimaksud kreditur ialah:

a. PT. Binasentra Purna Nomor 101/Dirkein/2012 tanggal 15 Juni 2012 perihal Nilai Tunai dan Cara Pembayaran (bukti P- 16A), tanggal 11 Januari 2013 perihal pengalihan portofolio asuransi jiwa kredit KPR- BTN (bukti P- 16B) antara lain menyebutkan bahwa Termohon hanya dapat menyanggupi untuk melakukan pengalihan portofolio sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dari nilai tunai premi seharusnya yang berdasarkan hasil perhitungan aktuaria yang telah disepakati sebagai dasar data dalam pengalihan portofolio asuransi jiwa kredit yaitu sebesar Rp78.583.449.492,00 (tujuh puluh delapan miliar lima ratus delapan puluh tiga juta empat ratus empat puluh sembilan ribu empat ratus sembilan puluh dua rupiah) posisi sampai dengan bulan Desember 2012.

b. Saldo utang klaim per 30 Juni 2013 adalah sebesar Rp110.748.000.000,00 (seratus sepuluh miliar tujuh ratus empat puluh delapan juta rupiah) yang merupakan utang klaim kepada 13.209 pemegang polis dengan jumlah peserta sebanyak 925.018 (bukti P-17).

Bahwa dari uraian pertimbangan diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa Termohon Pailit mempunyai 2 (dua) atau lebih Kreditur, dengan demikian syarat kedua “Mempunyai dua atau lebih Kreditur” telah terpenuhi ;

Syarat yang ketiga “Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih”

Bahwa yang dimaksud dengan pengertian “ Utang “ menurut Pasal 1 ayat (6) UUK dan PKPU, Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debtur.

Pertimbangan di atas maka terbukti Termohon Pailit sebagai telah mempunyai dua atau lebih Kreditur dan Tidak membayar lunas sedikitnya satu

(22)

utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, oleh karenanya itu persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU telah terpenuhi seluruhnya.

1. Permohonan Pernyataan Pailit PEMOHON Prematur (exceptio dilatoria) Bahwa Permohonan Pernyataan Pailit PEMOHON premature oleh karena ada faktor hukum yang menangguhkan adanya Permohonan aquo, yaitu adanya sengketa Tata Usaha Negara antara PEMOHON dengan TERMOHON yang belum berkekuatan hukum tetap, hal mana saat ini masih dalam pemeriksaan Kasasi sebagaimana Akta Permohonan Kasasi Nomor : 180/G/2013/PTUN-JKT tanggal 18 November 2014, hal mana TERMOHON menyatakan Kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor : 220/B/2014/PT.TUN.JKT tertanggal 30 September 2014 jo Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 210/G/2013/PTUN-JKT tertanggal 21 Mei 2014 mengenai Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor : KEP- 112/D.05/2013 tanggal 18 Oktober 2013 Tentang Pencabutan Ijin Usaha di Bidang Asuransi Jiwa atas TERMOHON sebagaimana dalil PEMOHON pada halaman 7 bagian A angka 2, sehingga nantinya menyebabkan putusan yang tumpang tindih antara Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara Kasasi tersebut di atas dengan Putusan pernyataan Pailit atas perkara aquo. Oleh karenanya Permohonan Pernyataan Pailit PEMOHON premature untuk diajukan sebelum Putusan Mahkamah Agung RI atas Kasasi tersebut di atas berkekuatan hukum tetap, sehingga dengan demikian sudah sepatutnya Permohonan Pernyataan Pailit PEMOHON untuk ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima.

2. Permohonan Pernyataan Pailit PEMOHON Tidak Jelas (Obscuur Libel) a. Permohonan Pernyataan Pailit PEMOHON tidak jelas karena KLAIM

ASURANSI BUKANLAH UTANG dan PEMEGANG POLIS BUKANLAH KREDITUR demikian juga PEMOHON dalam dalildalilnya tidak ada satupun dalilnya yang menyatakan klaim pemegang polis sebagai utang, dalam dalil-dalilnya PEMOHON selalu menyebut PEMBAYARAN KLAIM MANFAAT ASURANSI bukan menyebut UTANG;

Bahwa tidak ada satupun aturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa Klaim Asuransi adalah hutang dan Pemegang Polis adalah Kreditur, oleh karena KLAIM ASURANSI BUKAN UTANG sebagaimana Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perasuransian Dalam dalil-dalilnya PEMOHON selalu

(23)

menyebut PEMBAYARAN KLAIM MANFAAT ASURANSI bukan menyebut UTANG, sehingga dalil yang menyatakan TERMOHON memiliki utang terhadap pemegang polis yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih adalah tidak berdasar hukum, karena jelas bahwa TERMOHON tidak memiliki UTANG jatuh tempo dan dapat ditagihterhadap pemegang polis, sehingga dengan demikian Permohonan Pernyataan Pailit PEMOHON menjadi tidak jelas, kabur dan bertentangan dengan Undang-undang, oleh karena itu sudah sepatutnya Permohonan Pernyataan Pailit PEMOHON untuk ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima;

b. Permohonan Pernyataan Pailit Tidak Dapat Diajukan Dalam Rangka Mengeksekusi Putusan Pengadilan.

Bahwa sebagaimana Pasal 50 ayat (1) dan (3) Undang-undang Perasuransian :

Permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah berdasarkan undang-undang ini hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Permohonan Pernyataan Pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan dalam rangka mengeksekusi putusan pengadilan.

Bahwa dasar landasan Permohonan Pernyataan Pailit PEMOHON adalah Pencabutan Ijin Usaha TERMOHON, sehingga menjadi tidak jelas dasar landasan Permohonan PEMOHON dengan mencampuradukan antara Pencabutan Ijin Usaha TERMOHON dengan utang TERMOHON yang didalilkan sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, sehingga dari keseluruhan dalil-dalil PEMOHON, TERMOHON menduga adanya keputus-asaan PEMOHON karena tidak bisa mengeksekusi Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor : 220/B/2014/PT.TUN.JKT tertanggal 30 September 2014 jo Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 210/G/2013/PTUN-JKT tertanggal 21 Mei 2014, sehingga melakukan upaya lain untuk mengeksekusi putusan tersebut dengan mengajukan Permohonan aquo. Adapun mengenai Pencabutan Ijin Usaha TERMOHON tersebut saat ini masih dalam Tahap Kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia., sehingga dengan demikian Permohonan Pernyataan Pailit PEMOHON menjadi tidak jelas, kabur dan bertentangan dengan Undang-undang, oleh karena itu sudah sepatutnya Permohonan

(24)

Pernyataan Pailit PEMOHON untuk ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima;

(25)

III. PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dilakukan di atas, maka kesimpulan dalam penelitian ini:

1. Peran OJK dalam kepailitan perusahaan asuransi, ruang lingkup tugas OJK yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan di dalam sektor jasa keuangan, maka kewenangan pengajuan pailit terhadap perusahaan asuransi hanya dapat diajukan oleh OJK. Selama putusan atas permohonan pailit belum diucapkan, OJK dapat mengajukan permohonan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menunjuk curator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha perusahaan dan pembayaran kepada kreditor, pengalihan, atau atau pengagunan kekayaan Perusahaan yang dalam Kepailitan merupakan wewenang kurator.

2. Akibat hukum terhadap kepailitan perusahaan asuransi dapat berupa akibat yuridis yaitu secara khusus. Akibat yuridis berlaku kepada debitur dengan 2 (dua) metode pemberlakuan, yaitu (a) Berlaku demi hukum dimana beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum baik setelah pernyataan pailit maupun sesudah berakhirnya kepailitan maka pernyataan pailit masih tetap mempunyai kekuatan hukum. Dalam hal seperti ini, pengadilan niaga, hakim pengawas, kurator, kreditur, dan siapapun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut kemudian (b) Berlaku secara Rule of Reason dimana bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah mempunyai alasan-alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pihak-pihak yang mesti mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut, misalnya kurator, pengadilan niaga, hakim pengawas, dan lain-lain.

3. Pertimbangan Hakim dalam Putusan terhadap Permohonan Pailit pada PT.

Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya No. 04/ PDT – SUS - PAILIT /2015/ PN .Niaga .JKT .PST bahwa pada dasarnya apabila dalam suatu pemeriksaan perkara telah selesai, sebelum menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut, maka Majelis Hakim berkewajiban untuk merumuskan terlebih dahulu mengenai pertimbangan-pertimbangan hukumnya yang di mana pertimbangan hukum itu akan dijadikan sebagai dasar utama dalam

(26)

pengambilan atau penjatuhan putusan dari perkara tersebut. Hal pokok yang dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan oleh Hakim sebelum menjatuhkan putusan adalah terkait pada bagaimana saat proses pembuktian di persidangan yang dilakukan oleh para pihak baik Pemohon maupun Termohon. Terpenuhinya Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, di mana debitur mempunyai dua atau lebih kreditur itu sudah bisa dinyatakan pailit.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka saran-saran yang diberikan antara lain:

1. Masih lemahnya UU No. 40 Tahun 2014 tentang perasuransian dimana undang-undang tersebut menyatakan Permohonan pernyataan pailit terhadap perusahan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah hanya dapat diajukan oleh OJK.

Alangkah baiknya jika kreditur ataupun para pemegang polis yang memiliki hak dalam perasuransian juga dapat mengajukan permohonan pailit dikarenakan agar kreditur ataupun pemegang polis dapat melihat perkembangan tentang perusahaan asuransi itu dan agar dapat lebih percaya untuk menginvestasikan dananya ke perusahaan asuransi tersebut.

2. Harus ada ketentuan lain setelah OJK memberikan sanksi administratif sebelum mengajukan permohonan pailit untuk melindungi kepentingan kreditur, akan tetapi sebaiknya masyarakat juga harus mengerti mengenai proses dalam suatu perkara kepailitan perusahaan asuransi sangat berbeda dengan badan usaha lainnya oleh karena itu harus dilihat bagaimana perjanjian dalam perasuransian tersebut dan cara yang dapat digunakan untuk mempertahakan hak-haknya sebagai kreditur saat adanya putusan pailit.

3. Diharapkan majelis hakim dalam lingkungan pengadilan khususnya Pengadilan Niaga yang memutus perkara kepailitan agar kiranya dapat bersikap adil dan memutuskan perkara dengan sebaik-baiknya dan seadil- adilnya demi terciptanya penegakkan hukum yang lebih baik di Indonesia.

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Cetak. Pertama, Jakarta:

Sinar Grafika, 1992

Manik, Edwind. Cara Mudang Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Dilengkapi Dengan Studi Kasus Kepailitan), Bandung: Mandar Maju, 2012.

Muhammad, Abdulkadir. Pengantar Hukum Pertanggungan, Cetak. Ketiga, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

Sastrawidjaja, Man S. Bunga Rampai Hukum Dagang, Bandung: Alumni, 2005.

Shubhan, M. Hadi. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, & Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Peraturan perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang. LNRI No. 3632.

Undang-Undnag Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. LNRI No. 5253

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Nomor : 04/Pdt-Sus-Pailit/2015/

PN.Niaga.Jkt.Pst.

Anisah, Siti. Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Cetak. Kedua, Yogyakarta: Total Media, 2008

(28)

BIOGRAFI

Nama : Febrian Rosadi

NIM : 140200207

Tempat tanggal lahir : Medan, 26 Februari 1997

Status : Mahasiswa

Nama orang tua

Ayah : Suyadi

Ibu :

Alamat : Jl. Datuk Kabu Pasar III

Riwayat Pendidikan : 1. SD Al-Hidayah tahun 2002-2008 2. MTS Cerdas Murni tahun 2008-2011 3. SMA Angkasa Lanud Medan tahun 2011-2014 4. Fakultas Hukum USU tahun 2014-2018 Demikian riwayat hidup ini diperbuat dengan sebenarnya

Medan, April 2019

Referensi

Dokumen terkait

Perlindungan hukum bagi pelaku usaha kecil sesungguhnya telah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.. Ketentuan Pasal 6 itu

e) Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.. landasan yuridis perubahan paradigma sifat CSR dari voluntary menjadi mandator. Apalagi bagi perusahaan yang

a. Perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur. Kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya

3. suatu sebab yang halal. Pos Indonesia bergerak dalam bidang jasa, maka faktor yang sangat penting yang perlu di perhatikan adalah kepercayaan pengguna jasa, dimana

Ketidakterlaksanaannya suatu kontrak konstruksi dapat menimbulkan perselisihan atau yang sering disebut dengan “sengketa konstruksi” diantara pihak pengguna dengan pihak

Maka dengan demikian, berdasarkan pembahasan yang dijelaskan sebagaimana yang dimaksud di atas, timbul keinginan untuk mengkaji tentang keringanan pajak sebagai bentuk insentif

Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dngan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka 20 yang berkaitan dengan Tinjauan Yuridis

Pembahasan terhadap judul skripsi tentang “IMPLEMENTASI HAK IMUNITAS ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM UNDANG UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 (ANALISIS PUTUSAN