• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengajar serta manajemen mengajar Nilai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mengajar serta manajemen mengajar Nilai"

Copied!
217
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

TENT

TENT

TENT

TENT

TENTANG NILAI-NILAI:

ANG NILAI-NILAI:

ANG NILAI-NILAI:

ANG NILAI-NILAI:

ANG NILAI-NILAI:

Sebuah Pendekatan Analitik

Sebuah Pendekatan Analitik

Sebuah Pendekatan Analitik

Sebuah Pendekatan Analitik

Sebuah Pendekatan Analitik

Jack R. Fraenkel

Jack R. Fraenkel

Jack R. Fraenkel

Jack R. Fraenkel

Jack R. Fraenkel

San Francisco State University

San Francisco State University

San Francisco State University

San Francisco State University

San Francisco State University

Penerjemah: Sarbaini dan Fatimah

Penerjemah: Sarbaini dan Fatimah

Penerjemah: Sarbaini dan Fatimah

Penerjemah: Sarbaini dan Fatimah

Penerjemah: Sarbaini dan Fatimah

Laboratorium Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan Dan

Unit Mikro Teaching

(3)

FRAENKEL, Jack R

Bagaimana Mengajar Tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

Jack R.Fraenkel;

Penerjemah, Sarbaini dan Fatimah

Penerbit: Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Unit Microteaching FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin. Cetakan Pertama. 2012

x + 206 hlm; 15,5 cm x 23 cm ISBN: 602-7762-01-2

ISBN 13: 978-602-7762-01-5

Judul Asli: How To Teach About Values: An Analytic Approach Terbitan Prentice-Hall, Inc.Englewood Cliffs, New Jersey 07632. Cetakan 10. Tahun 1977

ISBN 0-13-435-446-X

All right reserve

Hak penerjemah dan penerbit dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, tanpa izin tertulis dari penerbit

Rancang Sampul : Agvenda Penata Isi: Lusiana Susanti

Penerbit:

Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Unit Mikroteaching FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Jalan H. Hasan Basry Kayutangi Banjarmasin.

Telp/Fax.(0511) 3304914.

Email: fkip@unlam.ac.id, sarbainiunlamnjm292@gmail.com, imahpswunlam_21@yahoo.com

(4)

PENERJEMAH

PENERJEMAH

PENERJEMAH

PENERJEMAH

PENERJEMAH

Alhamdulillah, Puji Syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala Rahmat, Karunia dan Ridha-Nya. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikut beliau yang konsisten dalam menjalankan sunnahnya. Mudah-mudahan segala karya kita di muka bumi ini menjadi bukti jejak-jejak kedirian kita sebagai manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Buku ini terjemahan dari buku “How to Teach about Values: An Analytic Approach”. Buku tersebut ditulis oleh Jack R.Fraenkel dan diterbitkan oleh Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs.N.J. Buku yang diterjermahkan ini adalah buku cetakan ke 10 pada tahun 1977. Dalam menerjemahkan diupayakan sebisa mungkin agar dapat dimengerti para mahasiswa dan guru, serta pada halaman tertentu kadangkala menggunakan nama-nama Indonesia, demi mengakrabkan pembaca dengan materi buku.

Penerjemahan dan penerbitan buku ini dimaksudkan, selain untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa sebagai buku referensi dalam mata kuliah Dasar-dasar Pendidikan Moral dan Strategi Belajar Mengajar, juga untuk memenuhi kebutuhan para guru terhadap langkanya buku-buku referensi yang diperlukan untuk pembelajaran berbasis afektif, terutama dalam upaya pembinaan karakter yang terintegrasi dalam materi pelajaran. Karena dalam pembentukan dan pembinaan serta pendidikan karakter, tidak bisa dipisahkan dari pendidikan nilai, moral dan norma sebagai landasannya yang esensial.

(5)

kata pengantar Prof.Dedi Supriadi yang berjudul ‘Pendidikan Nilai; Sebuah Megatrend?’, dalam buku Rohmat Mulyana, “Mengartikulasikan Pendidikan Nilai”. Selain itu, secara keseluruhan dari buku ini, yakni dari Bab II-VII adalah terjemahan dari buku “How to Teach about Val-ues: An Analytic Approach”, tulisan Jack R.Fraenkel, terbitan Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs.N.J pada tahun 1977. Namun demikian pembelajaran yang didesain dalam buku ini masih sarat dengan nilai, moral dan norma yang bernuansa Barat (Amerika). Karena itu diperlukan sikap kritis dan selektif, tetapi secara arif menyikapi dan bijaksana untuk menarik “ibrah” (pelajaran) dari pembelajaran yang ditawarkan, untuk kemudian secara kreatif berupaya mendesain pembelajaran berbasis nilai, moral dan norma yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama dan kebudayaan dari bangsa Indonesia sendiri.

Semoga buku hasil terjemahan ini dapat berguna bagi pembentukan nilai, moral dan norma, sebagai basis pembentukan dan pembinaan karakter peserta didik dan generasi muda, sehingga terwujud akhlak mulia yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan adil dan beradab, Menjunjung Persatuan dan Kesatuan, Berorientasi pada Kerakyatan atas dasar hikmah, musyawarah dan mufakat, serta mewujudkan Keadilan bagi seluruh rakyat Indone-sia.

Banjarmasin, Ramadhan 1433H/Juli 2012M

(6)

Buku ditulis untuk para guru, yang ingin menjadi guru, pengembang kurikulum, profesor pendidikan, atau siapa pun yang mungkin berkepentingan dalam pembelajaran tentang nilai-nilai. Saya bermaksud untuk menyampaikan penjelasan yang sederhana dan terus terang tentang beberapa prosedur dan teknik yang saya yakini termasuk dalam pendidikan nilai-nilai. Beberapa prosedur dan teknik itu adalah berlandaskan pada keyakinan dapat mengidentifikasi, menganalisis dan menaksir (menilai) pilihan kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur, dan berkaitan dengan konsekuensi-konsekuensinya, secara cerdas, yakni secara rasional, adalah kemampuan penting untuk dimiliki oleh seluruh orang. Untuk kemampuan itu, seseorang adalah tidak secara sadar terhadap pilihan-pilihan tertentu yang mungkin dikejar dalam suatu situasi yang khusus, atau untuk kemampuan itu, ia dibatasi dalam pilihan-pilihan yang dibuat, di mana pilihan adalah mungkin. Ide-ide dan strategi-strategi yang dikemukakan dalam buku ini, oleh karena itu, didasarkan pada asumsi bahwa analisis yang berkelanjutan dan penaksiran (assessment)

terhadap alternatif-alternatif di sekolah-sekolah dapat membantu untuk mengembangkan kemampuan itu.

(7)

pendekatan-pendekatan itu berupaya untuk menghadapi beberapa pilihan dengan cara berkelanjutan dan jelas dengan penggalian (exploration) dan penaksiran (assessment) terhadap konsekuensi-konsekuensi. Pengalian dan penaksiran adalah penting untuk kecerdasan memilih dari sejumlah alternatif (pilihan), sejak masa lalu, masa kini atau akibat-akibat yang mungkin dari suatu tindakan yang menentukan, kepada suatu yang luas sekali dari hal-hal yang diinginkan.

Tujuan utama dari buku ini, seperti setiap hal yang saya tulis, adalah untuk membuat kamu sedikit berpikir. Jika ia berhasil sekaitan dengan itu, buku ini akan memenuhi tujuannya, dan saya akan memper-silahkannya.

Jack R. Fraenkel

(8)

Halaman

SEKAPUR SIRIH PENERJEMAH... iii

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... vii

BABI PENDAHULUAN... 1

A. Keberadaan Nilai ... 1

B. Definisi Nilai ... 2

C. Sejarah dan Perkembangan Nilai ... 4

D. Kontroversi Nilai ... 6

E. Arah Masa Depan Nilai ... 7

F. Bebas Nilai atau Sarat Nilai ... 8

Kepustakaan ... 12

BAB II NILAI-NILAI DAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH... 13

A. Nilai-nilai dan Sekolah ... 14

B. Apakah Nilai Itu ... 20

C. Cara-cara dan Tujuan-tujuan ... 21

D. Alasan-alasan untuk Menilai ... 22

E. Konflik Nilai ... 23

F. Ide-ide dan Perasaan-perasaan ... 25

G. Latihan-latihan ... 26

Kepustakaan ... 30

BABIIIINDIKATOR-INDIKATOR NILAI... 31

A. Tindakan-Tindakan sebagai Tanda dari Nilai-nilai... 31

B. Kata-kata sebagai Tanda dari Nilai-nilai ... 37

C. Tipe-tipe dari Pertimbangan-pertimbangan Nilai ... 39

(9)

E. Latihan-latihan ... 48

Kepustakaan ... 50

BABIV KLARIFIKASI NILAI-NILAI... 51

A. Menjelaskan Respon (Clarifying Response) ...52

B. Lembar-lembar Nilai (Value Sheets) ...53

C. Peringkat Berjenjang (Rank-Ordering) ... 55

D. Wawancara Umum (The Public Interview) ... 59

E. Pemilihan Nilai-nilai (Values Voting) ... 62

F. Kontinuum Nilai (The Value Continuum) ... 62

G. Pilih Salah Satu (Either Or Choice) ... 63

H. Kritik ... 64

I. Latihan-latihan ... 71

Kepustakaan ... 72

BABV PENALARAN MORAL... 73

A. Teori Tahapan Piaget ... 74

B. Teori Tingkatan Kohlberg ... 77

C. Mendiskusi Dilema-dilema Moral di Kelas ... 85

D. Diskusi-diskusi Moral pada Tingkat Pendidikan Dasar ... 93

E. Kritik terhadap Teori Tahapan Moral Kohlberg ... 98

F. Kritik terhadap Berbagai Anjuran Pendidikan yang Didasarkan pada Teori Kohlberg ... 104

G. Latihan-latihan ... 110

Kepustakaan ... 113

BABVI MEMBUAT KESIMPULAN TENTANG NILAI-NILAI... 115

A. Pentingnya Alasan Rasional ... 116

B. Pertanyaan-pertanyaan yang Berfokus pada Nilai-nilai ... 119

C. Pola-pola Pertanyaan ... 122

D. Mengidentifikasi Nilai-nilai ... 127

E. Membandingkan dan Membedakan Nilai-nilai ... 132

F. Mendesain Pembelajaran untuk Mengajak Menilai ... 135

G. Menggali Perasaan-perasaan ... 143

H. Latihan-latihan ... 150

(10)

BABVII ANALISIS NILAI-NILAI... 155

A. Analisis Pertimbangan-pertimbangan Nilai ... 155

B. Beberapa Komentar Mengenai Bukti ... 161

C. Menganalisa Konflik Nilai ... 167

D. Guru sebagai Model ... 179

E. Memberitahukan Orang-orang Lain Apakah Nilai ... 185

F. Beberapa Kesimpulan Pemikiran ... 188

G. Latihan-latihan ... 191

Kepustakaan ... 193

BIBLIOGRAFI... 195

(11)
(12)

PEND

PEND

PEND

PEND

PENDAHUL

AHUL

AHUL

AHUL

AHULUAN

UAN

UAN

UAN

UAN

A. Keberadaan Nilai

Dalam kehidupan manusia, tidak bisa lepas dari nilai-moral-norma. Di mana ada kehidupan manusia, di situ sarat dengan muatan nilai-moral-norma. Nilai-moral-norma dapat dilihat dari perspektif sosiologis, antropologis, politis dan ekonomis. Pada setiap bangsa, masyarakat, suku dan keluarga ditemui beragam moral-norma. Lazim setiap nilai-moral-norma bersumber pada agama, budaya, hukum, ilmu, dan metafisis yang bersumber dari bangsa, masyarakat, suku dan keluarga yang bersangkutan. Karena itu, untuk Indonesia khususnya, dalam kehidupan manusianya, eksistensi nilai-moral-norma yang dianut dan diyakini, tidak selalu berpijak pada nilai-moral-norma melulu hanya pada rasionalitas, yang mengacu kepada prinsip-prinsip logika, ilmu dan ilmiah. Tetapi pada masyarakat tertentu, nilai-moral-norma juga bersumber pada agama, budaya, hukum dan metafisis masih dominan dianut. Idealnya basis nilai-moral-norma dalam hidup adalah agama, berikut kebudayaan, hukum dan ilmu serta metafisis.

(13)

berlawanan terhadap apa yang dipandang sebagai benar, kelaziman, atau moral.

Secara implisit atau eksplisit kita mengevaluasi dan menentukan nilai untuk setiap hal - menganggap sesuatu sebagai hal yang baik atau buruk, benar atau salah, kebaikan atau keburukan. Bagaimana kita mengetahui? Satu cara yang penting adalah melalui nilai-nilai. Nilai-nilai dapat dipikir sebagai prioritas, batas atau batu loncatan internal untuk tingkah laku -kewajiban-kewajiban. Dengan cara itu, nilai-nilai atau adat-istiadat adalah panduan-panduan implisit atau eksplisit untuk tingkah laku. Naskah-naskah umum membingkai tentang apa yang seharusnya dan apa yang dihindari.

B. Definisi Nilai

Teori-teori modern dari nilai-nilai adalah lahir dari kerja Kohn (kelas dan nilai-nilai), Rokeach (sistem-sistem nilai general), dan Kluckhohn (level kelompok). Nilai-nilai dapat dikonseptualissi pada level individual dan kelompok. Pada level individual, nilai-nilai diinternalisasi perwakilan-perwakilan-perwakilan sosial atau keyakinan-keyakinan moral yang menyeru orang agar pada akhirnya berpikir mengenai alasan bagi tingkah-tingkah mereka. Walaupun para individu dalam masyarakat kemungkinan relatif untuk berbeda penting untuk memberikan nilai khsus; nilai-nilai adalah internalisasi dari tujuan-tujuan sosiokultural yang memberikan cara-cara untuk mengendalikan diri dari dorongan-dorongan yang akan berakibat memberikan individu-individu dalam konflik dengan kebutuhan-kebutuhan dari kelompok-kelompok dan struktur-struktur di mana mereka hidup. Jadi, pembahasan dari nilai-nilai adalah bertalian yang dekat sekali dengan kehidupan sosial. Pada level kelompok, nilai-nilai adalah naskah-naskah atau ide-ide kultural yang dianggap kebiasaan oleh anggota-anggota dari kelompok; ‘pikiran sosial’ kelompok. Perbedaan-perbedaan dalam berbagai ide-ide kultural, khususnya dengan komponen-komponen moral, menentukan dan membedakan sistem-sistem sosial. Dalam pengertian Protestan Weber ’etika’ dan ‘spirit’ dari kapitalisme yang melukiskan sistem-sistem nilai.

(14)

harmonis dalam interaksi interkelompok. Nilai-nilai dengan demikian adalah inti dari kegiatan manusia; dilekatkan dalam sistem sosial, mereka adalah apa yang membuat tatanan sosial menjadi mungkin dan tetap berubah. NIlai-nilai bukan sifat-sifat individu yang khas; mereka adalah kesepatakan-kesepakatan sosoal tentang mengenai apa yang benar, baik, untuk menjadi dihargai, diharapkan, diinginkan, diyakini dan dipatuhi.

Apakah yang lazim dari semua fenomena nilai? Pada level individu, nilai-nilai berisi elemen-elemen kognitif dan afektif dan bersifat selektif serta berhubungan dengan kualitas; mereka diinternalisasi. Pilihan, keputusan dan tingkah laku dijelaskan secara lazim dalam istilah nilai-nilai. Para individu menempatkan nilai-nilai sebagai bagian dari sosialisasi dalam keluarga, kelompok dan masyarakat. Nilai-nilai adalah diasumsikan secara relatif berkembang sepanjang waktu. Memang, nilai-nilai secara individual diabsahkan dan sangat diterima oleh individu untuk memprediksi bahwa perilaku individual. Sebaliknya, bahkan secara per-sonal menyokong nilai-nilai yang tidak akan mempengaruhi tingkah laku ketika nilai-nilai tidak menonjol bagi individu pada waktu bertingkah laku. Selain itu, dalam berbagai situasi yang diberikan lebihdari atu secara personal menyokong nilai yang mungkin dilakukan, dan kepantasan pilih berperilaku untuk satu nilai mungkin berlawanan dengan kepantasan pilihan berperilaku terhadap nilai yang lain.

Nilai-nilai adalah prinsip-prinsip ketentuan atau umum yang memandu tingkah laku, mereka bukanlah tindakan-tindakan itu sendiri atau daftar pedoman khusus dari apa yang dilakukan dan kapan dilakukan. Jadi, dua masyarakat dapat memiliki nilai tetapi amat berbeda dalam norma mereka sebagai apa yang mereka miliki, bagaimana untuk memilikinya, dan kapan mengejar untuk memilikinya secara pantas. Nilai-nilai mendasari sanksi-sanksi untuk beberapa pilihan berperilaku dan memberikan ganjaran terhadap orang-orang lain. Sistem nilai menyediakan apa yang diinginkan dan diharapkan untuk, apakah diwajibakan atau dilarang. Hal itu bukan laporan dari perilaku sesungguhnya, tetapi sistem dari kriteria melalui mana perilaku dinilai dan sanksi-sanksi diterapkan.

(15)

persamaan dibangkitkan untuk memperoleh dukungan orang Amerika untuk gerakan-gerakan Hak-hak Sipil. Nilai-nilai berbeda dari tujuan di mana nilai-nilai diberikan rasional umum untuk tujuan-tujuan yang lebih spesifik dan motivasi pencapaian dari tujuan-tujuan melalui metode-metode yang khusus.

C. Sejarah dan Perkembangan Nilai

Dipandang pada awalnya dengan kecurigaan oleh para saintis sosial Barat sebagai hal yang amat subjektif untuk studi saintifik, konsep dari nilai-nilai ditemukan meningkat digunakan mulai dengan The Polish Peas-ant in Europe and America (Thomas and Znaniecki, 1921. Dorongan untuk mempelajari nilai-nilai kultural muncul dari kerja Alfred Kroeber, Cylde Kluckhohn, Talcott Parsons, Charles Morris, Robert Redfield, Ralph Linton, Raymond Firth, A.I.Hallowell, dan yang lebih mutakhir Milton Rokeach dan ShalomSchwartz.

Kluckhohn dan Strodtbeck (1961) mengusulkan bahwa sistem nilai kultural merupakan variasi-variasi himpunan orientasi-orientasi nilai dasar yang mengalir dari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dasar tentang: (a) Apakah sifat dasar manusia - buruk, netral, campuran, atau baik? (b) Bagaimana kita berhubungan dengan alam atau super-natural - takluk, harmoni, atau menguasai? (c) Apakah sifat dasar dari waktu - masa lalu, masa kini, masa depan? (d) Apakah sifat dasar dari aktivitas manusia - ada, ada-menjadi, berbuat? (e) Apakah sifat dasar dari hubungan kita dengan orang lain - bekerja sama secara vertikal, horisontal atau kita sama sekali terpisah secara individual? Kluckhohn dan Strodtbeck (1961) juga menyusun sistem untuk membanding nilai-nilai dalam istilah-istilah level mereka untuk generalisasi dan fungsi dalam wacana ilmiah dan perilaku, mengusulkan bahwa nilai-nilai cocok ke dalam piramida generalisasi yang menaik. Untuk setiap masyarakat, beberapa nilai pokok dan lisan diusulkan untuk diangkat sebagai himpunan saling ketergantungan dari apa yang membuat untuk “kehidupan yang baik”. Hal itu termasuk dasar-dasar pikiran yang tidak perlu dipertanyakan, mengabsahkan sendiri terhadap sistem nilai dan definisi-definisi dasar dn istilah-istilah nilai secara umum; sebagai contoh, kebahagiaan, kebaikan, kecantikan, dan moralitas.

(16)

nilai-nilai Amerika. Kebutuhan untuk berprestasi sebagai nilai-nilai-nilai-nilai Amerika, dan perhatian terhadap kemunduran di tengah orientasi yang muncul lebih awal tahun 1944 (Spates, 1983). Studi-studi nilai mendokumentasi pengaruh dari pendidikan, usia, tipe dari pekerjaan, dan status sosio-ekonomi terhadap pilihan-pilihan nilai dari orang Amerika, ditambahkan oleh tesis Weber terhadap pengaruh religi (Protestan versus Katolik) terhadap nilai prestasi dan kerja di Erofah. Kohn (1977) yang bertanggungjawab untuk sejumlah survai-survai nilai-nilai yang penting mendokumentasikan bahwa dalam berbagai negara Erofah dan Amerika Serikat, para orang tua dari status sosioekomi yang lebih tinggi nilai pengendalian diri dari anak-anak lebih dari para orang tua yang tingkat pekerjaan dan pendidikan yang lebih rendah. Beberapa temua telah diverifikasi secara lintas-nasional dari 122 masyarakat.

Memperpanjang dokumentasi nilai-nilai Amerika, Rokeach (1973) secara empirik memvalidasi 36 nilai-nilai yang berkaitan dengan pernyataan-pernyataan yang akhirnya dipilih dan cara-cara yang dipilih untuk berperilaku. Menggunakan skala Rokeach, perbedaan-perbedaan nilai berkaitan dengan kelas, usia, ras, subkultur, dan level dari perbedaan-perbedaan telah didokumentasi di banyak negara. Dibangun dari Rokeach, Schwartz (1922) menggambarlan nilai-nilai sebagai cara-cara untuk mengartikulasikan syarat-syarat universal dari keberadaan manusia - untuk bertahan hidup secara fisik, perubahan wadah sosial, dan memberikan keberlanjutan kelompok. Bagi Schwartz, nilai-nilai menggambarkan operasionalisasi-operasionalisasi dari berbagai kebutuhan seperti tujuan-tujuan yang pantas bersama dalam kelompok-kelompok yang penuh arti (prestasi, pengendalian diri, stimulasi, hedonisme, universalisme, kebajikan, tradisi, konformitas, keamanan, dan kekuatan). Beberapa kelompok adalah harmonis (seperti stimulasi dan hedonisme), dan yang lain bersaing (seperti, pengendalian diri dan konformitas).

(17)

menyatakan penting secara universal untuk bagaimana nilai-nilai ditata secara lintas-kultural dan bahwa masyarakat-masyarakat berbeda dalam kelompok-kelompok dari nilai-nilai yang menonjol dalam kehidupan publik.

D. Kontroversi Nilai

Kunci ketegangan dalam literatur nilai-nilai berfokus pada kondisi-kondisi di dalam mana mereka mempengaruhi perilaku, dan tingkat yang pantas untuk menganalisis nilai-nilai yang nampak dalam perilaku. Minat penelitian yang terfokus pada nilai-nilai berkurang pada masa lalu seperti setiap paradigma untuk mempelajari nilai-nilai yang dikritisi untuk kurang spesifiknya penemuan-penemuan, sebagai seharusnya untuk nilai-nilai an bukan norma-norma sosial, sikap-sikap atau paksaan-paksaan situasional. Psikologi kultural mutakhir memfokuskan perhatian pada struktur sosial sebagai gudang dari nilai-nilai seperti kemerdekaan pribadi, keharmonisan kelompok, kebahagiaan pribadi, dan kewajiban atau berhubungan dengan kealiman.

(18)

berbagai masyarakat dan struktur sosial adalah bukti dari perbedaan-perbedaan nilai. Secara politik dan ekonomi berpengaruh dan benar-benar lembam mungkin himpunan tahapan dari perilaku-perilaku, tanpa pengaruh sebab-akibat yang memerlukan nilai-nilai.

E. Arah Masa Depan Nilai

Pandangan-pandangan lintas-kultural sekarang ini menjadi meningkat di tengah diskusi nillai-nilai. Sebagai contoh, Inglehart (1990) mendokumentasi nilai-nilai dan nilai berubah dalam studi multinasional yang luas, dan jumlah besar dari studi perbandingan dua bangsa telah tumbuh. Topik penting yang lain dari penelitian adalah hubungan antara nilai-nilai dari individu-individu, nilai-nilai dari kelompok-kelompok subkultural, dan nilai-nilai dari sistem kultural yang lebih luas dan metode-metode untuk mengidentifikasi dan mempelajari setiap nilai-nilai itu. Barangkali ditambahkan untuk mengidentifikasi perbendaharaan nilai pada setiap level, adalah waktu untuk mengawali pertanyaan apakah nilai-nilai tepat dipelajari sebagai sifat-sifat yang menentukan terahdap individu-individu atau ditanamkan oleh kelompok-kelompok, dan untuk apakah tingkat penelitian nilai-nilai adalah sinonim dengan penelitian kultural dan lintas-kultural.

Telah dikemukakan beberapa perilaku tertentu penting dipengaruhi melalui efek-efek suasana yang membuat informasi penting yang dapat dipercaya pada waktu bertindak, hal itu bukan kejutan bahwa efek-efek dari nilai individual mengabsahkan perilaku yang ‘kadang-kadang kamu melihatnya, kadang-kadang kamu tidak’ memiliki sifat tentang mereka. Tetapi memfokuskan pada dukungan individu terhadap nilai-nilai mungkin banyak melalaikan kekuatan dari sistem-sistem nilai yang mempengaruhi kehidupan setiap hari. Ini membuat individu-individu mungkin tidak membutuhkan dukungan secara personal atau nilai-nilai tertentu yang penting agar pengaruh mereka dirasakan. Pengaruh yang amat dasar dari nilai-nilai yang melalui cara-cara, yakni mereka mempengaruhi peraturan-peraturan, norma-norma, prosedur dalam masyarakat, dan pilihan-pilihan struktur cara hidup setiap hari dari individu-individu dalam masyarakat.

(19)

menaksir nilai-nilai mungkin membutuhkan pertimbangan pendekatan-pendekatan yang lebih tidak langsung, seperti apakah layanan-layanan masyarakat yang diberikan kepada anggotanya, perilaku-perilaku apakah yang diberikan ganjaran atau diberi sanksi dan seterusnya.

F.

Bebas Nilai atau Sarat Nilai

Pada beberapa dasawarsa terakhir, terjadi kecendrungan baru di dunia, yaitu, tumbunya kembali kesadaran nilai. Kecendrungan ini terjadi secara global yang dapat digambarkan sebagai sebuah titik balik dalam peradaban manusia. Di mana-mana orang berbicara tentang nilai dan dalam banyak kesempatan tema-tema tentang nilai atau yang terkait dengan nilai dibahas. Bahkan untuk bidang yang sebelumnya dianggap “bebas nilai “ (value-free) sekalipun, kedudukan dan peran nilai makin banyak diangkat. Misalnya, orang sekarang hampir tidak pernah lagi berbicara sains yang bebas nilai. Bahkan di kalangan saintis, dalam pengertian ilmu-ilmu alam, sekarang mulai ada rasa malu untuk berbicara tentang ilmu yang bebas nilai, sesuatu yang hingga tahun 1970an masih sering dikatakan.

Sekarang mereka hampir sepakat untuk menyatakan “there is no such thing the so-called ‘value-free science”. Sebaliknya mereka berbicara tentang sains yang bermuatan nilai (values-laden sccience), di titik manapun nilai-nilai melekat. Kalau bukan pada eksperimennya di laboratorium, maka nilai akan muncul pada saat keputusan untuk melakukan eksperimen itu, memilih metode ini, dan apalagi pada saat mengaplikasikan hasil-hasil riset itu dalam teknologi. Riset dalam bidang eugenetika, misalnya, sejak awal sudah bergumul dengan persoalan nilai. Masuknya nilai-nilai memberikan moralitas pada riset ilmiah, sebuah isu yang praktis diabaikan di bawah bendera sekularisasi sains.

(20)

Sebuah revolusi pemikiran diajukan oleh Fritjof Capra (1998) melalui bukunya, Titik Balik Peradaban (The Turning Point; Science, Tech-nology and The Raising Culture), salah satu di antara sejumlah buku yang sangat berpengaruh saat ini. Capra, seorang fisikawan terkemuka Aus-tria, mengeritik habis paradigma Newtonian yang mekanistik-eksploitatif dan paradigma dualistik Cartesian yang dominan selama lima abad terakhir dan menjadi fondasi bagi sainsme teknologi, ekonomi,kedokteran bahkan psikologi modern.

Bila kedua paradigma tersebut tetap digunakan sebagai jangkar bagi sains dan teknologi masa depan, maka ia melihat adanya bahaya besar bagi masa depan kehidupan manusia di bumi. Karena itu, ia mengusulkan dikembangkannya apa yang disebut ”Visi Realitas Baru”, yang antara lain berintikan pandangan hidup sistem dan keutuhan. Capra mengamati, sejak beberapa tahun terakhir, perubahan ke arah itu secara perlahan-lahan tetapi pasti telah berlangsung, dan makin lama makin dahsyat. Ini merupakan sebuah “titik balik” dalam peradaban manusia yang mewakili tumbuhnya kesadaran baru dalam kehidupan yang sarat nilai.

Kiranya,pengamatan Capra tersebut sejalan dengan teori Stephen Wolfram dalam bukunya, The New Kind of Science (2000). Dalam buku ini, yang juga dianggap salah satu buku paling berpengaruh di dunia saat ini, Wolfram secara mengejutkan menyatakan bahwa sains masa depan tidak akan lagi bertumpu pada kepastian-kepastian dan objektivitas sebagaimana berlaku selama lima abad terakhir, melainkan akan bertumpu pada komppleksitas; bukan pada matematika yang dipahami sekarang, melainkan pada apa yang ia sebut cellurar automata. Di sinilah kita melihat pandangan Capra berjumpa dengan teori Wolfram dan bersua dengan teori kompleksitas dan ketidakpastian yang juga sekarang sedang banyak dibahas di dunia.

(21)

kecerdasan matematika, kecerdasan bahasa, kecerdasan ruang, kecerdasan kinestika, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan antarpersonal. Bahkan muncul lagi istilah kecerdasan moral, dipublikasikan oleh Michle Borba dalam bukunya “Building Moral Intellegence” (2001). Bahwa kecerdasan-kecerdasan yang telah dikemukakan menunjukkan begitu besarnya potensi otak manusia dengan segala kecerdasannya, dan masih banyak peluang untuk melahirkan bentuk kecerdasan lain-lain, misalnya kecerdasan nilai (Value Intellegence). Perkembangan dari majemuknya kecerdasan pada diri manusia, menunjukkan titik baik pada berpindahnya titik tumpu dari sumbu “semata kecerdasan kognitif” bergeser pada “kecerdasan majemuk” dan khususnya “kecerdasan spiritual”. Orang rindu kembali untuk melihat sebuah titik dalam diri manusia yang oleh Jean Paul Sartre disebut ”God spot”, sebuah ruang yang berisi keyakinan akan Sang Maha Pencipta. Telah terjadi gelombang balik yang dapat disebut sebagai sebuah megatrend dengan kembalinya orang menuju Tuhan. Fenomena ini terjadi pada berbagai agama, di Barat dan di Timur.

Inti persoalannya adalah nilai, yakni tema-tema sentral makna kehidupan yang sering diperbincangkan, tetapi belum digarap serius dalam pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir, memang ada arus pemikiran dan kebutuhan baru dalam dunia pendidikan untuk memberikan perhatian yang proporsional terhadap dimensi-dimensi afektif dari tujuan pendidikan, bersama-sama dengan aspek pengetahuan dn keterampilan. Sejak akhir dasawarsa 1970-an, para ahli pendidikan mulai secara sungguh-sungguh mengembangkan teori pendidikan yang memberikan perhatian pada aspek nilai dan sikap. Dalam referensi Barat, gerakan itu ditandai dengan munculnya teori yang dikenal dengan confluence education, affective education, atau values education. Dalam hal tertentu berkaitan dengan character education, moral education,dan spiritual educa-tion, karena materinya lazim berbasis nilai.

(22)

warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3 UUSPN Tahun 2003). Pendidikan adalah proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik (pasal 4 ayat 3 UUSPN Tahun 2003). Pendidikan nilai berperan dalam membentuk watak dan kehidupan bangsa yang potensial dan bangsa yang bermartabat dan beradab yang berlandaskan 10 nilai luhur budaya bangsa Indonesia (value based and claims), iman, takwa, akhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab.

Kecendrungan ke arah berkembangnya Pendidikan Nilai di Indonesia mulai populer di tahun 1970 an dengan dikembangkannya Pendidikan Humaniora, yang kemudian disusul dengan populernya Pendidikan Nilai ( Val-ues Education). Populernya Pendidikan Nilai berkaitan erat dengan berkembangnya paradigma baru dari ahli pendidikan yang ingin memadukan nilai dengan ilmu selaras dengan paradigma ilmu tidak bebas nilai tetapi sarat dengan nilai, bahkan mensintesakannya dengan nilai-nilai agama. Akibatnya terjadi degradasi moral dan nilai dalam perilaku manusia.

Beberapa dasawarsa terakhir, para ahli pendidikan sains mengembangkan teori-teori dan pendekatan yang menghubungkan sains dengan lingkungan yang dikenal dengan Sains, Teknologi dan Masyarakat (Science, Technology, and Society=STS). Di antara strateginya adalah dengan memberikan muatan nilai pada sains. Nilai yang dimaksud dapat berupa nilai budaya dan nilai etik-moral, termasuk nilai moral keagamaan. Hal ini disebabkan karena sains dan teknologi (sebagai penerapannya) mempunyai implikasi sosial dan moral yang luas. Jadi sains dan teknologi tidak lagi bebas nilai, melainkan justru terikat pada nilai (values-laden), bahkan berkaitan dengan budaya (culturally bound). Oleh sebab itu, dikembangkan apa yang disebut dengan “values-laden science educa-tion”, yaitu pendidikan sains yang bermuatan nilai.

(23)

Untuk menyongsong fenomena demikian, maka dikehendaki para guru berperanserta dalam pendidikan nilai dalam rangka pembinaan karakter peserta didik. Untuk dalam pembelajaran nilai, moral dan karakter, seyogyanya terhadap peserta didik dalam pembelajaran dihadapkan pada berbagai pilihan dengan cara yang komprehensif. Untuk itu tentunya akan membutuhkan beberapa prosedur yang dapat mereka gunakan untuk menolong peserta didik dalam mengembangkan intelektual dan emosional mereka. Materi dalam buku ini akan memberikan beberapa prosedur tersebut.

Bab III, mendiskusikan bentuk dari indikator-indikator nilai. Untuk melihat kelayakan dengan beberapa ide dari apa yang orang nilai. Bab IV, menguraikan pendekatan dari pendidikan nilai yang dikenal sebagai klarifikasi nilai dan membahas kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan. Bab V, menguraikan dan mendiskusikan pendekatan “pertimbangan moral” yang didasarkan pada karya Lawrence Kohberg dan Jean Piaget. Bab VI, kemudian menguraikan beberapa tambahan ide-ide dan strategi untuk para guru agar mempertimbangkan bentuk-bentuk di atas atau melaksanakan di luar dari teknik-teknik yang digambarkan dalam Bab IV dan V. Terakhir, Bab VII memberikan sedikit keterampilan-keterampilan yang para guru akan butuhkan guna melibatkan peserta didik pada prosedur-prosedur dan strategi yang diuraikan pada Bab IV dan VI.

KEPUSTAKAAN

Djahiri, A. Kosasih (1985). Strategi Pembelajaran fektif Nilai Moral dan Games Dalam VCT, Bandung, Lab PMPKN IKIP. Bandung.

Djahiri, A. Kosasih.(1990). Menelusuri Dunia Afektif; Lab.PPKN UPI

Djahiri, A. Kosasih (2008), Esensi Pendidikan Nilai Moral dan PKN di Era Globalisasi. http://gurupkn.wordpress.com.

Sauri, Sofyan. (2009). Implementasi Pendidikan Nilai dalam Pedagogik dan Penyusunan Unsur-unsurnya. Bandung: SPs PU UPI.

(24)

NILAI-NILAI D

NILAI-NILAI D

NILAI-NILAI D

NILAI-NILAI D

NILAI-NILAI DAN PENDIDIKAN

AN PENDIDIKAN

AN PENDIDIKAN

AN PENDIDIKAN

AN PENDIDIKAN

DI SEK

DI SEK

DI SEK

DI SEK

DI SEKOLAH

OLAH

OLAH

OLAH

OLAH

¾ Di Chicago, Illionis, guru biologi membedah seekor katak di depan peserta didik kelas 10.

¾ Di San Francisco, California, guru matematika dalam mengajar di kelasnya meletakkan keindahan dalam membuat bentuk-bentuk geometri.

¾ Di Atlanta, Georgia, guru tingkat 4 mewajibkan peserta didik, agar mengangkat tangan mereka, sebelum mereka berbicara dalam diskusi di Fremont, Nebraska, guru studi sosial meminta dengan tegas agar peserta didik menunjukkan fakta-fakta dalam diskusi mereka tentang sebab akibat dari perang Spanyol-Amerika.

¾ Di Albuquerque, New Mexico, guru SMP menyediakan satu

pertemuan dalam seminggu, untuk membahas topik-topik seperti alienasi, kemiskinan, kejahatan dan penyelahgunaan obat-obatan untuk peserta didik kelas 8 dalam literatur Amerika.

¾ Di Boston, Masschusetts, guru TK memeriksa setiap hari peranan pertemuan-pertemuan di mana peserta didik duduk dalam lingkaran dan mencoba berkata “sesuatu yang manis” terhadap seseorang yang duduk di sebelah kiri dan kanan mereka.

(25)

Tujuan-tujuan yang dimiliki seseorang, menyatakan pada kita sesuatu hal tentang apa yang disebut “nilai-nilai pribadi”, apa yang seorang anggap penting dalam hidup. Jadi tiap sketsa peristiwa yang telah dikemukakan, mem-berikan kepada kita beberapa ide (meskipun tidak dapat disangkal sebagai sesuatu yang sederhana sekali) dari nilai-nilai yang diajarkan oleh guru.

A. Nilai-nilai dan Sekolah

Mengajar adalah kegiatan yang diorientasikan pada nilai. Mengajar nilai-nilai dalam kenyataan adalah tidak dapat dihindarkan. Semua aktivitas dalam mana para guru terlibat, seperti meminta peserta didik untuk membaca buku-buku mereka, pengaturan dan penentuan tempat duduk, topik-topik yang dipilih untuk didiskusikan, gaya dalam berdiskusi dengan peserta didik, film-film dan rentetan foto film yang dipilih, pembicara-pembicara yang diundang, film-film yang dianjurkan dan dimainkan, tugas-tugas yang guru berikan dan ujian-ujian mereka persiapkan. Semuanya memberi kesan bahwa para guru menggarap beberapa ide, peristiwa, individu dan perilaku lebih penting dari yang lain, serta bagi peserta didik untuk dipertimbangkan.

Nilai-nilai tidak hanya diajarkan, tetapi juga ditumbuhkembangkan, demikian pula di sekolah-sekolah secara keseluruhan. Seperti John Childs (1950, 17-19) pernah mengemukakan bahwa organisasi dari sistem sekolah adalah berada dalam kegiatan moral itu sendiri, untuk menunjukkan upaya sengaja dari masyarakat manusia untuk mengontrol evolusi masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai dengan jelas meresap dalam kurikulum “formal” sekolah adalah direncanakan secara sengaja untuk pengalaman-pengalaman, yang didesain dan diharapkan untuk dilaksanakan, meskipun tidak selalu dinyatakan secara jelas, tujuan-tujuan dari berbagai bidang kurikulum. Bagaimanapun, nilai-nilai juga adalah bagian dari “kurikulum tersembunyi” merupakan pengalaman yang tidak direncanakan dan sering hasilnya tidak seperti diharapkan dan kadang-kadang tidak diharapkan bagi peserta didik untuk pelajari.

Pertimbangkan hal berikut:

(26)

¾ Di San Jose, California, peserta didik menggunakan hak untuk men-daftar masuk di sebuah sekolah dari beberapa SMA di kota. Petugas sekolah memberitahu bahwa peserta didik tersebut tidak dapat didaftarkan hingga panjang rambutnya sesuai dengan ketentuan sekolah yang menyatakan: “Rambut peserta didik tidak jatuh ke bawah di depan mata dan tidak akan menutupi telinga serta tidak akan sampai ke bawah kerah baju di belakang”.

¾ Di Washington DC, guru pembimbing sekolah menegur seorang anak pria dan anak wanita, tidak boleh berjalan melewati ruangan dengan tangan bergandengan, sebab itu tidak baik.

¾ Di Seatle, Washington, guru kelas 4 meminta dua peserta didik untuk lebih berpartisipasi dalam diskusi-diskusi dan “berbicara terus terang di dalam kelas”. Para orang tua peserta didik yang beragama Budha, melakukan protes terhadap anak-anak mereka yang diberi ganjaran di rumah untuk tafakur (berpikir mendalam).

¾ Di Tofeka, Kansas, guru pendidikan jasmani mencegah seorang peserta didik untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan olah raga, sebab peserta didik itu menolak untuk mandi di sekolah. Orang tuanya meminta supaya ia dibebaskan dari keharusan mandi di sekolah, karena peserta didik itu juga melakukannya di rumah. Instruktur pendidikan jasmani menyatakan bahwa sekolah mempunyai kebijakan untuk “tidak ada pengecualian” dalam hal tersebut.

¾ Di Seatle, Washington, guru menyusun kembali meja-meja di kelasnya dalam bentuk lingkaran. Jadi peserta didik akan dapat lebih berperan serta secara mudah dalam diskusi kelas. Esok pagi dia datang ke sekolah dan melihat meja dalam keadaan berderet/lurus lagi. Guru mengeluh mengenai hal tersebut. Kepala sekolah menyuruh bahwa meja tersebut harus dibiarkan dalam keadaan berderet. Sebab itu sukar juga bagi petugas kebersihan untuk membersihkan ruangan kelas, jika meja-meja tidak disusun.

(27)

¾ Di Canon City, Colorado, guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menulis di dinding, beberapa darinya terdapat tulisan tidak sopan di papan tulis. Tulisan di dinding merupakan luapan perasaan negatif peserta didik terhadap kepala sekolah.

Apakah yang dilakukan dalam kejadian-kejadian seperti itu membawa pada peserta didik terhadap nilai-nilai dari pembuat kebijakan sekolah pada setiap kejadian? Apakah yang dilakukan mereka memberi kesan tentang macam-macam alat dari pembuat kebijakan yang diharapkan para peserta didik untuk dirinya sendiri terhadap nilai? Hal tersebut merupakan beberapa pertanyaan mendasar di sini untuk seluruh orang yang bekerja dalam sekolah, untuk berpikir tentang hal itu. Adakah konflik antara kurikulum formal dengan kurikulum tersembunyi dalam berbagai hal? Implikasi dari apa yang dilakukan, baik secara formal maupun informal, tidak dapat menolong, tetapi memberikan peserta didik beberapa ide mengenai apa yang dianggap penting oleh pengurus sekolah, para guru dan staf administrasi. Apakah hal tersebut dinyatakan dan/ atau termasuk dari apa yang akan dititik beratkan para guru dan staf administrasi.

Akankah itu mungkin menjauhkan pembelajaran nilai-nilai di sekolah? Jika ya, kamu pikir itu akan terjadi, bagaimana hal seperti itu dapat dihindari?

(28)
(29)

Sebagaimana John Childs (1950,17:19) telah telah nyatakan bahwa

“Faktor moral kelihatan kapan saja di sekolah, atau pada guru dan pada pengawas secara individual, adalah dalam hal-hal tertentu dan hal-hal yang lain”. Meskipun demikian, moral mesti diakui, bahwa perhatian yang tegas terhadap isu nilai-nilai dan sumber nilai berdasarkan pilihan-pilihan mendasar secara sistematis jarang terjadi dalam berbgai sekolah dan kelas. Sebagaimana indikasi di atas, diskusi dan analisis terhadap nilai masih nampak terjadi secara implisit (yaitu, melalui seleksi dan penggunaan buku-buku tertentu dan materi-materi yang lain) dari pada dilakukan dengan sengaja sebagai hasil perencanaan dan desain yang cermat oleh para guru dan para pengelola sekolah. Mengapa demikian?

Beberapa alasan dapat diusahakan untuk menyatakan bahwa banyak guru dan sekolah tidak terlibat dalam pendidikan nilai secara sistematis. Banyak guru di USA sekarang tumbuh dalam budaya yang dipandang tradisional, pertanyaan-pertanyaan terhadap nilai sebagai materi pribadi yang esensial, tidak untuk dibahas secara umum. Sering para orang tua dan kelompok yang lain dari warga negara menentang diskusi di sekolah sebagai kontroversi, isu-isu nilai - oleh mereka amat alami - dilibatkan. Selanjutnya, beberapa guru kuatir bahwa usaha yang jelas dalam mengembangkan nilai atau untuk membahas isu-isu nilai dalam kelas, mengurangi indoktrinasi yang menjadi bagian mereka. Beberapa, didorong oleh pengaruh kursus-kursus akademi mereka yang memusatkan “berikan fakta”, menyatakan bahwa memiliki lebih dari cukup untuk mencoba dalam “memberikan materi pelajaran secara padu” tanpa harus cemas terhadap nilai-nilai. Keyakinan yang lain bahwa pendidikan nilai adalah bidang yang lebih pantas bagi keluarga atau tempat ibadah. Dan sedikit diakui bahwa mereka tidak tahu bagaimana untuk mengajar tentang nilai, bahkan jika mereka diharapkan untuk melakukannya.

(30)

Sepanjang materi pelajaran berlangsung, beberapa materi diisi dengan pertanyaan-pertanyaan dan isu-isu tentang nilai. Mengabaikan kenyataan tersebut berarti mengabaikan materi yang berharga dan sangat penting. Bagaimanakah orang dapat mempelajari keputusan Presiden Truman terhadap penjatuhan bom atom di Hirosihima dan Nagasaki. Keputusan Richard Wright untuk menjadi pencuri dalam cerita “Anak Lelaki Hitam” (Black Boy), lingkungan ekologi, penggunaan obat-obat terlarang, pembuat lukisan terkenal atau berbagai jenis musik, kerja sama kelompok olahraga, tata tertib kelas tanpa mengacu pada nilai? Hal itu membingungkan sebagai suatu ketidaktahuan nilai-nilai dalam membahas beberapa hal. Seperti dikemukakan sebelumnya, amat nyata bahwa guru memiliki topik tertentu, secara individu, tempat-tempat, periode-periode atau peristiwa-peristiwa yang membawa kesan bahwa para guru memandang sesuatu sebagai amat penting untuk dipelajari ketimbang yang lain.

Argumen bahwa pendidikan nilai mestinya lebih pantas dilakukan di rumah atau di tempat ibadah adalah sesuatu yang tradisional, tetapi ada bukti bahwa hal-hal yang dipilih dari pembahasan secara sistematis terhadap nilai dan isu-isu nilai terjadi dalam beberapa lembaga. Satu yang mesti dipertimbangkan bahwa banyak orang Amerika tidak menghadiri tempat ibadah secara tetap, bahwa beberapa orang tua dicoba dalam analisis nilai rasional, dan bahwa sedikit fasilitas yang ada untuk melatih orang tua dalam keterampilan berdiskusi. Rasanya tidak realistik untuk mengasumsikan bahwa kita mengandalkan pada rumah dan tempat ibadah dari pada sekolah untuk hal-hal yang dipilih bagi program komprehensif dari pendidikan nilai.

(31)

ditolong secara jelas dalam menyelidiki dan mendapatkan beberapa kumpulan tentang nilai-nilai (baik bagi mereka sendiri dan individual-individual lain dalam keanekaragaman yang luas dan kebudayaan). Anggapan bahwa menolong peserta didik secara jelas dalam menyelidiki dan mengembangkan nilai-nilai adalah tujuan-tujuan yang sah bagi para pendidik untuk diikuti. Lebih lanjut, hal itu amat penting sekali dan sangat dibutuhkan dalam pendidikan sekarang, dan perencanaan serta desain yang sistematis dari strategi-strategi pengajaran secara luas dari sekolah adalah kebutuhan mutlak untuk mewujudkannya

1. Adakah beberapa materi yang tidak melibatkan nilai-nilai dalam berbagai cara? Jika demikian mengapa?

2. Apakah kamu setuju bahwa peserta didik akan ditolong untuk menyelidiki dan menghasilkan beberapa kesimpulan tentang nilai-nilai dalam kelas? Mengapa ya atau tidak? Apakah kamu dalam menjawab pertanyaan ini tergantung pada berbagai cara terhadap tingkat golongan anak yang dilibatkan? Mengapa ya atau tidak?

3. Apakah para guru berdiskusi tentang nilai-nilai dengan peserta didik di dalam kelas? Apakah peserta didik didorong untuk mendiskusikan nilai-nilai dengan guru mereka? Dengan para pengelola sekolah? Mengapa ya atau tidak?

B. Apakah Nilai Itu

(32)

Seperti semua ide, nilai tidak berada dalam dunia pengalaman; mereka ada dalam pikiran manusia. Nilai adalah standar dari perilaku, keindahan, efisiensi atau kegunaan yang orang mendukung dan mereka coba untuk lakukan sesuai dengan atau memeliharanya. Semua orang memiliki nilai-nilai, meskipun mereka tidak selalu sadar secara sengaja pada adanya nilai-nilai tersebut.

Sebagai standar, nilai memutuskan kita untuk menentukan, dalam hal yang sederhana, jika kita menyukai sesuatu atau tidak. Dalam bentuk yang lebih komplek, nilai-nilai menolong kita untuk menentukan apakah hal tertentu (seperti objek, orang, ide, cara untuk berperilaku dan lainnya) atau suatu kelas itu baik atau buruk.

Standar yang lebih penting yang kita miliki adalah satu pedoman, melalui mana kita menilai perilaku, menentukan bentuk-bentuk tindakan yang pantas dan bermanfaat serta bentuk-bentuk apa yang tidak. Standar itu adalah nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral mengajukan bimbingan terhadap apa yang benar dan adil. Jadi seseorang mungkin mempersoalkan bahwa membunuh atau mengambil nyawa orang lain adalah tidak benar, sebab hidup manusia adalah suci. Sejak seseorang mengenal nilai-nilai dalam kehidupan manusia, ia mempertimbangkan penempatan nilai-nilai tersebut terhadap kehidupan yang tidak benar.

C. Cara-cara dan Tujuan-tujuan

Kita sering mempunyai himpunan standar tertentu untuk menolong kita mencapai atau memperoleh nilai-nilai yang lain. Hal tersebut sering disebut dengan nilai-nilai instrumental. Nilai-nilai instrumental adalah cara-cara yang didukung orang sebagai kebutuhan dan penting dalam mencapai nilai-nilai lain atau tujuan. Jadi pemain piano mungkin pasti melakukan latihan 3 jam setiap hari. Sebab latihan seperti itu, akan memungkinkannya mamainkan piano dengan baik sekali. Latihan selama 3 jam dalam bermain piano adalah nilai instrumental, yang akan menolong individu itu memperoleh sesuatu yang lain yang ia anggap penting, yakni dapat untuk brrmain piano dengan sangat baik.

(33)

menjatuhkan bom atom di Hirosima dan Nagasaki agar PD II segera berakhir?

Tujuan-tujuan dapat mengabsahkan cara-cara? Bagaimana yang lain dapat mereka absahkan. Tetapi hal itu tidak untuk mengatakan bahwa beberapa dan seluruh cara diabsahkan. Masalahnya terletak dalam menentukan apakah tujuan-tujuan tertentu mengabsahkan cara-cara tertentu. Percuma untuk mengatakan bahwa hal demikian amatlah sulit. Bahaya lagi-lagi timbul dalam kenyataan, bahwa cara-cara dapat menjadi kegiatan penting bagi orang, sehingga cara-cara menjadi tujuan. Hal itu mungkin atau tidak mungkin menjadi sesuatu yang baik. Sebagai contoh, beberapa individu menggunakan cara kekerasan dalam masa perang, mungkin menghasilkan nilai sebagai satu-satunya cara dalam memecahkan perselisihan dan percekcokan, bahkan dalam masa damai. Beberapa pemimpin pemerintah menggunakan peraturan hukum sebagai hal yang esensial untuk memelihara hukum dan tatanan, mungkin menghasilkan nilai-nilai hukum untuk hukum itu sendiri. Akhirnya mereka mungkin menuntut bahwa beberapa hukum disahkan oleh pemerintah untuk dipatuhi secara otomatis, bukan materi apa yang hukum diwajibkan.

Sebaliknya juga benar. Tujuan-tujuan mungkin menjadi penting untuk orang bahwa mereka lupa berpikir tentang kesopanan terhadap cara-cara yang dibutuhkan untuk mencapainya. Mereka memutuskan untuk menggunakan beberapa dan semua cara menurut penyelesaian mereka, bukan materi apa yang mereka butuhkan, untuk mencapai beberapa tujuan. Barangkali contoh yang amat tragis dari hal ini, dalam masa sekarang adalah pembunuhan orang Yahudi oleh Nazi di kamp kematian semasa Perang Dunia II.

D. Alasan-alasan untuk Menilai

(34)

mendekatinya. Objek-objek tertentu seperti anggur bermutu tinggi, cincin intan, tanah di pesisir laut, atau kontrak pemerintah mungkin mempunyai nilai, sebab objek-objek tersebut menghasilkan (atau mungkin mendatangkan hasil) sejumlah besar uang. Benda-benda tertentu dari alat-alat atau alat-alat rumah tangga atau material mungkin mempunyai nilai, sebab benda-benda itu bekerja lebih baik daripada sebanding dengan yang lain. Keadaan-keadaan tertentu dari peristiwa-peristiwa atau kondisi-kondisi kehidupan mungkin mempunyai nilai, karena keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi tersebut membolehkan orang untuk hidup dalam cara-cara yang mereka, yang sebaliknya tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Beberapa hal mungkin malah mempunyai nilai, namun tidak ada alasan dari orang yang menilai bahwa hal-hal itu “penting” atau “berguna”. Akhirnya cara-cara tertentu dalam tindakan terhadap manusia-manusia lebih mungkin menghasilkan nilai dengan rasa keyakinan yang mendalam, didasarkan atas pengalaman dan refleksi, bahwa cara-cara dan tindakan yang dilakukan adalah benar dan adil.

1. Apakah beberapa nilai lebih baik dari yang lain? Jika begitu, yang mana nilainya? Dan bagaimana nilai tersebut menggambarkannya? (Lihat pertanyaan ini dengan pandangan yang hati-hati dan dengan baik. Apakah beberapa nilai lebih buruk dari yang lain?).

2. Apakah alasan yang lain untuk menilai sesuatu dapat kami sarankan di samping hal-hal yang disarankan di atas?

E. Konflik Nilai

(35)

tidak membawa dampak positif bagi usaha pencegahan kejahatan, karena terbukti bahwa angka kejahatan di berbagai negara yang menggunakan hukuman mati adalah tidak lebih rendah dari angka kejahatan di berbagai negara yang tidak melaksanakan hal tersebut. Selanjutnya, mereka menunjukkan bahwa menempatkan tambahan kehidupan, tidak akan menempatkan lagi sesuatu yang telah hilang.

Konflik nilai mungkin tidak hanya antarpersonal (antara individu-individu, sebagai diri sendiri), tetapi juga interpersonal (dalam diri seorang). Secara individual mungkin tersobek di antara dua atau lebih konflik yang diharapkan atau tekanan untuk bertindak dalam cara-cara tertentu. Hunt dan Metcalf (1968: 124) mengemukakan contoh yang meng gambarkan seorang sekretaris sebagai orang yang telah mengembangkan loyalitas yang kuat terhadap atasannya. Atasannya telah memberikan kondisi-kondisi bekerja yang baik, menaikkan gajinya beberapa kali, memberikan kepadanya beberapa liburan dan bahkan diberikan bantuan finansial untuk ibunya yang tua. Pada suatu hari sekretaris tersebut melihat atasannya memalsukan hasil pajak pendapatannya. Sekretaris lalu meminta nasehat pada kolumnis surat kabar lokal mengenai apa yang sebaiknya dilakukan. Akankah ia tetap loyal kepada atasannya dan menutup mulutnya terus menerus? Atau ia akan jujur dan melaporkan atasannya kepada aparat perpajakan. Sekretaris itu dihadapkan pada sebuah konflik nilai yang dimilikinya antara loyalitas dan kejujuran.

1. Apakah contoh-contoh dari konflik nilai yang kami sebutkan sehubungan dengan konflik nilai yang sekarang terjadi di Amerika? Apakah yang menjadi penyebab utama dari konflik itu? Apa yang kamu pikir sebaiknya dilakukan untuk memecahkan masing-masing penyebab itu?

2. Apa kamu setuju bahwa “konflik nilai adalah kenyataan dari kehidupan?” Mengapa ya atau mengapa tidak?

(36)

F.

Ide-ide dan Perasaan-perasaan

Lebih banyak kita mengetahui tentang apakah nilai seseorang, lebih baik, untuk hal itu begitu dilakukan kita sedikit belajar tentang apakah yang mereka buat, macam-macam keputusan yang mereka sukai untuk dibuat, pemimpin-pemimpin yang mereka akan ikuti, kebijakan-kebijakan yang mereka akan ikuti, kebijakan-kebijakan-kebijakan-kebijakan yang mereka akan dukung, dan hal-hal atas mana mereka sukai untuk menghabiskan waktu, uang dan energi. Tentu saja hal tersebut, sesungguhnya esensial untuk kajian nilai-nilai, jika mau belajar dan mengerti amat banyak tentang orang-orang, tentang masyarakat, kebudayaan, seni dan musik, mitos, sejarah, ide-ide, impian dan tujuan-tujuan manusia.

Nilai-nilai adalah ide-ide mengenai harga dari sesuatu hal; nilai-nilai adalah konsep-konsep, abstraksi-abstraksi. Dengan begitu, nilai-nilai dapat diidentifikasikan, dibandingkan, dipertentangkan, dianalisa, digeneralisir dan didebatkan. Sebagai standar, nilai dapat digunakan secara jelas untuk menilai harga dari sesuatu.

Tetapi nilai-nilai juga mempunyai dimensi lain, yaitu dimensi emosional. Karena nilai merupakan komitmen emosional yang sangat kuat, kesukaan yang kuat terhadap sesuatu. Orang memelihara secara mendalam tentang benda-benda yang mereka anggap bernilai. Ini adalah suatu kenyataan, bahwa nilai adalah ide dan perasaan, bahwa nilai mengandung komponen kognitif dan afektif, yang begitu sering diabaikan oleh beberapa orang yang menyatakan diri sebagai “pendidik nilai” sekarang ini.

Jika diterima satu definisi dari nilai-nilai sebagi komitmen emosional dan ide-ide tentang manfaat, hal berikut secara logis bahwa para guru yang berkepentingan dalam pendidikan nilai membutuhkan perencanaan, baik untuk pertumbuhan emosional dari peserta didik dan mengembangkan kemampuan-kemampuan intelektual mereka. Tentu saja, itu dapat dibuktikan bahwa pengembangan intelektual dan emosional adalah saling tergantung satu sama lain, bahwa amat banyak dari yang satu tidak dapat diletakkan tanpa yang lain. Seperti yang Beck (1970) nyatakan:

(37)

kita gagal, karena kekurangpekaan, kekurangpedulian, kurangnya pengembangan emosional, kurangnya pengembangan nonkognitif. Pada satu sisi, keadaan-keadaan di mana kita mencoba untuk menolong orang menjadi lebih peka terhadap orang lain dan kebutuhan-kebutuhan mereka dan lebih ingin untuk menolong mereka, dan masalahnya adalah kurang mengertinya ia terhadap kedudukan kepedulian terhadap orang lain dalam kehidupan seseorang.

G. Latihan-latihan

1. Amatilah beberapa guru yang sedang mengajar untuk melihat, jika mereka secara jelas dengan pertanyaan-pertanyaan dan isu-isu nilai dalam dalam kelas mereka. Seberapa banyak diskusi-diskusi nilai termasuk sebagai bagian yang teratur dari rutinitas kegiatan kelas mereka?

2. Wawancara secara random sejumlah orang dewasa mengenai bagai-mana perasaan mereka terhadap nilai-nilai yang dibahas di sekolah. Seberapa banyak disukai? Seberapa banyak yang ditentang? Mengapa mereka menyukai atau menentang? Sekarang wawancara secara random sejumlah orang yang belajar untuk menjadi guru. Seberapa banyak dari kelompok itu menyukai diskusi nilai di sekolah? Menentang? Mengapa mereka menyukai atau menentang? Apa perbedaan-perbedaan yang kamu catat antara dua kelompok tersebut? Bagaimana kamu akan menjelaskan perbedaan-perbedaan itu? 3. Dalam bulan April 1976, penyelidikan pendapat umum yang dilakukan

Gallup melaporkan bahwa mayoritas yang besar sekali dari penduduk telah mendukung pembelajaran moral dan perilaku moral pada sekolah-sekolah umum. Pertanyaan yang diajukan organisasi Gallup meliputi beberapa hal sebagai berikut:

(38)

Organisasi Gallup tidak mengejar pertanyaan itu lebih jauh; mereka tidak berupaya untuk menentukan bagaimana orang-orang yang diwawancarai menafsirkan istilah “pembelajaran”. Tak pelak lagi, sejumlah penafsiran-penafsiran adalah mungkin. Beberapa orang mungkin menganggap “pembelajaran perilaku moral” adalah secara sederhana memberitahukan anak-anak apa yang orang dewasa yakin sebagai benar dan apa yang salah. Pihak yang lain menduga hal itu, sebagai teknik-teknik menolong peserta didik dalam menentukan apakah itu benar dan salah untuk diri mereka sendiri. Kedua penafsiran tersebut sekaligus memuat kesulitan, bukan persoalan yang memandang (atau beberapa hal yang lain) satu yang mungkin didukung. Apakah mungkin beberapa kesukaran memang ada? Bagaimana kamu akan mendefinisikan frase “pembelajaran moral dan perilaku moral” (secara sepintas apakah “pembelajaran moral” sama halnya seperti pembelajaran “perilaku?”).

(39)
(40)

Dengan pandangan sekilas yang pertama, hal itu mungkin nampak sukar untuk percaya pada kasus di Amerika, yang telah disusun untuk beberapa aliran kebudayaan yang berbeda-beda dan dikarakterisasikan oleh perubahan yang cepat. Raja mobil Detroit, para penduduk di kota-kota besar kita, pengacara Philadelphia, para karyawan perusahaan minyak Houston, pemetik selada Chicago, dan buruh tambang yang miskin dari tambang terbuka di Appalachia yang nampak begitu berbeda di Amerika dan nampak tidak terlukiskan waktu itu.

Meskipun demikian, beberapa pakar mempunyai pendapat yang berbeda-beda umumnya saling bertentangan. Walaupun tidak semua orang Amerika percaya terhadap nilai yang sama, dan meskipun banyak yang tidak nampak melaksanakan apa yang mereka percayai, tetapi secara luas menyatunya nilai-nilai tersebut dapat diidentifikasikan sebagaimana daftar di bawah ini:

¾ Persaingan bagi keberhasilan individu dan material (menekankan pada pribadi, kemajuan individual)

¾ Paham persamaan hak (kepercayaan bahwa hak milik dari kekayaan, pendidikan, atau reputasi tidak membuat seorang individu lebih baik pribadinya dari yang lain)

¾ Kecenderungan untuk memberikan pembenaran moral dan religius pada tindakan pribadi dan nasional

¾ Kesangsian pada otoritas

¾ Kepercayaan yang kuat terhadap pikiran sehat

¾ Pandangan yang optimis terhadap hidup (jika seseorang bekerja keras, dapat membenarkan tindakannya secara moral, dan menggunakan akal sehat yang baik, bukan kewajiban yang mustahil)

¾ Paham ras (tidak hanya prasangka dan diskriminasi sekaligus oleh banyak orang kulit putih terhadap orang kulit berwarna, tetapi juga merembes pada asumsi banyak orang kulit putih bahwa kulit putih normal dan kulit hitam abnormal)

¾ Kecenderungan kearah kekerasan sebagai cara-cara untuk pemecahan masalah.

(41)

KEPUSTAKAAN

Beck, Clive. “The Development of Moral Judgment” dalam James A.Phillip, Jr, ed. (1972). Developing Value Constructs in Schooling: Inquiry into Process and Product, Worthington, Ohio: Ohio Asso-ciation for Supervision and Curriculum Development.

Childs, John L. (1950). Education and Morals. New York: Appleton-Cen-tury-Croft.

Fraenkel, Jack R. Inquiry Into Value” in Eugene Gilliom, ed, (1977).”Practical Methods for the Social Studies, Belmont, Calif: Wadsworth.

Fraenkel, Jack R. (1977). How to Teach About Values: An Analytic Ap-proach. Englewood Cliffs.N.J: Prentice-Hall.

(42)

INDIKA

INDIKA

INDIKA

INDIKA

INDIKAT

T

T

TOR-INDIKA

T

OR-INDIKA

OR-INDIKA

OR-INDIKAT

OR-INDIKA

T

T

TOR NILAI

T

OR NILAI

OR NILAI

OR NILAI

OR NILAI

Nilai tidak dapat dilihat secara langsung; nilai mesti didapat dari indikator nilai, yakni apa yang orang katakan dan lakukan. Tindakan-tindakan dan pernyataan-pernyataan dari orang yang memberikan tanda dari nilai-nilai mereka.

A. Tindakan-tindakan sebagai Tanda dari Nilai-nilai

Tindakan-tindakan orang sering memberikan kepada kita tanda mengenai apa yang mereka nilai. Mencoba memperhatikan apa yang or-ang lakukan dengan meluor-angkan waktu, kalau ia bukan sedor-ang dibujuk atau diancam. Andaikan, sebagai contoh, bahwa seseorang menghabiskan dari waktu luangnya mengajar anak-anak yang mempunyai kesulitan belajar membaca. Secara individual dalam kasus ini memberikan sedikit waktu untuk melihat buku-buku yang cocok dan materi-materi yang anak dapat gunakan, menemukan tempat-tempat yang tenang untuk berdiam dan bekerja dengan mereka, mendesain berbagai materi khusus, dan tentu juga bekerja dengan anak-anak iu sendiri. Jika orang itu, tidak menghendaki untuk melakukan hal itu dan bukan sedang dibayar untuk itu, kita akan cenderung untuk percaya bahwa ia menilai semacam itu dari aktivitas. Dengan kata lain, ia menganggap mengajar adalah sesuatu yang penting dan bermanfaat untuk dilakukan.

Di sini akan diperlihatkan 4 (empat) contoh dari perilaku. Nilai-nilai apa yang mereka anjurkan?

Peristiwa 1. Pembakaran Buku

Minneapolis, kira-kira 3 lusin salinan dari novel yang berjudul

(43)

Berdasarkan tindakan dari pengaduan seorang mahasiswa tingkat 2, maka Dewan Pengurus mengadakan pertemuan khusus hari Selasa, dan telah setuju dengan para gadis bahwa buku tersebut merupakan buku yang tidak senonoh. Beberapa materi dalam pertemuan tersebut telah menjelaskan bahwa novel Kurt Vonnegut. Jr mengenai persekutuan pemboman kota Dresden, Jerman dalam PD II adalah sebagai “alat setan”.

Dewan Pengurus sekolah telah diperintahkan Dale Fuhrman, pengawas sekolah, untuk mengawasi pemusnahan buku-buku tersebut. Buku-buku lainnya direncanakan untuk dimusnahkan, karena dipandang bahasanya yang tidak sopan seperti “Pelepasan” James Dickey dan kumpulan cerita pendek Ernest Hemingway, William Faulkner dan John Steinbeck.

Segala sesuatunya telah diserahkan kepada para peserta didik dari ibu kota North Dakota, yang jumlah penduduknya 700, melalui Bruce Severy, guru bahasa Inggeris, berusia 27 tahun, yang menurut laporan dikontrak, karena pandangannya yang kosmopolitan.

Severy dalam pemeriksaan Dewan Sekolah menyatakan bahwa pengarang buku tersebut sedang mencoba untuk menceritakan kisahnya sebagaimana adanya, dengan menggunakan bahasa sebagaimana yang digunakan saat ini, namun di luar dunia nyata.

Menyinggung terhadap fakta bahwa tidak ada satupun anggota dewan sekolah yang telah membaca buku-buku yang mereka perintahkan untuk dimusnahkan, dengan keras Severy mengatakan “Tidak satupun dapat membuat penilaian tentang buku, tanpa membaca sama sekali sebuah buku. Segala sesuatu yang mengandung kekurangan adalah ketidakjujuran secara akademis, irrasional dan anti intelektual”.

Lima anggota Dewan Pengurus telah memutuskan dengan suara bulat untuk membakar buku-buku tersebut dan menentang untuk mengkontrak Severy untuk tahun depan.

Peristiwa 2: Seorang Idealis yang Kehilangan Idealisme

(44)

dengan harga yang sama, tetapi orang yang menawar dan memasukkan ke daftar tunggu, dapat mendapatkan mesin tik dengan setengah harga dari daftar harga. Saya merasa bahwa itu tidak adil bagi pembeli yang membayar sesuai dengan daftar harga. Salesman lain menertawakan saya dan tidak mengerti ketololan sikap saya. Mereka memberitahu saya untuk melupakan hal-hal yang telah saya pelajari di sekolah. Dan bahwa saya tidak dapat memperoleh uang yang banyak, kalau terlalu jujur. Bila saya menjawab bahwa uang bukanlah segala-galanya. Mereka mengejek saya: “Oh! Bukan? Baiklah, itu menolong”. Saya seorang ideal dan saya telah berhenti.

Saya berhenti kerja, sebelum saya dapat memperoleh pekerjaan yang lain. Selama waktu itu, saya kadang-kadang bertemu dengan berbagai teman sekolah dan mereka menceritakan pengalaman-pengalaman yang serupa kepada saya. Mereka mengatakan bahwa mereka menderita kelaparan. Jika mereka terlalu jujur. Semua dari mereka adalah para gadis yang menunggu-nunggu untuk menikah dengan standar yang menyenangkan dan mereka mengatakan mereka tidak mengerti bagaimana mereka dapat mampu untuk menjadi jujur sekali. Perasaan saya menjadi kurang stabil, mereka telah menjadi orang dibandingkan dengan saya saat melepaskan pekerjaan pertama saya.

(45)

dipilih orang -, saya mengetahui bahwa saya tidak jujur dan pada tingkatan itu saya merasa bahwa saya lebih jujur daripada kawan saya. Perihal tersebut menggores dan menembus hati saya, sebagai hal yang asing, yaitu di mana semua orang-orang itu merasa bangga dengan kemam-puannya untuk menipu para konsumen. Mereka menyombongkan ketidakjujuran yang mereka miliki dan dipuji oleh kawan-kawan dan musuhnya sebagai ukuran kemampuannya, untuk melepaskan diri dari transaksi yang tidak jujur: hal tersebut disebut kelicikan. Hal yang lain adalah bahwa orang-orang tersebut bersepakat dalam mengutuk perampok-perampok, gangster-gangster, pembobol rumah, dan pencuri-pencuri. Mereka tidak pernah menganggap mereka sendiri satu golongan yang dikutuknya, dan akan marah sekali, jika dituduh tidak jujur, dan mereka menganggap hal itu sebagai bisnis yang baik.

Kadang-kadang, seperti tahun-tahun yang telah lewat, saya telah memikirkan saya sendiri sewaktu di universitas, yang idealistis, jujur dan bijaksana, tenggang rasa terhadap yang lainnya dan kadangkala sekarang saya malu pada diri sendiri. Tidak lama lagi ingatan-ingatan sedemikian itu menjadi berkurang dan hal tersebut menjadi sulit untuk membedakan saya dengan kawan-kawan saya. Jika anda telah menuduh saya tidak jujur, saya akan menyangkal tuduhan itu, tetapi dengan sedikit agak berapi-api daripada teman-teman bisnis saya, dan setelah kesemuanya itu, bagaimanapun saya telah belajar sebuah kode perilaku yang berbeda.

Peristiwa 3: Berlayar Dengan Sebuah Perahu Kecil

Kawan saya Bill Huntington dan saya sedang merencanakan untuk berlayar dengan perahu kecil menuju ke jurusan Barat ke lokasi percobaan bom-H Pasifik. kami akan tetap ke sana sepanjang percobaan-percobaan bom-H tetap diteruskan. Mengapa? Sebab ini merupakan cara saya untuk mengatakan kepada pemerintah British dan Krem-lin: “Stop! Stop! Kegilaan ini, sebelum hal tersebut terlambat”.

Saya pergi dengan alasan seperti yang dikatakan Shakespeare “Tindakan merupakan kepandaian berbicara”. Tanpa beberapa tindakan langsung seperti itu, rakyat biasa kurang kekuatannya untuk lebih kuat dilihat dan didengar pemerintah mereka.

(46)

Saya pergi sebab seperti semua manusia, dalam hati saya, saya tahu bahwa seluruh ledakan-ledakan nuklir adalah dahsyat, jahat, tidak berguna bagi manusia.

Saya pergi sebab perang adalah bukan perpanjangan pertandingan dari permainan tusuk-menusuk di jaman feodal. Ini adalah bencana yang tidak terkirakan bagi seluruh manusia.

Saya pergi sebab sekarang ini anak-anak kecil dan kebanyakan dari mereka hingga kini, mereka belum dilahirkan oleh seseorang sebagai pasukan-pasukan di garis depan. Ini adalah tugas saya untuk berdiri di antara mereka dari bahaya-bahaya mengerikan.

Saya pergi sebab, ini adalah cara pengecut dan merendahkan martabat saya, untuk menunggu terlalu lama, untuk setuju, dan dengan demikian bekerja sama dengan kekejian.

Saya pergi sebab seperti yang Gandhi katakan: “Tuhan berada dalam diri manusia, berhadapan dengan saya. Oleh karena itu untuk melukai dirinya adalah juga melukai Tuhannya sediri”.

Saya pergi untuk bersaksi bagi kebenaran yang ada dalam batin, yang kita semua mengetahuinya, “kekuatan dapat dilemahkan, tetapi cinta meguntungkan”.

Saya pergi sebab walau bagaimanapun, kesalahan, dosa dan pemerintah nampaknya tidak menyesal, saya masih yakin semua or-ang sesungguhnya berhati yor-ang baik dan bahwa tindakan saya akan dibicarakan mereka.

Saya pergi dengan harapan untuk menolong berubahnya hati dan perkiraan dari orang di pemerintahan. Jika diperlukan saya bersedia, memberikan hidup saya untuk menolong perubahan kebijakan dari ketakutan, kekuatan dan penghancuran kepada satu kepercayaan, kebaikan dan pertolongan.

Saya pergi supaya mengatakan: “Hentikan pemborosan ini, perlombaan senjata ini dan ubahlah menjadi pertandingan-pertan-dingan perlucutan senjata. Stop berlomba-lomba dalam kejahatan, berlomba-lombalah untuk kebaikan”.

(47)

Jika kamu melihat sesuatu yang mengerikan terjadi, nalurimu adalah melakukan sesuatu yang berkenaan dengan itu. Kamu menjadi tidak berdaya dalam ketakutan yang apatis atau kamu bahkan dapat berbicara pada dirimu sendiri dan menyatakan bahwa itu bukanlah hal yang amat mengerikan. Saya tidak dapat melakukan hal seperti itu. Saya harus bertindak. Hal itu sungguh amat mengerikan. Kita semua mengetahuinya. Marilah kita semua bertindak.

Peristiwa 4: Sebuah Ujian Di Dalam Kelas

Kampus yang Bising

Seorang guru akan mengawasi ujian di kelas, saat waktu ujian mulai tiba, dan peserta didik sedang mulai memasuki ruang kelasnya. Guru tersebut berkata:

- Stt, tak seorangpun diijinkan mengucapkan sepatah kata setelah melewati pintu ruangan ujian ini.

- Di kelas ini, kalian akan duduk di deretan kursi yang diberi nomor ganjil, yaitu pertama, ketiga, kelima, dan seterusnya.

- Kalian akan menempati kursi, setiap kursi pertama, diselang dengan dua kursi yang kosong di antara kamu.

- Kamu tidak perlu menggunakan tempat penyimpanan alat tulis atau perlengkapan apapun lainnya.

- Saya akan sabar menunggu kalian, tidak boleh ada bisik-bisik, tanda-tanda atau bahasa isyarat.

- Kamu akan sukses, jagalah mata kalian dan kertas-kertas kalian. - Baiklah... kita mulai ujian anda dengan kejujuran anda.

1. Dari setiap peristiwa-peristiwa di atas, pertimbangan-pertimbangan apa yang perlu diberikan mengenai nilai-nilai dari orang-orang yang bersangkutan di atas? 2. Tindakan-tindakan apakah dari pihak setiap individu dari peristiwa-peristiwa yang telah ditunjukkan yang dapat meyebabkan anda merubah pikiran anda mengenai apa yang mereka nilai? Mengapa?

(48)

B. Kata-kata sebagai Tanda dari Nilai-nilai

Tindakan-tindakan merupakan satu petunjuk tentang nilai-nilai. Tetapi kata-kata seseorang dapat juga memberikan tanda “tentang apa yang ia nilai”. Kata-kata mungkin nampak dalam pidato-pidato, surat-surat, peryataan-pernyataan, editorial-editorial, gambar-gambar kartu, artikel-artikel, pembicaraan-pembicaraan, atau bentuk-bentuk tulisan yang lain dan atau komunikasi yang diucapkan. Berikut 3 contoh tentang pernyataan dan apa yang dikatakan mereka tentang nilai-nilai.

Pernyataan 1. Deklarasi Kemerdekaan Amerika

(49)

Pernyataan 2: Sebuah Petikan Dari Khotbah Di Puncak Gunung

Kamu telah mendengar bahwa hal itu telah saya katakan, mata untuk mata, dan gigi untuk gigi. Tetapi saya mengatakan sampai padamu: “Bahwa kamu melawan bukanlah jahat, tetapi siapapun akan menampar anda pada pipi kanan, berikan giliran pada pipi kiri anda. Kamu telah mendengar bahwa hal itu telah dikatakan: “Kamu boleh mencintai tetanggamu, dan membenci musuhmu. Tetapi saya menyatakan padamu. Cintailah musuh-musuhmu, doakan mereka yang mengutuk kamu, berbuat baiklah untuk mereka yang membenci kamu, doakan mereka meskipun sebenarnya mereka menggoda, menyiksa kamu.

Pernyataan 3: Sebuah Argumen untuk Moralitas

Manusia telah menggambarkan prinsip-prinsip moralitas yang mengagumkan, yang sebagian besar mempengaruhi tindakan-tindakan manusia secara individual. Dan sekalipun begitu kita para pembunuh, para pembunuh massa. Hampir semua dari kita, bahkan dari pemimpin-pemimpin agama kita, menerima dengan tenang kebijakan dunia, untuk menyediakan bagian yang luas dari pendapatan dunia, sumber-sumber dunia kita – seratus milyar dollar per tahun dengan darah dingin menyiapkan senjata-senjata nuklir untuk membunuh ratusan milyar orang, untuk merusak kelompok baksil plasma manusia sedemikian rupa, setelah perang nuklir yang besar, anak cucu kita mungkin hampir tidak dapat dikenali sebagai manusia.

Apakah firman: “tidak boleh membunuh” tidak bermakna pada kita? Apakah kita menafsirkannya dengan makna “Kamu tidak boleh membunuh, kecuali bila pemimpin bangsa memerintahkan untuk membunuh?”

(50)

sebanyak 10% dari jumlah sekarang yang dibelanjakan untuk maksud-maksud militer. Saya akan senang untuk melihat adanya program penelitian internasional yang besar yang melibatkan ribuan saintis, ekonom, pakar geografi, dan pakar-pakar lain yang bekerja dengan bermanfaat tahun demi tahun dalam penelitian yang mungkin memberikan berbagai solusi terhadap masalah-masalah dunia, cara-cara untuk mencegah perang dan memelihara perdamaian.

Selama seratus tahun yang lalu telah terjadi perkembangan yang mengejutkan dalam sains dan teknologi, perkembangan yang sama sekali merubah alam dunia sebagaimana kita tempati sekarang. Sejauh ini, seperti yang dapat kita lihat, bentuk diplomasi, pelaku perstiwa-peristiwa internasional, amat sedikit yang telah berubah.

Era sekarang datang dengan aspek-aspek dunia yang berubah, sebab kita sekarang mengakui bahwa kekuatan untuk merusak dunia adalah kekuatan yang tidak dapat digunakan.

Mungkin bangsa kita yang besar, Amerika Serikat, menjadi pemimpin dalam menempatkan moralitas ke dalam tempat yang pantas bagi kepentingan utama dalam perilaku peristiwa-peristiwa dunia.

Oleh karena itu, kata-kata dapat juga menjadi indikator-indikator nilai. Peryataan-pernyataan seperti tersebut di atas, adalah menunjuk-kan atau mengimplikasimenunjuk-kan bahwa suatu individu atau kelompok menganggap hal atau kelompok tertentu, mempunyai kuantitas tertentu dari harga, jasa, atau kualitas (secara pasti seberapa besar adalah tidak selalu jelas), yang disebut sebagai Pertimbangan Nilai.

Apakah yang akan kamu katakan bahwa indikator yang lebih baik untuk apa nilai-nilai seseorang? Apakah yang dia katakan atau lakukan? Mengapa?

C. Tipe-tipe dari Pertimbangan-pertimbangan Nilai

Gambar

Tabel 5.1. Periode Perkembangan Kognitif Piaget
Tabel 5.2. Tingkatan Perkembangan Moral Kohlberg
GAMBAR 5.1. Strategi Membimbing Diskusi Moral
Gambar 6.2. Pola Pertanyaan Diberikan dengan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Memahami dasar- dasar penggunaan Internet/intranet 1.2 Mendeskripsikan dasar-dasar sistem jaringan di Internet/ intranet Item Soal

Contoh frasa yang telah dijelaskan merupakan kategori frasa nomina diikuti frasa depan, sedangkan berdasarkan strukturnya dalam BDK nomina sebagai unsur pusat

Indikator hasil adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik maupun non fisik. Indikator atau tolok ukur keluaran untuk

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh subtitusi tepung ubi jalar sebagai pengganti gula dan tepung pada pembuatan brownies panggang dan kukus rendah kalori

Perlakuan pakan yang diberikan yaituT0 (Aditif pakan 0ml/kg), T1 (Aditif pakan 100ml/kg), T2 (Aditif pakan 150ml/kg) danT3 (Aditif pakan 200ml/kg).Hasil penelitian menunjukkan

Sehubungan komputer memiliki sebuah server pada jalur 2 yang memiliki protokol SSH dan dapat mengakses internet maka komputer tersebut dapat mengakses internet

Apabila ubah data gejala, admin menentukan daya yang akan diubah, kemudian ubah data maka sistem akan memproses perubahan data, dan apabila berhasil maka sistem menyimpan

Tujuan donasi hijab pada Gerakan Seribu Kerudung ini agar wanita muslimah yang belum berhijab bisa menggunakan hijab, selain itu tujuan dari Gerakan Seribu Kerudung ini